Melvin melakukan pertemuan di klub malam, tepatnya di ruang khusus untuk kalangan atas yang ada di sana dan sudah disewa untuk semalam. Dia terpaksa minum untuk menghormati klien bisnisnya, namun sesuatu terjadi saat baru saja menghabiskan satu gelas. Tampaknya Melvin sengaja dikerjai dan sekarang Dia merasa pusing luar biasa.
"Vela, jemput Aku sekarang!" ujar Melvin begitu rapatnya selesai dan menghubungi asisten pribadinya.Tak lama berselang Vela pun sampai di sana, dan mencari Melvin. "Mana sih, Dia? Katanya jemput di sini!"Beberapa kali Vela berdecak kesal. Ponselnya sudah kembali berbunyi, tapi karena bunyi berisik di dalam klub malam tersebut, Vela tak mendengarnya. "Sial. Kayaknya Pak Melvin lagi ngerjain Aku! Ah, tapi gimana kalau Dia beneran di sini?"Vela mendesah kasar, merasa lelah karena tak kunjung menemukan atasannya. Vela menghampiri meja bar dan memesan jus di sana, namun seseorang yang usil segera berbisik pada bartender tanp"Iihhh ... banyakin cabenya. Itu nggak akan terasa kalau cuma satu, Mas Alsen!" ujar Kiandra protes dan keberatan. "Kamu niat nggak sih, Mas?""Ck, Kamu itu lagi hamil Kiandra. Hawa nafsu jangan terlalu dituruti. Anak Kita bisa kenapa-napa kalau kebanyakan cabe, lagian nanti perut Kamu mulas," jelas Alsen menasehati. "Kalau gitu nggak usah aja sekalian. Aku tahu, Kamu pasti masih ragu anak ini milik Kamu kan, Mas atau jangan-jangan Dia malah jadi penghalang antara hubunganmu dan Shifa. Kamu tidak menceraikan Aku cuma karena takut image buruk. Sudahlah, Mas ... baik, Aku mengerti semuanya sekarang. Kamu bisa lepaskan Aku, dan Aku rela Kamu fitnah kali ini asal Kamu ceraikan!" ujar Kiandra dengan tegas. Alsen membuang nafasnya kasar. Begitukah perempuan. Semua masalah tidak akan pernah kelar dan akan diungkitnya seumur hidup. "Kamu nggak usah ngaco Kiandra! Cuma gara-gara cabe, Kamu besarin masalahnya kemana-mana," tegur Alsen menahan diri. "Asal Kamu tahu, Aku melakukan hal ini demi
"Vano Kamu dari mana saja, Nak? Kata sekretarismu, Kamu juga tidak ke kantor hari ini?" tanya Hendra begitu menemukan anaknya pulang. Laki-laki itu segera melonggarkan ikatan dasinya. Lalu menatap sang ayah dengan perasaan yang kesal dan juga kecewa. Sementara Hendra sendiri tampak bingung apalagi melihat kondisi Vano yang berantakan. Rambut yang tidak tertata, wajah yang kusut dan juga aroma alkohol yang yang tercium oleh hidungnya. "Kamu habis minum, Van?" tanya Hendra melanjutkan. "Daddy tidak usah ikut campur, Aku dari mana, habis minum atau tidak apa perdulinya? Aku cuma anak yang tidak diinginkan, selama bertahun-tahun Daddy mengabaikan Aku, mama meninggalkanku. Apakah setelah itu hidupku masih penting?" balas Vano dengan kalimat yang kecewa. "Jika bisa meminta, Aku juga tidak mau hidup dalam keadaan ini, tapi baiklah. Aku juga tidak akan protes. Berikan saja semua kasih sayang, harta atau bahkan perhatian Daddy pada gadis yang bukan darah dagingmu, Dad. Sayangi Dia saja Dad
"Daddy gagal membuat Kak Alsen memberiku pekerjaan yang lebih layak daripada sekedar petugas kebersihan di kantor, Mom. Ini semua gara-gara waktu itu, teman kantorku bego semua, jadinya balik lagi OG dan sekarang nggak bisa kembali ke posisi waktu itu," jelas Shifa memberitahu. "Dasar anak bodoh, kapan Aku baru bisa mengandalkanmu? Hendra sialan itu juga kenapa sekarang belagu, dia seperti udah nggak punya hati!" geram Belinda tak terima. Ternyata selain Shifa, Dia juga menyamar sebagai petugas pengantar makanan di acara tersebut. Memang sederhana, tapi semuanya serba ada dan siap sedia. Sang tuan rumah tentu saja tak mau acaranya kekurangan ditengah uangnya yang bergelimang. Hal itulah yang kemudian dimanfaatkan sepasang ibu dan anak yang sudah tidak menjadi keluarga tersebut, tapi nekat bergabung. "Mommy jangan marah dulu, bukankah Kita mempunyai rencana cadangan malam ini?" ujar Shifa mengingatkan. "Awas saja jika sampai berikutnya gagal juga!" peringat Belinda dengan serius.
"Kiandra maafkan Aku," ujar Alsen sambil memeluk tubuh istrinya yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Pertama kalinya pria itu mengucapkan kata maaf, tapi sayangnya hal itu percuma, sebab orang yang dimintainya maaf sedang tak sadarkan diri. "Aku sungguh tak tahu apa yang sudah terjadi, Aku bingung Ki ....""Hm!!" Hani tiba-tiba sudah di sana dan berdehem menyadarkan Alsen tentang kesalahannya. Menyadari hal itu, Alsen sedikit malu, apalagi kondisinya yang sudah ketahuan merengek manja pada istrinya yang masih tak sadarkan diri. Buru-buru pria itu bangkit dan berdiri dengan kikuk dihadapan ibunya. "Ak-aku tidak mengerti dengan apa yang sudah Aku lakukan, sungguh Aku tidak bermaksud melakukan hal semalam. Seseorang pasti sudah menjebakku, Ma!""Cukup!" ujar Hani tak mau mendengarkan penjelasan putranya. "Percuma Kamu sesali semua sudah terjadi, dan Mama percaya lebih dari siapapun Kamulah yang paling menyesal. Meski sebenarnya Mama juga ingin menamparmu, atau memukul kepa
"Kamu kenapa Shifa?!" ujar Belinda terlihat panik. Beberapa saat lalu, wanita paruh baya itu mendapat telepon dari putrinya, lalu dimintai untuk datang menjemputnya. Begitu sampai Belinda malah mendapatkan sesuatu yang mengejutkannya. Shifa dalam kondisi yang sangat buruk. "To--tolongin Shifa, Mom ... perut Shifa rasanya sakit sekali," jelas Shifa sambil memerangi perutnya seraya merintih. Belinda segera mendekat dan mencoba putrinya untuk bangkit, lalu memapahnya keluar dari tempat tersebut. "Sebenarnya apa yang sudah terjadi sama Kamu Shifa? Kamu tidak bodoh bukan sampai pergi sendiri ke gedung tua itu, lalu menyakiti diri sendiri ....""Mom, Shifa ma-masih waras Mom ... Shifa nggak sebodoh itu untuk melakukan hal konyol. Shifa baru saja diculik dan Mommy tahu siapa pelakunya?"Belinda menggelengkan kepala, lalu saat yang sama mereka sudah di depan taksi yang dipesan Belinda. Mereka masuk dan langsung mengatakan tujuan ke rumah sakit. "Siapa yang melakukan hal ini kepadamu, Shifa
Cup! Entah keajaiban atau kebetulan, tapi setelah kecupan hangat yang Alsen daratkan di kening istrinya untuk mendapatkan ketenangannya kembali setelah berkelahi dengan Vano. Tepat setelah melakukan hal itu, Kiandra perlahan membuka matanya dan tersadar. "Kamu udah bangun, Ki?" tanya Alsen dengan bodohnya, tepat setelah menyaksikan istrinya itu berhasil membuka sepasang kelopak matanya dan menatap Alsen dengan tatapan yang masih bingung. "Aku senang sekali melihatmu akhirnya terbangun," ungkap Alsen sambil menyunggingkan seulas senyum termanisnya. "Aku kenapa?" tanya Kiandra heran dan berusaha untuk bangun, tapi Alsen segera menggelengkan kepala dan tak membiarkan Kiandra melakukan itu. "Tidak kenapa-napa, Kamu dan anak Kita baik-baik saja sekarang, Kiandra. Tidak usah bangkit, tidurlah, Aku yakin Kamu butuh istirahat yang banyak sekarang," jelas Alsen yang menurut Kiandra sok tahu di akhir kalimatnya. Tidak mau berdebat lantaran merasa sangat lemas dan juga lemah, Kiandra memil
Alsen berpapasan dengan Hendra ketika dia kembali ke rumah sakit. Lelaki tua itu langsung menghadangnya dan menatap tajam keponakannya. "Apa-apaan Kamu Alsen, kenapa membuat anak Om, Vano dibawa ke rumah sakit jiwa?!""Jadi Om sudah tahu hal itu, sudah tanya pada Vano?" balas Alsen dengan santai. Pria itu tak perduli dengan wajah pamannya yang tengah menahan amarah. Alsen tak merasa bersalah dan menurutnya Vanolah yang cari gara-gara. "Kamu jangan keterlaluan! Meskipun Vano baru dalam keluarga Kita, tapi dia anak Om, Alsen! Dia sepupumu!" tegas Hendra memperingatkan. "Alsen tidak melakukan kesalahan apapun. Justru dialah yang main-main denganku! Lagipula bukankah Om juga tahu sendiri bagaimana Aku. Aku tidak akan melakukan apapun jika Aku tidak diganggu!" tegas Alsen menjelaskan. "Jadi maksudmu Vano yang duluan, dia yang melakukan kesalahan?" balas Hendra berpikir keras. Pria itu sebenarnya tak setuju. Perasaannya sebagai ayah berperang keras dengan akal pikirannya. Namun pada akh
"Apalagi yang terjadi sama Kamu, Shifa? Dari kemarin-kemarin masalah Kamu nggak ada yang beres. Kamu bikin ulah apalagi sampai masuk rumah sakit begini?" tanya Hendra dengan jengah. Pria paruh baya itu terlihat stress menghadapi kedua anaknya. Baru akan menuntut penjelasan dari Vano soal ucapan Alsen, Hendra mendapat telepon dari Shifa yang memintanya datang ke rumah sakit. Untunglah rumah sakit yang di maksud tempat yang sama dengan di mana Hendra berada dan dia belum pergi dari sana. "Dad, kali ini Shifa nggak salah. Shifa nggak melakukan sesuatu yang buruk!" jawab Shifa sambil geleng kepala, dan mulai mengeluarkan air mata berkaca-kaca menatap laki-laki yang masih boleh dipanggilnya daddy. "Apa maksudmu? Tolong jangan menambah beban pikiranku Shifa!" peringat Hendra dengan serius diakhir kalimatnya. "Aku nggak bermaksud begitu Dad, tapi keadaan dan nasibku memang buruk ... hiks-hikss!" isak Shifa mulai memperlihatkan ketidakberdayaannya. Hendra mengusap kepalanya yang pusing,