"Bu,...."Mbok Sarem mengalihkan pandangan begitu Lani datang dengan memanggilnya. Dia kemudian menunduk padahal dia ingin sekali mengatakan tentang kondisi Lani. Walau sebenarnya dia juga tidak berani karena Lani telah berpesan untuk tidak berkata apapun ke Alzam tentang kehamilannya."Aku ikut ke rumah sakit, Mas," ucap lani kemudian telah siap . "Bukannya kamu tadi baru muntah? Kenapa kamu tidak sitirahat saja, biar aku nanti yang ke sana, sekalian aku ada keperluan di rumah sakit itu.""Ghak apa, sudah baikan.""Ya, emmang begitu Mas kalau emang muntahnya gara-gar,a,.." Lagi-lagi Mbok Sarem mau keceplosan ngomong."Gara-gara apa, Mbok?" tanya Alzam heran dengan yang baru saja dia lihat. Terlebihd engan ang dia dengar dari Mbok Sarem."Sudahlah, Mas. Jadi ghak perginya? Pulangnya ghak usah repot jemput aku ke sana. Nanti aku pulang dengan naik taxi saja." Lani segera mendahului Alzam sebelum lelaki itu mengeluarkan kata protesnya.Lani yang mulanya mau memakai sepedanya yang kema
"Kenapa kamu tidak menungguku di sana?" tanya Alzam merasa kecewa padahal seharian Lani di rumah sakit."Aku kan sudah bilang, aku naik taxi.""Kamu benar-benar ya, Lani!" tangan Alzam mengepal, merasa tak dihargai Lani lagi. Hari-hari berikutnya terasa seperti berjalan di atas duri bagi Lani. Setiap kali bertemu Alzam, ada bara di matanya, kemarahan yang tak pernah padam. Mereka sering bertengkar. Benturan demi benturan yang menyisakan luka, lebih dalam dari yang mereka kira. Alzam tetap mencoba mendekatinya, seolah ingin menghidupkan kembali sesuatu yang telah mereka bakar hingga menjadi abu. Namun Lani terus menghindar walau dia kerap bertanya-tanya, apa yang dilakukan Alzam dengan berada di laboratorium DNA itu."Pabrik mulai finishing, Lani," ujar Alzam di satu sore, nada bicaranya datar. Ia mencoba mengalihkan perhatian Lani, berharap ada pembicaraan yang lebih dari sekadar amarah. Namun, Lani hanya menatapnya dingin. Hanya keesokan harinya dia datang ke sana, dan melihat apa s
"Ini,... Ini apa maksudnya, Alzam?" tanya Salma, umminya Alzam."Itu hasil tes DNA Senja, Ummi. Senja itu anaknya Lani." Alzam menunduk, menahan perasaan bersalah yang membuncah di dadanya. "Dia... anak Madan.""Tapi... Alzam, bagaimana Lani bisa—" Suara Salma terdengar bergetar, matanya menatap Alzam dengan perasaan yang campur aduk. Hatinya hancur, merasakan kenyataan yang tidak pernah ia duga sebelumnya."Iya, Mi. Lani mengandung Senja karena kehormatannya telah direnggut Kak Madan.""Apa?" Salma mundur selangkah, bahkan sempoyongan dengan memegang dadanya. Tes DNA Senja? Anaknya Lani, anaknya Madan? Suara seakan berputar di sekeliling. Salma, menatap kertas di tangannya dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Matanya beralih ke wajah putranya, mencari kekuatan di sana. Sedangkan Alzam justru rapuh dengan mata yang telah buram.Hening menggantung, terasa berat di antara mereka. Salma menarik napas panjang, mengatupkan kedua tangannya seolah ingin menahan getaran yang menjalar di
"Aku tau aku salah, Bi. semua itu karena aku terlalu emosi saat Lani mengatakan telah dinodai Kak Madan. Aku telah menganggap Kak Madan adalah segalanya bagiku, bagaimana mungkin dia melakukan semua itu? Dia yang selalu terkenal alim dan mensupport Alzam, apa salah justru Alzam meragukan Lani?" Alzam menarik napas panjang, berusaha menguatkan diri menghadapi gelombang emosi di kamar luas itu. Wajah Abi dan Umminya masih penuh keterkejutan. Kedua orangtuanya yang selama ini menjadi pilar kekuatannya, kini tampak rapuh."Ummi... Abi... aku-" Alzam memulai dengan suara serak, tapi sebelum dia bisa melanjutkan, Salma mengangkat tangannya, menghentikannya."Alzam, Kenapa kamu tidak pernah jujur dari awal? Menikah siri dengan Lani? Sementara kamu sudah berencana menikah dengan Agna?" Suara Salma bergetar, matanya yang biasanya penuh kasih kini dipenuhi rasa kecewa."Ummi, itu... itu bukan rencana awalku. Aku... aku menikahi Lani dalam kondisi yang... sulit," ucap Alzam, menundukkan kepalany
Di rumah sakit, Salma menatap wajah mungil Senja yang sedang tidur lelap di tempat tidurnya. Tangannya gemetar ketika menyentuh pipi cucunya yang lembut. Air mata mengalir di wajahnya, bercampur antara rasa haru dan rasa bersalah yang mendalam. Ia merasa waktu berhenti sejenak, seolah seluruh kesedihan dan penyesalan yang meliputi keluarganya tertumpu pada gadis kecil ini."Senja... betapa kecil dan rapuhnya kau," bisik Salma, suaranya nyaris tak terdengar. Matanya beralih ke Towirah yang berdiri di sampingnya, memandang dengan sorot tajam penuh luka."Kami tahu ini tidak akan pernah cukup," ucap Salma, menoleh pada Towirah dan Wagimin. "Tapi kami benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Kami ingin Senja tahu bahwa dia memiliki keluarga yang mencintainya.""Kalian tak bisa menebus semua penderitaan yang anak kami alami."Thoriq yang di sisi Salma menelan ludah, nada bicaranya penuh penyesalan. "Kami tidak bermaksud membenarkan apa yang telah terjadi. Kami datang karena kami ingin menga
Alzam seketika berdiri, menarik tangannya dari kepala Lani. Tubuhnya seakan tak mampu menyangga berat beban yang mengimpit dada. Kata-kata Lani menggema di benaknya, setiap kalimat seperti cambuk yang mengoyak hatinya. "Ceraikan aku." Kalimat itu menghantamnya seperti badai yang tak mampu ia hindari. Ia menatap Lani, berharap ada perubahan di wajah wanita itu. Namun, yang ia lihat hanya luka yang menganga, terlalu dalam untuk disembuhkan dengan kata-kata maaf."Lani..." suara Alzam terdengar lirih, hampir seperti desahan penuh kepedihan. Tangannya gemetar saat mencoba mendekati Lani, namun jarak di antara mereka terasa seperti jurang yang tak terjembatani. "Aku tahu aku telah melakukan kesalahan yang tak termaafkan. Aku tahu aku sudah menghancurkanmu... tetapi aku tidak bisa melepasmu begitu saja. Kamu adalah hidupku. Aku tak bisa hidup tanpa melihatmu ada di dekatku."Lani mengalihkan pandangannya, menyembunyikan air mata yang kembali jatuh. "Kau masih belum mengerti, Mas. Semua ini
"Siapa wanita itu, apa aku mengenalnya" tanya Agna dengan geram."Kamu sudah mengenalnya. Dia Lani. Kami telah menikah siri beberapa bulan yang lalu.""Jadi kalian menikah? Aku dari duluh sudah merasa heran dengan sikapnya. Dan dugaanku kini terbukti, dia bukan sekedar kerja di sana.""Maaf, aku emmang jatuh cinta padanya sejak pertama menolongnya. Dan pernikahan itu bukan Lani yang mengawali. Dia hanya terpaksa karena sakit parah. Dia juga tidak mengerti kalau aku sudah bertunangan. Jadi tolong jangan menyalahkan dia.""Hm, kamu ternyata yang menyebabkan semuanya jadi rumit, Mas.""Maaf, kamu ytau sendiri pertunangan kita bukanlah kehendak kita.""Kamu sudah terang-terangan mengatakan cinta padanya, Mas." Airmata Agna sudah tak terbendung lagi."Alzam hanya menundukkan kepalanya merasa bersalah.""Kalian telah menikah dan kamu tiba tiba saja mengajakku menikah. Kalian ada masalah dan aku kamu jadikan pelarian?" analisanya lagi dengan menggertakkan giginya."Maafkan aku, Agna," ucap A
Agna berdiri di depan rumah Alzam, udara dingin terasa menusuk, tapi kemarahan dalam dirinya cukup membakar segalanya. Tanpa ragu, ia mengetuk pintu beberapa kali dengan kekuatan penuh, membuat suara ketukan terdengar tegas dan tak terbantahkan. Tak lama, Mbok Sarem membuka pintu. Wajahnya menunjukkan keterkejutan dan ketegangan."Mbak Agna?""Mana Lani? Di mana wanita merebut tunangan orang itu?" tanya Agna dengan nada dingin, melangkah masuk tanpa diundang. "Aku ingin bertemu dengannya."Mbok Sarem hanya menghela napas berat. Sebelum ia bisa menjawab, Lani muncul dari ruang tengah. Dia mengenakan pakaian sederhana, tapi wajahnya menunjukkan kepanikan yang tak bisa disembunyikan. Melihat Agna, Lani berhenti di tempat, seolah beku oleh rasa bersalah dan ketakutan."Jadi, kau wanita itu," suara Agna mengalun, penuh ironi.Lani menunduk, tak bisa membalas tatapan penuh amarah itu. "Aku tidak bermaksud menyakitimu...""Jangan berbicara seolah-olah kau korban di sini," potong Agna tajam.
"Sebentar, sayang," pemit Alzam. "Jangan ke mana-mana, ya. Dan tetap wasapada."Lani kebingungan dengan pesan dari suaminya yang kemudian pergi , seolah mencari seseorang di antara kerumunan."Siapa dia, kenapa dari tadi dia menguntit kami?" pertanyaan itu memenuhi dada Alzam yang masih tengok sana, tengok sini. Dia yakin betul lelaki itu dari tadi mengikuti mereka."Ada apa, Mas?" tiba-tiba Parjo menyapa."Enggak, Cak, cuma cari seseorang. Sepertinya dari tadi aku merasa ada yang membuntuti aku dan Lani.""Mas Alzam sama MBak Lani ke sini?" tanya Paijo."Iya, Cak.""Lalu di mana dia, Mas?""Tadi aku tinggal di sana karena aku cari orang yang sepertinya sengaja buntuti aku.""Cepatlah ke sana saja, Mas. Takutnya terjadi apa-apa sama Mbak Lani."Alzam mendadak khawatir. Dia pun segera ke tempat di mana Lani tadi ditinggalkan."Terimakasih, Cak." Alzam segera berlari kecil, katekutan seolah menguasainya. Hinggah akhirnya dia mendapati Lani yang menelisikkan pandangan mencari sosok Alza
Alzam keluar dari rumah Lani dari arah depan, hal yang tak pernah dia lakukan selama ini. Dihirupnya udara sebanyak mungkin, seolah dia baru saja terbebas dari beban yang berat.Langit mulai meremang. Alzam yang berdiri di teras, menatap jauh ke arah jalan desa yang mulai ramai. Angin sepoi membawa aroma khas dedaunan basah. Ia menoleh dari kaca jendela yang bisa melihat ke arah Lani yang sedang membereskan sisa makanan di ruang tamu bersama Mbok Sarem. Sebuah senyuman kecil disunggingkan Alzam di bibirnya. Rasanya dia tak pernah bosan menatap orang yang paling dia cintai itu. Rambut Lani yang lebat, masih menutup sebagian wajahnya. Da begitu cantik, guman Alzam lagi dengan menatap Lani tak jemuh.Tiba-tiba dia ingat keinginannya selama ini. Dia lalu masuk, menghampiri Lani.“Lani,” panggil Alzam lembut, suaranya seperti menahan sebuah permintaan besar.Lani menoleh. “Ada apa?” tanyanya dengan senyum kecil.“Temani aku jalan-jalan sore ini. Aku ingin kita menikmati waktu berdua, seper
"Kamu mau ke mana, Dhuk? " tanya Wagimin yang telah mendapati Mira datang dan terlihat rapi."Saya mau pulang Paklik. Tapi, entahlah. Rasanya... ada yang mengganjal."Wagimin mengernyit, melipat tangan di depan dada. "Apa yang mengganjal? Ceritakan. Jangan dipendam saja."Mira menunduk. "Bukan apa-apa, Paklik. Hanya perasaan aneh."Towirah, istrinya Wagimin, yang duduk di sudut ruang, ikut menimpali. "Perasaan aneh? Ah, biasanya itu tanda ada sesuatu yang besar. Apa jangan-jangan soal hati?"Mira tertegun. Ia melirik ke arah Towirah dan Wagimin yang kini menatapnya dengan penuh selidik. "Paklik, Buklik... sebenarnya aku ingin bercerita. Tapi takutnya malah jadi rumit.""Coba ceritakan dulu, Dhuk," bujuk Wagimin. "Kami di sini buat mendengarkan."Setelah ragu sejenak, Mira akhirnya menghela napas panjang. "Aku jatuh cinta, Paklik, Bulek. Tapi... aku takut."Towirah menyandarkan tubuh ke kursi, alisnya terangkat. "Takut kenapa? Jatuh cinta itu kan wajar.""Bukan cinta biasa, Bulek. Lela
Lani berdiri mematung di tengah gudang. Senyumnya mengembang, namun matanya berkaca-kaca. Di hadapannya, Alzam berdiri tegak, dikelilingi oleh pekerja gudang dan petani jeruk yang sebagian besar adalah pelanggan setia yang menyetorkan hasil panennya ke gudang milik Alzam. Suasana ruangan terasa penuh, tapi dalam pandangan Lani, hanya ada Alzam. Demikian juga dengan yang dirasakan Alzam.Lani dan Alzam saling menatap, seolah waktu berhenti. Alzam, dengan langkah tegas, mendekati Lani. Tanpa ragu, ia meraih bahunya dan memeluknya erat. Sebuah ciuman lembut ia daratkan di kening Lani.Desas-desus segera memenuhi ruangan. Bisikan kecil di antara kerumunan terdengar seperti suara lebah yang berdengung."Benar, kan? Selama ini mereka ada hubungan," ujar seorang ibu paruh baya di sudut. "Aku sudah melihatnya sejak mereka bersama di sini.Mereka sudah salin mencintai.""Mbak Agna yang menuntut Mas Alzam menikahinya karena dia memang tunangannya. Apa salah?" Sahut ibu-ibu yang lain. Mereka bahka
Ruangan besar di pabrik terasa sibuk dengan hiruk-pikuk aktivitas. Tumpukan karung berisi kulit jeruk tertata rapi, siap untuk dikirim. Lani berdiri di depan, mengenakan blouse sederhana yang lebih longgar untuk menutupi kehamilannya agar tak menjadi fitnah di kalangan masyarakat sana yang kini kadang terdengar ada dasas desus tentang dirinya dan Alzam. Sekuat apapun mereka menutupi, ternyata orang malah curiga ada sesuatu diantara mereka, terlebih saat orang tau Lani tinggal di sebelah rumah Alzam. Ada yang sinis, ada yang berbisik kenapa? Apalagi saat melihat orangtua Lani yang terasa akrab dengan orangtua Alzam. Bahkan seorang anak kecil yang kemarin mereka telah tau kalau itu anak Lani."Ternyata Mbak Lani tak sebaik yang kita kira, ya? Anak itu siapa bapaknya juga masih ghak jelas," guman salah seorang diantara mereka kapan hari. Untunglah Lani tak mendengar semua itu walau dia juga kadang risih dengan tatapan orang yang kebetulan bersimpangan dengannya."Untung dia pemilik pabri
Agna duduk di kursi kayu di sudut ruang makan, menatap secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Pagi itu terasa hampa. Langit mulai cerah, tapi suasana hatinya penuh awan gelap. Jam dinding berdentang, pukul sembilan lewat lima belas. Ia baru saja hendak menyendokkan satu sendok nasi goreng ke mulutnya ketika ponselnya bergetar."Ini pasti dia," gumamnya, setengah berharap, setengah cemas. Pagi ini saat dia bangun, Alzam sudah pergi. Menurut yang dia dengar dari ibunya, Alzam pamit karena ada yang harus dikerjakan."Halo, Mas," ucap Agna tanpa melihat siapa yang menelpon."Pagi, Bu Agna. Saya Tono. Maaf mengganggu, tapi saya punya informasi penting soal Pak Alzam, sesuai permintaan Anda."Agna terdiam sejenak. "Ya, lanjutkan.""Beliau diskors selama seminggu, Bu. Ada masalah... urusan pribadi, poligami, ketahuan komandannya."Agna meremas gagang ponsel lebih erat. "Diskors karena poligami?" ulangnya lirih. Hatinya seperti ditusuk jarum tajam."Benar, Bu. Sepertinya masalah ini juga men
Lani duduk di ruang tengah, matanya menatap kosong ke arah jendela. Tangannya memegang cangkir teh yang sudah dingin, namun ia bahkan tak menyadarinya. Di sebelahnya, Towirah mencoba memulai percakapan."Lani, jangan begini terus. Kamu harus kuat, Nak," ucap Towirah dengan suara lembut.Wagimin mendekat, membawa sebuah baki berisi pisang goreng hangat. "Ayo makan dulu. Pikiran berat nggak akan hilang kalau perut kosong," katanya sambil tersenyum tipis.Namun, Lani tetap diam. Hanya sekelumit air mata yang tergantung di sudut matanya. Mbok Sarem, yang duduk di sebelahnya, memandang Lani dengan prihatin."Apa Mas Alzam nggak pamit baik-baik sama kamu, Lani?" tanya Mbok Sarem pelan, mencoba menguatkan Lani.Lani menoleh, suaranya serak ketika menjawab. "Dia pamit, Mbok. Tapi rasanya seperti dia pergi untuk selamanya.""Dia pamit, Lani. Dan aku rasa dia juga berat saat pergi sampai dia kembali lagi kan? Jadi jangan berfikir negatif duluh. Dia orang yang bertanggungjawab. Tidak akan mungki
Alzam muncul dari belakang Lani. Ia melirik ke arah ibunya, lalu mengangguk. "Ayo, Mi.""Kamu ghak ngomong sama Lani duluh?""Ngomong apa, Mi?""Mereka sebenarnya menjemput Agna bersamamu. Kakak Agna datang dan ingin berkumpul dengan kalian.""Maksudnya ke rumah orangtua Agna?""Iya, begitulah.""Bagaimana ya, Mi, ini kan masih waktunya Alzam bersama dengan Lani. Kalau ke sana,..""Mas, ghak apa-apa. Pergilah," ucap Lani dengan menahan sesak di hatinya.Salma memandangi putranya dan Lani bergantian dengan perasaan campur aduk. Dalam hatinya, ia mengulang-ulang doa yang sama: "Tuhan, lindungi mereka dari segala kesulitan."Saat Alzam melangkah keluar rumah, Salma menoleh sekali lagi ke arah Lani dan Senja yang berdiri di ambang pintu. Bayangan mereka tersenyum, membuat Salma tak mampu menahan air mata yang menggenang. Ia berjalan menjauh tanpa berkata apa-apa, namun hatinya terus berdoa. Do'a yang tidak sama dengan yang diucapkan Lani yang segera beranjak ke kamarnya dengan menyuruh Se
"Nyonya! Kejutan kok mampir ke sini," ucap pembantu Agna saat melihat dua orang di depan pintu. Kedua orang itu pun tersenyum sambil melangkah masuk.Salma dan Thoriq yang sedang minum teh sambil nonton TV di ruang tengah,segera bangkit dan menyalami mereka berdua. Lalu mempersilahkan duduk.Baskara, ayah Agna, menyisipkan percakapan dengan nada lebih ringan. "Bagaimana kabar semua di sini? Lama tidak mampir.""Baik, Pak Baskara," jawab Thoriq datar, meski ada sedikit ketegangan di nadanya. "Tapi saya heran, tumben sore begini datang? Ada keperluan khusus?"Sandra terkekeh kecil. "Bukan keperluan, Pak. Cuma mau ajak Agna sebentar. Kakaknya sudah lama ingin ketemu. Dia baru datang kemarin bersama istrinya, makanya kami ke sini sekalian mampir jemput Agna. Mereka ingin berkumpul lagi seperti duluh saat masih di rumah bersama.""Hanya itu?" Salma akhirnya membuka suara, memandang Sandra dengan sorot mata yang penuh tanya.Sandra mengangguk sambil tersenyum. "Hanya itu. Oh, dan sekalian i