Alsen berpapasan dengan Hendra ketika dia kembali ke rumah sakit. Lelaki tua itu langsung menghadangnya dan menatap tajam keponakannya. "Apa-apaan Kamu Alsen, kenapa membuat anak Om, Vano dibawa ke rumah sakit jiwa?!""Jadi Om sudah tahu hal itu, sudah tanya pada Vano?" balas Alsen dengan santai. Pria itu tak perduli dengan wajah pamannya yang tengah menahan amarah. Alsen tak merasa bersalah dan menurutnya Vanolah yang cari gara-gara. "Kamu jangan keterlaluan! Meskipun Vano baru dalam keluarga Kita, tapi dia anak Om, Alsen! Dia sepupumu!" tegas Hendra memperingatkan. "Alsen tidak melakukan kesalahan apapun. Justru dialah yang main-main denganku! Lagipula bukankah Om juga tahu sendiri bagaimana Aku. Aku tidak akan melakukan apapun jika Aku tidak diganggu!" tegas Alsen menjelaskan. "Jadi maksudmu Vano yang duluan, dia yang melakukan kesalahan?" balas Hendra berpikir keras. Pria itu sebenarnya tak setuju. Perasaannya sebagai ayah berperang keras dengan akal pikirannya. Namun pada akh
"Apalagi yang terjadi sama Kamu, Shifa? Dari kemarin-kemarin masalah Kamu nggak ada yang beres. Kamu bikin ulah apalagi sampai masuk rumah sakit begini?" tanya Hendra dengan jengah. Pria paruh baya itu terlihat stress menghadapi kedua anaknya. Baru akan menuntut penjelasan dari Vano soal ucapan Alsen, Hendra mendapat telepon dari Shifa yang memintanya datang ke rumah sakit. Untunglah rumah sakit yang di maksud tempat yang sama dengan di mana Hendra berada dan dia belum pergi dari sana. "Dad, kali ini Shifa nggak salah. Shifa nggak melakukan sesuatu yang buruk!" jawab Shifa sambil geleng kepala, dan mulai mengeluarkan air mata berkaca-kaca menatap laki-laki yang masih boleh dipanggilnya daddy. "Apa maksudmu? Tolong jangan menambah beban pikiranku Shifa!" peringat Hendra dengan serius diakhir kalimatnya. "Aku nggak bermaksud begitu Dad, tapi keadaan dan nasibku memang buruk ... hiks-hikss!" isak Shifa mulai memperlihatkan ketidakberdayaannya. Hendra mengusap kepalanya yang pusing,
Bugh-bugh! Suara ribut dari luar kamar perawatan Kiandra, menarik perhatian. Kiandra dan kedua mertuanya itu, menjadi penasaran. Lingga sigap keluar untuk memeriksa dan menemukan adiknya Hendra tengah memukuli putranya Alsen di sana. "Apa-apaan Kamu Hen?" tanya Lingga yang tak tinggal diam. Pria paruh baya itu langsung menghadang Hendra dan tak membiarkan anaknya dipukuli lagi. Alsen sudah mengenaskan dengan wajahnya yang babak-belur ditambah sekarang. Pria yang tak sempat memperhatikan dirinya itu tampak tak berdaya. Sebelumnya dia hanya terlihat pasrah tak bisa melawan. "Tanyakan pada putramu apa yang sudah dia lakukan pada putriku Shifa? Dia merusaknya!" geram Hendra sampai membuat urat lehernya terlihat dan wajah memerah. "Dia bajing*n anakmu itu tak brengs*k!"Lingga langsung terlihat ayok meski kemudian dia juga tak langsung percaya. "Tidak mungkin, Alsen bukan orang seperti itu. Jelaskan pada Papa, Sen. Kalau yang Om Kamu katakan itu tidak benar. Kamu bukan orang seperti ya
"Daddy harap Kamu minta maaf pada Alsen dan berhenti mengejar istrinya," ujar Hendra memperingatkan putranya. Saat ini mereka sudah di rumah, Vano keluar dari rumah sakit tepat setelah sembilan jam lebih di sana, dan setelah di urus oleh ayahnya. "Tidak!" jawab Vano cepat dan juga tegas. "Aku yang lebih dahulu menjalin hubungan dengan Kiandra dan Kami saling mencintai. Justru Daddy harus mendukungku jika Daddy masih menganggapku anak, atau jangan-jangan selama ini Daddy menyembunyikan dan tak mengakui Aku itu karena Daddy tak pernah menginginkan Aku?"Hendra mengerutkan dahinya dan menjadi pusing dalam seketika. Masalah Shifa masih membuatnya syok dan juga hancur, lalu sekarang masalah putra kandungnya yang mempersulit keadaan dan membuat semuanya rumit. "Apa yang Kamu inginkan dari Kiandra? Wanita itu sudah menikah dan bahkan hampir mempunyai anak yang nantinya bahkan menjadi keponakanmu. Jangan gila Vano, Kamu tahu Daddy sangat menyayangi Kamu, Nak. Jika perempuan yang Kamu ingin
"Nggak usah, Kamu baringan aja, Aku bisa sendiri," jelas Alsen saat Kiandra membantunya mengeringkan diri. Kiandra tidak menjawab dan terus melakukan pekerjaannya. Mengusap kepala suaminya dengan handuk, sebelum menggunakan hair dryer untuk mengeringkannya. Alsen tersenyum dengan hal itu, karena ini pertama kalinya Kiandra memperhatikannya setelah masalah mereka."Maaf, ya. Soal yang kemarin, Aku dalam pengaruh obat. Walaupun itu Kamu dan Aku sangat bersyukur, tapi Aku juga sangat menyesal. Aku merutuki diriku yang sudah menyakiti Kamu dan calon anak Kita," jelas Alsen mengalihkan pada topik lain. Ah, ya setelah masalah Shifa berakhir, mereka memang belum membicarakannya sama sekali. "Tidak usah sungkan, Mas. Bukannya Kamu pernah bilang jika alasanmu mempertahankan pernikahan Kita adalah untuk menyiksaku? Kenapa minta maaf, bukannya itulah yang seharusnya terjadi?!" balas Kiandra dengan ketus. Jangan salah, walaupun dia tidak pergi dari sisi suaminya, tapi Kiandra juga belum bisa m
"Huekkk ...." Vela kembali memuntahkan isi perutnya dan hal itu sudah terjadi rutin hampir setiap pagi. Aktivitasnya bahkan menjadi terganggu dan dia sering tidak fokus."Kamu sakit, Vel?" tanya Melvin yang tak luput memperhatikan asistennya itu dalam bekerja. Dia sedikit khawatir lantaran Vela ini adalah adik dari orang yang disukainya Lana."Hanya sedikit mual dan juga pusing, mungkin karena belakangan ini sering terlambat makan, Pak," jelas Vela memberitahu, tapi dia juga sedikit ragu dengan ucapannya sendiri. Terlebih saat bulan ini dia belum kedatangan tamu bulanannya."Baiklah, Kamu ambil cuti hari ini dan beristirahatlah di rumah," ujar Melvin memberi izin tanpa diminta."Tapi Pak, bagaimana dengan pekerjaan Saya. Siang ini bukankah Kita juga harus bertemu dengan klien Kita?" tanya Vela sembari mengingatkan.Melvin segera terdiam dan berpikir keras. Dia butuh Vela menemaninya apalagi kondisinya Alsen sudah memberinya tanggung jawab yang besar kepadanya di perusahaan untuk semen
"Lakukan yang terbaik, jangan ada kesalahan sama sekali. Aku tidak ingin istriku kecewa!" tegas Alsen memberi perintah."Tapi Tuan, bukankah Anda pernah bilang wanita yang mandiri itu amat merepotkan," jelas Melvin mengingatkan."Aku tahu, tapi Kau pikir Aku bisa apa dihadapan istriku yang bawel itu?!" Jelas Alsen menghela nafasnya kasar dan membuat Melvin membatin kesal.'Sesuka hati, biasanya juga begitu. Selain pekerja keras, tuan Alsen ini juga suka memutar fakta. menyakiti, tapi bersikap seperti orang yang paling tersakiti!' batin Melvin."Oh, iya. Dimana bunganya?" tanya Alsen menuntut. Sudah jadi kebiasaan Melvin tiap datang ke rumah bosnya harus membawa bunga dan juga hidangan favorit istri bosnya Kiandra.Tak mau berlama-lama, Melvin pun menyerahkannya dan pamit pergi. Sementara Alsen langsung ke kamar untuk menemui istrinya. Ternyata wanitanya itu sedang berhadapan dengan laptop, dan sepertinya sedang melakukan panggilan video. Dari yang Alsen dengar Kiandra dan lawan bicara
"Hai, Kiandra!" ujar seseorang menghampiri Kiandra. Saat ini dia sedang menghadiri reuni sekolahnya. Teman-teman sudah berkumpul di sana, tapi Alsen sempat pamit padanya untuk ke toilet sehingga Kiandra tiba terlebih dahulu di sana. "Udah hamil saja, anak keberapa ini?" tanya teman sekolahnya itu."Nggak ada ujan, nggak ada badai, udah nikah aja sama pangeran Kamu, tapi nggak ngundang Kita-Kita?!" timpal temannya yang lain. "Tapi nggak masalah sih, asal acara syukuran calon bayi Kamu, nanti Kita-Kita diundang. Setuju nggak teman-teman?!" ujar temannya itu membuat kehebohan. Kiandra tak keberatan dengan permintaan itu, dan malah senang sekali. Sampai kemudian sosok Vela tiba di sana dan dia tak sendirian melainkan dengan Vano mantan kekasih Kiandra. Sambil mengerutkan dahi, Kiandra pun menatap heran sahabatnya itu dan Vela segera merasa bersalah. "Ini nggak seperti yang Kamu pikirkan Ki!" ujar Vela dengan cepat menghampiri Kiandra dan menjelaskan. Sementara Vano tampak mengepalkan