"Ya Tuhan, Apa yang harus aku lakukan? Tolong, beri aku petunjukmu." batin Dania. Melihat sang istri yang hanya diam, Juan pun kembali bicara. Dia harus benar-benar bisa mengubah keputusan Dania. "Kalau memang aku melakukannya, aku tidak mungkin berani menikahi kamu dan meninggalkan Seila begitu saja. Kamu tahu aku, Dania. Kamu sangat mengenalku. Jadi, sangat disayangkan persahabatan kita selama ini kalau dalam masalah ini saja kamu meragukanku." Dania termenung setelah mendangar ucapan Juan yang membela dirinya sendiri dan bersikeras bahwa dia bukan orang yang mengh4mili Seila. Inilah yang Dania takutkan, mengapa dia tidak mau menemui Juan karena sudah pasti hatinya akan goyah. Seperti sekarang, Dania amat bimbang. Dia tidak tahu sikap seperti apa yang mesti dia ambil setelah perdebatan ini. Maju salah, mundur pun salah. Dania merasa serba salah. Kalau anak itu adalah anak Juan, tak terbayang betapa besarnya dosa Dania karena telah egois mempertahankan hak orang lain untuk d
"Mari bertemu, ada hal urgent dan tawaran pekerjaan untukmu!" ucap Juan kepada seorang perempuan di seberang sana. "Wow, tumben, seorang Juan sang Casanova mau bertemu dengan wanita malam sepertiku," ucap Sinta, salah satu primadona di kelab malam yang biasa Juan datangi. "Gue ada job. Datang ke alamat yang gue kirim," titah Juan. Keduanya bertemu di sebuah kafe dan tanpa basa-basi Juan menceritakan semua masalah yang kini terjadi dalam rumah tangganya. Meskipun terkesan gokil dan berlebihan, tapi Juan tetap memberitahukan rencananya dan dia meminta Sinta--wanita di hadapannya untuk menyamar menjadi orang gila. "Aku? Bagaimana caranya?!" tanya Sinta. Dia tidak tahu bagaimana caranya berpura-pura menjadi orang gila. Karena biasanya, dia hanya menemani dan malayani lelaki hidung belang. "Mudah saja. Kamu punya dua pilihan untuk dianggap gila, satu kamu harus berteriak-teriak tidak jelas, dan kedua kamu hanya harus diam dengan tatapan mata yang kosong. Kalau kamu melakukan di
Meskipun kesal, tapi Juan dan Devano mencoba mengendalikan emosi dengan cara mengajak dokter muda bernama Handi itu untuk berbicara di tempat lain, tepatnya di sebuah kafe yang tak jauh dari tempat mereka bertemu tadi. Juan tidak mau banyak bicara, dia meminta Devano untuk menanyakan semua hal kepada dokter tersebut mengenai Seila yang kini sedang mengandung anak dan entah anak siapa. Dan mereka mencurigai kalau dokter inilah yang telah menghamili Seila. "Adikku hamil, kami tidak tahu siapa pelakunya sampai penyelidikan kami sampai pada kamu. Karena kamu datang setiap hari pada Seila, memberinya makanan lezat dan bergizi seolah-olah tahu kalau dia sedang mengandung. Dan ini." Devano menunjukkan foto di mana dokter sedang memberikan alat lukis kepada Seila. "Tahu dari mana kamu adikku suka melukis?" Handi termenung, dia sama sekali tidak tahu kalau Seila sedang hamil di tengah kondisi mentalnya yang sedang terganggu. Ingatannya seketika mundur ke beberapa bulan yang lalu di mana
"Bajing*n! Gue hajar Loe! Bugh bugh bugh Devano pun memukul Handi dengan brutal. Dia marah dan kesal karena ulah lelaki ini, adiknya harus menderita. "Ampun Dok! Ampuni saya! Saya sudah berniat akan bertanggung jawab pada Seila. Hanya saja, Seila hanya akan menjadi istri kedua saya. Karena saya, tidak bisa menceraikan Maya," pinta Handi sambil menutupi wajahnya dari pukulan Devano. "Kenapa kamu nggak bisa ceraikan istrimu?" cecar Devano. Handi menundukkan kepalanya. "Mayalah yang dulu menyekolahkan saya hingga bisa menjadi dokter seperti sekarang ini," akunya. Devano menghela nafas panjang. Dia sendiri bingung menghadapi masalah adiknya ini. Dia jadi ingin tahu, apa yang Handi suka dari adiknya? "Ndi, kenapa Loe bisa suka ama adik gue? Bukankah istri Loe jauh lebih cantik dari adik gue?" Dokter mengingat bagaimana perhatiannya Seila kepada Lisa dan juga dirinya dalam keadaan istrinya yang abai terhadap kewajibannya karena terlalu sibuk bekerja. Dokter merasa mendapatka
Juan, Devano, dan Handi masih berada di kafe itu. Mereka salimg terdiam beberapa saat, hanyut dalam pikiran mereka masing-masing. Namun, yang membuat Devano tak mengerti adalah mengapa Handi tidak membawa Seila pergi dari rumah sakit jiwa kalau memang sekarang dia sudah tahu bahwa Seila hamil anaknya. Apakah separah itu penyakit istri Handi hingga lelaki itu begitu takut pada sang istri. Pertanyaan mengenai hal tersebut langsung Devano lontarkan, sementara Handi terlihat mendesah, nafasnya terdengar lelah. Pikirannya beralih kepada sang istri yang juga memiliki kelainan mental, hanya saja masih bisa diatasi asalkan ketenangannya tidak terganggu sama sekali. "Jawab Handi, jangan diam saja! Apa ini hanya alasanmu saja supaya kamu tidak bertanggungjawab pada adikku?" geram Devano kesal. "Kan aku sudah bilang tadi, kalau dia mengidap bipolar. Tapi, bipolar yang diidapnya membuat Maya tidak bisa mengontrol rasa cinta itu. Kadang, aku tidak mengerti akan jalan pikiran dan cintanya yan
"Benarkah dia pelakunya? Bukankah dia sudah memiliki istri?" tanya Dania penasaran. "Memangnya kenapa kalau dia memiliki istri? Jangankan selingkuh, menikah lagi juga ada. Devano misalnya. Kalau iman sudah tidak bisa dijaga, ya begitulah. Keharmonisan rumah tangga pun bisa dipertaruhkan." Juan merenggangkan pelukannya, menatap Dania yang mengulum bibirnya. Dania merasa bersalah karena sempat salah sangka pada Juan bahkan sampai lari dari rumah tanpa mau mendengarkan penjelasan dari suaminya. "Maafkan aku, Juan, aku sudah menunjukkan sikap tak percayaku padamu. Aku benar-benar bimbang dan kecewa saat itu. Trauma akan pernikahanku terdahulu, aku jadi parno begini," ucap Dania. Juan mengangguk, mengelus rambut istrinya yang hitam dan menawan. "Iya, aku maafkan kamu, aku paham kok. Yang penting kedepannya, jangan lagi bersikap seperti itu, ya. Kalau ada apa-apa, kita selesaikan semuanya dengan kepala dingin. Bicara baik-baik. Jangan main kabur saja." Dania terkekeh pelan, dia sa
Semakin hari, Dania menjadi sangat posesif terhadap Juan. Rasa takutnya kehilangan suami lagi--seperti yang dialaminya di masa lalu, membuatnya sering kali mengawasi dan mencurigai setiap gerak-gerik Juan ke mana pun suaminya itu pergi.Dia kerap menghubungi Juan untuk memastikan keberadaannya, menanyakan detail-detail kecil, dan merasa cemas jika Juan tidak segera membalas pesannya. Posesifitas ini bukan karena dia tidak percaya pada Juan, tetapi lebih karena luka lama yang belum sepenuhnya sembuh."Sayang, kamu di mana?" tulis Dania dalam pesan singkat.Juan hanya bisa geleng-geleng kepala karena seharusnya Dania tahu kalau jam segini dia sedang berada di kantor dan sedang istirahat. Juan merasa enggan membalasnya, bukan karena ingin mengabaikan Dania, tapi karena pertanyaan seperti itu sudah lebih dari 5 kali Dania lontarkan hari ini."Aku sedang istirahat, makan siang bersama teman-teman."Akhirnya, Juan membalas pesan itu karena kasihan juga kalau istrinya itu menunggu. Namun, Ju
Seumur-umur, baru kali ini Juan membentaknya. Dania yang terkejut dengan bentakan suaminya hanya bisa terdiam dengan mata yang berembun. Dia tak menyangka kalau Juan bisa setega itu padanya, berbicara dengan suara keras diakhiri dengan kata-kata yang merujuk pada perpisahan. Namun, Dania salah mengartikan bentakan Juan. Apalagi, dalam agamanya, menyuruh pulang ke rumah orang tua itu sama artinya dengan mentalak secara tidak langsung. Dengan hati yang berantakan, Dania pun mulai mengemasi semua barangnya lalu dia menuruti perintah suaminya yang menyuruh Dania pulang ke rumah orang tuanya. Juan sendiri pergi dengan hati yang penuh emosi, dia tak menyesal membentak Dania dan justru berharap kalau istrinya itu mau introspeksi diri atas sikapnya selama ini. Juan berharap saat dia pulang nanti, Dania sudah sadar dan mereka bisa menjalani rumah tangga yang ideal tanpa adanya kecurigaan yang berlebihan. Seminggu sudah Juan pergi ke pulau K. Lelaki itu sama sekali tak menghubungi istri