Teman cowok Fara menghentikan langkahnya ketika telah sampai di samping mobil Fara.
“Aku akan menyusul pakai motor saja,” Ia tidak merasa nyaman karena harus diatar Mikel.
“Malah nanti aku gak diantar ke sana kalau kamu gak ikut,” bisik Fara sambil mencabikkan bibirnya.
“Ok, ayo. Motorku biar ditinggal di sini saja.”
Mereka memasuki mobil yang di dalamnya sudah ada Mikel yang menunggu.
Mikel melihat Fara dan temannya sudah masuk, dia pun melajukan mobilnya dengan diam.
“Dad, perkenalkan ini teman baruku,” cicitnya.
“Hai, Om!” sapanya ramah.
Ciiiittttt!
Tiba-tiba Mike kaget dan gak sadar menginjak rem dengan mendadak.
“Bukannya temanmu cewek?” Mikel menatap anak di samping Fara dari kaca spion.
“Dad, dia laki-laki. Tapi daddy tenang, dia tidak tertarik pada perempuan!” Fara mengetahui betapa posesifnya Mikel jika berhubungan dengan teman lelakinya.
Teman Fara itu tersenyum indah kepada Mike dan menyibakkan rambutnya ke belakang telinga.
Mikel menggeleng pelan. Ia bergidik ngeri melihat tatapan anak lelaki itu yang melihatnya dengan lekat dari kaca spion. Walaupun begitu Mikel tidak percaya begitu saja. Dia sering menatap anak cowok itu dari kaca spion. Takut anak lelaki itu melakukan kontak pisik dengan Fara.
Teman cowok Fara diam-diam memperhatikan Mikel tahu sedang diperhatikan. Dia tersenyum mengembang dan menatap Mike juga dengan memberikan senyuman. Setelah itu Mikel menggelengkan kepalanya dan kembali fokus ke jalan.
Setengah hari waktu Mikel menemani Fara mengelilingi Mall dengan temannya itu. Ia berjalan di belakang mereka sambil melihat tawa Fara yang pertama kali ia lihat selepas ini.
“Hmm, kamu memang harus bahagia,” gumamnya sambil melihat senyum Fara.
Entah apa yang ada di pikiran Mikel. Dia telah keluar dari kebiasaannya, membuang waktu kali ini. Dia melirik jam tangannya tak sadar mereka sudah berkeliling dua jam lebih. ‘Shit, apa aku sudah mulai gila?’ gumamnya dalam hati.
Setelah kedua anak muda itu lelah, akhirnya mereka pulang dan menyadri waktu sudah sore.
“Rumahmu di mana?” Mike melihat ke kaca spion.
“Saya di turunkan di halte bus kota saja, om.” jawabnya.
“Tidak! Enak saja. Nanti kamu di culik bagaimana?” Fara tidak setuju, ia kemudian menatap Mike dengan tatapan memohon.
Kemudian ia pun memberi tahu alamatnya yang masih mereka lewati saat pulang, jadi masih di jalan yang sama.
Mikel hanya pasrah dan menuruti permintaan putrinya itu.
***
Seorang wanita tua dengan wajah yang masih terlihat cantik dan terawat sedang menikmati teh di ruang tamu. Senyumnya terukir lembut, wajahnya tegas dan pakaiannya terlihat elegan.
“Ma, kenapa datang tidak bilang-bilang.” Mikel kaget dengan kedatangan ibunya. Dia berjalan ragu-ragu sambil berjalan ke arah sang ibu yang merentangkan tangan siap memeluknya.
“Kamu libur kan sayang?”
“Hmm, daddy kok gak ikut mam? Jangan katakan dia lebih sibuk dari pada aku.” Maikel melepaskan pelukannya lalu duduk di samping sang ibu.
“Daddyyyy. belanjaan kemaren di mana!” Teriakan Fara terdengar menggema mengisi rumah.
Wajah ibu Mikel berubah datar. Ia melihat ke arah asal suara dengan tatapan bengis. “Kapan dia tinggal di sini?” Maria, tidak pernah setuju jika Mikel membesarkan Fara, itulah alasannya dulu Mikel mengirimnya ke luar negeri.
“Ma,” jawab Mikel dengan nada lembut. Mikel menggenggam tangan ibunya.
Maria, wanita tua itu membuang pandangan ketika melihat gadis yang ia benci itu mendekati mereka.
“Dad..” ucapan Fara terhenti ketika melihat Maria yang sedang duduk bersama Mikel.
“Sini, salam oma mu,” Mikel berdiri dan menarik lengan Fara untuk mendekati ibunya.
Fara kikuk. Ia melihat tatapan wanita tua itu tidak pernah suka padanya. Dengan takut-takut ia mengulurkan tangan dengan sopan.
Maria menerimanya dengan cemberut. Saat Fara ingin mencium tangannya, Maria menarik tangan dengan cepat.
Mikel menarik nafas panjang melihat situasi di depannya. “Fara, ambil belanjaan di mobil, jangan lupa menatanya!” perintahnya dengan lembut. Begitu satu-satunya cara Mikel membantu Fara keluar dari situasi kaku itu.
Maria menatap kepergian Fara dengan tajam lalu menatap Mikel dengan seksama. “Apa kamu sadar nak, usiamu sudah sangat tua. Apa kamu tidak ada keinginan untuk melanjutkan keturunan dari kelaurga kita? Bukan sibuk mengurusi anak orang lain yang tidak tahu asal-usulnya,” ucap Maria dengan nada mengintimidasi.
Mikel yang melihat tatapan mata si ibu langsung menunduk. Ia mencoba memahami wanita yang telah membesarkannya itu, ia tidak ingin membantah dan menyakitinya.
Fara yang sedang sibuk menata barang belanjaan pada tempatnya terlihat berpikir keras. Ia tidak menyangka bahwa kehadirannya ternyata tidak semudah yang ia tahu. Ia telah menjadi permasalahan bagi dadynya.
Tanpa ia sadari air matanya bercucuran, ternyata ia kembali pada penolakan yang susah lama tidak ingin ia hadapi.
***
Maria sedang menyiapkan makan malam. Fara tetap membantunya mesti ia tahu Maria tidak menyukainya.
“Fara!” Maria menatap Fara dengan sengit.
“Ia, o.omaa,” jawabnya dengan ada ketakutan. Ia tersenyum pahit yang ia paksakan. Di usianya sekarang dia sudah bisa menimbang bahwa apa yang akan dikatakan orang tua itu.
“Sampai kapan kamu terus mengandalkan daddymu?” ucap Maria tanpa menghentikan pekerjaannya. Ia juga tidak menatap Fara yang melihatnya sendu.
Fara diam. Dia tidak bisa menjawab karena dia tidak pernah mengira akan berada di situasi ini. Situasi di mana ia harus mengandalkan diri sendiri.
Maria, menghela nafas kasar. “Gimana ada wanita yang mau sama anakku, jika selalu menenteng anak kemana-mana!” gerutunya pelan yang masih bisa didengar Fara dengan jelas.
“Oma,” cicit Fara sambil menatap Maria nanar.
“Oma?” Maria menatap Fara dengan heran, “Jangan pikir kamu bisa memanggilku dengan sebutan itu, jika tidak ada Mike.” ucapnya dengan tegas.
“Panggil saya, Nyonya,” jawabnya dengan sinis. Ia menabrak bahu Fara yang menghalangi jalannya.
Fara terdiam, kali ini ia kembali diterpa badai. Kenangan masa lalunya kembali berputar di ingatan, penolakan, dan dibuang.
“Siapa yang harus di panggil nyonya?” ucapnya tanpa menoleh ke arah sang ibu dan menarik kursi makan.
“Ah, itu… Bukan seperti yang kamu khawatirkan!” Maria mendelik ke arah Fara.
“Ma, Fara ayo makan. Setelah ini aku akan mengantar mama pulang!” Mikel dengan santainya mengambil sarapan yang sudah tersedi adi meja. Lelaki itu terlihat semakin tapan jika ia memakai pakaian casual. Atasan berwarna putih dengan celana jins yang membuatnya jauh terlihat muda.
“Mikel, apa kamu mengusir mama?” Maria mendelik kesal sambil menarik kursi di depan putranya itu.
“Ma,” jawabnya dengan tatapan lembut.
Maria heran melihat tatapan kekecewaan putranya itu kembali ia dapatkan. Ia melihat tatapan itu dulu ketika melarang Mikel menikahi istrinya.
“Kenapa? kamu sekarang ingin membenci mama lagi karena anak yang tidak tahu asal usulnya ini?” Maria meninggikan sedikit suaranya. Dia berdiri dan menunjuk ke arah Fara. Marahnya sudah tidak terbendung lagi.
Cring!
Mikel membanting garpunya dengan keras. Kemudian melihat sang ibu dengan tajam. “Sekarang apa lagi, Ma? apa yang harus Mikel lakukan agar mama puas dengan pilihanku?” Mikel bersuara rendah dan penuh penekanan.
“Menikahlah dengan Sarah, setelah itu mama tidak akan lagi mempermasalahkan pilihanmu!” Maria tidak akan pernah puas sebelum Mikel menikahi wanita pilihannya itu.
“Ma, apa yang wanita itu lakukan sehingga mama masih tertipu oleh wanita iblis itu?” Mikel tidak percaya dengan keputusan Maria yang selalu ingin menikahkannya dengan Sarah sekretarisnya itu.
Setelah itu Mikel meninggalkan meja makan dengan sangat marah.
Maria mengejar Mikel yang sedang duduk di ruang keluarga. Sementara Fara tetap diam di tempat dan tak berani melakukan apa-apa. “Sayang, Sarah wanita yang berasal dari keluarga berpendidikan, pekerja keras dan tentu saja tidak menggerogoti keluarga kita.” Ia mencoba memberi penjelasan pada putranay itu dengan nada lembut. “Sudah, mama siap-siap. Kita bicarakan di rumah.” Ia melenggang meninggalkan sang mama yang masih heran dengannya. Maria menatap Fara dengan tajam saat melewatinya, “Tidak pantas orang asing membuat hubungan anak dan ibu jadi renggang. Aku kira kamu cukup tahu itu Fara. Karena sekarang kamu sudah dewasa, tentu kamu tahu diri sebagai anak yang dipungut!” ucap Maria sambil menatap Fara penuh kebencian. Fara benar-benar merasa buruk, ia menahan air mata yang ingin keluar dari bola matanya. Kenangan atas sebutan anak pembawa sial kembali menghantamnya. *** “Apa?” Sahabatnya itu kaget mendengar cerita jujur dari Fara. Mereka baru beberapa bulan kenal tapi sudah memb
“Kamu tinggal di sini?” Fara mengikuti perempuan yang baru ia kenal itu. Orang baru yang ia percaya tanpa tahu alasannya.Perempuan itu tidak menjawab. Dia hanya berjalan terus memasuki sebuah bangunan tua seperti apartemen itu. Namun terlihat sangat lusuh.“Hai Nona, apa hari mu menyenangkan ?” ucap lelaki tua yang sedang berdiri di depan meja resepsionis.Perempuan itu hanya menganggukkan kepalanya menandakan ia sedang memberi hormat kepada lelaki tua itu.“Dia butuh tempat tinggal, apa masih ada kamar kosong, pak?” Ia melirik kepada Fara yang ada di sampingnya.“Owh, Nona cantik ini siapa namanya?” ucapnya sambil mengulurkan tangan.“Dia hanya sebentar di sini.” Perempuan itu langsung menjawab lelaki tua itu untuk membatasi interaksi keduanya.Fara menyambut uluran tangannya lelaki tua itu sambil melirik perempuan di sampingnya heran.“Ini kuncimu Nona, semoga harimu menyenangkan. Silakan pilih kamar dan ada harga di sini.” Lelaki tua itu memberikan katalok lusuh yang bahkan tidak
Fara sedang berada di kamar teman barunya itu. Ia melihat kamar itu penuh dan berantakan. Sepertinya teman barunya itu sangat sibuk sampai tidak ada waktu untuk beres-beres.“Apakah usia kita sama? Aku berusia 18 tahun sekarang.” Fara memulai pembicaraan karena sedari tadi temannya itu tak bersuara dan terus melihat beberapa kertas di depan meja kerjanya.“Apa masalahmu dengan usia? itu hanya angka, bahkan kematian tidak mengenal itu.” ucapnya datar.Fara mengernyitkan dahinya sambil memperhatikan temannya itu yang sedang mengambil sesuatu dari lemarinya.“Ini kartu pengenalmu, kembali ke kamarmu.” Ia menyerahkan sebuah kartu kartu pengenal kepada Fara yang jelas bukan namanya. “Betric?” ucapnya membaca nama yang tertera di kartu itu. Kemudian ia menatap temannya itu meminta penjelasan.“Kau bisa menggunakan kartu itu jika ada yang menanyakan identitas dan namamu. Keluarlah, aku harus siap-siap karena mau berangkat kerja.” Perempuan itu mengusir Fara tanpa basa-basi.Fara pun mengan
Tok!Tok!Tok!“Fara ini aku Jody, bukakan pintunya!” ucapnya dari luar kamar.“Akirnya kamu pulang, aku hampir mati karena bosan,” ucap Fara sambil menghela nafas lega.“Kamu tidak bisa kemana-mana sebelum lukamu sembuh!” ucap Jody dan berjalan melewati Fara yang menghalangi jalannya.“Ini aku bawakan makanan, makanlah dan ini ada buku yang aku beli di pinggir jalan pulang!” ia meletakkan kantong belanja di atas meja.Fara seperti anak kecil yang dibawakan mainan. Ia membongkar kantong belanjaan Freya dengan senyum mengembang.Jody tersenyum melihat Fara yang bertingkah kekanak-kanakan di matanya. “Kamu terlalu kekanak-kanakan di usiamu sekarang!” sindirnya.Fara tidak menghiraukan nyinyiran Jody. Ia membuka cemilan di atas meja sambil melihat buku yang dibelikan Jody untuknya.Saat ia melihat sebuah buku dengan cover rumah, hatinya kembali menciut nyeri. Ia mencoba baik-baik saja di luar jangkauan sang daddy. Entah kenapa hatinya seperti dipelintir dengan keras. Kenyataan bahwa dia
Fara kembali menghampiri Mikel yang masih tertidur di sofa. Tangannya menggoyang dengan pelan lengan Mikel untuk membangunkannya.“Hmm, Apa kamu sudah selesai?” gumamnya masih setengah sadar. Dengan pelan Mikel membuka matanya yang masih sangat berat. Ia menatap samar Fara yang berdiri di depannya dengan tatapan mengernyit ke arahnya.“Kita tunggu Sam, dia sudah menuju ke sini!” lanjutnya kemudian beranjak dari sofa lalu berjalan ke dapur.Fara melihat Mikel yang meneguk minuman yang ia ambil dari lemari pendingin. Ia ikut menelan salivanya ketika jakun Mikel bergerak naik turun. Lalu ia menghampiri Mikel yang sepertinya sangat lelah. “Dad, kita besok saja ya ke rumah sakitnya. Daddy istirahat dulu!” tuturnya karena tidak tega.Mikel menatap Fara tajam, “Kamu pikir lukamu itu lelucon Fara, lukanya bisa infeksi kalau terlambat ditangani.” ucapnya sedikit meninggikan nada suaranya.Keduanya menoleh saat mendengar pintu terbuka. Samuel berjalan setengah berlari menghampiri mereka.“Fara!
Samuel yang mendapat tawaran yang mengagetkan dari Fara akhirnya mencoba menormalkan detak jantungnya. Dia menutupi kekagetannya dengan senyum yang ia paksakan.“Sebelum aku melamarmu, sepertinya nyawaku sudah habis di tangan daddymu,” jawab Samuel sambil bergidik ngeri.“Padahal kakak sudah perfek sekali, masih gak berani . Bagaimana kalau tidak ada yang melebihi kasih sayang daddy?” Fara menatap Samuel dengan memicingan matanya.Samuel terdiam mendengar ucapan Fara. “Pasti ada, dan dia akan menempuh cara apapun utuk mendapatkanmu,” dengan yakin Samuel mengelus rambut Fara.Fara hanya tersenyum getir. Ia mengangguk pelan membenarkan perkataan Samuel.“Gadis kecil kami sudah dewasa ternyata,” ucap Samuel tersenyum.‘Ternyata mereka hanya menganggapku anak kecil sampai sekarang’ batin Fara.“Baiklah, aku akan belajar dan mencari laki-laki yang lebih dari daddy,” ucapnya dengan semangat. Walau ia tahu itu tidak akan pernah mungkinSamuel tertawa geli mendengar perkataan Fara. “Aku tahu i
"Sudah daddy katakan jauhi teman anehmu itu!" Mikel menatap Fara dengan tajam."Daddy sudah Fara katakan dia tidak normal," sanggah Fara membela perbuatannya."Pokoknya daddy tidak suka kamu terlalu dekat dengannya. Cari teman cewek saja," jawab Mikel dengan sedikit meninggikan suaranya.Fara terdiam sejenak, lalu ia melihat Mikel dengan tatapan semakin lekat."Kenapa kau menatap daddy seperti itu?" "Daddy, sebentar lagi daddy akan menikah dengan wanita pilihan oma. Sepertinya Fara tidak bisa tinggal di sini lagi," ucapnya dengan suara tegas.Mikel terdiam sejenak, lalu i menatap Fara dengan dahi mengkerut. "Fara kau tidak akan kemana-mana. Tentang pernikahan itu...." Mikel tiba-tiba menghentikan kalimatnya lalu matanya menatap manik Fara dengan lekat."Apa kau setuju daddy menikahi wanita itu?"Fara terdiam sejenak, tentu saja dia tidak menginginkan ada wanita lain di samping Mikel. Ia menggeleng.Mikel menghela nafas dengan sedikit lega. Ada segurat senyum yang ia simpan di bibirny
Fara tersadar ia sedang berada di ranjang dengan tubuh tak mengenakan apapun dan Steven tergeletak di sampingnya dengan keadaan yang sama."Apa yang terjadi?" gumamnya mencoba mengingat apa yang terjadi.Steven mendengar suara lirih Fara di sampingnya. Ia membuka matanya dengan cepat."Fara?"Ia sangat kaget, bisa-bisanya dia membayangkan Fara ada di ranjangnya."Ini mimpi kan?" Fara mulai kalut dan air matanya menggenang. Ia menatap bagian tubuhnya dan melihat ada bercak merah di ranjang."Fara, kenapa kau ada di sini?" Steven sama kalutnya. Jantungnya mulai berdetak tak karuan. Ingatannya akan mimpi yang sangat panas dengan Fara membuatnya semakin kalut."Apa yang telah kita lalukan Stev?" Fara menangis , dia tidak menyalahkan Steven karena dia yang mengajak sahabatnya itu ke club."Fara, tenang dulu, jangan panik." Steven beranjak pelan dan memunguti bunya sambil mengenakannya dengan cepat."Bagaimana bisa aku tenang Steven. Kita telah melakukannya tanpa sadar." Fara terus terisak
Lampu-lampu jalan menyala satu per satu, menciptakan bayangan panjang di sepanjang kafe kecil tempat Sarah duduk dengan anggun di pojokan, mengenakan kacamata hitam.Ia sedang menunggu seseorang.Dan saat lelaki itu masuk deberpakaian rapi, senyum ramah, aura tenang, Sarah segera tahu bahwa mangsanya telah datang dengan suka rela.“Steven,” panggil Sarah lembut, menyeringai saat pemuda itu duduk di hadapannya.Steven menatapnya waspada. “Kenapa kamu memintaku datang?”“Langsung ke inti, ya?” Sarah menatap cangkir kopinya sebelum menatap Steven lagi dengan mata penuh muslihat. “Aku ingin bicara tentang Farra dan Mikel.”Wajah Steven yang awalnya tenang berubah sedikit kaku.Sarah tersenyum puas. “Kamu tahu, bukan? Mereka akan menikah. Mikel menyembunyikannya dari semua orang. Tapi aku punya mata dan telinga di mana-mana.”Steven menggenggam tangannya di bawah meja. Ia t
Meriam duduk di beranda samping mansion, secangkir teh di tangannya, mata tajamnya menatap taman yang masih basah oleh embun pagi. Tapi bukan taman itu yang memenuhi pikirannya.Melainkan nama itu. Farra. Dan lebih dari itu ‘pernikahan.’Ia baru mendengar kabar itu pagi ini. Dari Samuel, yang terlalu terbiasa melihat kemarahan Mikel hingga tidak lagi bisa berbohong di hadapan wanita yang melahirkan pria itu.“Pernikahan?” bisik Meriam tadi pagi, tatapannya menusuk. “Tanpa restuku?”Samuel hanya menunduk, tahu batasannya.Dan kini, saat aroma teh menguar di udara, Meriam masih mencoba memahami, bagaimana mungkin putranya yang selama ini tak tersentuh, menjadi sebegitu terikat pada gadis itu."Menjijikkan," suara lain menyela.Meriam menoleh pelan. Sarah berdiri di ujung beranda, mengenakan dress merah muda pastel yang terlalu manis untuk niat yang begitu pahit.“Sarah,” ucap Meriam
Langkah Farra terhenti di ambang pintu kamar.Pintunya tinggi, ukiran gelap khas Eropa, dan begitu terbuka, wangi maskulin langsung menyeruak menyambut indra penciumannya, paduan kayu cendana, kulit, dan aroma sabun Mikel yang mulai ia kenali.Kamar itu luas. Terlalu luas untuk satu orang. Dengan jendela kaca besar menghadap taman belakang, langit-langit tinggi, rak buku dari kayu mahoni, dan pencahayaan lampu gantung yang temaram. Tempat tidur king size di tengah ruangan itu tampak seperti panggung megah untuk drama yang belum dituliskan.Farra memeluk dirinya sendiri. Ia merasa kecil.“Kenapa diam?” Suara berat Mikel terdengar dari belakang, sebelum lengan pria itu melingkar lembut di pinggangnya. “Tidak suka kamarku?”“Bukan begitu,” Farra menoleh, menatap mata pria itu. “Aku hanya tidak pernah membayangkan akan berdiri di sini. Di kamar ini. Denganmu.”Mikel menyentuh pipinya. “Aku ti
Farra menggeliat pelan. Selimut masih membungkus tubuhnya sampai dada, tapi kulitnya merinding begitu angin pagi menyusup lewat celah jendela yang belum tertutup sempurna. Ia menoleh ke samping, dan napasnya langsung tercekat.Mikel masih terlelap. Wajahnya damai. Ada sisa lelah di sana, tapi juga ada sesuatu yang membuat dada Farra terasa sesak, keintiman yang tak bisa dibatalkan.“Sudah bangun?” suara berat itu menyapa, membuat Farra panik dan buru-buru menarik selimutnya lebih erat.“Kamu pura-pura tidur?” tanya Farra, menunduk, malu setengah mati.Mikel berbalik menatapnya, wajahnya serius namun tenang. “Nggak tega buka mata duluan. Aku takut kamu bakal lari.”“Aku masih tidak menyangka telh melakukan hal bodoh ini,” jawabnya dengan pelan hampir seprti berbisik.“Tapi kamu nggak bisa lari dariku, Farra.” Suaranya berat.Farra menahan napas. Matanya menatap langit-langit k
Mikel duduk di sofa, menarik napas lega dan sekarang ia merasa ada angin segar yang menyelimuti rumahnya. Tanpa kehadiran sang ibu, semuanya menjadi lebih ringan.Mikel melirik ke arah Farra yang duduk di sampingnya. “Akhirnya, kita bebas…” kata Mikel dengan suara rendah, namun penuh dengan arti, saat ia berjalan mendekat.Tangannya menyentuh pelan pundak Farra, membuat gadis itu sedikit terkejut dan menoleh cepat.“Kita tidak bisa melakukan ini, dad,” ucapnya pelan dan takut.“Aku bukan lagi dadymu Fara, panggila Mike, kalau tidak kau akan mendapatkan hukuman yang setimpal,” ancamnya di telinga Farra membuat gadis itu merona.“Baiklah, aku akan belajar menyebutkannya. Tapi untuk sekarang rasanya sangat aneh,” aku Farra.“Aneh? Tapi kenapa kau menerima sentuhanku waktu itu, Farra?” lanjut Mike menggoda Farra.Farra tiba-tiba berdiri dan melepaskan rangkulan Mike. &ldqu
Farra terbangun perlahan, merasakan kehangatan yang aneh menyelimuti tubuhnya. Suara detak jantungnya sendiri masih terdengar jelas di telinganya, tapi ada satu suara lain yang lebih dominan, suara napas Mike yang berat di lehernya. Perlahan, ia membuka mata, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang menyelinap melalui celah tirai kamar.“Astaga, apa yang sudah aku lakukan?” pekiknya dalam hati walau ia menemukan kehangatan pagi ini.Mike masih memeluknya dengan erat, begitu erat seolah tak ada ruang di antara mereka. Farra merasa dadanya sesak, bukan karena ketidaknyamanan fisik, melainkan karena perasaan yang mulai bercampur aduk.Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, pelan-pelan, agar tidak membangunkan Mike. Tetapi saat tubuhnya bergerak sedikit, pelukan Mike justru semakin erat."Jangan pergi," suara Mike terdengar pelan, hampir seperti bisikan, dengan sedikit getaran yang membuat Farra terdiam.Farra menahan napas. Jantungnya
Fara kelagapan dan mendorong dada Mikel yang terus memainkan bibirnya dengan lahap. Tangannya terus mendorong dada Mikel karena sudah tidak bisa bernafas.Mikel melepaskan pagutannya dan menatap Fara dengan lekat. “Fara, mulai saat ini aku memutuskan hubungan kita sebagai ayah dan anak angkat!” ucapnya dengan penuh percaya diri.Fara menatap Mikel dengan sendu, matanya memanas. Ia tidak tahu apakah dia senang atau sedih. Tapi ia sungguh tidak bisa mengerti apa yang dia rasakan saat ini.Mikel mengangguk pelan. “Memang ini pasti membuatmu bingung. Tapi aku sudah tidak bisa lagi Fara!” ucapnya meyakinkan Fara.“Bagaimana ini? Kenapa seperti ini?” Fara bergumam sambil menepis air matanya yang terus mengalir. Belum hilang rasa ketakutannya akibat penculikan itu, kini ia dihantui rasa bingung.Mikel menangkup wajah Fara dan menghapus air mata gadis itu dengan jarinya.“Maaf ya sudah membuatmu bingung. Sek
Seperti yang diharapkan Sarah, Mikel mengatur pernikahan mereka. Ia tidak ingin Fara berlama-lama di sekap oleh Sarah.Di ruangan pengantin, Sarah terlihat sangat bahagia. Ia menatap wajahnya yang cantik itu di pantulan cermin.“Wah, nona Sarah sungguh memukau,” puji para perias dan staf acara.“Terimakasih,” jawabnya dengan tulus.Krek!Pintu kamar ganti terbuka dan terlihat Mikel masih berlum rapi.“Ah, sayang. Kamu kenapa belum mengenakan dasinya?” Sarah tiba-tiba menghentikan tangan perias yang merapikan rambutnya dan ia berjalan menghampiri Mikel.“Bisa tinggalkan kami berdua?” Mikel menatap perias dan petugas di ruangan itu.Mereka mengangguk dengan senyum penuh makna.“Kenapa? Kamu sudah tidak sabar ingin bersamaku, hmm?” Sarah mengelus dada bidang Mikel dengan lembut.Mikel menepis tangan Sarah dan menatap wanita itu dengan tajam. “Dimana Fara?”Sarah yang awalnya manis berubah menjadi datar. “Akh, kenapa selalu ada gadis sialan itu sih! Ini ari bahagia kita,” ucapnya dengan k
“Ma, kalau perlu apa-apa panggil bibi ya,” ucap Mikel sambil menyelimuti sang ibu.“Akh, serasa sakitku hilang sebagian!” ucap Maria sambil menghela nafas lega.Mikel tersenyum, lalu ia keluar dari kamar sang ibu.“Kamu masih di sini?” Ia melihat Samuel masih duduk di ruang tamu.“Apa kau akan terus-terusan seperti ini?” Samuel menatap Mikel lekat. Wajah itu semakin tirus dan bulu-bulu di wajahnya bertumbuhan tidak terurus.Mikel tersenyum kecut. “Aku hanya bisa menikmati sisa hidupku dengan damai Sem, jangan membuatnya semakin rumit.”Sem menghela nafas berat, lalu ia berdiri. “Kamu sungguh menyerah, akh! Aku sungguh kehilangan dirimu yang dulu, Bos!” ucapnya dengan nada kecewa.Mikel hanya dia, ia tidak peduli dengan apa yang dikatakan Sem, yang ia tahu Fara baik-baik saja itu sudah cukup baginya.Di tempat lain ternyata Fara tidak sebaik apa yang dipikirkan Mikel. Dia terduduk di lantai sambil bersandar di ranjang kecilnya. Air matanya menetes. Ya, dia sangat merindukan Mikel dan i