Di kampus, Lani hampir tak fokus dengan pelajaranya, bahkan saat dosen bertanya, dia gelagapan tak mengerti topiknya. Hingga saat siang, saat dia duduk dengan Dita di sudut taman setelah memesan makanan dari cafe sebelahnya, Dita memegang tangannya yang dingin. Suara burung-burung terdengar sayup, namun ia tak bisa menikmati ketenangan itu. Lani hanya bisa memandang Dita dengan mata yang sudah mengaca sambil mengaduk makanan di depannya."Kamu kenapa, Lani?" tanya Dita lembut, tangannya meremas tangan Lani. "Kamu pucat.""Dia telah pulang, datang dengan Agna... seolah-olah aku tak ada," gumam Lani, matanya sembap. “Aku... aku bodoh, Dit.” Tangisnya pecah, bahunya terguncang. Dita merangkulnya erat, seolah ingin menahan semua perasaan sakit itu agar tak keluar. “Kamu belum mengatakan tentang kehamilanmu padanya?” tanya Dita.“Bagaimana aku bisa mengatakan tentang semua itu, Dit? Terlebih dengan situasi seperti ini?”“Lalu jika dia kembali pada Agna, apa kamu akan diam saja?”“Aku sud
Sore menjelang ketika Lani kembali ke rumah. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak karuan.Dia langsung menuju kamar di mana tak terlihat Alzam di sana. Tanpa membuang waktu, ia mulai membereskan pakaiannya. Jemarinya bergerak cepat, menyelipkan baju-baju ke dalam koper. Kepalanya penuh dengan kenangan yang saling bertabrakan."Ke mana kamu mau pergi?" Suara Alzam terdengar dari belakang, datar, tanpa emosi.Lani membalikkan badan, matanya menatapnya tajam. "Ke mana saja yang jauh dari semua ini," sahutnya dingin. “Aku tidak peduli. Lagipula apa kamu akan perduli aku mau ke mana? Bukankah kamu telah membawanya kemari, dan itu artinya aku yang harus pergi.”Alzam mengusap wajahnya, raut frustasi terlihat jelas. "Kamu sudah merintis usaha itu, Lani. Apa kamu akan pergi dan menghancurkan semuanya? Bagaimana dengan harapan petani? Anak-anak muda yang menaruh harapan pada pabrik itu?"Lani menggertakkan giginya. "Dan bagaimana dengan hatiku, Mas? Kamu ingin
Keesokan paginya, sinar matahari menembus tirai tipis kamar tamu. Lani terbangun kembali dengan masih memakai mukenanya, dia memang tertidur kembali dengan tak sadar setelah sholat Subuh. Kepalanya terasa berat dan mata sembap. Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa lelah yang menguasai tubuhnya. Tiba-tiba, pintu kamar diketuk. Tanpa menunggu jawaban, Alzam masuk."Aku akan pergi sebentar," katanya datar.Lani bangkit perlahan, matanya tajam menatapnya. "Kamu tidak perlu menjelaskan ke mana pun kamu pergi. Itu bukan urusanku lagi."Ada sekilas rasa sakit di wajah Alzam, namun ia segera mengalihkan pandangannya. "Aku akan tetap memberitahumu karena kamu masih istriku.""Istri? Ghak salah kamu bilang seperti itu, sementara kamu punya maksud lain dengan membawa wanita itu?""Mau ghak mau kamu harus belajar terima kenyataan itu.""Cih!" Lani berdiri, tubuhnya terlihat lebih rapuh. "Apa kamu pikir aku terus menunggumu hinggah kamu bisa sepuasnya menertawakan aku? Mempermalukan ak
"Sepertinya mimpi aku bisa bertemu denganmu kembali." Damar mendekat. "Ini bukan kebetulan, Lani. ini takdir yang terus mempertemukan kita." Wajahnya nampak berbinar.Langit senja memang sudah mulai meredup saat Damar tiba di rumah yang tampak megah di pinggiran desa itu. Damar memandang berkeliling, hatinya terasa penuh tanda tanya. Mengapa Lani ada di sini? Di rumah ini? Ia bahkan tak mengerti apa yang sedang terjadi. Lani, wanita yang dulu ia cintai dengan segenap hati, tampak begitu tenang di beranda rumah yang ia kira bukan miliknya. Damar menahan napas, kakinya terasa berat untuk melangkah lebih dekat. Tapi akhirnya, ia tetap maju sambil membawa satu dos besar barang yang kemudian dia letakkan . Walau terlihat tidak begitu berat.Lani tampak kaget begitu melihat sosok Damar berdiri di sana dengan apa yang dia bawa. "Mas, kenapa kamu di sini?" Suaranya bergetar tipis. Ada banyak emosi terpendam di balik nada datarnya. Terlebih, belum-belum Damar sudah mengatakan hal yang menurut
Lani menatap souvenir pernikahan di samping pintu masuk, di mana Damar meletakkannya. Jantungnya berdetak kencang, memukul-mukul tulang rusuk seperti ingin melarikan diri dari kenyataan pahit di depannya. Alzam yang tadi beranjak pergi, kembali begitu melihat arah pandang Lani, lalu berdiri beberapa langkah darinya, wajahnya datar tanpa ekspresi. Hening melingkupi ruangan, berat dan menekan."Jadi benar kamu mau menikah dengan Agna?" Lani memecah keheningan, suaranya bergetar namun ia mencoba tegar. "Kamu sengaja mendatangkan souvenir itu ke rumah, supaya aku melihat?"Alzam tidak segera menjawab. Tatapannya lurus ke depan, dingin, tak menyisakan celah untuk penyesalan. "Aku tak perlu menjelaskan apa-apa, Lani." Dia baru menyadari kalau pria itu mengantarkan sebuah sovenir pernikahannya. Walau dia tidak mengerti kenapa umminya mengirimkannya ke rumah ini."Kamu sengaja memanasi aku dengan sovenir itu?""Bukan aku yang pesan Lani. Aku juga tak tau kenapa dibawa kemari." "Lalu seharus
Lani bergegas ke rumah sakit daerah, perasaannya bercampur aduk antara kekhawatiran dan kelelahan. Saat ia tiba di sana, ia melihat kedua orang tuanya, Towirah dan Wagimin, duduk dengan raut wajah tegang. Mereka menunggu di depan ruang pasca-operasi. Jingga, putrinya, sedang dirawat setelah menjalani operasi.Lani berjalan mendekat, dan dalam sekejap, semua kekuatan yang coba ia bangun runtuh. Towirah bangkit dan langsung memeluk Lani erat, air matanya tak terbendung. "Alhamdulillah kamu sudah di sini, Nak. Ibu bingung sekali dari tadi. Golongan darah Jingga yang langka tidak ampang mendapatkannya." Airmata Towirah tak lagi dapat dia tahan. "Ibu emnelponmu dari tadi tak ada jawaban, untunglah di handphone Jingga ada noomer Alzam jadi Ibu menelponnya. Dan dia langsung kemari setelah emminta izin dai markasnya.""Apa yang terjadi, Bu?" "Jingga kecelakaan tadi pagi, Nak. Darahnya banyak yang keluar. Untung ada Nak Alzam." Mata Towirah berbinar sesaat."Alzam?" Lani memandang ke arah uju
"Aku merindukan kehangatanmu, Lani," bisiknya pelan. Namun dia tau itu tak mungkin mengingat setiap apa yang terjadi diantara mereka akhir-akhir ini.Alzam pun segera mandi lalu memakai sarung seperti biasa jika dia mau tidur. dan hanya bertelanjang dada. Sejenak ditatapnya kembali Lani yang sedang tertidur pulas. Dia bahkan bersimpuh di sisi tempat tidur seperti biasa yang akhir-akhr ini dia lakukan jika datang malam-malam ke kamar Lani. Matanya menelusuri setiap lekuk wajah perempuan itu, lembut dan penuh cinta. Jari-jarinya yang kokoh mengusap perlahan helaian rambut Lani yang terurai, setelah dengan perlahan dia membuka hijabnya. Rasa rindunya begitu membuncah hingga ia nyaris tak bisa menahan gejolak di dadanya. "Maafkan aku, Lani," bisiknya lirih, seolah bicara kepada dirinya sendiri. Aku telah membuatmu menderita. Tapi aku tak bisa menekan benci ini tiap aku memandangmu dan selalu mengingatkan kakakku. Apa aku salah dengan rencana pernikahanku dengan Agna yang telah kusetuj
"Bu,...."Mbok Sarem mengalihkan pandangan begitu Lani datang dengan memanggilnya. Dia kemudian menunduk padahal dia ingin sekali mengatakan tentang kondisi Lani. Walau sebenarnya dia juga tidak berani karena Lani telah berpesan untuk tidak berkata apapun ke Alzam tentang kehamilannya."Aku ikut ke rumah sakit, Mas," ucap lani kemudian telah siap . "Bukannya kamu tadi baru muntah? Kenapa kamu tidak sitirahat saja, biar aku nanti yang ke sana, sekalian aku ada keperluan di rumah sakit itu.""Ghak apa, sudah baikan.""Ya, emmang begitu Mas kalau emang muntahnya gara-gar,a,.." Lagi-lagi Mbok Sarem mau keceplosan ngomong."Gara-gara apa, Mbok?" tanya Alzam heran dengan yang baru saja dia lihat. Terlebihd engan ang dia dengar dari Mbok Sarem."Sudahlah, Mas. Jadi ghak perginya? Pulangnya ghak usah repot jemput aku ke sana. Nanti aku pulang dengan naik taxi saja." Lani segera mendahului Alzam sebelum lelaki itu mengeluarkan kata protesnya.Lani yang mulanya mau memakai sepedanya yang kema
Hari itu terasa berbeda bagi Lani. Matahari pagi menyinari bangunan pabrik sederhana di samping ladang ladang jeruk. Papan nama sederhana bertuliskan "Daulani Food Processing" berdiri kokoh di depan dengan masih diselimuti kain putih tebal. Tak ada kemewahan, hanya tenda kecil di halaman depan dan beberapa kursi plastik yang sudah diatur rapi, menyatu dengan gudang jeruk yang dijadikan tempat para undangan.Pekerja-pekerja baru mulai berdatangan, satu per satu. Sebagian besar mereka adalah warga sekitar yang rata-rata mereka baru lulus sekolah atau sudah lama tidak sekolah dan tidak ada pekerjaan. Hari itu, wajah mereka dipenuhi harapan baru.Lani mengenakan blouse biru tua dengan jilbab senada. Ia berdiri di depan pintu masuk pabrik bersama Laras, Tia, dan Pak Sajad—rekan-rekannya yang selama ini bekerja keras mempersiapkan segalanya."Semua sudah siap, Mbak Lani?" tanya Pak Sajad sambil mengecek daftar kehadiran pekerja."Alhamdulillah, kayaknya sudah," jawab Lani sambil tersenyum.
"Asik sekali kalian ngobrol, lalu sekarang mau janjian di mana lagi?"Plak! Alzam memegangi pipinya yang terasa panas oleh tamparan Lani. Rasa malu ditahannya saat kebetulan ada orang lewat di dekat kampus itu. Terlebih masih pagi dan banyak mahasiswa, termasuk orang pergi kerja yang lalu lalang."Kamu sudah mulai kembali meragukan karakterku, Mas!"Alzam menunduk. Lagi-lagi karena cemburu dia tak sadar berbuat kekeliruan yang makin memperparah kebencian Lani padanya."Berarti kamu melihat aku sejak datang? Kamu membuntuti aku? Kamu memata-matai aku?""Aku memang membuntutimu. Tapi bukan untuk memata-mataimu. Aku hanya khawatir kamu sakit lagi. Sedangkan kamu tidak mungkin aku ajak bareng.""Iya, aku tau itu. Bahkan sampai kapan pun, kita tak mungkin bareng ke sini, karena di sebelah sana itu kantor istrimu. Dan di sana markasmu. Kamu takut ketauhan ada hubungan denganku.""Berhenti dengan tuduhanmu itu, kamu tau kenapa alasan ini sejak awal."Lani membuang matanya sebal lalu kembali
Lani tiba di gudang dengan langkah tergesa. Suara ketukan palu dan denting logam beradu terdengar jelas, mengisi udara pagi yang penuh kesibukan. Gudang itu hampir selesai direnovasi untuk pembukaan pabrik di sebelahnya minggu nanti. Lani berhenti sejenak, memandang para pekerja yang sibuk, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana."Mabak Lani, sini sebentar," panggil Tia, salah satu pegawainya yang bertanggung jawab menangani perekrutan karyawan baru yang beberapa hari lalu telah dilatih dari orang profesional yang telah didatangkan Alzam.Lani berjalan mendekat, senyum tipis menghiasi wajahnya meski pikirannya masih kacau."Semua pegawai baru sudah terdaftar. Besok mereka sumua ikut dalam pembukaan." Tiyas bertanya sambil menunjukkan daftar nama di tangannya."Baiklah Tia, Atur saja sesuai keinginanmu, yang penting terlihat bagus," ujar Lani sambil melirik daftar itu."Siap, Mbak Lani," jawab Tia singkat."Bagaimana dengan stok bahan baku?" Lani beralih pada Sajad, yang berdiri d
Lani lalu mengatur napasnya yang terengah, berbaring di tempat tidur setelah pemeriksaan sederhana yang dilakukan Dandi. Cahaya dari jendela menyorot wajahnya yang tampak semakin lesu. Dandi duduk di kursi sebelahnya, menunduk seolah mencari kata-kata yang tepat."Kamu tau ini dan kamu menyembunyikannya?" ucap Dandi pelan, matanya menatap Lani dengan cemas. "Kamu hamil, Lani. dan ini bukan hal yang remeh.""Aku tau, tapi apa yang bisa aku perbuat?""Kamu harus jujur pada Alzam."Kata-kata itu menggema di kepala Lani. Sebuah gelombang emosi menerpanya, antara ketakutan, kepasrahan, dan kemarahan. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangis. "Mas... jangan beri tahu Mas Alzam. Aku mohon!" Suara Lani sampai bergetar.Dandi terkejut. "Apa maksudmu, Lani? Dia berhak tahu.""Tidak, Mas, agar kekacauan tidak makin parah." Lani berusaha duduk, meskipun tubuhnya lemah. "Aku tidak mau menghancurkan pernikahannya yang sebentar lagi. Dia sudah memilih wanita itu.""Tapi dia hanya mencintaim
Lani duduk di kamarnya sendiri. Tangannya gemetar saat meraih cermin kecil di meja rias. Bayangan dirinya tampak lelah, wajah yang dipenuhi bekas air mata. "Apa yang sudah aku lakukan?" batinnya bergetar. "Kenapa semuanya terasa seperti jebakan yang tak pernah berakhir?"Dia menoleh ke jendela, berharap ada jawaban di luar sana, tetapi hanya ada kesunyian yang dingin. Setetes air mata jatuh. "Aku harus berhenti bergantung pada ilusi. Dielusnya perutnya. Demi kamu,bunda akan kuat jalani semua ini. Seolah bayi yang baru berupa benih itu mendengar apa yang diungkapkan Lani dengan bergolak. Mual pun tak lagi bisa dihindari Lani. dengan berlari Lani ke wastafel."Huek, huek!" Lani memegangi perutnya. Kepalanya pun mendadak pening.Tepat saat itu Alzam masuk. Dengan penuh cemas, dipijitnya tengkuk Lani walau berkali kali Lani mengibaskan tangannya."Jangan keras kepala Lani, aku akan memijit tengkukmu agar lebih baik." Alzam lalu berlari ke kamarnya untuk mengambil minyak kayu putih.Lani b
Agna berdiri di depan rumah Alzam, udara dingin terasa menusuk, tapi kemarahan dalam dirinya cukup membakar segalanya. Tanpa ragu, ia mengetuk pintu beberapa kali dengan kekuatan penuh, membuat suara ketukan terdengar tegas dan tak terbantahkan. Tak lama, Mbok Sarem membuka pintu. Wajahnya menunjukkan keterkejutan dan ketegangan."Mbak Agna?""Mana Lani? Di mana wanita merebut tunangan orang itu?" tanya Agna dengan nada dingin, melangkah masuk tanpa diundang. "Aku ingin bertemu dengannya."Mbok Sarem hanya menghela napas berat. Sebelum ia bisa menjawab, Lani muncul dari ruang tengah. Dia mengenakan pakaian sederhana, tapi wajahnya menunjukkan kepanikan yang tak bisa disembunyikan. Melihat Agna, Lani berhenti di tempat, seolah beku oleh rasa bersalah dan ketakutan."Jadi, kau wanita itu," suara Agna mengalun, penuh ironi.Lani menunduk, tak bisa membalas tatapan penuh amarah itu. "Aku tidak bermaksud menyakitimu...""Jangan berbicara seolah-olah kau korban di sini," potong Agna tajam.
"Siapa wanita itu, apa aku mengenalnya" tanya Agna dengan geram."Kamu sudah mengenalnya. Dia Lani. Kami telah menikah siri beberapa bulan yang lalu.""Jadi kalian menikah? Aku dari duluh sudah merasa heran dengan sikapnya. Dan dugaanku kini terbukti, dia bukan sekedar kerja di sana.""Maaf, aku emmang jatuh cinta padanya sejak pertama menolongnya. Dan pernikahan itu bukan Lani yang mengawali. Dia hanya terpaksa karena sakit parah. Dia juga tidak mengerti kalau aku sudah bertunangan. Jadi tolong jangan menyalahkan dia.""Hm, kamu ternyata yang menyebabkan semuanya jadi rumit, Mas.""Maaf, kamu ytau sendiri pertunangan kita bukanlah kehendak kita.""Kamu sudah terang-terangan mengatakan cinta padanya, Mas." Airmata Agna sudah tak terbendung lagi."Alzam hanya menundukkan kepalanya merasa bersalah.""Kalian telah menikah dan kamu tiba tiba saja mengajakku menikah. Kalian ada masalah dan aku kamu jadikan pelarian?" analisanya lagi dengan menggertakkan giginya."Maafkan aku, Agna," ucap A
Alzam seketika berdiri, menarik tangannya dari kepala Lani. Tubuhnya seakan tak mampu menyangga berat beban yang mengimpit dada. Kata-kata Lani menggema di benaknya, setiap kalimat seperti cambuk yang mengoyak hatinya. "Ceraikan aku." Kalimat itu menghantamnya seperti badai yang tak mampu ia hindari. Ia menatap Lani, berharap ada perubahan di wajah wanita itu. Namun, yang ia lihat hanya luka yang menganga, terlalu dalam untuk disembuhkan dengan kata-kata maaf."Lani..." suara Alzam terdengar lirih, hampir seperti desahan penuh kepedihan. Tangannya gemetar saat mencoba mendekati Lani, namun jarak di antara mereka terasa seperti jurang yang tak terjembatani. "Aku tahu aku telah melakukan kesalahan yang tak termaafkan. Aku tahu aku sudah menghancurkanmu... tetapi aku tidak bisa melepasmu begitu saja. Kamu adalah hidupku. Aku tak bisa hidup tanpa melihatmu ada di dekatku."Lani mengalihkan pandangannya, menyembunyikan air mata yang kembali jatuh. "Kau masih belum mengerti, Mas. Semua ini
Di rumah sakit, Salma menatap wajah mungil Senja yang sedang tidur lelap di tempat tidurnya. Tangannya gemetar ketika menyentuh pipi cucunya yang lembut. Air mata mengalir di wajahnya, bercampur antara rasa haru dan rasa bersalah yang mendalam. Ia merasa waktu berhenti sejenak, seolah seluruh kesedihan dan penyesalan yang meliputi keluarganya tertumpu pada gadis kecil ini."Senja... betapa kecil dan rapuhnya kau," bisik Salma, suaranya nyaris tak terdengar. Matanya beralih ke Towirah yang berdiri di sampingnya, memandang dengan sorot tajam penuh luka."Kami tahu ini tidak akan pernah cukup," ucap Salma, menoleh pada Towirah dan Wagimin. "Tapi kami benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Kami ingin Senja tahu bahwa dia memiliki keluarga yang mencintainya.""Kalian tak bisa menebus semua penderitaan yang anak kami alami."Thoriq yang di sisi Salma menelan ludah, nada bicaranya penuh penyesalan. "Kami tidak bermaksud membenarkan apa yang telah terjadi. Kami datang karena kami ingin menga