"Sepertinya mimpi aku bisa bertemu denganmu kembali." Damar mendekat. "Ini bukan kebetulan, Lani. ini takdir yang terus mempertemukan kita." Wajahnya nampak berbinar.Langit senja memang sudah mulai meredup saat Damar tiba di rumah yang tampak megah di pinggiran desa itu. Damar memandang berkeliling, hatinya terasa penuh tanda tanya. Mengapa Lani ada di sini? Di rumah ini? Ia bahkan tak mengerti apa yang sedang terjadi. Lani, wanita yang dulu ia cintai dengan segenap hati, tampak begitu tenang di beranda rumah yang ia kira bukan miliknya. Damar menahan napas, kakinya terasa berat untuk melangkah lebih dekat. Tapi akhirnya, ia tetap maju sambil membawa satu dos besar barang yang kemudian dia letakkan . Walau terlihat tidak begitu berat.Lani tampak kaget begitu melihat sosok Damar berdiri di sana dengan apa yang dia bawa. "Mas, kenapa kamu di sini?" Suaranya bergetar tipis. Ada banyak emosi terpendam di balik nada datarnya. Terlebih, belum-belum Damar sudah mengatakan hal yang menurut
Lani menatap souvenir pernikahan di samping pintu masuk, di mana Damar meletakkannya. Jantungnya berdetak kencang, memukul-mukul tulang rusuk seperti ingin melarikan diri dari kenyataan pahit di depannya. Alzam yang tadi beranjak pergi, kembali begitu melihat arah pandang Lani, lalu berdiri beberapa langkah darinya, wajahnya datar tanpa ekspresi. Hening melingkupi ruangan, berat dan menekan."Jadi benar kamu mau menikah dengan Agna?" Lani memecah keheningan, suaranya bergetar namun ia mencoba tegar. "Kamu sengaja mendatangkan souvenir itu ke rumah, supaya aku melihat?"Alzam tidak segera menjawab. Tatapannya lurus ke depan, dingin, tak menyisakan celah untuk penyesalan. "Aku tak perlu menjelaskan apa-apa, Lani." Dia baru menyadari kalau pria itu mengantarkan sebuah sovenir pernikahannya. Walau dia tidak mengerti kenapa umminya mengirimkannya ke rumah ini."Kamu sengaja memanasi aku dengan sovenir itu?""Bukan aku yang pesan Lani. Aku juga tak tau kenapa dibawa kemari." "Lalu seharus
Lani bergegas ke rumah sakit daerah, perasaannya bercampur aduk antara kekhawatiran dan kelelahan. Saat ia tiba di sana, ia melihat kedua orang tuanya, Towirah dan Wagimin, duduk dengan raut wajah tegang. Mereka menunggu di depan ruang pasca-operasi. Jingga, putrinya, sedang dirawat setelah menjalani operasi.Lani berjalan mendekat, dan dalam sekejap, semua kekuatan yang coba ia bangun runtuh. Towirah bangkit dan langsung memeluk Lani erat, air matanya tak terbendung. "Alhamdulillah kamu sudah di sini, Nak. Ibu bingung sekali dari tadi. Golongan darah Jingga yang langka tidak ampang mendapatkannya." Airmata Towirah tak lagi dapat dia tahan. "Ibu emnelponmu dari tadi tak ada jawaban, untunglah di handphone Jingga ada noomer Alzam jadi Ibu menelponnya. Dan dia langsung kemari setelah emminta izin dai markasnya.""Apa yang terjadi, Bu?" "Jingga kecelakaan tadi pagi, Nak. Darahnya banyak yang keluar. Untung ada Nak Alzam." Mata Towirah berbinar sesaat."Alzam?" Lani memandang ke arah uju
"Aku merindukan kehangatanmu, Lani," bisiknya pelan. Namun dia tau itu tak mungkin mengingat setiap apa yang terjadi diantara mereka akhir-akhir ini.Alzam pun segera mandi lalu memakai sarung seperti biasa jika dia mau tidur. dan hanya bertelanjang dada. Sejenak ditatapnya kembali Lani yang sedang tertidur pulas. Dia bahkan bersimpuh di sisi tempat tidur seperti biasa yang akhir-akhr ini dia lakukan jika datang malam-malam ke kamar Lani. Matanya menelusuri setiap lekuk wajah perempuan itu, lembut dan penuh cinta. Jari-jarinya yang kokoh mengusap perlahan helaian rambut Lani yang terurai, setelah dengan perlahan dia membuka hijabnya. Rasa rindunya begitu membuncah hingga ia nyaris tak bisa menahan gejolak di dadanya. "Maafkan aku, Lani," bisiknya lirih, seolah bicara kepada dirinya sendiri. Aku telah membuatmu menderita. Tapi aku tak bisa menekan benci ini tiap aku memandangmu dan selalu mengingatkan kakakku. Apa aku salah dengan rencana pernikahanku dengan Agna yang telah kusetuj
"Bu,...."Mbok Sarem mengalihkan pandangan begitu Lani datang dengan memanggilnya. Dia kemudian menunduk padahal dia ingin sekali mengatakan tentang kondisi Lani. Walau sebenarnya dia juga tidak berani karena Lani telah berpesan untuk tidak berkata apapun ke Alzam tentang kehamilannya."Aku ikut ke rumah sakit, Mas," ucap lani kemudian telah siap . "Bukannya kamu tadi baru muntah? Kenapa kamu tidak sitirahat saja, biar aku nanti yang ke sana, sekalian aku ada keperluan di rumah sakit itu.""Ghak apa, sudah baikan.""Ya, emmang begitu Mas kalau emang muntahnya gara-gar,a,.." Lagi-lagi Mbok Sarem mau keceplosan ngomong."Gara-gara apa, Mbok?" tanya Alzam heran dengan yang baru saja dia lihat. Terlebihd engan ang dia dengar dari Mbok Sarem."Sudahlah, Mas. Jadi ghak perginya? Pulangnya ghak usah repot jemput aku ke sana. Nanti aku pulang dengan naik taxi saja." Lani segera mendahului Alzam sebelum lelaki itu mengeluarkan kata protesnya.Lani yang mulanya mau memakai sepedanya yang kema
"Kenapa kamu tidak menungguku di sana?" tanya Alzam merasa kecewa padahal seharian Lani di rumah sakit."Aku kan sudah bilang, aku naik taxi.""Kamu benar-benar ya, Lani!" tangan Alzam mengepal, merasa tak dihargai Lani lagi. Hari-hari berikutnya terasa seperti berjalan di atas duri bagi Lani. Setiap kali bertemu Alzam, ada bara di matanya, kemarahan yang tak pernah padam. Mereka sering bertengkar. Benturan demi benturan yang menyisakan luka, lebih dalam dari yang mereka kira. Alzam tetap mencoba mendekatinya, seolah ingin menghidupkan kembali sesuatu yang telah mereka bakar hingga menjadi abu. Namun Lani terus menghindar walau dia kerap bertanya-tanya, apa yang dilakukan Alzam dengan berada di laboratorium DNA itu."Pabrik mulai finishing, Lani," ujar Alzam di satu sore, nada bicaranya datar. Ia mencoba mengalihkan perhatian Lani, berharap ada pembicaraan yang lebih dari sekadar amarah. Namun, Lani hanya menatapnya dingin. Hanya keesokan harinya dia datang ke sana, dan melihat apa s
"Ini,... Ini apa maksudnya, Alzam?" tanya Salma, umminya Alzam."Itu hasil tes DNA Senja, Ummi. Senja itu anaknya Lani." Alzam menunduk, menahan perasaan bersalah yang membuncah di dadanya. "Dia... anak Madan.""Tapi... Alzam, bagaimana Lani bisa—" Suara Salma terdengar bergetar, matanya menatap Alzam dengan perasaan yang campur aduk. Hatinya hancur, merasakan kenyataan yang tidak pernah ia duga sebelumnya."Iya, Mi. Lani mengandung Senja karena kehormatannya telah direnggut Kak Madan.""Apa?" Salma mundur selangkah, bahkan sempoyongan dengan memegang dadanya. Tes DNA Senja? Anaknya Lani, anaknya Madan? Suara seakan berputar di sekeliling. Salma, menatap kertas di tangannya dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Matanya beralih ke wajah putranya, mencari kekuatan di sana. Sedangkan Alzam justru rapuh dengan mata yang telah buram.Hening menggantung, terasa berat di antara mereka. Salma menarik napas panjang, mengatupkan kedua tangannya seolah ingin menahan getaran yang menjalar di
"Aku tau aku salah, Bi. semua itu karena aku terlalu emosi saat Lani mengatakan telah dinodai Kak Madan. Aku telah menganggap Kak Madan adalah segalanya bagiku, bagaimana mungkin dia melakukan semua itu? Dia yang selalu terkenal alim dan mensupport Alzam, apa salah justru Alzam meragukan Lani?" Alzam menarik napas panjang, berusaha menguatkan diri menghadapi gelombang emosi di kamar luas itu. Wajah Abi dan Umminya masih penuh keterkejutan. Kedua orangtuanya yang selama ini menjadi pilar kekuatannya, kini tampak rapuh."Ummi... Abi... aku-" Alzam memulai dengan suara serak, tapi sebelum dia bisa melanjutkan, Salma mengangkat tangannya, menghentikannya."Alzam, Kenapa kamu tidak pernah jujur dari awal? Menikah siri dengan Lani? Sementara kamu sudah berencana menikah dengan Agna?" Suara Salma bergetar, matanya yang biasanya penuh kasih kini dipenuhi rasa kecewa."Ummi, itu... itu bukan rencana awalku. Aku... aku menikahi Lani dalam kondisi yang... sulit," ucap Alzam, menundukkan kepalany
Langkah Alzam terdengar berat saat memasuki ruangannya. Ia menutup pintu dengan keras, lalu meletakkan tangannya di meja sebelum tiba-tiba menggebraknya. Napasnya memburu. Pikirannya kacau. Apa yang telah dia rencanakan seolah luntruh begitu saja. Dandi yang baru kembali dari kantin langsung membuka pintu tanpa mengetuk. "Hei, kenapa ngamuk? Ada masalah?" tanya dengan memegang lengan alzam, berusaha menenangkan sahabatnya itu.Alzam menatapnya tajam. "Masalah besar, Dan."Dandi yang masuk tapi matanya masih menatap penghuni markas yang lalu lalang, segera menutup pintu. "Ceritakan. Apa lagi kali ini? Ada yang aneh dari panggilan Komandan?"Alzam menekan pelipisnya. "Semua ini ulah Agna. Aku nggak habis pikir. Dia datang ke komandan, memohon supaya aku dikembalikan ke markas. Bahkan, dia bilang rela kalau aku menikahi Lani secara resmi."Dandi terperangah. "Serius? Itu niat baik banget. Tapi kenapa?""Apa aku bisa bebas dari Agna kalau ini tetap begini? Aku hanya ingin bebas darinya,
Lani melipat secarik kertas dengan hati-hati sebelum meletakkannya di meja rias, tepat di tempat biasa ia meninggalkan pesan untuk Alzam. Meski sebenarnya ini bukan sesuatu yang mendesak, ia merasa perlu memberitahukan niatnya."Bu Sarem," panggil Lani ketika keluar dari kamar. Ia melangkah menuju dapur, tempat wanita tua itu tengah sibuk menyiapkan makanan.Mbok Sarem menoleh sambil mengusap tangannya dengan kain lap. "Ada apa, Nduk? Wajahmu kok kelihatan seperti orang kepikiran."Lani mencoba tersenyum. "Aku mau ke rumah orangtua sebentar. Ibu bilang rindu, sudah lama aku nggak pulang."Mbok Sarem memandanginya sejenak, menatap koper besar yang dibawa Lani, lalu menyipitkan mata. "Rindu atau ada yang lain? Mbok ini sudah tua, tapi belum pikun, Lani. Ada apa sebenarnya? Jangan kamu kira Ibu bodoh dengan koper besar yang kamu bawa itu, Dhuk." Mbok Sarem mengusap pelunya. "Kamu akan lama di sana kan? Atau bahkan ada asesuatu yang membuatmu tak akan kembali ke sini?"Lani terdiam sesaa
"Mas, kamu udah siap?" tanya Lani begitu melihat Alzam memakai kembali seragam militernya.Alzam berbalik dari cermin dan menatap ke arah Lani. Sementara Lani membenarkan kancing bajunya, lelaki itu hanya menatapnya tanpa kedip."Mas, jangan terus memandangiku, apa kamu tidak bosan?""Apa kamu mau aku bosan kepadamu?" Alzam mulai meletakkan tangannya di pinggang Lani. Lalu mengusap perutnya. Lani hanya tersenyum. "Bukannya setiap satu tatapanku padamu akan menggugurkan dosa-dosa kita?""Ih, bisa ceramah kamu!" Alzam terkekeh. "Putraku, Ayah pergi duluh, ya. Tolong jaga Bunda baik-baik sampai Ayah kembali. Jangan biarkan dia ke mana-mana sebelum Ayah pulang."Lani sejenak tersentak dengan kata-kata Alzam. Apa yang dia rasakan? Apakah dia tau kalau aku akan pergi? bathin Lani bingung."Sayang, kamu kenapa?" Alzam mengangkat dagu Lani yang tertunduk. Sebuah ciuman dia daratkan di bibirnya."Enggak, Mas. Aku ikut bahagia dengan kebahagiaanmu ini.""Mudah-mudahan setelah ini kita akan ba
"Ayo, kita jalan-jalan sebentar. Aku butuh suasana baru." Alzam menarik Lani ke dalam pelukannya."Mau ke mana?" "Ke pasar sore," jawab Alzam sambil menatap Lani penuh cinta.Lani tersenyum tipis, meski hatinya masih bergelut dengan keputusan yang baru saja dia ambil. "Ke pasar sore?" tanyanya sambil melirik suaminya.Alzam mengangguk, matanya berbinar ceria seperti anak kecil yang baru saja menemukan mainan baru. "Iya, aku mau potong rambut. Besok aku ada panggilan dari komandan. Barusan beliau telepon."Lani terdiam sejenak. Kabar itu membangkitkan perasaan campur aduk di dalam dirinya. Ada kebahagiaan untuk Alzam, tapi juga kegetiran yang sulit disembunyikan. "Kamu terlihat senang," komentarnya akhirnya.Alzam tertawa kecil, menggenggam tangan Lani erat. "Tentu saja. Ini kesempatan yang sudah lama aku tunggu-tunggu. Aku bisa meneruskan karierku, Lani. Naik pangkat itu bukan hal yang datang setiap hari, walau itu kini aku tak bisa terlalu berharap setelah kejadian ini.""Baik, aku
Kopi panas di cangkir Damar mengepul, aroma pahitnya samar bercampur harum teh melati yang dipesan Mira. Diandra duduk manis di kursinya, menggoyang-goyangkan kaki sambil memainkan sedotan plastik dari es krimnya. Suasana hangat terjalin di antara mereka, meskipun ada ketegangan kecil yang sulit diabaikan.Mira diam. Lani hanya mengamati dengan tenang, membiarkan kedua orang itu berbicara."Tapi," suara Mira kembali terdengar. "Kamu tahu kan, Damar? Seberapapun besarnya cintamu untuk Diandra, seorang anak tetap butuh ibunya."Damar menatap Mira dalam. "Aku tahu, Mira. Tapi aku tidak ingin memberinya sosok ibu yang tidak benar-benar ada untuknya. Aku lebih baik sendiri daripada membiarkan Diandra mengalami hal yang sama lagi."Suara Damar terdengar berat, nyaris bergetar. Mira menunduk, mengusap telapak tangan yang berkeringat."Lalu, apa yang kamu harapkan dariku?" tanyanya pelan.Damar menarik napas panjang. Dia menoleh ke arah Diandra yang kini sibuk menggambar lingkaran kecil di me
"Mas," panggil Lani pelan.Alzam melipat koran dan menatapnya. "Ada apa?""Aku... mau keluar sebentar. Mira janji ketemuan di kafe sama Damar." "Kenapa nggak suruh dia ke sini saja?"Lani menggeleng. "Ada yang ingin dia bicarakan, dan sepertinya lebih nyaman di luar."Alzam terdiam sesaat, lalu mengangguk. "Oke, aku antar.""Tapi aku sudah minta Pak Surip. Lagipula ini urusan biasa, nggak perlu repot-repot."Ada kerutan di dahi Alzam, tapi ia hanya menatap Lani beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk. "Baiklah. Tapi kalau ada apa-apa, kabari aku."Lani tersenyum tipis. "Terima kasih, Mas." Sebuah ciuman didaratkan Lani di pipi Alzam, membuat alzam malah menariknya dan menghadiai Lani ciuman di bibirnya.Mobil melaju pelan di jalan yang agak lengang. Pak Surip, supir pabrik yang biasa mengantar Lani untuk urusan kerja, duduk tenang di belakang kemudi. Sementara itu, Lani dan Mira berbincang ringan di jok belakang, sesekali tertawa kecil."Jadi, Damar ngajak ketemu lagi?" Mira men
Pagi baru saja merayap ketika Alzam keluar dari kamar mandi dengan handuk tergantung di bahunya. Ia berhenti sejenak, menatap Lani yang masih terbaring di tempat tidur dengan selimut menutupi tubuhnya hingga dada. Wajah Lani terlihat pucat di bawah sinar redup lampu tidur."Kamu sakit?" tanya Alzam, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Ia mendekat, duduk di sisi tempat tidur, lalu menyentuh kening Lani.Lani membuka mata perlahan, menatap Alzam dengan sorot lemah. "Nggak apa-apa. Cuma sedikit pusing," jawabnya lirih."Apa karena Adik yang bikin kamu pusing?" Alzam memegang perut Lani "Adik, jangan nakal, ya. Kasihan Bunda kesakitan," ucapnya lalu terkekeh saat menyadari bayi yang dipegangnya bergerak. "Dia denger, Sayang."Lani ikut tersenyum melihat kekonyolan Alzam."Tunggu sebentar, aku ambilkan air hangat," kata Alzam sambil bangkit setelah memegang kening Lani dan tidak mendapati Lani demam seperti dugaannya."Mas," panggil Lani pelan, membuatnya berhenti di tengah langkah. "Nggak per
Damar mematikan telepon dengan tangan gemetar. Langkahnya tertahan di tengah keramaian mal. Bayangan Mira seolah-olah terus menari di benaknya, membuat pikirannya tak tenang. Namun, suara tawa Diandra yang memeluk bonekanya membawanya kembali ke kenyataan."Papa, aku haus," ucap Diandra.Damar mengangguk pelan. "Ayo, kita cari tempat duduk dulu."Mereka berdua menuju kedai kecil di pojokan mal. Diandra duduk manis, menyantap makanan dan minumannya. Namun, Damar hanya menatap kosong ke meja, pikirannya masih bergelut dengan perasaan kebingungan antara Mira dan Diandra.Seketika, ia teringat Bu Ira. "Diandra mau diasuh Bu Ira lagi?" tanyanya."Bu Ira?" Seketika mata Diandra berbinar. Lalu mengangguk. Ia lalu memutuskan untuk pergi ke rumah Bu Ira setelah ini."Assalamu'alaikum," Damar mengetuk pintu rumah kecil itu.Seorang wanita paruh baya muncul, wajahnya terlihat lelah namun ramah. "Wa'alaikumussalam. Oh, Damar. Ada apa?" tanyanya.Damar tersenyum canggung. "Bu, saya mau minta tolo
Mobil melaju pelan melewati jalanan yang ramai, ditemani percakapan santai di dalamnya. Lani duduk di kursi depan, melirik ke arah Alzam yang fokus pada kemudi. Di kursi belakang, Mira memandangi jalanan dengan tatapan kosong."Jadi, gimana Damar, Mbak?" Lani membuka percakapan, mengangkat alis penuh rasa ingin tahu. ' Kok nggak pernah cerita ke aku?"Mira tersentak, lalu tertawa kecil. "Entahlah, Lani." Ia mengangkat bahu, mengalihkan pandangan ke luar jendela. "Kayaknya Ibu masih belum setuju sama dia. Lagian..." Mira menghela napas, suaranya melembut, "Mas Damar juga belakangan ini kalau aku telpon seolah-olah menghindar."Lani memiringkan kepala, melirik Mira lewat kaca spion dalam. "Menghindar? Maksudnya?""Aku nggak tahu, Lani." Mira tersenyum tipis, mencoba menutupi kegundahannya.Lani melirik Alzam. "Mas, kamu tahu sesuatu soal ini?"Alzam menatap lurus ke depan, menggenggam setir dengan erat. "Aku nggak terlalu tahu banyak soal mereka. Tapi, kalau boleh jujur, aku rasa Damar