Sementara itu di sebuah vila yang tersembunyi di balik kokohnya dinding tebing curam. Seorang pria menatap marah ke arah pintu, seolah menanti siapa yang akan masuk. Tak berapa lama, terdengar pintu di buka dengan keras, hampir mendobrak benda persegi tersebut. Satu wanita didorong paksa, hingga berada di depan Ilario.
Ya, Ilario del Munthe berhasil lolos dari sergapan Vin, anak buahnya berhasil membawa pria tersebut kembali ke persembunyian mereka. Pria itu kini terlihat lebih baik, setelah luka tembak di pahanya diobati. Wanita yang baru masuk itu ditendang pada punggungnya, sampai jatuh berlutut di hadapan Ilario.“Dia pelakunya?” tanya Ilario tidak percaya. Melihat sosok cantik yang berlutut di hadapannya. Tampak lemah, tapi Ilario tidak melihatnya begitu. Lelaki itu melihat hal yang sebaliknya. Sorot tajam mata wanita itu membuktikan kalau dia tidak takut pada Ilario. Menarik.“Siapa yang menyuruhmu?!” Ilario ingin mendengar suara perempuan yang mata coklatnya mampu menghipnotisnya.Tak ada jawaban, wanita tersebut mendongakkan wajah, seolah menantang Ilario. Asisten Ilario menyerahkan selembar kertas berisi data wanita, yang tengah menahan diri untuk tidak menghajar pria di depannya.“Emma? Itu namamu?” Ilario bertanya dengan bola mata bergulir ke bawah, melahap setiap info yang berhubungan dengan gadis yang kini dia tahu bernama Emma.Semakin ke bawah, dahi Ilario berkerut. Ada raut kagum dalam ekspresi wajah Ilario. “Kau masih sangat muda. Tapi kemampuanmu sangat luar biasa. Aku jadi penasaran.” Ucap Ilario penuh minat.Ilario mulai memindai tubuh Emma, jika Emma berpikir kemampuan yang dimaksud Ilario adalah keterampilan bertarung. Maka Ilario tidak, dengan pelatihan yang Emma terima sebagai mata-mata Black Chimaera, tubuh Emma pastilah sangat indah.Dan benar saja, mata Ilario segera saja menemukan apa yang dia cari. Wajah cantik dengan bibir sensual menggoda, ditambah aset depan dan belakang yang cukup sempurna terlihat dari luar. Hal itu membuat Ilario ingin mencicipi tubuh anak buah Vin. Hitung-hitung sebagai ganti Vin telah merusak kesenangannya hari itu. “Aku sungguh penasaran padamu.”“Kita bisa bertarung kalau kau mau!”SIAL! Bahkan suaranya terdengar begitu menggoda. “Cekoki dia!” perintah Ilario. Emma membulatkan mata, mendengar perintah buronan kepolisian Italia ini.“Kau mau apa?!” teriak Emma mulai takut. Dia tidak gentar menghadapi puluhan lawan di medan perang. Dia siap mati untuk itu. Namun jika dia harus berhadapan dengan jenis obat-obatan, ini yang Emma tidak sanggup.Asisten Ilario sendiri yang menuangkan cairan merah pekat yang orang kenal sebagai wine. Mencampurkannya dengan sejumput bubuk putih. Asisten Ilario tampak menyeringai melihat wajah tertegun Emma. Mereka perlu setidaknya setengah jam untuk melumpuhkan Emma. Karenanya dia dengan senang hati melakukan perintah Ilario.“Lakukan!” dua pria memegangi lengan Emma, sementara asisten Ilario, mulai mencengkeram dagu Emma.“Jangan menggoresnya, aku tidak suka mainanku lecet,” asisten Ilario mengangguk paham mendengar peringatan sang atasan. Emma berusaha mengelak dengan menutup mulutnya rapat-rapat. Tapi satu pria datang menekan hidung Emma, hingga otomatis bibir Emma terbuka.Dalam tiga kali tegukan wine itu tandas berpindah tempat ke kerongkongan Emma. “Brengs*k!!” Maki Emma. Semua orang tersenyum menanggapi umpatan Emma. Mereka tentu sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Hingga ketika Ilario memberi kode untuk keluar dari ruangan itu. Mereka semua dengan cepat menuruti perintah si pemimpin.“Mari kita lihat bagaimana kau akan memohon padaku?” Ilario menatap lapar pada Emma. Emma balik melemparkan tatapan penuh kebencian pada Ilario, pria yang sudah dua bulan ini dia satroni dengan menyamar sebagai salah satu petugas bersih-bersih di vila lama Ilario. Karena info dari Emma, maka Vin mampu mengejar Ilario sampai ke yacht pria itu. Nyaris bisa membawa Ilario kembali ke Italia.Pintu ditutup meninggalkan Ilario, dan Emma yang mulai gemetaran. Obat itu mulai bereaksi, Emma tak yakin mampu bertahan. Satu kalimat terpatri dalam benak gadis itu, suatu hari dia akan menghabisi Ilario dengan tangannya sendiri.Ilario menyeringai, melihat wajah merah Emma yang tengah menahan diri, membuat pria tersebut semakin suka. Satu pancingan dari Ilario membuat Emma kalap. Hingga pria itu bisa mendapatkan apa yang dia mau. Bercinta dengan anak buah sekaligus mata-mata yang dikirim oleh Vin.Dua jam berlalu. Ilario meraih jubah tidur yang tergeletak di lantai, berjalan sedikit tertatih, luka di pahanya belum sembuh benar. Masih menyisakan nyeri, tapi untungnya tidak mengeluarkan darah lagi, akibat aktivitas panas yang baru saja dia lakukan.Pria itu menoleh, melihat ke arah Emma yang tidur pulas, tubuh seksinya tertutup oleh selimut putih. Emma jelas kelelahan akibat ulah Ilario. Emma, gadis perawan pertama yang Ilario cicipi. Satu hal yang membuat pria itu menggila dalam dua jam permainan mereka. Stamina Emma mampu mengimbangi Ilario yang memang terkenal karena durasinya.“Mulai sekarang kamu akan jadi milikku. Hanya milikku.” Ilario mengecup kening Emma, lantas berlalu keluar dari sana. Meninggalkan Emma yang seketika membuka mata. Melompat turun dari ranjang, masuk ke ruang di sebelah kiri. Mencari pakaian untuk dia kenakan. Dengan hati sibuk memaki Ilario. Emma menyambar satu kemeja Ilario, lantas memakainya dengan cepat.Saat gadis itu melongok ke luar jendela villa, Emma sejenak terdiam, menyadari betapa tingginya kamar di mana dirinya berada saat ini. Sebuah suara terdengar membuat gadis itu berbalik. “Mau kemana ha?” satu jarum suntik menancap di leher Emma, mengakibatkan gadis itu perlahan tumbang. Kewaspadaan Emma menurun drastis, hingga dia kembali jatuh dalam cekalan Ilario. Emma gagal melarikan diri.Ilario menatap satu monitor besar di hadapannya, beserta puluhan lain di sekelilingnya. Tim IT-nya sedang berusaha menerobos masuk sistem keamanan rumah Vin, yang artinya sama dengan membobol sistem pertahanan klan mafia Black Chimaera. Satu hal yang membuat Ilario geram adalah hampir dua tahun mencoba tapi tidak ada hasil yang terlihat nyata.Mereka bisa menerobos masuk, tapi di detik berikutnya, jalan mereka sudah diblokir oleh sistem firewall klan tersebut. “Sebenarnya apa sih yang mereka gunakan?” geram Ilario.“Jika tidak salah, mereka masih menggunakan sistem dari The Eye. Hanya saja semakin ke sini, sistem peretas sekaligus pertahanan itu kian disempurnakan. Kita tahu bukan siapa penemu dan pengembangnya. Bahkan saat Vin yang mengendalikan The Eye, sistem itu semakin kuat dan melesat jauh ke depan.”Ilario menggeram marah. The Eye, sistem itu yang sejak dulu menjadi musuhnya. Tidak peduli siapa pemegang kendalinya, The Eye selalu merepotkannya, menghalangi jalannya.“Cari di mana pusat kendali The Eye, rebut! Kalau tidak bisa...hancurkan!” Perintah Ilario, baru kali ini terpikirkan ide tersebut. Sistem itu harus segera dimusnahkan. Jika tidak, hal ini akan terus mengancamnya. Seperti kejadian beberapa tahun lalu, yang berakibat Ilario menjadi buronan kepolisian negaranya, Italia.Pria itu ingin berlalu keluar dari sana, sampai satu informasi disampaikan oleh anak buahnya. “Tuan Del Munthe, kami berhasil menemukan kediaman tuan Sebastian Vincent Arturo.”Sudut bibir Ilario tertarik, sebuah rencana terlintas di kepalanya. Dia akan melakukan hal sama seperti yang Vin lakukan padanya. Pikiran pria itu kembali melayang pada Emma.“Baik Vin, mari kita bermain. Akan kulihat sampai di mana kau akan bertahan. Jika orang yang kau sayangi satu persatu... kulenyapkan.” Seringai mengerikan terbit di bibir Ilario. Skenario licik sudah tersusun di kepala Ilario, tinggal mengeksekusinya.Ilario melangkah masuk kembali ke kamarnya, berpikir akan bermain lagi dengan boneka barunya. "Mari bersenang-senang, sebelum kita bertemu di medan perang." Batin Ilario, mulai menyentuh kancing kemejanya saat memasuki kamarnya.Seminggu berlalu, Maria diizinkan pulang. Setelah menjalani serangkaian tes, untuk memastikan kalau dirinya benar-benar sembuh dari kanker yang dia derita. Maria tampak seperti orang lain saat masuk ke rumahnya sendiri. Ada sedikit rasa heran dalam diri Vin. Namun pria itu tidak terlalu menghiraukannya. Pasalnya Andreas sudah lebih dulu memperingatkan. Maria mungkin akan sedikit berbeda pasca dia hidup kembali. Ini wajar terjadi, sebab beberapa detik otak Maria kekurangan pasokan oksigen, jadi bisa saja terjadi miss pada saraf otak Maria, yang mengakibatkan Maria kehilangan sedikit memori soal beberapa hal.Bahkan tatapan Maria pada Vin tampak berbeda. Wanita itu seolah tidak mengenali dirinya. Meski begitu, Maria tidak menolak maupun menghindari Vin. Dan menurut Vin itu sudah bagus. Maria tidak mengacuhkannya. Enzo langsung berlari memeluk sang mama begitu wanita itu masuk ke ruang tamu. Lagi-lagi sikap Maria seperti orang yang baru pertama kali datang ke rumah itu. Hanya saat me
Vin memindai tiap monitor yang ada di hadapannya. Lima layar komputer cukup besar berjajar rapi di depannya. Semua tampilan saling terhubung, menunjukkan sebuah peta. “Terakhir kali kita terhubung dengannya saat dia memberitahu lokasi Ilario.” Miguel menjawab pelan, tangan sang asisten bergerak lincah di atas keyboard. Mencari sesuatu yang beberapa hari terakhir hilang dari jangkauan mereka.Ada kecemasan tersendiri saat Vin mengingat siapa yang tengah mereka khawatirkan. “Emma, ini salahku. Aku tidak seharusnya membiarkanmu masuk ke sarang Ilario, ini sangat berbahaya.” Gumam Vin setengah putus asa. Sejak jejak Ilario hilang, Emma turut menghilang. “Apa jangan-jangan Ilario sudah menyadari siapa Emma?” Pertanyaan Miguel membuat ratio kecemasan Vin semakin tinggi. Jika sampai terjadi apa-apa pada Emma, dia tidak bisa memaafkan dirinya.“Terus mencari, meski aku khawatir padanya. Tapi aku yakin kalau dia bisa menjaga diri.” Miguel mengangguk menyetujui ucapan Vin. Dia tahu benar
Vin melajukan mobilnya setelah menerima panggilan dari Miguel. “Vin, ada pergerakan dari Ilario.” Sempat merasa ragu waktu harus meninggalkan Maria yang terlelap dalam tidurnya. Tapi apa boleh buat, dia tidak mungkin melewatkan kesempatan ini. Meski ini hampir tengah malam.“Berikan aku posisi terakhir Ilario.” Vin berucap melalui head set bluetoot-nya, selagi Vin memacu kuda besi sport-nya. Sebuah koordinat segera Vin dapat. Pria itu menyalakan layar komputer yang ada di dash board. Vin sejenak menunggu terhubung dengan Miguel. Setengah mata Vin terfokus pada jalanan di depan, yang lain mencermati satu titik yang ada di layar. Satu pertanyaan dari Vin dijawab dengan ketidakpastian oleh Miguel. Vin menggeleng pelan, lantas mematikan sambungan pada Miguel.Suami Maria itu menyentuh satu icon pada layar mini tersebut. “Connect to The Eye.” Perintah Vin, dengan sistem segera merespon.Connecting....Processing....Welcome to The EyeEnter your passwordVin memasukkan sederet kom
Maria menatap pantulan dirinya melalui cermin. Lagi, ini kali kedua wanita itu menatap dirinya lekat-lekat. Mengingat apa yang sebenarnya telah terjadi. Perlahan Maria yakin kalau raga ini memang bukan miliknya. Namun kenapa ini semua bisa terjadi? Pertanyaan itu yang kini bercokol di kepala Maria. Juga soal siapa dirinya yang sesungguhnya.Wanita itu menghela nafas, banyak hal yang kini memenuhi benaknya. Dan sebagian besar menuntut sebuah jawaban. Belum rampung masalah satu, muncul lagi masalah lain. Dirinya belum sepenuhnya berdamai dengan raga baru ini. Kini sang mertua sudah menunjukkan raut wajah tidak suka akan kehadirannya. Mama Vin yang akhirnya dia tahu bernama Imelda, terang-terangan menginginkan wanita lain untuk menjadi istri Vin. Lebih parahnya lagi, perempuan bernama Helga itu sekarang tinggal di rumah Vin, sang suami.“Jangan terlalu memikirkan ucapan Mama,” perkataan Vin seolah ingin membuat Maria tidak berpikir macam-macam. Namun hal itu jelas tidak bisa Maria abai
Suara tembakan terdengar diiringi teriakan teredam. Ilario baru saja melesatkan tembakan ke paha seorang pria yang terduduk di kursi, dalam keadaan terikat. Pria itu tersenyum remeh, melihat korban merintih akibat aksinya. “Jadi kau tetap tidak mau mengatakan di mana dia?” Tanya Ilario dengan wajah tersenyum mengerikan.Pria itu menggeleng, hingga satu perintah keluar dari bibir Ilario. “Bunuh dia!” Dua orang sigap menarik kasar tubuh pria yang dari pahanya mengalir banyak darah. “Aku ingatkan Ilario, kau harus pastikan membunuhku dengan benar. Atau kau akan menyesal. Aku akan memberitahu Vin di mana tempat persembunyianmu juga tempat kau menyekap Emma!” teriak pria itu.Ilario mendengus geram mendengar ancaman lelaki tadi. “Apa yang kau dapat?” Ilario bertanya pada sang asisten. “Orion memalsukan data dirinya juga keluarganya!” Ilario mengeratkan rahangnya. Selain Vin, sasaran balas dendam Ilario yang lain adalah Orion Harasya Alexander. Gara-gara Orion lah, semua kejahatannya terb
Vin mengusap dagunya pelan, sebuah pesan masuk ke nomor ponsel pribadinya. Nomor yang sudah di-secure, diamankan oleh sistem The Eye. Hingga tak sembarangan orang bisa menghubunginya. Satu pesan dari Xuan yang sebenarnya membuat Vin was-was.“Aku sedang berada di negeri ini. Berita buruknya, aku baru saja ditangkap oleh Ilario, tapi aku bisa meloloskan diri. Jangan mencariku untuk sementara ini, karena aku ingin mencari Emma. Aku tahu di mana Ilario menyekapnya. Hubungi Orion, bilang padanya kalau aku liburan di tempatmu. Terima kasih. Xuan”Sejujurnya Vin sangat cemas dengan keadaan Xuan. Namun lelaki itu tahu benar resikonya, jika dia memaksakan diri mencari Xuan. Yang ada Ilario akan curiga padanya, dan itu bisa membahayakan Xuan dan Emma.Emma disekap oleh Ilario? Vin tidak bisa membayangkan hal itu. Apa yang akan Ilario lakukan pada Emma? Ketakutan seketika menyergap hati Vin. Bagaimana jika Ilario melakukan hal buruk pada Emma? Otak Vin langsung panik. Jangan sampai Maria tah
Maria berada di kamar mandi, wanita itu baru saja membersihkan wajahnya. Sebuah ritual yang rasa-rasanya baru kali ini dia lakukan. Apakah pemilik jiwanya dulu tidak melakukan hal serupa. Maria menggelengkan kepala. Sepertinya dia memang jarang merawat diri dengan skin care, terbukti dia harus membaca dan mempelajari semua alat make up yang ada di meja rias Maria.Setelah selesai membersihkan wajah, begitu juga dengan acara pemakaian krim malam, Maria tertegun di depan lemari besar miliknya. Pikirannya kembali berkutat di seputar obrolan Imelda dan Helga. Bagaimana jika Helga benar-benar bergerak seperti perintah Imelda? Menggoda Vin, lalu menjerat suami Maria. Tidak! Dia tidak boleh membiarkan Helga merebut suami Maria.Lalu apa yang akan dia lakukan untuk mencegahnya? Apa giliran dia yang harus menyerahkan diri pada Vin? Maria seketika menoyor kepalanya sendiri. Menyerahkan diri bagaimana? Kan Maria memang istri Vin, jadi sah-sah saja jika mereka bercinta. “Tapi aku bukan Maria!”
Twinkle twinkle little starHow I wonder what you areUp above the world so highLike a diamond in the skyJiwa itu melayang, di antara ruang hampa tanpa batas. Tak ada apapun di sana, hanya kegelapan total yang melingkupi. Bunyi nyanyian sayup-sayup terdengar, membuat si jiwa membuka mata yang sejak awal terpejam. Tubuhnya ringan, seolah tak memiliki bobot sama sekali. Padahal dia merasa sebaliknya, susah sekali menggerakkan badan, baginya dirinya terasa berat.Suara tersebut membuat si jiwa ingin mencari sumber nyanyian. Hatinya merasa antusias, seolah nada tadi adalah favoritnya, kesukaannya. Bahkan ada suara berisik anak kecil yang terdengar mendayu di telinga, memanggil si jiwa untuk datang mendekat. Dia merasa menemukan jati dirinya, ingatannya, tapi semua itu terasa tidak nyata. Hanya seperti...mimpi.“Miss Ana, miss Ana....” si jiwa mengerutkan dahi, merasakan panggilan itu ditujukan untuknya.Maria membuka mata tiba-tiba. Jantungnya berdebar kencang. Sejak pulang dari
“Ibu mengaku salah untuk urusan Helga di masa lalu. Ibu buta, sungguh tidak bisa membedakan baik dan buruk saat itu. Tapi sekarang, Ibu akan menerima semua keputusan Vin termasuk soal pasangan hidup. Ibu akan mendukungnya. Maafkan Ibu, Ibu sungguh ingin memperbaiki kesalahan Ibu. Jadi tolong beri Ibu kesempatan.” Briana menghela nafas, penjelasan dari Imelda cukup dia mengerti. Wanita itu tentu paham konsep tiap manusia pernah melakukan kesalahan. Akan terasa tidak adil jika kesempatan untuk berubah jadi lebih baik tidak diberikan. Briana sendiri memang tak terlalu memikirkan soal Helga, sebab Vin memang tidak pernah memberikan celah sedikit pun untuk Helga masuk dalam hidupnya. Oke, semua masalah sudah clear. Imelda akan membuktikan kalau dia menerima Briana sebagai pilihan Vin serta menantunya. “Kenapa Boy?” Briana bertanya ketika melihat sang putra tengah menatap foto sang mama yang tengah memeluknya, ada Vin juga di sana. Potret keluarga bahagia nan sempurna. Cemburukah Briana?
“Wait, wait, tunggu. Amore mio ada apa?” Vin mencegat Briana yang melewatinya begitu saja setelah makan malam usai. Lelaki itu menghadang di pintu kamarnya. Sejak pulang tadi wajah Briana sudah menunjukkan ekspresi tidak sedap.Briana tahu, kalau kejengkelannya seharusnya tidak ditujukan untuk sang suami. Hanya saja dia tidak bisa menyembunyikan apa pun dari Vin, hingga ketika dia berhadapan dengan Vin, rasa itu otomatis keluar begitu saja.“Maaf, aku gak marah sama kamu,” ujar Briana terus terang.“Lalu? Coba deh bicara yang benar. Aku gak masalah kamu mau marah atau bagaimana ke aku. Yang aku minta jangan pernah menutupi apa pun dari aku. Aku ingin tahu.” Vin memegang dua bahu Briana, meyakinkan wanita itu.Ohh beginikah rasanya menikah dengan duda yang sudah expert soal pernikahan. Sikap terbuka Vin dan seluruh pengertian lelaki itu membuat Briana meleleh meski sedang marah. Act of service-nya memang lain ya duda yang satu ini.Begitulah Vin, lelaki itu bahkan tak segan mengaj
“Siapa dia?” bisik Briana bertanya pada sang adik yang memindai penampilan seorang perempuan berambut pirang di hadapannya.“Coba Kakak tebak?” Jeff justru bertanya balik pada Briana. Giliran Briana yang memberikan atensinya pada si wanita. Cantik sih, langsing, dan errr seksi.“Salah satu teman tidurmu?” Briana kembali bertanya dengan raut wajah sedikit jijik pada Jeff. Sang adik langsung merengut mendapati ekspresi wajah Briana seperti itu padanya.“Kan aku sudah bilang mau berhenti dan mau berteman sama sabun saja.” Meringis, Jeff mendapat balasan kontan dari bibirnya yang lemes. Cubitan Briana mendarat di pinggang Jeff.Sementara wanita yang berdiri di depan kakak beradik itu mengepalkan tangan karena geram, merasa diabaikan oleh Jeff dan Briana. “Sialan! Aku dikacangin!” maki sang wanita dalam hati.“Jadi benar dia pacar barumu?” tanya si perempuan.“Emm, gimana ya? Emang kamu pantas jadi pacarku Kak?” Briana mendelik sama dengan si tamu tak diundang. Kak? Jeff memanggil wa
Vin berusaha menetralkan hatinya, menenangkan degup jantungnya. Kala Imelda melangkah masuk ke ruang kerjanya. Menuruti kata hati. Vin akhirnya meluangkan waktu untuk bicara pada sang ibu. Hari ini setelah dia pulang dari kantor.Meninggalkan Briana dan Enzo di ruang keluarga, bercanda bersama Emma yang kebetulan mampir setelah cek up kandungan seusai melalui perjalanan panjang Jakarta-Milan.Sementara Ilario tengah berkoordinasi dengan Miguel dan Chen di ruang meeting mini di lantai dua. “Jadi apa yang ingin kamu bicarakan dengan Ibu?” Imelda membuka percakapan. Dua hari ini interaksinya dengan Briana cukup baik. Dua orang itu sama-sama menyesuaikan diri satu sama lain. Tak menampik kemungkinan mereka akan hidup berdampingan untuk waktu yang lama, karena itu adaptasi diperlukan.“Ini soal sikap Ibu pada Briana. Apa Ibu sungguh-sungguh dengan semua ini? Maksudku, Ibu berubah. Apa ini hanya pura-pura atau bagaimana?” ujar Vin terus terang.Imelda menatap sang putra, sedikit gusar
“Jadi bisa kita bicara sekarang?” Briana menatap Vin yang mulai memejamkan. Keduanya masih tanpa busana setelah melalui sesi panas perdana mereka di Milan. Di kamar yang seketika membuat Briana serasa dejavu.Dejavu rasa bukan penglihatan. Dia sungguh pernah merasa di sini, di tempat ini. Meski semua perabot dan interior berganti baru. Sampai dengan cat dinding pun Vin memerintahkan untuk dicat ulang.Vibes-nya terasa sekali. Dia dan Vin pernah bercinta di kamar ini sebelumnya. Mungkin benar apa yang Vin katakan, jika dirinya berada di raga Maria selama hampir dua bulan.“Bicara apa?” Netranya terpejam, tapi tangannya merayap ke mana-mana. “Vin,” Briana mencubit dada bidang telanjang sang suami karena tangannya terus saja nakal bergerak ke sana sini. Vin mengaduh lebay, lantas menyudahi aksinya menggoda sang istri. Memeluk posesif pinggang ramping Briana. Membawanya merapat ke tubuhnya.“Jangan nempel-nempel.” Briana menerapkan jaga jarak yang sepertinya tak ada gunanya jika V
Briana menatap rumah dengan tangga marmer putih membentang di hadapannya. Menuntunnya menuju sepasang pintu kembar yang megah, sudah terbuka untuk dirinya. Vin tak membayangkan apapun, tapi dirinya cukup terkejut melihat kehadiran Imelda di depan pintu, menyambut mereka.Satu persatu tangga dinaiki, hingga mereka tiba di gerbang rumah Vin. Dengan seorang wanita menatap hangat pada keduanya. Dalam rentang waktu selama ditinggal Vin dan Enzo, Imelda mulai menyadari akan sikapnya yang keliru selama ini.Hingga ketika waktunya tiba, Imelda bertekad untuk mengubah perilaku. Menjadi ibu dan nenek yang baik untuk anak dan cucunya. “Benvenuto a Milano, genero mio,” ucap Imelda. (Selamat datang di Milan, menantuku.)Vin cukup terkejut mendengar ucapan sang ibu, mengingat di masa lalu, sang ibu begitu memusuhi Maria. “Ini ibuku, Imelda Arturo.” Vin terpaksa mengenalkan Imelda. Toh dia tidak bisa memungkiri kalau Imelda memang wanita yang sudah melahirkannya. Briana menampilkan raut wajah b
“Hai, Vi. Namamu Via kan?” Via mengerutkan dahi ketika melihat seorang anak lelaki berjalan mendekatinya. Mereka ada di taman belakang sekolah Via. Via sendiri tengah bermain di sana sembari menunggu sang ayah menjemput. “Kakak yang hari itu ada di pernikahan Miss Ana kan?” Via menjawab sambil memicingkan mata. Si anak lelaki mengangguk, mengulurkan tangan lalu menyebutkan namanya, “Maher.”“Kak Maher ngapain di sini? Gak sekolah?” Via memicing melihat pakaian rapi Maher.“Aku ambil libur. Mau anter Enzo ke bandara.” Gerakan Via seketika berhenti. Bandara? Enzo pulang hari ini? Gadis kecil itu seketika menunduk, matanya berkaca-kaca.“Mau ikut? Nanti aku bisa bilang pada Kakek Martin untuk bawa kamu. Kita masih nungguin Kak Jeff yang lagi bujukin Kak Ai,” ajak Maher. Entah kenapa dia begitu lancang mengatakan hal itu.Enzo sudah mewanti-wanti Maher untuk tidak bicara pada Via soal kepulangannya. Namun Maher berpikir kalau ini sangat tidak adil untuk Via. Apa salahnya cuma mengat
Briana terbangun dengan tubuh sakit. Rasanya pegal di semua bagian. “Astaga, duda gila,” gumam Briana. Dia meringis ketika mengubah posisi tidurnya. Pokoknya dia mau tidur seharian ini, bodo amat sama urusan lain.“Sudah bangun?” Vin bertanya dari arah pintu. Baru masuk sambil membawa nampan berisi makanan. Beuhh, aura duda baru buka puasa memang lain. Vin tampak segar dengan wajah glowing, secerah mentari pagi.Briana menaikkan selimutnya, sadar kalau dia belum berpakaian. “Sakit tidak?” Vin bertanya, sambil duduk di samping Briana.“Menurutmu?” Briana balik tanya. Senyum Vin melebar. “Sorry, agak lepas kendali,” cengir Vin tanpa dosa. Ha? Agak dia bilang. Kalau yang semalam Vin mengatakan agak lepas kendali, lalu yang betulan lepas kendali seperti apa.“Kalau semalam mode setengah lalu yang model full seperti apa?” ledek Briana.“Ya, bisa saja satu jam nonstop bisa lebih.” What? Briana melotot mendengar jawaban Vin. Semalam saja dia perlu rehat, mengambil jeda setidaknya seti
Briana baru keluar dari kamar Enzo memeriksa sang putra yang ia khawatirkan akan tidur sekasur dengan Via. Briana menghela nafasnya lega, luar biasa. Enzo tidur di sofa dengan Via tidur di kasur.“Good night, Boy.” Briana mencium kening Enzo setelah mengambil selimut tambahan, memakaikannya di tubuh sang putra. Sama dengan Via, dia juga mengucapkan selamat malam, sembari mencium pipi anak asuhnya. Cukup sedih karena dalam beberapa hari dia akan meninggalkan negeri ini. Mengikuti langkah Vin yang sudah resmi jadi suaminya.“He, masih bertengkar saja.” Briana memergoki Ilario dan Emma yang masih berdebat. Padahal hari sudah malam. Ilario dan yang lain baru saja pulang dari misi. “Dia minta ayam geprek, di mana mau cari,” keluh Ilario.“Tidak mau nyari ya sudah. Masih ada Xuan ....”“Xuan terluka jangan diganggu dulu.” Emma menoleh, ini berita baru untuknya sebab dia baru saja bangun, gegara obat bius sialan yang sang suami berikan.“Geprekkan saja ayam goreng yang tadi. Kasih sam