"Bajing*n! Gue hajar Loe! Bugh bugh bugh Devano pun memukul Handi dengan brutal. Dia marah dan kesal karena ulah lelaki ini, adiknya harus menderita. "Ampun Dok! Ampuni saya! Saya sudah berniat akan bertanggung jawab pada Seila. Hanya saja, Seila hanya akan menjadi istri kedua saya. Karena saya, tidak bisa menceraikan Maya," pinta Handi sambil menutupi wajahnya dari pukulan Devano. "Kenapa kamu nggak bisa ceraikan istrimu?" cecar Devano. Handi menundukkan kepalanya. "Mayalah yang dulu menyekolahkan saya hingga bisa menjadi dokter seperti sekarang ini," akunya. Devano menghela nafas panjang. Dia sendiri bingung menghadapi masalah adiknya ini. Dia jadi ingin tahu, apa yang Handi suka dari adiknya? "Ndi, kenapa Loe bisa suka ama adik gue? Bukankah istri Loe jauh lebih cantik dari adik gue?" Dokter mengingat bagaimana perhatiannya Seila kepada Lisa dan juga dirinya dalam keadaan istrinya yang abai terhadap kewajibannya karena terlalu sibuk bekerja. Dokter merasa mendapatka
Juan, Devano, dan Handi masih berada di kafe itu. Mereka salimg terdiam beberapa saat, hanyut dalam pikiran mereka masing-masing. Namun, yang membuat Devano tak mengerti adalah mengapa Handi tidak membawa Seila pergi dari rumah sakit jiwa kalau memang sekarang dia sudah tahu bahwa Seila hamil anaknya. Apakah separah itu penyakit istri Handi hingga lelaki itu begitu takut pada sang istri. Pertanyaan mengenai hal tersebut langsung Devano lontarkan, sementara Handi terlihat mendesah, nafasnya terdengar lelah. Pikirannya beralih kepada sang istri yang juga memiliki kelainan mental, hanya saja masih bisa diatasi asalkan ketenangannya tidak terganggu sama sekali. "Jawab Handi, jangan diam saja! Apa ini hanya alasanmu saja supaya kamu tidak bertanggungjawab pada adikku?" geram Devano kesal. "Kan aku sudah bilang tadi, kalau dia mengidap bipolar. Tapi, bipolar yang diidapnya membuat Maya tidak bisa mengontrol rasa cinta itu. Kadang, aku tidak mengerti akan jalan pikiran dan cintanya yan
"Benarkah dia pelakunya? Bukankah dia sudah memiliki istri?" tanya Dania penasaran. "Memangnya kenapa kalau dia memiliki istri? Jangankan selingkuh, menikah lagi juga ada. Devano misalnya. Kalau iman sudah tidak bisa dijaga, ya begitulah. Keharmonisan rumah tangga pun bisa dipertaruhkan." Juan merenggangkan pelukannya, menatap Dania yang mengulum bibirnya. Dania merasa bersalah karena sempat salah sangka pada Juan bahkan sampai lari dari rumah tanpa mau mendengarkan penjelasan dari suaminya. "Maafkan aku, Juan, aku sudah menunjukkan sikap tak percayaku padamu. Aku benar-benar bimbang dan kecewa saat itu. Trauma akan pernikahanku terdahulu, aku jadi parno begini," ucap Dania. Juan mengangguk, mengelus rambut istrinya yang hitam dan menawan. "Iya, aku maafkan kamu, aku paham kok. Yang penting kedepannya, jangan lagi bersikap seperti itu, ya. Kalau ada apa-apa, kita selesaikan semuanya dengan kepala dingin. Bicara baik-baik. Jangan main kabur saja." Dania terkekeh pelan, dia sa
Semakin hari, Dania menjadi sangat posesif terhadap Juan. Rasa takutnya kehilangan suami lagi--seperti yang dialaminya di masa lalu, membuatnya sering kali mengawasi dan mencurigai setiap gerak-gerik Juan ke mana pun suaminya itu pergi.Dia kerap menghubungi Juan untuk memastikan keberadaannya, menanyakan detail-detail kecil, dan merasa cemas jika Juan tidak segera membalas pesannya. Posesifitas ini bukan karena dia tidak percaya pada Juan, tetapi lebih karena luka lama yang belum sepenuhnya sembuh."Sayang, kamu di mana?" tulis Dania dalam pesan singkat.Juan hanya bisa geleng-geleng kepala karena seharusnya Dania tahu kalau jam segini dia sedang berada di kantor dan sedang istirahat. Juan merasa enggan membalasnya, bukan karena ingin mengabaikan Dania, tapi karena pertanyaan seperti itu sudah lebih dari 5 kali Dania lontarkan hari ini."Aku sedang istirahat, makan siang bersama teman-teman."Akhirnya, Juan membalas pesan itu karena kasihan juga kalau istrinya itu menunggu. Namun, Ju
Seumur-umur, baru kali ini Juan membentaknya. Dania yang terkejut dengan bentakan suaminya hanya bisa terdiam dengan mata yang berembun. Dia tak menyangka kalau Juan bisa setega itu padanya, berbicara dengan suara keras diakhiri dengan kata-kata yang merujuk pada perpisahan. Namun, Dania salah mengartikan bentakan Juan. Apalagi, dalam agamanya, menyuruh pulang ke rumah orang tua itu sama artinya dengan mentalak secara tidak langsung. Dengan hati yang berantakan, Dania pun mulai mengemasi semua barangnya lalu dia menuruti perintah suaminya yang menyuruh Dania pulang ke rumah orang tuanya. Juan sendiri pergi dengan hati yang penuh emosi, dia tak menyesal membentak Dania dan justru berharap kalau istrinya itu mau introspeksi diri atas sikapnya selama ini. Juan berharap saat dia pulang nanti, Dania sudah sadar dan mereka bisa menjalani rumah tangga yang ideal tanpa adanya kecurigaan yang berlebihan. Seminggu sudah Juan pergi ke pulau K. Lelaki itu sama sekali tak menghubungi istri
Flashback Dua Minggu sebelum kedatangan Juan Brugghh "Ishh." Wanita hamil itu terus meringis sambil memegangi perut buncitnya. "Ya Tuhan, sakit sekali." Dania mencoba bangun. Namun, tak sanggup karena sepertinya kalinya terkilir. "Papa! Mama! Bibi!" Sekuat tenaga Dania berteriak, tapi tak ada yang mendengar karena kamar Dania yang berada di belakang dekat kolam renang. Dania menangis pilu. Harusnya disaat seperti ini, dia hanya tinggal memanggil suaminya saja. Namun, nyatanya, Dania hanya sendiri. Dania kembali memanggil kedua orang tuanya dan juga ART di rumahnya. Namun masih sama, mereka tidak mendengar teriakannya. Dania pun mencoba menggeser tubuhnya dengan mengesot sambil bertumpu pada kedua tangannya. "Ya Tuhan, aku sudah seperti suster ngesot saja," gumamnya.Meski dengan susah payah, akhirnya Dania sampai ke ranjang lalu mengambil gawainya. Sungguh, di saat seperti ini, Dania butuh Juan. Wanita itu pun mencoba menghubungi sang suami.Panggilan yang semula berderi
"Apa?!" Penjelasan itu membuat kepala Juan serasa berputar lebih cepat. Melahirkan? Bayi kalian? Apa maksud dari semua ini? Tubuh Juan tiba-tiba limbung sehingga lelaki itu memilih duduk di kursi demi menyeimbangkan tubuhnya yang hampir terjatuh. "Melahirkan bagaimana, Pa? Usia kandungan Dania kan baru 7 bulan." Juan menatap nanar. Melihat keterkejutan Juan, Sean duduk di samping Juan dan mulai menjelaskan apa yang telah terjadi pada Dania selama lelaki itu pergi ke luar pulau dan tidak mengaktifkan ponselnya. Sean menceritakan semua kejadian yang menimpa putrinya mulai dari depresi hingga dia harus memanggil psikiater untuk membuat Dania tetap waras. "Dania datang ke rumah ini dengan penampilan yang berantakan membuat kami terkejut dan bertanya-tanya, apa yang terjadi padanya apalagi dia hanya datang sendirian. Tiga hari Dania bungkam membuat kami cemas akan keadaannya dan akhirnya kami memutuskan untuk memanggil psikiater ke rumah ini demi membuat Dania berbicara." Deta
Sean yang sudah tidak mau ikut campur lagi dengan urusan rumah tangga putrinya memilih untuk diam meskipun tahu di mana Dania berada. Sean merasa iba kepada Juan, tapi dia juga tidak bisa membantu. Dania sudah mewanti-wanti dirinya. Entah seperti apa pertengkaran mereka hingga membuat putrinya begitu marah pada Juan. Padahal, dulu, Dania adalah wanita pemaaf. Mungkin, sakit hati akibat pengkhianatan membuat putrinya tidak lagi percaya dengan lelaki. "Kasihan Juan ya Pa! Mama bisa bayangkan bagaimana perasaannya. Apa kita bantu saja ya mereka biar bisa rujuk?" usul Mama Dania. "Aku juga tidak tega melihat wajahnya yang kusut seperti tidak terurus itu. Mungkin, apa yang dikatakan oleh Juan benar. Bisa jadi, putri kita yang salah," sahut Sean. "Tapi, kalau kita ikut campur urusan mereka, Mama takut Dania marah sama kita dan malah pergi jauh, hingga kita tidak bisa menemui mereka lagi," timpang Mama Dania. "Betul juga, ya sudah, kita lihat saja ke depannya bagaimana," putus Sean