"Sekarang aku nggak mau ambil risiko dengan melibatkan orang lain lagi." "Kata Elea, sakit juga bisa diartikan sebuah ujian sabar sebab segala perkara orang mukmin yang datang dari Allah adalah baik." Kay bicara pelan sembari mengamati wajah-wajah lesu yang tertunduk.Farhana pun kian menunduk dalam, dia meremat ujung hijabnya karena terlampau sakit. Secercah harapan datang saat Dewiq menyatakan Kemal adalah pendonor Kayshan tapi seketika hatinya juga ingkar karena adanya kejanggalan pada tubuh Kayshan.Wanita hamil itu mati rasa. Sekarang dia hanya mengandalkan doa dan ikhtiar lain untuk sang suami.Kayshan pernah bercerita tentang pengobatan alternatif yang pernah Elea jalani di Majalengka. Dia akan mencoba membujuk suaminya pergi ke sana, siapa tahu cocok, pikirnya menghibur diri."Kalian kenapa, sih?" kekeh Kayshan tiba-tiba. Hanya pandangan Farhan yang berani bersitatap. Dokter muda itu tak habis pikir, kenapa Kayshan egois. Adiknya baru saja merasakan bahagia atas pernikahan
Sejak sebelum subuh Kay menolak makan, alasannya karena ingin ke RS dulu. Namun, ketika pulang dari RS, dia hanya minum air hangat satu gelas.Acara tujuh bulanan dilakukan bada salat Jum'at di Tazkiya agar waktu maulid lebih longgar. Satu jam sebelum azan, Kay menghampar sajadah di sisi ranjang, dia mengaji waqiah sampai tiga kali lalu meminta minum pada Hana."Sya, tolong minumku," ujarnya pelan tak menoleh pada Hana yang berada di belakangnya sedang memilah kerudung di depan lemari.Farhana pun menengok ke arah Kayshan sebelum meraih gelas di atas nakas. Apakah dirinya tak salah dengar? Itu bukan panggilan untuknya. Kay melihat ke samping kanannya sambil tersenyum, seakan sedang mendengarkan seseorang bicara. Farhana kian terheran. Bahkan ketika Hana sudah disampingnya pun, sorot mata lelaki itu masih berbinar, entah melihat apa. Farhana ikut duduk didekat Kayshan lalu menyentuh bahunya pelan."Abang!" Dia menaruh gelas di atas sajadah sebab tak mau Kay batal wudhu. "Sya siapa?"
Jenazah Kayshan di pindahkan ke ruang tamu sembari menunggu dimandikan. Di depan aula masjid, ratusan santri langsung menggelar doa untuk almarhum. Pelayat pun mulai berdatangan. Area luar pagar hunian Ahmad menjadi garis batas bagi para tamu bila ingin menyampaikan duka cita. Para jama'ah hanya diizinkan melihat dari jauh dan diarahkan oleh panitia Tazkiya untuk bergabung dengan para santri sesuai gendernya.Kamala duduk lemas ditemani Dewiq juga Gauri di sisi almarhum. Mereka lirih membaca doa mengikuti suara santri dari aula masjid. Tak nampak Gery di sana. Entah kemana perginya sang asisten Kayshan itu. Sementara di dalam kamar."As-shofa." Geisha membaca pelan tulisan tangan Kayshan setelah kertas itu berhasil dia satukan.Pandangan ipar Kay itu ikut mengembun ketika melihat sikap Farhana saat ini. Dia menggenggam tulisan tadi seraya tertegun, paham mengapa Hana seakan enggan membukanya.Farhan mengusap wajahnya kasar, sembari berbisik dia berkata, "Ini amanah beliau, No." Fa
"Maaf, ini dengan siapa?" kata Kemal, suaranya terdengar ragu-ragu. Pandangannya lurus ke depan sebab dia sedang menyetir."Alfred Riedl, pengacara tuan Kayshan Ghazwan," sahut pria di seberang dengan nada percaya diri."O oke." Kemal mengangguk meski lawan bicaranya tak melihat. Dia menjawab datar sebelum bertanya padanya lagi. "Ehm, hubungannya denganku?" "Bisakah kita bertemu siang nanti di Tazkiya? Ada hal yang harus saya sampaikan pada Anda," tutur sang pengacara. "Kenapa harus Tazkiya? Bisakah bertemu di tempat lain? Rumah mama misalnya," balas Kemal sedikit mengernyit. Dia segan jika menyambangi kediaman gurunya di luar kepentingan pekerjaan."Lalu, apakah hal tersebut bisa ditunda? mengingat kami baru saja kehilangan almarhum. Rasanya kurang elok untukku," tutur Kemal sedikit menegas. Dia tahu semua pengacara akan melakukan hal serupa, sebab amanah harus lekas disampaikan pada para ahli waris. Tapi, seharusnya ini menjadi suatu keperluan yang fleksibel, bisa diatur kapan w
Ahmad dan Farhan mengangkat Hana yang mulai kehilangan separuh kesadaran. Dewiq berjalan di belakang mereka, sibuk menelpon staf rumah sakit agar menyiapkan ruang tindakan untuk putrinya.Dua orang pengacara ikut panik dan gegas membereskan semua berkas yang berserakan di atas meja. Mereka pun segera keluar hunian.Mobil milik Farhan sudah terparkir tepat di depan teras ketika Kemal membuka pintu baris kedua.Dia gegas memutari mobil saat Ahmad dan Farhan membaringkan Hana agar nyaman dalam pangkuan keduanya."Na, Nana, liat ayah." Ahmad terus menepuk pipi Farhana agar tetap sadar. Dia mendapati bagian bawah abaya putrinya mulai basah.Ahmad lalu melihat ke arah Farhan tapi putranya itu malah terlihat santai, meskipun Ahmad yakin dalam hatinya pasti berkecamuk."Ngantuk," lirih Hana datar ketika melihat wajah cemas Ahmad."Jangan tidur dulu, Na. Ingat adek bayi, bayangkan yang hepi-hepi." Sebisa mungkin Ahmad tetap menstimulasi putrinya agar terjaga.Farhan menaikkan posisi kaki Farha
"Na! Ya Allah, Nana!" Suara Dewiq kian sumbang sementara Ahmad lirih membisikkan doa di telinga putrinya.Sorot mata Farhana tampak kosong, tapi ekspresi wajahnya semringah. Tangannya terangkat ke atas seakan tengah menggapai sesuatu. "Na!" bisik Dewiq terus berusaha membuat Hana terjaga meski nadinya mulai melemah.Ahmad meraup wajah putrinya dan menahan tangannya beberapa detik di wajah Farhana. Dia membisikkan doa. "U’iidzuhuu bil waahidis shomadi min syarri kulli dzii hasadin ... Yuridullahu bikumul-yusra wa laa yuriidu bikumul-'usra. Al Fatihah." Mereka berdua saling menautkan jemari sembari tak bosan membisikkan kata-kata di telinga Farhana.Suster selesai membersihkan tubuh wanita yang baru saja melahirkan itu. Dokter kandungan pun siaga di balik tirai, mulai melakukan observasi bilamana terjadi pendarahan. "Farhana bintu Ahmad Hariri ... ayah ikhlas dan ridho kalau Nana capek di dunia. Tapi jangan begini. Yang tenang, Sayang." Dewiq membenamkan wajahnya di sisi paras puca
Kemal menggeser posisi tuts ke atas. Tanpa basa basi dia langsung menyambar seseorang di ujung panggilan dengan nada ketus dan tinggi. "Heh! Sini, lu!" sentak Kemal sampai Kamala pun terkejut. Baru kali ini Kamala mendengar Kemal bersikap tak sopan. Tapi, dia memilih menunggu penjelasan darinya meskipun tetap memberikan teguran dengan menggoyang lengan Kemal.Kemal melirik mama sambungnya dengan menahan tangan Kamala yang menempel di lengan. Dia lalu menutup panggilan sepihak. Melepas cekalan Kamala dan langsung berlari menuju eskalator turun. "Adek!" Kamala berseru, dia lalu meminta Ringgo yang mengekorinya agar mengikuti Kemal. "Ing, tolong kejar adek!" pintanya pada sang asisten.Ringgo mengangguk dan langsung melesat cepat menuruni eskalator. Sementara Kamala ikut menyusul mereka dengan berjalan pelan. Dia tak sanggup berlari. Saat Ringgo tiba, Kemal mendorong seseorang dan bersiap memukulnya. Lelaki sepantaran Kayshan itu langsung menarik Kemal mundur dengan menahan lenganny
Ringgo menepuk lutut Kemal sembari terkekeh kecil. "Sabar Ger, beliau belum istirahat sejak tuan muda Kay meninggal kemarin. Kamu pulang dulu sana, kita bicarakan dengan lawyer di rumah bos besar malam ini," tutur Ringgo mewakili Kemal menyampaikan isi hati pada asisten Kayshan itu.Lelaki perlente yang masih berdiri itu mengangguk. Dia akan istirahat bila keluarga Kamala telah kembali pulang ke Belanda dan Uzbekistan. Namun, Ringgo mengatakan bahwa dirinya dan Katrin diminta oleh Kamala untuk meneruskan tugas Gery, sehingga dia bisa beristirahat setelah satu pekan terbang ke sana sini. "Baik kalau begitu. Terima kasih, Bang Ing." Gery mengangguk padanya, lalu beralih pada Kemal yang telah memejamkan mata. "Bos, saya pulang dulu. Ingat, hubungi saya kalau butuh apapun." Kemal tak menjawab, dia masih sungkan. Dirinya tak pantas menerima amanah sebesar itu.Pengacara Alfred menyusul ke rumah sakit saat jam besuk malam. Hanya ada Ahmad, si kembar, Kemal dan Ringgo di sana.Kemal mena