Farra menggeliat pelan. Selimut masih membungkus tubuhnya sampai dada, tapi kulitnya merinding begitu angin pagi menyusup lewat celah jendela yang belum tertutup sempurna. Ia menoleh ke samping, dan napasnya langsung tercekat.
Mikel masih terlelap. Wajahnya damai. Ada sisa lelah di sana, tapi juga ada sesuatu yang membuat dada Farra terasa sesak, keintiman yang tak bisa dibatalkan.
“Sudah bangun?” suara berat itu menyapa, membuat Farra panik dan buru-buru menarik selimutnya lebih erat.
“Kamu pura-pura tidur?” tanya Farra, menunduk, malu setengah mati.
Mikel berbalik menatapnya, wajahnya serius namun tenang. “Nggak tega buka mata duluan. Aku takut kamu bakal lari.”
“Aku masih tidak menyangka telh melakukan hal bodoh ini,” jawabnya dengan pelan hampir seprti berbisik.
“Tapi kamu nggak bisa lari dariku, Farra.” Suaranya berat.
Farra menahan napas. Matanya menatap langit-langit k
Langkah Farra terhenti di ambang pintu kamar.Pintunya tinggi, ukiran gelap khas Eropa, dan begitu terbuka, wangi maskulin langsung menyeruak menyambut indra penciumannya, paduan kayu cendana, kulit, dan aroma sabun Mikel yang mulai ia kenali.Kamar itu luas. Terlalu luas untuk satu orang. Dengan jendela kaca besar menghadap taman belakang, langit-langit tinggi, rak buku dari kayu mahoni, dan pencahayaan lampu gantung yang temaram. Tempat tidur king size di tengah ruangan itu tampak seperti panggung megah untuk drama yang belum dituliskan.Farra memeluk dirinya sendiri. Ia merasa kecil.“Kenapa diam?” Suara berat Mikel terdengar dari belakang, sebelum lengan pria itu melingkar lembut di pinggangnya. “Tidak suka kamarku?”“Bukan begitu,” Farra menoleh, menatap mata pria itu. “Aku hanya tidak pernah membayangkan akan berdiri di sini. Di kamar ini. Denganmu.”Mikel menyentuh pipinya. “Aku ti
Meriam duduk di beranda samping mansion, secangkir teh di tangannya, mata tajamnya menatap taman yang masih basah oleh embun pagi. Tapi bukan taman itu yang memenuhi pikirannya.Melainkan nama itu. Farra. Dan lebih dari itu ‘pernikahan.’Ia baru mendengar kabar itu pagi ini. Dari Samuel, yang terlalu terbiasa melihat kemarahan Mikel hingga tidak lagi bisa berbohong di hadapan wanita yang melahirkan pria itu.“Pernikahan?” bisik Meriam tadi pagi, tatapannya menusuk. “Tanpa restuku?”Samuel hanya menunduk, tahu batasannya.Dan kini, saat aroma teh menguar di udara, Meriam masih mencoba memahami, bagaimana mungkin putranya yang selama ini tak tersentuh, menjadi sebegitu terikat pada gadis itu."Menjijikkan," suara lain menyela.Meriam menoleh pelan. Sarah berdiri di ujung beranda, mengenakan dress merah muda pastel yang terlalu manis untuk niat yang begitu pahit.“Sarah,” ucap Meriam
Lampu-lampu jalan menyala satu per satu, menciptakan bayangan panjang di sepanjang kafe kecil tempat Sarah duduk dengan anggun di pojokan, mengenakan kacamata hitam.Ia sedang menunggu seseorang.Dan saat lelaki itu masuk deberpakaian rapi, senyum ramah, aura tenang, Sarah segera tahu bahwa mangsanya telah datang dengan suka rela.“Steven,” panggil Sarah lembut, menyeringai saat pemuda itu duduk di hadapannya.Steven menatapnya waspada. “Kenapa kamu memintaku datang?”“Langsung ke inti, ya?” Sarah menatap cangkir kopinya sebelum menatap Steven lagi dengan mata penuh muslihat. “Aku ingin bicara tentang Farra dan Mikel.”Wajah Steven yang awalnya tenang berubah sedikit kaku.Sarah tersenyum puas. “Kamu tahu, bukan? Mereka akan menikah. Mikel menyembunyikannya dari semua orang. Tapi aku punya mata dan telinga di mana-mana.”Steven menggenggam tangannya di bawah meja. Ia t
Farra duduk di atas karpet tebal, membiarkan rambutnya yang panjang terurai dan jari-jarinya membolak-balik buku sketsa yang sejak semalam belum selesai ia isi.Namun pikirannya tidak fokus.Di layar TV besar di ruang tengah, suara pembawa berita menggema pelan.“...hingga kini belum ada klarifikasi resmi dari MRA Holdings terkait pembangunan proyek yang disebut-sebut melanggar zona hijau di kawasan Selatan kota...”Farra mematung. “Proyek MRA? Itu perusahaan Mikel,” gumamnya pelan.Ia meletakkan buku sketsanya perlahan, berjalan mendekat ke TV dan menaikkan volumenya.“...seorang pengirim anonim melampirkan beberapa dokumen internal perusahaan yang tampaknya valid. Meski belum dikonfirmasi, publik mulai mempertanyakan integritas sang CEO muda...”Farra menelan ludah. Kenapa Mikel tidak mengatakan apapun? Bukankah dia selalu bicara soal keterbukaan? Tentang kepercayaan?Ia k
‘Aku tidak tahu perasaan apa ini, bibirnya yang mungil sungguh aku ingin mengecupnya. Aroma tubuhnya, aku ingin memeluknya erat. Astaga dia putriku. Mengapa otak liarku bekerja membayangkan hal yang mesum pada putriku sendiri?’ pikir Mikel, lelaki tiga puluh lima tahun tersebut menggelengkan kepala. Dia berbalik dan menatap gadis manis yang sedari tadi memperhatikan dirinya. “Fara,” panggilnya spontan. “Daddy, kenapa siap-siapnya lebih lama dari Fara, sih?” Komentar Fara sambil merapikan sedikit pakaiannya. Lelaki tampan berusia matang tersebut kembali menatap dirinya di cermin untuk mengalihkan panadangan. Dia mencoba menekan perasaan anehnya saat bertatapan dengan Fara, putrinya. Ya, putrinya. “Daddymu ingin menebar pesonanya, manatau ketemu cewek cantik di jalan, Ra.” Seorang lelaki yang usianya lebih muda dari Mikel jengah melihat sang atasan yang sedari tadi melamun itu. Mikel tidak mendengar ocehan sang asisten, lelaki itu melangkah pergi begitu saja dari walk in closet "
“Fara!” Mikel yang mendatangi kantor polisi dengan wajah dingin. Hari pertama masuk kuliah, dia sudah mendapat kabar kalau Fara punya kasus kekerasan. “Daddy!” jawabnya pelan sambil melihat wajah Mikel dengan merasa bersalah. Mikel mendapat telefon dari kantor polisi yang mengatakan bahwa Fara berulah. Putrinya itu telah memukul teman satu kelasnya yang merupakan salah satu anak pejabat. Namun, yang membuat kemarahan Mikel karena melihat wajah Fara lebam dan sudut bibirnya berdarah. Kemudian ia melihat teman Fara yang lebih kacau dengan wajah yang lebih banyak luka membuatnya sedikit tenang. “Silakan duduk, Pak Mikel!” petugas tersebut yang mengetahui siapa Mikel tentu sangat berhati-hati kepada lelaki lelaki. Mikel tidak menjawab. Dia pun duduk sambil mencoba menenangkan iblis yang ingin mengamuk dalam dirinya. “Pak, Putri anda telah memukuli anak kami. Lihatlah wajah anak kami babak belur begini?” ucap ibu dari ketiga anak cowok yang dipukul oleh Fara. Mikel menatap Fara
Mobil melaju dengan kencang, Mikel langsung menuju hotel berbintang miliknya. Beberapa menit kemudian mereka sudah ada di kamar, dan Mikel langsung menarik wanita itu menuju kamar mandi. “Bagaimana kalau kita melakukannya di sini?” Mikel sangat suka melakukan pemanasan di kamar mandi, dan wanita itu sudah tahu kebiasaan Mikel. Malam ini begitu panas, mereka sudah melakukannya beberapa kali. Mikel seolah tak pernah puas dengan tubuh wanita itu. Kini mereka berakhir di ranjang dengan nafas yang terengah-engah. Wanita itu menutupi tubuh mereka dengan selimut, lalu ia menatap langit-langit kamar sedangkan Mikel berbaring telungkup di sampingnya. “Siapa dia?” Raut wajah kecewa wanita itu menatap Mikel yang telah tumbang di sampingnya. Mikel diam, ia tidak menyangka menyebut nama wanita lain saat melakukannya dengan wanita itu. “Maafkan aku, bukan siapa-siapa. Jangan memikirkannya, lihatlah aku sekarang ada di ranjang bersamamu kan?” jawab Mikel singkat. Ia sendiri tidak tahu kenapa i
Teman cowok Fara menghentikan langkahnya ketika telah sampai di samping mobil Fara. “Aku akan menyusul pakai motor saja,” Ia tidak merasa nyaman karena harus diatar Mikel. “Malah nanti aku gak diantar ke sana kalau kamu gak ikut,” bisik Fara sambil mencabikkan bibirnya. “Ok, ayo. Motorku biar ditinggal di sini saja.” Mereka memasuki mobil yang di dalamnya sudah ada Mikel yang menunggu. Mikel melihat Fara dan temannya sudah masuk, dia pun melajukan mobilnya dengan diam. “Dad, perkenalkan ini teman baruku,” cicitnya. “Hai, Om!” sapanya ramah. Ciiiittttt! Tiba-tiba Mike kaget dan gak sadar menginjak rem dengan mendadak. “Bukannya temanmu cewek?” Mikel menatap anak di samping Fara dari kaca spion. “Dad, dia laki-laki. Tapi daddy tenang, dia tidak tertarik pada perempuan!” Fara mengetahui betapa posesifnya Mikel jika berhubungan dengan teman lelakinya. Teman Fara itu tersenyum indah kepada Mike dan menyibakkan rambutnya ke belakang telinga. Mikel menggeleng pelan. Ia bergidik
Farra duduk di atas karpet tebal, membiarkan rambutnya yang panjang terurai dan jari-jarinya membolak-balik buku sketsa yang sejak semalam belum selesai ia isi.Namun pikirannya tidak fokus.Di layar TV besar di ruang tengah, suara pembawa berita menggema pelan.“...hingga kini belum ada klarifikasi resmi dari MRA Holdings terkait pembangunan proyek yang disebut-sebut melanggar zona hijau di kawasan Selatan kota...”Farra mematung. “Proyek MRA? Itu perusahaan Mikel,” gumamnya pelan.Ia meletakkan buku sketsanya perlahan, berjalan mendekat ke TV dan menaikkan volumenya.“...seorang pengirim anonim melampirkan beberapa dokumen internal perusahaan yang tampaknya valid. Meski belum dikonfirmasi, publik mulai mempertanyakan integritas sang CEO muda...”Farra menelan ludah. Kenapa Mikel tidak mengatakan apapun? Bukankah dia selalu bicara soal keterbukaan? Tentang kepercayaan?Ia k
Lampu-lampu jalan menyala satu per satu, menciptakan bayangan panjang di sepanjang kafe kecil tempat Sarah duduk dengan anggun di pojokan, mengenakan kacamata hitam.Ia sedang menunggu seseorang.Dan saat lelaki itu masuk deberpakaian rapi, senyum ramah, aura tenang, Sarah segera tahu bahwa mangsanya telah datang dengan suka rela.“Steven,” panggil Sarah lembut, menyeringai saat pemuda itu duduk di hadapannya.Steven menatapnya waspada. “Kenapa kamu memintaku datang?”“Langsung ke inti, ya?” Sarah menatap cangkir kopinya sebelum menatap Steven lagi dengan mata penuh muslihat. “Aku ingin bicara tentang Farra dan Mikel.”Wajah Steven yang awalnya tenang berubah sedikit kaku.Sarah tersenyum puas. “Kamu tahu, bukan? Mereka akan menikah. Mikel menyembunyikannya dari semua orang. Tapi aku punya mata dan telinga di mana-mana.”Steven menggenggam tangannya di bawah meja. Ia t
Meriam duduk di beranda samping mansion, secangkir teh di tangannya, mata tajamnya menatap taman yang masih basah oleh embun pagi. Tapi bukan taman itu yang memenuhi pikirannya.Melainkan nama itu. Farra. Dan lebih dari itu ‘pernikahan.’Ia baru mendengar kabar itu pagi ini. Dari Samuel, yang terlalu terbiasa melihat kemarahan Mikel hingga tidak lagi bisa berbohong di hadapan wanita yang melahirkan pria itu.“Pernikahan?” bisik Meriam tadi pagi, tatapannya menusuk. “Tanpa restuku?”Samuel hanya menunduk, tahu batasannya.Dan kini, saat aroma teh menguar di udara, Meriam masih mencoba memahami, bagaimana mungkin putranya yang selama ini tak tersentuh, menjadi sebegitu terikat pada gadis itu."Menjijikkan," suara lain menyela.Meriam menoleh pelan. Sarah berdiri di ujung beranda, mengenakan dress merah muda pastel yang terlalu manis untuk niat yang begitu pahit.“Sarah,” ucap Meriam
Langkah Farra terhenti di ambang pintu kamar.Pintunya tinggi, ukiran gelap khas Eropa, dan begitu terbuka, wangi maskulin langsung menyeruak menyambut indra penciumannya, paduan kayu cendana, kulit, dan aroma sabun Mikel yang mulai ia kenali.Kamar itu luas. Terlalu luas untuk satu orang. Dengan jendela kaca besar menghadap taman belakang, langit-langit tinggi, rak buku dari kayu mahoni, dan pencahayaan lampu gantung yang temaram. Tempat tidur king size di tengah ruangan itu tampak seperti panggung megah untuk drama yang belum dituliskan.Farra memeluk dirinya sendiri. Ia merasa kecil.“Kenapa diam?” Suara berat Mikel terdengar dari belakang, sebelum lengan pria itu melingkar lembut di pinggangnya. “Tidak suka kamarku?”“Bukan begitu,” Farra menoleh, menatap mata pria itu. “Aku hanya tidak pernah membayangkan akan berdiri di sini. Di kamar ini. Denganmu.”Mikel menyentuh pipinya. “Aku ti
Farra menggeliat pelan. Selimut masih membungkus tubuhnya sampai dada, tapi kulitnya merinding begitu angin pagi menyusup lewat celah jendela yang belum tertutup sempurna. Ia menoleh ke samping, dan napasnya langsung tercekat.Mikel masih terlelap. Wajahnya damai. Ada sisa lelah di sana, tapi juga ada sesuatu yang membuat dada Farra terasa sesak, keintiman yang tak bisa dibatalkan.“Sudah bangun?” suara berat itu menyapa, membuat Farra panik dan buru-buru menarik selimutnya lebih erat.“Kamu pura-pura tidur?” tanya Farra, menunduk, malu setengah mati.Mikel berbalik menatapnya, wajahnya serius namun tenang. “Nggak tega buka mata duluan. Aku takut kamu bakal lari.”“Aku masih tidak menyangka telh melakukan hal bodoh ini,” jawabnya dengan pelan hampir seprti berbisik.“Tapi kamu nggak bisa lari dariku, Farra.” Suaranya berat.Farra menahan napas. Matanya menatap langit-langit k
Mikel duduk di sofa, menarik napas lega dan sekarang ia merasa ada angin segar yang menyelimuti rumahnya. Tanpa kehadiran sang ibu, semuanya menjadi lebih ringan.Mikel melirik ke arah Farra yang duduk di sampingnya. “Akhirnya, kita bebas…” kata Mikel dengan suara rendah, namun penuh dengan arti, saat ia berjalan mendekat.Tangannya menyentuh pelan pundak Farra, membuat gadis itu sedikit terkejut dan menoleh cepat.“Kita tidak bisa melakukan ini, dad,” ucapnya pelan dan takut.“Aku bukan lagi dadymu Fara, panggila Mike, kalau tidak kau akan mendapatkan hukuman yang setimpal,” ancamnya di telinga Farra membuat gadis itu merona.“Baiklah, aku akan belajar menyebutkannya. Tapi untuk sekarang rasanya sangat aneh,” aku Farra.“Aneh? Tapi kenapa kau menerima sentuhanku waktu itu, Farra?” lanjut Mike menggoda Farra.Farra tiba-tiba berdiri dan melepaskan rangkulan Mike. &ldqu
Farra terbangun perlahan, merasakan kehangatan yang aneh menyelimuti tubuhnya. Suara detak jantungnya sendiri masih terdengar jelas di telinganya, tapi ada satu suara lain yang lebih dominan, suara napas Mike yang berat di lehernya. Perlahan, ia membuka mata, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang menyelinap melalui celah tirai kamar.“Astaga, apa yang sudah aku lakukan?” pekiknya dalam hati walau ia menemukan kehangatan pagi ini.Mike masih memeluknya dengan erat, begitu erat seolah tak ada ruang di antara mereka. Farra merasa dadanya sesak, bukan karena ketidaknyamanan fisik, melainkan karena perasaan yang mulai bercampur aduk.Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, pelan-pelan, agar tidak membangunkan Mike. Tetapi saat tubuhnya bergerak sedikit, pelukan Mike justru semakin erat."Jangan pergi," suara Mike terdengar pelan, hampir seperti bisikan, dengan sedikit getaran yang membuat Farra terdiam.Farra menahan napas. Jantungnya
Fara kelagapan dan mendorong dada Mikel yang terus memainkan bibirnya dengan lahap. Tangannya terus mendorong dada Mikel karena sudah tidak bisa bernafas.Mikel melepaskan pagutannya dan menatap Fara dengan lekat. “Fara, mulai saat ini aku memutuskan hubungan kita sebagai ayah dan anak angkat!” ucapnya dengan penuh percaya diri.Fara menatap Mikel dengan sendu, matanya memanas. Ia tidak tahu apakah dia senang atau sedih. Tapi ia sungguh tidak bisa mengerti apa yang dia rasakan saat ini.Mikel mengangguk pelan. “Memang ini pasti membuatmu bingung. Tapi aku sudah tidak bisa lagi Fara!” ucapnya meyakinkan Fara.“Bagaimana ini? Kenapa seperti ini?” Fara bergumam sambil menepis air matanya yang terus mengalir. Belum hilang rasa ketakutannya akibat penculikan itu, kini ia dihantui rasa bingung.Mikel menangkup wajah Fara dan menghapus air mata gadis itu dengan jarinya.“Maaf ya sudah membuatmu bingung. Sek
Seperti yang diharapkan Sarah, Mikel mengatur pernikahan mereka. Ia tidak ingin Fara berlama-lama di sekap oleh Sarah.Di ruangan pengantin, Sarah terlihat sangat bahagia. Ia menatap wajahnya yang cantik itu di pantulan cermin.“Wah, nona Sarah sungguh memukau,” puji para perias dan staf acara.“Terimakasih,” jawabnya dengan tulus.Krek!Pintu kamar ganti terbuka dan terlihat Mikel masih berlum rapi.“Ah, sayang. Kamu kenapa belum mengenakan dasinya?” Sarah tiba-tiba menghentikan tangan perias yang merapikan rambutnya dan ia berjalan menghampiri Mikel.“Bisa tinggalkan kami berdua?” Mikel menatap perias dan petugas di ruangan itu.Mereka mengangguk dengan senyum penuh makna.“Kenapa? Kamu sudah tidak sabar ingin bersamaku, hmm?” Sarah mengelus dada bidang Mikel dengan lembut.Mikel menepis tangan Sarah dan menatap wanita itu dengan tajam. “Dimana Fara?”Sarah yang awalnya manis berubah menjadi datar. “Akh, kenapa selalu ada gadis sialan itu sih! Ini ari bahagia kita,” ucapnya dengan k