Lani menatap layar ponselnya yang kembali bergetar. Tanpa berpikir panjang, ia mengangkatnya."Maaf, Mas, aku tadi tidak pamitan saat pulang," suara Lani bergetar."Tidak apa-apa, Lani, kami bisa maklum. Sekarang, apa kamu baik-baik saja?" suara Dandi terdengar ragu. "Kami jadi merasa salah telah mengundangmu ke pertunangan kami setelah melihatmu merasa tak nyaman dengan berada di sini."Lani menarik napas panjang, berusaha menjaga suaranya tetap tenang. "Aku baik, Mas Dandi. Terima kasih sudah menanyakan.""Tadi... kami jadi nggak enak, Lani. Aku lihat situasi antara kamu dan Mas Alzam seperti..." Dandi terdiam, mencari kata-kata yang tepat.Lani memejamkan mata, mencoba menghindari rasa perih di dadanya. "Nggak apa-apa, Mas. Nggak usah dipikirkan. Semua sudah biasa terjadi.""Kalau ada apa-apa, kamu tahu kamu bisa hubungi aku atau Hanum, kan? Kami nggak akan diam kalau kamu butuh bantuan," kata Dandi penuh perhatian."Iya, aku tahu. Terima kasih," jawab Lani pelan.Sebelum panggi
Maghrib bahkan sudah berkumandang. Setelah mandi dan berdandan, juga sholat, Lani keluar dari kamarnya dengan wajah dingin. Langkahnya menuju dapur terasa berat, tetapi ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan memasak. Tangannya cekatan mengiris bawang dan memotong sayur, meski ada getaran samar di ujung jari. Pandangannya kosong, tapi gerakan tubuhnya tetap teratur, menunjukkan bahwa rutinitas ini sudah melekat.Alzam duduk di ruang keluarga sambil nonton TV, menatap Lani tanpa suara. Dia tahu Lani masih marah, dan keberaniannya untuk mendekat seolah terhenti oleh tembok tak kasatmata yang dibangun oleh wanita itu. Alzam hanya bisa memandangi punggung Lani. Punggung yang dulu selalu ia dekap dengan hangat kini terasa begitu jauh, seperti milik seseorang yang tak lagi bisa ia sentuh."Lani," panggilnya pelan.Lani tidak menoleh. Ia hanya membuka tutup panci, membiarkan aroma tumisan menyebar. Setelah memastikan semuanya matang, ia menyiapkan meja makan tanpa sepatah kata. Piring-pirin
Lantunan ayat suci sudah terdengar saat Alzam membuka matanya. Di sampingnya, Lani masih terlelap dengan wajah yang damai. Ia tersenyum tipis, mengenang malam yang penuh kehangatan. Jari-jarinya menyentuh rambut Lani yang terurai, tetapi gerakan kecil itu justru membangunkan istrinya. Lani mengerjap perlahan, lalu menatap Alzam dengan tatapan malas yang menggemaskan."Pagi, Mas," gumam Lani dengan suara masih serak."Pagi, Sayang." Alzam tersenyum menggoda. "Jadi, periksa kandungan nggak hari ini? Katanya kemarin nggak jadi?"Lani mendesah, menyembunyikan senyum di balik bantal. "Gimana aku ghak bilang gitu? Habisnya aku sebel banget sama kamu.""Kalau sekarang udah ghak sebel lagi? Sudah sayang lagi?" balas Alzam, pura-pura merajuk."Siapa bilang? Sebel aku masih ghak hilang, tau!" Dia segera bangkit dan duduk di tepi ranjang."Sebel sebel kok mau aja aku ajak itu,.." Alzam mengerling, menatap tubuhLani yang masih terbungkus selimut dengannya."Kamu yang maksa. Tatapan kamu itu yang
“Mas Alzam dulunya dinas di sini, jadi hafal jalur Surabaya. Kalau aku, mana ngerti.""Iya, tau kamu Lamongan saja, Num," timpal Dandi.Alzam terkekeh ringan sambil melirik Lani yang duduk di sampingnya. “Gimana ghak hafal, lawong aku arek Suroboyo.""Lho, iya ta? Aku piki cuma pendatang.""Abi yang Makasar. Ummi Surabaya tulen. Kami besar di Surabaya." Sejenak Alzam melirik Lani. "Kita mampir ya ke Ummi?""Tanya saja sama Dandi dan Hanum, apa mereka tidak keberatan diajak mampir.""Ghak apa, niatnya hari ini kan kita jalan-jalan. Iya kan, Mas?" tanya Hanum pada Dandk yang di sampingnya."Heem. Kapan lagi kalau ghak sekarang? Paing juga kalau bisa bulan depan saat kita ngantar lagi.""Emang kalian mau ngantar aku lagi?" tanya Lani dengan emnengok ke belakang.""Ya, iyalah, Mbak. Mudah-mudahan Mas Dandi ghak pas di kirim ke mana-mana.""Terimakasih," ucap Lani terharu. Demikian juga dengan yang diucapkan Alzam."Sekrang, kita makan duluh ya," ajak Alzam. "Nih, yang di sebelahku sudah k
Senja berdiri di ambang pintu, wajahnya terliha ceria dengan senyum yang mengembang. Di belakangnya, Bara dan Elma mengikuti, masing-masing membawa tas kecil hasil dari belanjaan mereka. Lani terkejut, bibirnya hampir bergetar, tetapi ia menahan diri."Mbak, kangen aku sama Mbak." Senja segera memeluk Lani yang juga memeluknya erat dengan mata yang mengaca."Bagaimana Senja bisa ada di sini, Mi?" tanya Lani menatap mertuanya."Yangti sama Yangkung yang ke rumah langsung ngajak Senja ke sini. Mumpung libur dari Jum'at katanya," jawab Senja sambil menatap Thoriq dan Salma yang nampak kebingungan menjawabb pertanyaan Lani.Bara menyalami Alzam dan Dandi. Lalu mengangguk pada Hanum."Tadi aku ajak jalan-jalan ke Mall, Mbak," ucap Elma yang segera menyalami Lani dan mencium pipinya. "Mbak makin cantik saja," pujinya. "Pantas Mas Alzam lengket terus sama Mbak."Alzam tersenyum menatap adiknya yang mengerling. Sementara Lani melirik Alzam, matanya penuh pertanyaan. Suasana di ruang tamu m
"Saya tau," ujar Alzam lemah, seolah tak punya tenaga. Mengingat Agna baginya adaslah mengingat sesuatu yang ingin dia lupakan kalau dia ada."Lalu kenapa Mas hanya mengangguk?"Salma menatap Lani dengan alis terangkat, bingung dengan arah pembicaraan. “Kenapa kamu tanya begitu, Nak? Memangnya Alzam ada janji apa besok?”Lani tersenyum kaku, matanya sekilas melirik Alzam. “Besok waktunya Mas Alzam bersama Agna, Mi.”Kalimat itu jatuh seperti hujan di tengah siang yang cerah. Semua yang ada di ruang tamu mendadak terdiam. Salma menoleh ke Thoriq, mengatakan keprihatinan. Alzam menundukkan kepalanya, sementara Elma hanya menatap kakaknya dengan tatapan iba.“Alzam,” suara Thoriq berat, memecah keheningan, “Apa itu benar? Besok waktumu bersama Agna?”Alzam menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab dengan nada lelah. “Iya, Bi. Itu sudah pengaturannya, Minggu sampai Selasa saya di Agna."Salma menyentuh pundak Lani, matanya penuh kasih. “Nak, kami tahu ini sulit. Tapi kamu kan sudah
Pagi itu udara dingin menyelimuti vila keluarga besar Alzam di Malang. Embun masih menempel di dedaunan, mencerminkan sinar matahari yang baru muncul. Vila ini berdiri di antara hamparan kebun apel yang luas, tempat yang ideal untuk menghabiskan akhir pekan bersama keluarga. Pak Ahmad, sopir keluarga, baru saja memarkir mobil. Bu Murni, pembantu keluarga yang setia, sibuk mengeluarkan tas-tas mereka dari bagasi."Bu Murni, tolong bawa tas Lani ke kamar atas," perintah Salma lembut sambil memeriksa barang-barang yang mereka bawa.Sementara itu, Alzam melirik Lani yang tampak diam di pojok, wajahnya menyiratkan ketidaknyamanan yang tidak bisa ia sembunyikan. Ia menduga penyebabnya. Nama yang tak ingin disebut, Agna."Lani," panggil Alzam mendekat, nada suaranya rendah, tetapi penuh perhatian. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Alzam meski dia tau Lani dari tadi malam mendiamkannya, bahkan menyingkirkan tangannya saat dai peluk.Lani mendesah, mengalihkan pandangannya ke arah kebun apel. "Aku ba
Lani membuka pintu rumah dengan sedikit ragu. Udara dingin Malang masih melekat pada kulitnya, tapi bukan itu yang membuat hatinya bergetar. Di balik pintu, sosok Mbok Sarem langsung menyambut dengan wajah cemas."Lani, kamu baik-baik saja, nduk?" tanya Mbok Sarem sambil mengambil tas dari tangan Lani."Iya, Mbok. Ada apa kok Mbok kelihatan panik?" tanya Lani, menaruh jaketnya di gantungan. "Kemarin pagi sekali, perempuan datang kemari, ngamuk-ngamuk di sini. Dia nyari Mas Alzam. Katanya dia nggak pulang-pulang."Lani terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Mbok Sarem. Jantungnya berdetak lebih cepat. "Siapa, Mbok?""Siapa lagi kalau bukan Agna itu. Katanya sudash hari Minggu tapi Alzam masuh bersama kamu. Mbok cuma bisa bilang ke dia kalau kamu sama Mas Alzam lagi nggak di rumah. Dia pergi, tapi mukanya nggak enak, nduk."Lani menarik nafas dalam-dalam. Apa yang dia takutkan terjadi. Untungnya tidak pas ada aku, bathin Lani. Dia tak ingin melihat wanita itu mengeluarkan taringny
"Mas, telpon kamu bunyi itu," ucap Lani.Alzam segera mengambil ponsel itu, dan melihat sebuah nomor tak dikenal."Nomor nggak dikenal," gumam Alzam sebelum akhirnya menekan tombol jawab. "Halo?"Suara di seberang sana terdengar lirih tapi jelas. Suara yang membuat napas Alzam tercekat. "Alzam... ini aku, Rey."Alzam langsung berdiri tegak. "Rey? Kamu di mana?""Aku... nggak bisa lama. Aku cuma—aku hidup, Zam. Tolong jaga Mira. Tadi aku telpon dia nggak bisa."Suara Rey terdengar tergesa. Ada deru nafas berat. Seperti sedang berlari atau menyembunyikan diri."Kamu di mana sekarang? Lokasimu? Siapa yang bersamamu?" tanya Alzam cepat."Aku nggak bisa bilang. Mereka..."Tiba-tiba terdengar bunyi gaduh dari seberang. Seperti suara pintu dibuka paksa, lalu Rey menutup telepon dengan cepat."Rey! Rey!!"Alzam menatap layar yang sudah gelap. Panggilan terputus."Mas, itu tadi Rey?" Lani berdiri di belakangnya, wajahnya tegang.Alzam mengangguk pelan. "Dia masih hidup.""Syukurlah. Kita pasti
"Jangan dipikirkan terus, Sekarang minum teh jahe sing anget, biar rileks," ujar Mbok Sarem lembut, menaruh cangkir ke meja kecil. Menatap Mira dengan penuh iba.Lani yang baru kembali dari mengatur jadwal patroli satpam ikut duduk di dekat mereka. Rambutnya dikuncir rapi terihat setelah jilbabnya terlepas. Excel sudah tertidur, dan Alzam masih di pabrik membantu mengganti baterai CCTV dengan teknisi."Mira, kamu harus jaga kesehatan. Jangan-jangan Rey juga sedang berjuang supaya kamu tetap kuat di sini," kata Lani sambil menggenggam tangan Mira.Mira mengangguk. "Aku tahu... tapi suara itu, Lani. Dia sesak napas. Seperti dikejar... lalu diam, lalu teleponnya ditutup paksa. Kamu tahu betapa galaunya aku sekarang?"Lani menarik napas. "Dan itu sebabnya Mas Alzam nggak tinggal diam."Di sisi lain, Alzam sedang berdiri di belakang ruang kendali keamanan pabrik. Bersamanya, ada seorang pria tinggi dengan tuuh proporsional. Dia Evind, sahabat lama Alzam semasa kuliah, yang kini bekerja di
Hari itu, rencana pengintaian mulai disusun dengan sangat serius. Lani berdiri di hadapan empat orang satpam yang ia percaya. Wajah-wajah mereka tampak tegang, tapi penuh semangat. Ini bukan sekadar tugas biasa. Ini tentang perlindungan. Tentang memastikan tidak ada lagi teror diam-diam yang mengusik ketenangan Mira."Pak Slamet dan Pak Darto, kamu ambil shift jam sembilan sampai jam satu malam. Pak Joko dan Pak Komar jaga jam satu sampai jam empat pagi gantian. Setelah itu ganti satpam pagi," ucap Lani tegas, namun tenang.Alzam berdiri di samping istrinya, memegang sketsa tata letak pabrik dan rumah Lani di sekitarnya. Ia menunjuk titik-titik strategis di peta."Kita pakai sistem sinyal. Senter dengan lampu merah, artinya ancaman, siap siaga. Lampu biru, hanya patroli biasa. Kalau kalian lihat sesuatu yang mencurigakan, langsung nyalakan lampu merah dan tiup peluit tiga kali. Yang lain langsung ke titik itu. Jangan ada yang bergerak sendiri, kita tim. Paham?"Semua menjawab kompak
Munding Wangi masih diliputi kabut sisa embun malam. Pabrik milik Lani yang beberapa hari lalu ditutup karena libur lebaran, kini sudah kembali beroperasi penuh. Suara mesin-mesin penggilingan dan para buruh yang lalu-lalang memenuhi lorong pabrik menjadi tanda bahwa tempat ini hidup kembali. Namun suasana hati Lani masih diliputi kekhawatiran. Bukan soal produksi, bukan soal modal, melainkan soal Mira.Lani berdiri di tengah lapangan kecil yang menghubungkan bangunan utama pabrik dan kantor. Ia memanggil delapan orang satpam yang selama ini bertugas menjaga keamanan pabrik dan rumahnya. Beberapa wajah tampak masih ngantuk, tapi semua segera berdiri tegak saat Lani mulai bicara."Saya tahu ini bukan tugas biasa. Tapi beberapa malam terakhir, ada seseorang yang mondar-mandir di sekitar rumah saya. Mira khawatir, dan saya juga. Saya curiga orang itu Damar. Kalian tahu siapa dia karena duluh dia juga custumer pabrik ini untuk urusan lmbah kult jeruk. Jadi saya butuh kalian untuk siaga. K
Damar duduk sendiri di teras rumahnya. Angin malam Surabaya membelai pelan wajahnya, namun keringat dingin justru mengalir di pelipisnya. Pikirannya kacau. Perasaannya tak tenang. Sejak kabar tentang Rey yang hilang dalam tugas diterimanya di warung kopi komplek seminggu lalu, dadanya seperti diikat erat oleh kegelisahan. Budi, rekan lama yang kini sering datang ke perumahan, jadi sumber informasi utamanya."Kulit jeruk dari Lani masih dikirim ke toko ya?" tanya Damar pada Budi waktu itu.Budi mengangguk. "Bukan cuma itu, Dam. Mira juga balik kerja ke tempat Lani. Mbok Sarem bilang dia sering diam, tapi kerjaannya rapi."Hati Damar berdesir. Mira. Nama itu tak pernah benar-benar hilang dari benaknya. Sejak Rey hilang, bayangan Mira muncul lebih sering, lebih nyata, seperti hantu masa lalu yang tak pernah selesai.Tapi malam ini bukan tentang Mira. Malam ini, suara Vero yang meninggi dari dalam rumah menusuk telinganya."Kamu pikir aku nggak tahu kamu sering keluar malam belakangan ini
Hampir sebulan Mira akhirnya larut dalam kerjaannya di Munding Wangi. Kesibukan jadi pelarian yang ampuh dari gelombang rindu yang menyerangnya nyaris setiap malam. Tapi malam ini, saat seisi rumah mulai sunyi, dan hanya suara jangkrik serta detak jam dinding yang terdengar, Mira kembali duduk di sajadahnya.Pakaian tidurnya masih basah di bagian pundak oleh air wudu. Ia menatap kosong ke arah jendela yang tertutup tirai tipis. Di atas sajadah itulah, Mira menumpahkan segalanya. Dalam tiap doa tahajud, namanya selalu disebut. Bukan hanya sekali. Tapi berkali-kali."Ya Allah... kembalikan Rey padaku... Jika dia memang untukku... Tolong jangan biarkan aku hidup dalam ketidakpastian seperti ini."Air matanya jatuh. Pelan. Tenang. Tapi menyayat. Seperti air yang mengikis batu, doanya terus mengalir setiap malam. Dan selalu saja ingatan tentang Rey tak bisa diusir.Ia menyentuh ponselnya. Layar menyala, dan di sana terpampang foto pernikahan mereka. Rey yang mengenakan beskap warna merah m
POV Damar.Pagi belum sepenuhnya hidup ketika aku duduk di pojok warung kopi komplek perumahan para anggota veteran. Tempat itu bukan tempat favorit, tapi punya satu kelebihan: berita gosip dari segala lapisan bisa melintas di sana seperti aroma kopi robusta yang menyengat. Aku duduk dengan jaket hitam tipis, topi diturunkan sedikit, menyamarkan wajahnya dari siapa pun yang mungkin kenal."Rey belum pulang juga ya? Kabar terakhir sih katanya sempat ilang waktu patroli. Kayaknya kejauhan masuk zona rawan."Aku tak perlu menengok. Suara itu milik Pak Aryo, pensiunan tentara yang sekarang jualan pancingan. Dia sedang bicara pada teman duduknya sambil menyeruput kopi dengan pelan."Katanya yang ikut patroli itu bilang dia disuruh cek sendiri jalur komunikasi. Tapi nggak balik-balik. Udah semingguan, kan?""Hampir ebulan malah. Tapi keluarganya nggak mau buka suara. Padahal istrinya itu, yang cantik itu loh... siapa namanya—""Mira."Jantungku bergetar halus saat nama itu disebut. Mira. Ak
Udara pagi menampar lembut wajah Mira yang masih pucat. Jendela kamar terbuka sejak subuh, tapi hawa sejuk pegunungan Sendang Agung tak mampu membekukan panas yang mengendap di dadanya. Ia duduk diam di pinggir ranjang, pandangan tertuju pada layar ponsel yang terus gelap. Tak ada notifikasi. Tak ada pesan masuk. Dan tak ada nama Rey yang muncul.Dari balik pintu yang setengah terbuka, Laras melongok pelan, lalu mengetuk."Mira, aku bawain teh anget, mau?" tawarnya sambil masuk tanpa menunggu jawaban.Mira hanya menoleh sebentar. Sorot matanya kosong, senyum pun tak muncul. Laras meletakkan gelas di meja kecil dekat tempat tidur."Kalau kamu pengen cerita... atau cuma pengen duduk bareng tanpa ngomong apa-apa, aku siap kok," lanjut Laras, duduk di kursi rotan.Mira tetap diam. Ia kembali menatap layar ponselnya. Lalu meletakkannya di pangkuan, seolah pasrah.Laras menghela napas pelan. "Nggak apa-apa. Aku ngerti kok. Tapi kamu jangan terus begini.""Iya, Tan, ayo jalan-jalan sama Lindi
Tangis belum benar-benar reda saat Marni mengusap kepala Mira yang terkulai di pangkuannya. Aroma lepet dan ketupat yang tadi sempat membuat suasana rumah di Sendang Agung jadi hangat, kini tak lebih dari sekadar sisa-sisa tradisi yang menggantung kaku di meja ruang tamu. Rere dan Maya duduk bersisian, tak lagi berkata apa-apa, hanya menatap Mira yang tak henti menatap pintu seperti mengharap sesuatu tiba-tiba muncul dari sana."Ndok, ikut pulang ke Sendang Agung, ya... biar tenang dulu hatimu." Marni membujuk sambil membenarkan letak kerudung Mira yang sedikit miring. Suaranya lirih, tapi sarat keteguhan seorang ibu yang ingin menyelamatkan anaknya dari gelombang yang terlalu besar untuk dihadapi sendirian."Nanti kalau Rey sudah pulang, kamu bisa kembali ke sini. Di rumah, kamu bisa tenang dulu," ujar Marni, suaranya serak seperti baru saja menangis di dalam mobil.Mira menggeleng pelan. "Kalau aku pulang sekarang, terus nanti Rey pulang... dia nggak langsung ketemu aku, Bu. Aku pen