Meskipun kesal, tapi Juan dan Devano mencoba mengendalikan emosi dengan cara mengajak dokter muda bernama Handi itu untuk berbicara di tempat lain, tepatnya di sebuah kafe yang tak jauh dari tempat mereka bertemu tadi. Juan tidak mau banyak bicara, dia meminta Devano untuk menanyakan semua hal kepada dokter tersebut mengenai Seila yang kini sedang mengandung anak dan entah anak siapa. Dan mereka mencurigai kalau dokter inilah yang telah menghamili Seila. "Adikku hamil, kami tidak tahu siapa pelakunya sampai penyelidikan kami sampai pada kamu. Karena kamu datang setiap hari pada Seila, memberinya makanan lezat dan bergizi seolah-olah tahu kalau dia sedang mengandung. Dan ini." Devano menunjukkan foto di mana dokter sedang memberikan alat lukis kepada Seila. "Tahu dari mana kamu adikku suka melukis?" Handi termenung, dia sama sekali tidak tahu kalau Seila sedang hamil di tengah kondisi mentalnya yang sedang terganggu. Ingatannya seketika mundur ke beberapa bulan yang lalu di mana
"Bajing*n! Gue hajar Loe! Bugh bugh bugh Devano pun memukul Handi dengan brutal. Dia marah dan kesal karena ulah lelaki ini, adiknya harus menderita. "Ampun Dok! Ampuni saya! Saya sudah berniat akan bertanggung jawab pada Seila. Hanya saja, Seila hanya akan menjadi istri kedua saya. Karena saya, tidak bisa menceraikan Maya," pinta Handi sambil menutupi wajahnya dari pukulan Devano. "Kenapa kamu nggak bisa ceraikan istrimu?" cecar Devano. Handi menundukkan kepalanya. "Mayalah yang dulu menyekolahkan saya hingga bisa menjadi dokter seperti sekarang ini," akunya. Devano menghela nafas panjang. Dia sendiri bingung menghadapi masalah adiknya ini. Dia jadi ingin tahu, apa yang Handi suka dari adiknya? "Ndi, kenapa Loe bisa suka ama adik gue? Bukankah istri Loe jauh lebih cantik dari adik gue?" Dokter mengingat bagaimana perhatiannya Seila kepada Lisa dan juga dirinya dalam keadaan istrinya yang abai terhadap kewajibannya karena terlalu sibuk bekerja. Dokter merasa mendapatka
Juan, Devano, dan Handi masih berada di kafe itu. Mereka salimg terdiam beberapa saat, hanyut dalam pikiran mereka masing-masing. Namun, yang membuat Devano tak mengerti adalah mengapa Handi tidak membawa Seila pergi dari rumah sakit jiwa kalau memang sekarang dia sudah tahu bahwa Seila hamil anaknya. Apakah separah itu penyakit istri Handi hingga lelaki itu begitu takut pada sang istri. Pertanyaan mengenai hal tersebut langsung Devano lontarkan, sementara Handi terlihat mendesah, nafasnya terdengar lelah. Pikirannya beralih kepada sang istri yang juga memiliki kelainan mental, hanya saja masih bisa diatasi asalkan ketenangannya tidak terganggu sama sekali. "Jawab Handi, jangan diam saja! Apa ini hanya alasanmu saja supaya kamu tidak bertanggungjawab pada adikku?" geram Devano kesal. "Kan aku sudah bilang tadi, kalau dia mengidap bipolar. Tapi, bipolar yang diidapnya membuat Maya tidak bisa mengontrol rasa cinta itu. Kadang, aku tidak mengerti akan jalan pikiran dan cintanya yan
"Benarkah dia pelakunya? Bukankah dia sudah memiliki istri?" tanya Dania penasaran. "Memangnya kenapa kalau dia memiliki istri? Jangankan selingkuh, menikah lagi juga ada. Devano misalnya. Kalau iman sudah tidak bisa dijaga, ya begitulah. Keharmonisan rumah tangga pun bisa dipertaruhkan." Juan merenggangkan pelukannya, menatap Dania yang mengulum bibirnya. Dania merasa bersalah karena sempat salah sangka pada Juan bahkan sampai lari dari rumah tanpa mau mendengarkan penjelasan dari suaminya. "Maafkan aku, Juan, aku sudah menunjukkan sikap tak percayaku padamu. Aku benar-benar bimbang dan kecewa saat itu. Trauma akan pernikahanku terdahulu, aku jadi parno begini," ucap Dania. Juan mengangguk, mengelus rambut istrinya yang hitam dan menawan. "Iya, aku maafkan kamu, aku paham kok. Yang penting kedepannya, jangan lagi bersikap seperti itu, ya. Kalau ada apa-apa, kita selesaikan semuanya dengan kepala dingin. Bicara baik-baik. Jangan main kabur saja." Dania terkekeh pelan, dia sa
Semakin hari, Dania menjadi sangat posesif terhadap Juan. Rasa takutnya kehilangan suami lagi--seperti yang dialaminya di masa lalu, membuatnya sering kali mengawasi dan mencurigai setiap gerak-gerik Juan ke mana pun suaminya itu pergi.Dia kerap menghubungi Juan untuk memastikan keberadaannya, menanyakan detail-detail kecil, dan merasa cemas jika Juan tidak segera membalas pesannya. Posesifitas ini bukan karena dia tidak percaya pada Juan, tetapi lebih karena luka lama yang belum sepenuhnya sembuh."Sayang, kamu di mana?" tulis Dania dalam pesan singkat.Juan hanya bisa geleng-geleng kepala karena seharusnya Dania tahu kalau jam segini dia sedang berada di kantor dan sedang istirahat. Juan merasa enggan membalasnya, bukan karena ingin mengabaikan Dania, tapi karena pertanyaan seperti itu sudah lebih dari 5 kali Dania lontarkan hari ini."Aku sedang istirahat, makan siang bersama teman-teman."Akhirnya, Juan membalas pesan itu karena kasihan juga kalau istrinya itu menunggu. Namun, Ju
Seumur-umur, baru kali ini Juan membentaknya. Dania yang terkejut dengan bentakan suaminya hanya bisa terdiam dengan mata yang berembun. Dia tak menyangka kalau Juan bisa setega itu padanya, berbicara dengan suara keras diakhiri dengan kata-kata yang merujuk pada perpisahan. Namun, Dania salah mengartikan bentakan Juan. Apalagi, dalam agamanya, menyuruh pulang ke rumah orang tua itu sama artinya dengan mentalak secara tidak langsung. Dengan hati yang berantakan, Dania pun mulai mengemasi semua barangnya lalu dia menuruti perintah suaminya yang menyuruh Dania pulang ke rumah orang tuanya. Juan sendiri pergi dengan hati yang penuh emosi, dia tak menyesal membentak Dania dan justru berharap kalau istrinya itu mau introspeksi diri atas sikapnya selama ini. Juan berharap saat dia pulang nanti, Dania sudah sadar dan mereka bisa menjalani rumah tangga yang ideal tanpa adanya kecurigaan yang berlebihan. Seminggu sudah Juan pergi ke pulau K. Lelaki itu sama sekali tak menghubungi istri
Flashback Dua Minggu sebelum kedatangan Juan Brugghh "Ishh." Wanita hamil itu terus meringis sambil memegangi perut buncitnya. "Ya Tuhan, sakit sekali." Dania mencoba bangun. Namun, tak sanggup karena sepertinya kalinya terkilir. "Papa! Mama! Bibi!" Sekuat tenaga Dania berteriak, tapi tak ada yang mendengar karena kamar Dania yang berada di belakang dekat kolam renang. Dania menangis pilu. Harusnya disaat seperti ini, dia hanya tinggal memanggil suaminya saja. Namun, nyatanya, Dania hanya sendiri. Dania kembali memanggil kedua orang tuanya dan juga ART di rumahnya. Namun masih sama, mereka tidak mendengar teriakannya. Dania pun mencoba menggeser tubuhnya dengan mengesot sambil bertumpu pada kedua tangannya. "Ya Tuhan, aku sudah seperti suster ngesot saja," gumamnya.Meski dengan susah payah, akhirnya Dania sampai ke ranjang lalu mengambil gawainya. Sungguh, di saat seperti ini, Dania butuh Juan. Wanita itu pun mencoba menghubungi sang suami.Panggilan yang semula berderi
"Apa?!" Penjelasan itu membuat kepala Juan serasa berputar lebih cepat. Melahirkan? Bayi kalian? Apa maksud dari semua ini? Tubuh Juan tiba-tiba limbung sehingga lelaki itu memilih duduk di kursi demi menyeimbangkan tubuhnya yang hampir terjatuh. "Melahirkan bagaimana, Pa? Usia kandungan Dania kan baru 7 bulan." Juan menatap nanar. Melihat keterkejutan Juan, Sean duduk di samping Juan dan mulai menjelaskan apa yang telah terjadi pada Dania selama lelaki itu pergi ke luar pulau dan tidak mengaktifkan ponselnya. Sean menceritakan semua kejadian yang menimpa putrinya mulai dari depresi hingga dia harus memanggil psikiater untuk membuat Dania tetap waras. "Dania datang ke rumah ini dengan penampilan yang berantakan membuat kami terkejut dan bertanya-tanya, apa yang terjadi padanya apalagi dia hanya datang sendirian. Tiga hari Dania bungkam membuat kami cemas akan keadaannya dan akhirnya kami memutuskan untuk memanggil psikiater ke rumah ini demi membuat Dania berbicara." Deta
"Tidak, Juan tidak mungkin meninggalkanku Pa! Juan berjanji akan merawat Keano bersama-sama. Juan juga janji akan kembali setelah semua urusannya selesai," racau Dania sambil menangis di pelukan sang ayah. "Tenang sayang, kita tunggu informasi selanjutnya. Coba sekarang kamu hubungi Juan, mungkin teleponnya sudah aktif," nasehat Papa Sean yang tak ingin putrinya terus menerus terpuruk. Dengan tangan gemetar, Dania pun mengambil gawainya. Wanita itu pun mencari nomor sang suami kemudian menghubunginya. Namun, tangisnya kembali pecah saat nomor sang suami tidak dapat dihubungi. "Bagaimana ini Pa? Nomornya tidak aktif," ucap Dania masih dengan deraian air mata. "Sabar sayang, kita tunggu saja informasi selanjutnya. Kita berdoa saja semoga, Juan selamat," bisik Sean pada putrinya. Berita itu begitu menghantam Dania seperti petir di siang bolong. Ia terkejut, tak percaya, dan berharap semua itu hanyalah mimpi buruk. Dan saat dia bangun, mimpi itu akan hilang. Setiap hari Dania
"Dokter tolong putraku!" Tak lama dokter pun datang. Perawat menyuruh mereka semua keluar supaya dokter bisa leluasa mengambil tindakan. Melihat garis lurus pada monitor jantung membuat dokter itu mengambil alat kejut jantung. Dia tempelkan alat itu di dada mungil itu. Dua kali dada itu terlonjak. Namun, garis masih saja lurus. "Tambahkan 200 Joule!" titah dokter itu. Perawat pun mengangguk dan menambah tenaganya. Hentakan terakhir tetap tak mampu membuat garis halus di monitor jantung. Dokter pun menggelengkan kepalanya. "Catat waktunya Sus!" perawat itu kemudian menutup balita itu dengan kain putih. Dokter pun keluar dengan wajah serius. Dania dan Juan langsung mendekat. "Bagaimana Putra saya Dok?" “Maaf, tapi kondisi Keano semakin memburuk. Organ-organ vitalnya mulai gagal. Kami sudah melakukan segala yang kami bisa. Namun, Tuhan berkehendak lain, Tuhan lebih sayang padanya!” Dania menangis, tubuhnya tiba-tiba limbung. Wanita itu pasti jatuh ke lantai jika Juan t
"Dania, menikahlah denganku!"Kali ini Dania diam saja. Dia bingung harus menjawab apa. Semua terasa begitu tiba-tiba bagi Dania. Meski saat ini dia nyaman bersama Juan, tapi untuk kembali bersama, Dania butuh waktu."Beri aku waktu untuk berpikir Juan! Keadaan Keano masih seperti ini, aku tidak mungkin bisa berpikir dengan jernih," pinta Dania.Juan pun mengangguk. "Aku akan setia menunggu jawabanmu Dania. Andai kamu menolakku, aku akan tetap ada untukmu dan juga Keano, karena kalian adalah yang terpenting bagiku," sahut Keano. "Terima kasih, Juan," jawab Dania. Sontak Juan menggeleng. "Aku melakukan ini semua untuk putraku, anak kita. Tak ada yang namanya balas jasa dan sebagainya, jadi jangan ucapkan terima kasih kepadaku karena ini sudah tugasku sebagai ayah," kata Juan. Tak lama, gawai Dania berdering, nama sang ayah terlihat di layar. Tanpa menjawab, Dania langsung meninggalkan Juan tanpa kata. Dania tidak mau membuang waktunya, dia takut kalau sampai terjadi kenapa-napa deng
"Anakku ...." isak Dania menatap Keano dari kaca jendela. Dia tidak bisa masuk ke sana, Keano harus dalam keadaan steril sebelum dokter melakukan tindakan. Dania hanya bisa melihat dari luar. Hanya sesekali saja Dania di dalam, itupun tidak boleh lebih dari 15 menit. Keadaan Keano semakin hari semakin membanjir setelah 7 hari dirawat. Hingga akhirnya, dokter memutuskan untuk melakukan operasi pada Keano. "Kami akan melakukan operasi pada anak Keano, berdo'alah semoga Keano mampu melewati masa-masa ini dengan baik. Semoga dia diberi kekuatan untuk bertahan," ucap dokter sebelum memasuki ruang operasi. Dania mengangguk lemah. Di sampingnya, Sean menunduk dalam, merasa iba karena anak sekecil Keano mesti menjalani operasi besar. Sean sudah tak sanggup menahan air matanya, dia menangis memeluk Dania yang juga akhirnya melakukan hal yang sama. "Aku takut Keano kenapa-kenapa, Pa ... anak sekecil itu, tapi harus menjalani operasi. Hati Dania seolah teriris saat melihat tubuh Keano
"Sudah selesai, Pak." Suster mengangguk ramah kepada Juan yang merasa tubuhnya terasa begitu lemas pasca pengambilan darah tadi. Lelaki itu hendak bangun dari ranjang itu, akan tetapi, Juan merasa oleng, kepalanya pusing sehingga tubuhnya limbung dan hampir terjatuh. "Jangan bangun dulu, Pak, kami akan menginfus Bapak dulu untuk beberapa jam kedepan karena kondisi Bapak juga tidak terlalu baik saat diperika tadi," kata suster. Juan pung mengangguk pasrah, dia memang kurang enak badan, kondisi fisik Juan menurun mengingat akhir-akhir ini dia tidak istrirahat dan makan dengan benar. Hingga dia harus diinfus supaya tubuhnya kembali pulih. "Terima kasih, Sus," ucap Juan. Sebenarnya, tidak disarankan mengambil darah dari orang yang sedang sakit atau kurang enak badan seperti Juan, karena akan ada dampak menurunnya kesehatan secara drastis kepada orang tersebut. Dokter pun telah berkonsultasi terlebih dahulu kepada Juan sebelum mengambil darahnya. Namun, karena Juan ingin menolong Kea
"Dania?" ucap Juan dengan senyuman yang menyiratkan kesedihan. "Apa? Jangan macam-macam kamu!" tegur Dania setelah menghindar dari Juan yang hendak memeluknya. "Sayang, kamu masih istriku! Aku belum pernah menjatuhkan talak padamu. Dan aku masih sangat mencintai kamu, selama satu tahun ini, aku mencarimu kemana-mana. Aku menunggu kamu pulang! Perceraian itu tidak sah, karena aku tidak pernah menandatangani surat perpisahan yang kamu buat," sahut Juan panjang lebar. Namun, Dania menggeleng, dia tidak punya waktu untuk membicarakan hal itu karena sekarang yang terpenting adalah keselamatan Keano yang jalannya berada pada ayahnya sendiri, yaitu Juan. "Aku tidak punya waktu membahas semua itu. Sekarang, ikut aku!" pinta Dania. "Tidak-tidak, aku tidak akan mau ikut denganmu sebelum kamu mendengar penjelasanku terlebih dahulu," kekeh Juan. Dania memutar bola matanya malas. Wanita itu melirik jam tangannya. Dia tahu, kalau lelaki ini tidak dituruti keinginannya, dia tidak akan mau berj
"Rumah sakit? Apa Keano sakit? Separah apa sakitnya hingga Dania menyuruhku untuk segera kesana?" Juan bertanya-tanya, dia butuh jawaban dengan segera mengenai kondisi anaknya yang entah mengalami apa. Tak ingin membuang waktu, Juan segera berlari keluar dari bandara. Urusan klien, biarlah nanti, sekarang ada yang lebih penting dari klien. Selama satu tahun penuh lebih Juan tidak bertemu dengan Dania. Dan kali ini, Dania memintanya untuk datang, meskipun itu di rumah sakit, Juan tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu dengan istri dan anaknya. Selama ini, Juan sama sekali tidak pernah memberi kontribusi apa pun kepada sang anak karena jarak yang memisahkan. Apalagi, Dania pergi meninggalkan semua uang dan ATM pemberiannya, jadi, dia tidak bisa menikahi putranya. Namun, Juan selalu menyimpan uang yang dia khususkan untuk menafkahi Dania dan Keano. Dia menyimpannya dalam rekening khusus yang akan dia berikan saat telah bertemu dengan keduanya. Dan kali ini, Juan
Dania dan Sean tengah mondar mandir di depan ruang operasi. Sementara Mama Dania hanya duduk di kursi tunggu karena wanita itu sudah tidak kuat berdiri. Ketiga orang itu gelisah menunggu Keano yang sudah hampir satu jam berada di ruang operasi, tapi masih belum ada tanda-tanda dokter akan keluar. "Bagaimana ini Pa? Nia takut, bagaimana kalau Keano ...." Dania tak sanggup lagi meneruskan kalimatnya. Rasa takut akan kehilangan anak kembali Dania rasakan. Dia benar-benar takut kalau Keano akan meninggalkannya, sama seperti anak pertamanya dulu. Sean mengusap punggung sang putri. "Tenang Nia, kita berdoa saja yang terbaik untuk Keano," Sean mencoba menenangkan Dania. "Bagaimana kalau yang terbaik itu adalah ... hiks, hiks, Dania tak sanggup Pa," tangis Dania di pelukan sang ayah. "Berpikirlah positif anakku! Jangan pernah berburuk sangka pada takdir Tuhan yang belum kita ketahui!" nasehat Papa Sean. Tanpa disuruh juga Dania pasti berdoa untuk kesembuhan dan keselamatan sang putra. T
"Ke mana kalian Kenapa kalian pergi meninggalkanku?" monolognya.Juan menatap ke atas, ke arah langit yang semakin menghitam hingga akhirnya lelaki itu memutuskan untuk pulang saja. Saat melewati pos security, Juan bertanya pada security komplek berharap dia menemukan jawaban dari segala pertanyaan mengenai Dania dan Keano."Wah, saya kurang tahu, Pak. Penduduk sini kalau ke mana-mana jarang ada yang bilang, paling titip rumah doang. Kemarin, saat Bu Dania pergi, juga ga bilang dan ga titipin rumahnya, mungkin karena perginya ga akan lama," jawab security komplek setelah Juan bertanya."Biasanya Bu Dania pergi ke mana?" tanya Juan lagi.Security komplek itu menggeleng "Saya tidak tahu Mas. Biasanya, Bu Dania hanya pergi kerja dan pulang sore. Kalaupun jalan-jalan, biasanya pas weekend. Cuma semalam, bukan Bu Dania yang nyetir, tapi Bapak. dan sampai sekarang belum kembali," jawabnya. Selain itu security tidak tahu apa-apa lagi membuat Juan lagi-lagi harus merasakan kecewa. Juan yang