Langkah Lani terhenti di ambang pintu, tubuhnya seolah kaku saat melihat pemandangan di depannya. Alzam berdiri di sana, dengan Agna di sisinya, tersenyum, menyapa Lani lalu masuk rumah dan berkeliling seolah-olah ia adalah bagian dari rumah ini. Mata Lani bergetar, sesak yang ia tahan menyeruak ke dadanya. Agna melangkah masuk lebih dalam, jari-jarinya menyentuh perabotan seakan menilai."Lani," suara Alzam terdengar datar, nyaris tak peduli. Lani yang sudah paham kenapa Alzam membawa Agna ke dalam rumahnya, merasakan sesak yang tiada tara. Ternyata itu maksudmu dengan pergi dan sekarang kembali. Kamu mengingkari janjimu Alzam, dengan membawanya kemari? Seolah kamu mengatakan hubunganmu dengannya terjalin kembali? Tanpa mengingat perjanjian dengan Arhand duluh.Alzam yang hendak mengatakan sesuatu tak lagi didengar Lani. Sementara Mbok Sarem yang melihat Alzam datang dengan Agna, juga menatapnya sedih. Terlebih dengan melihat kehancuran di mata Lani. Namun Alzam seolah mengerti den
Di kampus, Lani hampir tak fokus dengan pelajaranya, bahkan saat dosen bertanya, dia gelagapan tak mengerti topiknya. Hingga saat siang, saat dia duduk dengan Dita di sudut taman setelah memesan makanan dari cafe sebelahnya, Dita memegang tangannya yang dingin. Suara burung-burung terdengar sayup, namun ia tak bisa menikmati ketenangan itu. Lani hanya bisa memandang Dita dengan mata yang sudah mengaca sambil mengaduk makanan di depannya."Kamu kenapa, Lani?" tanya Dita lembut, tangannya meremas tangan Lani. "Kamu pucat.""Dia telah pulang, datang dengan Agna... seolah-olah aku tak ada," gumam Lani, matanya sembap. “Aku... aku bodoh, Dit.” Tangisnya pecah, bahunya terguncang. Dita merangkulnya erat, seolah ingin menahan semua perasaan sakit itu agar tak keluar. “Kamu belum mengatakan tentang kehamilanmu padanya?” tanya Dita.“Bagaimana aku bisa mengatakan tentang semua itu, Dit? Terlebih dengan situasi seperti ini?”“Lalu jika dia kembali pada Agna, apa kamu akan diam saja?”“Aku sud
Sore menjelang ketika Lani kembali ke rumah. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak karuan.Dia langsung menuju kamar di mana tak terlihat Alzam di sana. Tanpa membuang waktu, ia mulai membereskan pakaiannya. Jemarinya bergerak cepat, menyelipkan baju-baju ke dalam koper. Kepalanya penuh dengan kenangan yang saling bertabrakan."Ke mana kamu mau pergi?" Suara Alzam terdengar dari belakang, datar, tanpa emosi.Lani membalikkan badan, matanya menatapnya tajam. "Ke mana saja yang jauh dari semua ini," sahutnya dingin. “Aku tidak peduli. Lagipula apa kamu akan perduli aku mau ke mana? Bukankah kamu telah membawanya kemari, dan itu artinya aku yang harus pergi.”Alzam mengusap wajahnya, raut frustasi terlihat jelas. "Kamu sudah merintis usaha itu, Lani. Apa kamu akan pergi dan menghancurkan semuanya? Bagaimana dengan harapan petani? Anak-anak muda yang menaruh harapan pada pabrik itu?"Lani menggertakkan giginya. "Dan bagaimana dengan hatiku, Mas? Kamu ingin
Keesokan paginya, sinar matahari menembus tirai tipis kamar tamu. Lani terbangun kembali dengan masih memakai mukenanya, dia memang tertidur kembali dengan tak sadar setelah sholat Subuh. Kepalanya terasa berat dan mata sembap. Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa lelah yang menguasai tubuhnya. Tiba-tiba, pintu kamar diketuk. Tanpa menunggu jawaban, Alzam masuk."Aku akan pergi sebentar," katanya datar.Lani bangkit perlahan, matanya tajam menatapnya. "Kamu tidak perlu menjelaskan ke mana pun kamu pergi. Itu bukan urusanku lagi."Ada sekilas rasa sakit di wajah Alzam, namun ia segera mengalihkan pandangannya. "Aku akan tetap memberitahumu karena kamu masih istriku.""Istri? Ghak salah kamu bilang seperti itu, sementara kamu punya maksud lain dengan membawa wanita itu?""Mau ghak mau kamu harus belajar terima kenyataan itu.""Cih!" Lani berdiri, tubuhnya terlihat lebih rapuh. "Apa kamu pikir aku terus menunggumu hinggah kamu bisa sepuasnya menertawakan aku? Mempermalukan ak
"Sepertinya mimpi aku bisa bertemu denganmu kembali." Damar mendekat. "Ini bukan kebetulan, Lani. ini takdir yang terus mempertemukan kita." Wajahnya nampak berbinar.Langit senja memang sudah mulai meredup saat Damar tiba di rumah yang tampak megah di pinggiran desa itu. Damar memandang berkeliling, hatinya terasa penuh tanda tanya. Mengapa Lani ada di sini? Di rumah ini? Ia bahkan tak mengerti apa yang sedang terjadi. Lani, wanita yang dulu ia cintai dengan segenap hati, tampak begitu tenang di beranda rumah yang ia kira bukan miliknya. Damar menahan napas, kakinya terasa berat untuk melangkah lebih dekat. Tapi akhirnya, ia tetap maju sambil membawa satu dos besar barang yang kemudian dia letakkan . Walau terlihat tidak begitu berat.Lani tampak kaget begitu melihat sosok Damar berdiri di sana dengan apa yang dia bawa. "Mas, kenapa kamu di sini?" Suaranya bergetar tipis. Ada banyak emosi terpendam di balik nada datarnya. Terlebih, belum-belum Damar sudah mengatakan hal yang menurut
Lani menatap souvenir pernikahan di samping pintu masuk, di mana Damar meletakkannya. Jantungnya berdetak kencang, memukul-mukul tulang rusuk seperti ingin melarikan diri dari kenyataan pahit di depannya. Alzam yang tadi beranjak pergi, kembali begitu melihat arah pandang Lani, lalu berdiri beberapa langkah darinya, wajahnya datar tanpa ekspresi. Hening melingkupi ruangan, berat dan menekan."Jadi benar kamu mau menikah dengan Agna?" Lani memecah keheningan, suaranya bergetar namun ia mencoba tegar. "Kamu sengaja mendatangkan souvenir itu ke rumah, supaya aku melihat?"Alzam tidak segera menjawab. Tatapannya lurus ke depan, dingin, tak menyisakan celah untuk penyesalan. "Aku tak perlu menjelaskan apa-apa, Lani." Dia baru menyadari kalau pria itu mengantarkan sebuah sovenir pernikahannya. Walau dia tidak mengerti kenapa umminya mengirimkannya ke rumah ini."Kamu sengaja memanasi aku dengan sovenir itu?""Bukan aku yang pesan Lani. Aku juga tak tau kenapa dibawa kemari." "Lalu seharus
Lani bergegas ke rumah sakit daerah, perasaannya bercampur aduk antara kekhawatiran dan kelelahan. Saat ia tiba di sana, ia melihat kedua orang tuanya, Towirah dan Wagimin, duduk dengan raut wajah tegang. Mereka menunggu di depan ruang pasca-operasi. Jingga, putrinya, sedang dirawat setelah menjalani operasi.Lani berjalan mendekat, dan dalam sekejap, semua kekuatan yang coba ia bangun runtuh. Towirah bangkit dan langsung memeluk Lani erat, air matanya tak terbendung. "Alhamdulillah kamu sudah di sini, Nak. Ibu bingung sekali dari tadi. Golongan darah Jingga yang langka tidak ampang mendapatkannya." Airmata Towirah tak lagi dapat dia tahan. "Ibu emnelponmu dari tadi tak ada jawaban, untunglah di handphone Jingga ada noomer Alzam jadi Ibu menelponnya. Dan dia langsung kemari setelah emminta izin dai markasnya.""Apa yang terjadi, Bu?" "Jingga kecelakaan tadi pagi, Nak. Darahnya banyak yang keluar. Untung ada Nak Alzam." Mata Towirah berbinar sesaat."Alzam?" Lani memandang ke arah uju
"Aku merindukan kehangatanmu, Lani," bisiknya pelan. Namun dia tau itu tak mungkin mengingat setiap apa yang terjadi diantara mereka akhir-akhir ini.Alzam pun segera mandi lalu memakai sarung seperti biasa jika dia mau tidur. dan hanya bertelanjang dada. Sejenak ditatapnya kembali Lani yang sedang tertidur pulas. Dia bahkan bersimpuh di sisi tempat tidur seperti biasa yang akhir-akhr ini dia lakukan jika datang malam-malam ke kamar Lani. Matanya menelusuri setiap lekuk wajah perempuan itu, lembut dan penuh cinta. Jari-jarinya yang kokoh mengusap perlahan helaian rambut Lani yang terurai, setelah dengan perlahan dia membuka hijabnya. Rasa rindunya begitu membuncah hingga ia nyaris tak bisa menahan gejolak di dadanya. "Maafkan aku, Lani," bisiknya lirih, seolah bicara kepada dirinya sendiri. Aku telah membuatmu menderita. Tapi aku tak bisa menekan benci ini tiap aku memandangmu dan selalu mengingatkan kakakku. Apa aku salah dengan rencana pernikahanku dengan Agna yang telah kusetuj
Pesta pernikahan Agna dan Arhand digelar megah di ballroom hotel bintang lima. Bunga mawar dan lili putih mendominasi dekorasi, sementara lampu-lampu gantung kristal menciptakan kilauan mewah di setiap sudut ruangan. Musik alunan saxophone dari panggung utama melantun lembut, menyambut para tamu undangan yang datang berbusana formal nan elegan.Agna duduk di pelaminan, mengenakan gaun rosegold berpotongan longgar berhias renda halus dan mutiara kecil yang dijahit tangan. Hijab satin senada melingkupi rambutnya, sementara riasan wajahnya natural dan lembut. Namun, sorot matanya tak sepenuhnya bahagia. Ia mencoba tersenyum pada setiap tamu yang menyalami, meski jauh di dalam dadanya, ada sesak yang tertahan. Sejak bertemu dengannya, keluarga Arhand tak menampakkan keramahannya. Manda bahkan sering berpaling saat dia menatapnya. "Baru juga di sini mereka seperti ini. Bagaimana jika aku nanti jadi ikut ke sana? Bahan aku seolah tak membawa apa-apa. Apa yang bisa aku lakukan untuk menghad
Sebuah mobil hitam berhenti perlahan di depan gerbang utama rumah Alzam. Bunyi mesin yang dimatikan, disusul derit pintu mobil terbuka, mengundang rasa penasaran orang-orang yang tengah berada di halaman depan rumah besar itu.“Bawa masuk aja barangnya,” ucap Evran kepada Arhand yang turun pertama, langsung menarik koper besar dari bagasi. Tubuh tegapnya bergerak sigap, wajahnya tetap dengan tatapan tajam seperti biasa.“Sapaan hangat dari tuan rumah kayaknya masih pending ya?” celetuk Evran sambil menoleh ke arah Manda, senyumnya menyeringai."Iya, ini mana tuan rumahnya? Kok rumahnya kayaknya sepi aja." Arhand menelisik sekeliling.Armand mengedarkan pandangan, mengusap keringat di pelipis, menatap lekat-lekat pada area sekitar yang dulu dikenalnya sebagai kebun jeruk. Kini, sebagian lahannya sudah berubah menjadi pabrik modern dengan pagar tinggi dan pos penjagaan.“Ini dulunya penuh pohon jeruk ya?” gumamnya pelan, seperti bertanya pada awan.“Iya, Pa.” jawab Arhand “Tapi tenang a
.Mentari belum tinggi ketika Alzam, Rey, dan Dandi memutuskan untuk berjalan santai ke belakang rumah Alzam, tempat sungai kecil mengalir tenang di antara rumpun bambu dan pohon pisang setelah mereka melewati jaan pavin setapak yang di sekelilingnya ditumbuhi jeruk nipis. Nampak agak tak jauh dari sana ada pohon tembesi. Alzam ingat betul, di situah dia menemukan Lani sedang tersangkut."Zam, kenapa melamun?" tanya Rey.Alzam hanya menyunggingkan senyumnya sambil melihat pohon tembesi yang masih berdiri megah. Dia bersyukur bisa bertemu dengan wanita yang teramat dicintainya itu. Hari begitu cerah. Sungai juga mengalir dengan teanng. Sebuah spot yang sudah lama mereka incar untuk sekadar melepaskan penat dan bernostalgia dengan kenangan masa persahabatan yang dulu kerap mereka habiskan di sini. Rey membawa pancing yang duluh kerap mereka pakai saat awal-awal Alzam membangun rumah ini. Dandi menjinjing kaleng kecil berisi umpan cacing, sementara Alzam cukup membawa semangat dan tawa
Gedung legislatif itu masih tampak padat dengan aktivitas meski senja sudah menyelimuti. Agna duduk di mejanya, mencoba mengatur pikirannya setelah beberapa jam penuh dengan rapat dan persiapan program yang melelahkan. Namun, ketenangan yang ia dambakan tak kunjung datang. Ia tahu, ada sesuatu yang akan mengubah hidupnya dalam waktu dekat, dan itu bukanlah hal yang mudah.Pintu ruangannya diketuk dengan pelan. Agna tahu itu pasti Bu Winda, ketua fraksi yang selama ini menjadi mentor sekaligus sahabat di tempat kerja. Ketukan itu tidak terdengar terburu-buru, tetapi penuh ketegasan."Agna, boleh bicara sebentar?" suara Bu Winda terdengar dari balik pintu."Masuk, Bu," jawab Agna, mencoba menampilkan senyum meski hatinya terasa berat.Bu Winda masuk, mengenakan blazer biru tua yang rapi dan rok panjang yang senada. Ia berdiri di depan meja Agna dengan tangan bersedekap, matanya menilai dengan cermat sosok Agna yang kini duduk di kursi dengan tubuh sedikit lebih besar. Ada perubahan fisi
Mira terbangun dengan perasaan hangat yang aneh. Ada sesuatu yang menempel erat di punggungnya, sesuatu yang membuat tubuhnya tak bisa leluasa bergerak. Perlahan ia membuka mata. Cahaya malam belum menyibak sempurna, tapi cukup untuk menunjukkan ada sosok yang memeluknya erat dari belakang.Tubuh Mira menegang. Tanpa menoleh, dengan sekali dorong, tubuh disampingnya yang tak siap segera terjatuh."Aduh! Mira, kamu kebangetan ya,.. aku memelukmu, kamu malah melemparkan aku sampai aku terjatuh."Detik berikutnya, Mira menoleh sedikit dan mendapati wajah itu. Wajah yang begitu dirindukannya, yang sempat hanya bisa ia bayangkan lewat layar ponsel dan doa di sepertiga malam. Tapi kini... wajah itu nyata."Rey?!"Sontak Mira terlongo. Ternyata yang dia kibaskan dengan kedua tangannya kuat-kuta adalah tubuh Rey. Rey, yang rupanya masih setengah sadar, jatuh dengan bunyi ‘bug’ kecil ke lantai."Sakit, tau!" erang Rey, mengaduh sambil memegangi sisi perutnya."Astaghfirullah! Maaf! Aku... aku
Sirene polisi dari sektor terdekat meraung menembus keheningan malam, membelah suara jangkrik dan desau angin yang sebelumnya begitu tenang. Beberapa warga mulai berkumpul di depan rumah Lani, heran dan khawatir. Beberapa dari mereka membawa senter, sebagian lain mengucek-ngucek mata karena baru saja terbangun. Seorang ibu-ibu bahkan masih memakai daster dan kerudung yang belum rapi."Pak Damar? Masa iya dia masuk rumah orang?" bisik salah satu warga dengan nada tak percaya. Dia adalah karyawan pabrik Lani yang pernah mengenal Damar."Katanya dia baik... dia sudah seperti teman bagi Mbak Lani," jawab yang lain."Tapi dia duluh sempat tunangan dengan Mbak Mira. Ngak tau, tiba-tiba putus. Mungkin karena Mbak Mira kecantol orang berpangkat itu hinggah mutusin Pak Damar.""Itu nggak mungkin, Mbak Mira begitu saja memutuskan pertunangannya kalau nggak ada sesuatu.""Sudahlah, kita semua nggak tau apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin Mas Alzam menjodohkan mereka. Pak Rey kan teman akrab Mas
"Mas Alzam sudah pulang," Mbok Sarem pamit ke kamarnya, "Mbok tidur duluan ya, Nduk. Dari tadi Excel rewel terus, Mbok belum sempat memejamkan mata."Lani tersenyum, matanya sedikit lelah. "Iya Bu, makasih ya. Istirahat yang cukup. Ibu juga sih, dari tadi dibilangin suruh bobok duluan masih bantuin Lani."Mbok Sarem terkekeh.Alzam menggeser sedikit posisi tubuhnya, meraih bahu Lani, memijatnya dan mengecupnya ringan. "Kamu cantik banget malam ini. Baju tidur bunga-bunga kecil itu... kayaknya baru, ya?"Lani tersenyum malu. Bajunya memang baru, ia sengaja membeli motif lembut dengan bahan halus karena tahu malam-malam seperti ini akan banyak dihabiskan di rumah dengan bayi mungil mereka."Ini biar gampang pas nyusuin. Excel kalau lapar suka tiba-tiba bangun terus nggak sabar," katanya sambil menunduk.Alzam meraih tangan istrinya dan menggenggam hangat. "Kamu hebat banget, Sayang. Ibu yang luar biasa. Istri yang luar biasa juga. Aku bangga banget punya kamu."Lani tertawa kecil, tapi
Excel sudah hampir semalaman rewel. Tangisannya menjadi, terbangun-tidur lagi, lalu terisak kembali. Lani duduk di tepi ranjang sambil memeluk anaknya yang terus saja gelisah. Satu tangan menopang kepala Excel, satu lagi mengelus punggung mungil itu perlahan. Bau asi dan peluh tercampur lembut dalam udara kamar."Ssst... Excel, iya, Nak, tenang ya... Ini Bunda..." bisiknya lirih sambil membenarkan selimut tipis yang setengah lepas. Mbok Sarem yang sejak awal ikut tidur di rumah Lani, bangun setengah mengantuk sambil merenggangkan bahu. Sudah beberapa kali ia ikut begadang semalaman sejak Excel rewel."Bu, tidurlah, biar saya saja yang jaga Excel," ucap Lani melihat tak tega pada perempuan yang sudah dianggapnya ibu itu."Aku ndak apa-apa. Kasihan kamu, Nduk. Bayi kalau sudah begini emang ngagetin. Gantian ya, aku yang gendong," kata Mbok Sarem sambil menyambar selendang dan meraih Excel dengan sigap.Lani mengangguk, menyerahkan bayinya dengan hati-hati. Ia duduk sebentar di kursi ro
Damar sudah berhari-hari menahan keinginannya. Rindu itu semakin menyesakkan, semakin tak tertahankan. Setiap malam ia melawan dorongan hatinya untuk kembali ke tempat Mira, memandangi wajahnya meski hanya dari kejauhan. Namun Vero, yang kini hamil besar, tak pernah lelah memata-matai gerak-geriknya. Kecurigaannya membuat Damar kian sulit mencari celah. Terakhir kali ia mencoba keluar malam-malam, Vero memergokinya dan memaksanya bersumpah tak akan macam-macam.Namun malam ini Damar tak sanggup lagi. Sore tadi ia bilang pada Vero bahwa ia hendak mencari ide baru untuk sovenir toko. Alasan itu cukup logis karena dia memang kerap memburu barang-barang unik untuk dijual di tokonya. Saat Vero mulai tertidur karena kelelahan, Damar segera bersiap. Namun putrinya yang tertidur, menggeliak."Papi, mau ke mana?" tanya Diandra."E, putri cantikku. Papi nggak mau ke mana-mana. Tidur lagi ya Sayang.""Tapi Dian pingin ditemani Papi."Damar mendesah. Untuk Diandra dia tak dapat menolak. Maka dia p