Kira-kira kapan ya Senja tau siapa dirinya?
Lani membuka pintu rumah dengan sedikit ragu. Udara dingin Malang masih melekat pada kulitnya, tapi bukan itu yang membuat hatinya bergetar. Di balik pintu, sosok Mbok Sarem langsung menyambut dengan wajah cemas."Lani, kamu baik-baik saja, nduk?" tanya Mbok Sarem sambil mengambil tas dari tangan Lani."Iya, Mbok. Ada apa kok Mbok kelihatan panik?" tanya Lani, menaruh jaketnya di gantungan. "Kemarin pagi sekali, perempuan datang kemari, ngamuk-ngamuk di sini. Dia nyari Mas Alzam. Katanya dia nggak pulang-pulang."Lani terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Mbok Sarem. Jantungnya berdetak lebih cepat. "Siapa, Mbok?""Siapa lagi kalau bukan Agna itu. Katanya sudash hari Minggu tapi Alzam masuh bersama kamu. Mbok cuma bisa bilang ke dia kalau kamu sama Mas Alzam lagi nggak di rumah. Dia pergi, tapi mukanya nggak enak, nduk."Lani menarik nafas dalam-dalam. Apa yang dia takutkan terjadi. Untungnya tidak pas ada aku, bathin Lani. Dia tak ingin melihat wanita itu mengeluarkan taringny
Alzam yang tidur kembali setelah menyelesaikan sholat Subuh, terbangun dengan terkejut kala sang surya sudah membuatnya terang di jendela kamarnya. Dengan tergesa dia kemudian mandi dan memakai seragamnya ayng telah diambil tadi malam dari kamar utama.Karena tergesa, baju loreng seragam angkatan darat itu pun masih tak terkancing hinggah menampakkan otot tubuhnya yang sempurna.Agna yang menunggunya di ruang tamu, terdiam sejenak. Ia menatap tubuh Alzam. Otot-ototnya yang terpahat sempurna membuat pikirannya berkelana. Ia membayangkan surga dunia yang bisa ia nikmati jika Alzam menjadi miliknya sepenuhnya. "Mas," panggilnya lirih. "Aku cuma butuh kamu satu kali saja... berpikir untuk aku.. Lihatlah aku," Dia mendekat. Demikian juga dengan Alzam yang makin terbius oleh ttubuh ramping Agna."Aku sudah berpikir, Agna," jawab Alzam dengan senyum dan tatapan lembutnya. Tatapannya seolah tak sabar dan penuh harap."Mas,..""Agna,.. ayo cepat berangkat," ucap Alzam sambil mengancingkan se
Lani menatap layar komputernya dengan sedikit malas. Tumpukan laporan yang harus diselesaikan seperti tak ada habisnya. Ia menarik napas panjang sambil sesekali melirik jam dinding. Hanya tinggal beberapa jam sebelum ia bisa pulang. Namun, ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja. Dipikirnya Alzam kembali yang tiap siang mengirim pesan hanya bertanya apa dia sudah makan? Ternyata nama lain yang membuat bibirnya otomatis tersenyum: Reynaldi.Tanpa ragu, ia menjawab panggilan itu. "Halo, Kapten Rey. Tumben telepon? Ada apa?" sapanya ringan."Halo, Lani," jawab Reynaldi dengan nada ceria. "Apa nggak boleh cuma mau tanya kabar? Kamu kelihatan sibuk banget akhir-akhir ini."Lani terkekeh. "Biasa, Mas. Kerjaan menumpuk. Kalau nggak ada yang diselesaikan, gimana dunia ini bisa tetap berputar?"Rey tertawa pelan di seberang. "Berarti kamu tulang punggung peradaban, ya? Wajar kalau nggak ada waktu buat ngobrol. Maaf, jika kali ini aku mengganggu.""Enggak. Sama sekali ghak ganggu, kok. Aku sud
"Aku tahu lebih banyak dari yang kau kira, Bu," ujar Senja lirih dari balik pintu, ternyata ia belum benar-benar pergi. Langkah kakinya yang perlahan masuk membuat Towirah dan Wagimin serempak menoleh. Senja berdiri dengan wajah tanpa ekspresi, seragam sekolah yang sudah rapi tampak menambah kontras keberanian di matanya."Senja, maksudmu apa?" suara Towirah bergetar, sementara Wagimin mengusap peluh di kening yang tiba-tiba muncul."Aku dengar kalian bicara tadi. Kenapa aku selalu merasa ada yang disembunyikan dari aku? Kenapa kalian takut dengan Mbakyu Lani?"Towirah melangkah mendekat, mencoba meraih tangan Senja. "Nak, kamu terlalu kecil untuk urusan seperti ini.""Terlalu kecil? Bukankah aku ini yang jadi bagian dari apa pun yang kalian sembunyikan?" Senja mundur selangkah, menatap tajam ibunya. "Aku sudah delapan tahun. Bukannya waktu itu cukup lama untuk mengetahui kebenaran?"Wagimin memotong. "Senja, nggak semua yang kamu lihat atau dengar itu benar. Kadang kita cuma salah pa
Lani menoleh kaget. Sosok Reynaldi berdiri di sana, mengenakan jaket kulit hitam dengan seragam loreng, sosok tinggi besar itu tampak kharismatik di kulitnya yang sawo matang bersih, dengan auranya tetap tegas dan berwibawa. Kehadirannya langsung mengundang perhatian seisi kantin."Mas..." gumam Lani pelan, hampir tak percaya.Dita dan Budi yang melihat situasi itu segera menangkap sinyal. "Eh, kita ke perpustakaan dulu, ya. Biar kalian ngobrol," ujar Budi sambil menarik Dita pergi namun Lani segera mencegah mereka."Kenapa pergi? Di sini saja kenapa?" Sejenak Lani menatap tempat duduk Alzam. Namun dilihatnya tak ada. Apa dia telah pergi? guman Lani."Kita ada sedikit keperluan, Lani," ucap Budi tanpa sengaja menarik tangan Dita. Seketika Dita geragapan. "Maaf, maaf," ucap Budi dengan melepas tangannya. Dia pun tersenyum malu.Kini hanya ada Lani dan Reynaldi di meja itu. Lani menunduk, berusaha menyembunyikan keterkejutannya."Sekarang kamu malah nampak cantik dengan wajah polos tanp
Keesokan paginya, Lani sibuk di dapur bersama Mbok Sarem. Mereka sedang menyiapkan penyetan ikan nila yang menjadi menu sarapan Lani hari itu."Lan, sambal trasi buatanmu ini makin enak aja," puji Mbok Sarem sambil menyeruput kopi hitamnya.Lani tersenyum tipis. "Biasa aja, Mbok. Kan aku belajar dari Mbok juga.""Ah, kamu ini. Kalau mas Alzam ke sini, pasti dia langsung habisin sambal ini," ujar Mbok Sarem sambil tertawa kecil.Namun, tawa Mbok Sarem tidak dibalas. Lani hanya diam, mengaduk sambal di cobeknya dengan pikiran melayang."Eh, kenapa kamu diam aja, Lan? Ada apa?" Mbok Sarem bertanya, suaranya terdengar cemas."Nggak apa-apa, Mbok. Cuma... aneh aja. Biasanya, sebelum subuh, Mas Alzam udah ada di sini," jawab Lani sambil tersenyum.Mbok Sarem mengerutkan dahi. "Wah, jangan-jangan dia sibuk sama istri sahnya, si Agna itu?"Lani menahan napas, wajahnya memerah. "Mbok, jangan bicara sembarangan.""Eh, ya ampun, aku cuma bercanda, Lan. Jangan baper," kata Mbok Sarem sambil meng
Pagi itu, Alzam datang ke rumah Lani dengan wajah segar. Rambutnya masih basah, meneteskan sisa air yang belum sempat ia keringkan. Dia hanya memakai sarung dan kaos oblong."Sayang, kenapa nggak masak hari ini? Aku suka penyetan buatanmu," katanya santai, seolah tidak ada yang perlu dijelaskan dari kejadian-kejadian sebelumnya.Lani yang sedang duduk di kursi ruang tamu hanya melirik sekilas, lalu memalingkan wajah. Dalam hatinya, rasa jengkel membuncah. Rambutnya basah begitu, jelas dia habis menghabiskan malam dengan Agna. Sekarang, malah tanya makanan padaku, piki Lani getir."Mbok Sarem mana?" tanya Alzam."Mbok lagi di dapur," jawab Lani singkat tanpa melihat ke arah Alzam.Seolah tak peduli dengan nada dingin Lani, Alzam melangkah ke dapur. Mbok Sarem, yang sedang menyiapkan teh, langsung menyapanya."Barusan ke sini, Mas?" tanya Mbok Sarem."Iya, Mbok," jawab Alzam enteng. "Kenapa Lani nggak masak penyetan favoritku?""Ah, itu sudah kemarin, Mas. Sekarang lagi malas. Biasa, c
Lani menatap Alzam yang masih tertidur lelap di ranjang. Apa yang telah mereka lakukan pagi ini teramat indah hinggah seulas senyum menghiasi wajah Lani yang kemudian mendaratkan sebuah ciuman di kening Alzam. Walau ada sesuatu dalam dirinya yang masih terasa mengganjal. Tugas apa sebenarnya yang akan menunggu Alzam sampai dia seolah tegang. Perlahan, ia bangun dari dada Alzam, mengambil gamis yang tadi dilepas Alzam dari tubuhnya, dan mencoba melangkah ke kamar mandi. Walau pagi ini dia sudah mandi dua kali, dia lakukan agar nanti bisa sholat Dhuhah sebelum ke pabrik. Baru juga dia mau keluar, ke mushola kecilnya, sudah terdengar suara Alzam."Lani," suara Alzam yang berat memanggilnya, membuat langkahnya terhenti di depan pintu.Ia menoleh. Alzam sudah duduk di tepi ranjang, rambutnya kusut, tapi senyumnya tetap menggoda. "Tetaplah di sini hari ini. Aku ingin seharian hanya berdua denganmu," pintanya, mengulurkan tangan."Kamu kok malah ngajak aku tidur, Mas, memangnya kamu ghak ker
Rey menatap Mira yang masih menunduk, pipinya bersemu merah. Jarinya hampir saja menyelipkan anak rambut yang jatuh menutupi wajah Mira ketika sebuah suara menggelegar dari belakang."Rey!"Tangan Rey terhenti di udara. Kepalanya menoleh cepat. Mira juga tersentak.Tukiran berdiri di ambang pintu dengan alis berkerut. Matanya tajam, mengawasi mereka berdua.Rey cepat-cepat menarik tangannya. Mira mundur selangkah. Jantungnya masih berdetak cepat, bukan karena Rey, tetapi karena ketahuan."Kalian belum buka puasa, kan?" Tukiran melanjutkan, nada suaranya sedikit lebih lembut. "Ini tadi ibumu beli nasi. Makanlah."Rey menghela napas lega, lalu tersenyum canggung. "Terima kasih, Pak."Perutnya memang sudah keroncongan. Tadi dia hanya sempat makan kurma dan minum air putih yang diberikan suster sebelum donor darah.Mira melirik ke arah Tukiran, mencoba menetralkan wajahnya. "Yang lain sudah makan?""Kayaknya baru makan setelah tahu Lani sadar," jawab Marni, yang tiba-tiba ikut berdiri di
Arhand berdiri di depan ruang perawatan. Agna yang masih tampak lemah, menggenggam tangannya erat."Kamu yakin kuat?" bisik Arhand.Agna mengangguk. "Anggap saja ini penebusan dosaku untuk Lani dan Alzam.Arhand menarik napas panjang. "Kalau begitu, jalan pelan, ya. Atau aku minta kursi roda?""Nggak usah. Sekalian biar aku sehat. Beberapa hari di sini dan hanya tiduran, aku bosan.""Agna, kamu baru saja lepas infus. Istirahat dulu," bujuk Sandra.Agna menggeleng. "Aku ingin melihatnya, Mi. Sekalian aku mau minta maaf.Arhand menggandeng Agna pelan. Keduanya berjalan menuju ruang perawatan. Langkah Agna masih tertatih, tapi dia bersikeras.***Lani akhirnya membuka mata perlahan. Cahaya lampu membuat pandangannya masih kabur. Suara alat medis berdenging samar.Seseorang menggenggam tangannya. Hangat. "Sayang,...." Alzam hampir meneteskan air mata saat melihat Lani mengerjab. Betapapun sakit hatinya karena Lani mencari Rey di saat sadar, dia berusaha meredam perasaannya.Lani berus
"Ada apa, Arhand?" Sandra yang habis mengerjakan sholat Isya', bangkit menghampiri Arhand yang memegang tangan Agna.Arhand dan Agna menoleh ke Sandra."Arhand melihat Alzam dan keluarganya sedang menunggu Lani operasi melahirkan."Memangnya kenapa kalau melahirkan? Biar komplit kebahagiaan mereka. Biar makin besar kepala itu Alzam." Sandra masih tak dapat terima dengan masih membenci Alzam."Mami, kok ngomongnya gitu?""Aku sebel aja. Sementara kamu keadaannya begini, mereka senang-senang.""Bukan senang, MI. Tapi mereka lagi ada masalah.""Maslah apa juga. Biar tau rasa sekalian. Orang yang bikin orang lain menderita, pasti ada karmanya.""Mami,..""Sini, mana makanan Mami, Hand. Ini nungu Papi juga kelaparan aku. Tapi buka puasa cuma roti aja.""Sudahlah, kamu makan cepat. Biar nanti kuat. Kita ke sana bareng.""Yakin kamu ikut?"Agna mengangguk.****Mira berdiri kaku, jantungnya berpacu cepat. Rey di sebelahnya mengepalkan tangan. Towirah hanya terus berzikir direngkuh Salma. Sem
Mira menggenggam ponselnya erat. Jemarinya gemetar, menelusuri daftar kontak dengan panik. Otaknya mencoba mengingat siapa yang harus dihubungi.Nomor Lani? Tidak mungkin. Siapa yang pegang ponsel Lani sekarang?Alzam? Tidak enak rasanya.Mira menggigit bibir, frustrasi. Sampai akhirnya ia teringat sesuatu.Dita.Tadi Dita yang ngantar ke rumah sakit bersama Budi. Mereka pasti tahu sesuatu.Tanpa pikir panjang, ia mencari nomor Budi. Nomor itu sering ia hubungi untuk urusan kulit jeruk yang dijadikan sovenir oleh Budi, jadi tak sulit menemukannya. Setelah beberapa detik, telepon tersambung.Budi mengangkat, suaranya serak. "Mira?""Apa yang terjadi? Lani gimana? Bayinya sudah lahir? Budi, cepat bilang!"Hening beberapa saat.Mira semakin gelisah. "Budi, jawab!""Lani masih berjuang." Suara di seberang terdengar lemah.Mira menahan napas. "Kenapa?"Tarikan napas berat terdengar sebelum Budi menjawab. "Pendarahan. Banyak."Jantung Mira serasa berhenti. "Apa... dia baik-baik saja?""Dokte
Mira menggenggam tangannya erat. Hatinya semakin gelisah, perasaan itu tak mau hilang sejak mereka meninggalkan rumah.Marni duduk di sebelahnya, wajahnya murung. Biasanya, perempuan itu tidak pernah kehabisan kata-kata jika sudah membahas Lani, tapi kali ini berbeda. Ada kegelisahan yang terpancar jelas di wajahnya. Keponakan suaminya hanya Lani. Dia yang duluh selalu membenci Lani merasa takut jika terjadi sesuatu pada Lani."Aku takut," gumam Marni tiba-tiba.Mira menoleh, menatap Marni yang mengusap wajah dengan tangan gemetar."Takut kehilangan Lani," lanjutnya dengan suara lirih.Mira merasakan hal yang sama. Perasaan yang menyesakkan dada.Di sebela mereka, Tukiran juga tidak bisa duduk diam. Beberapa kali ia berjalan, menengok sibuknya lalu lintas yang melewati jalan besar di depannya, mondar-mandir gelisah."Tolong lebih cepat, Pak," kata Rey pada tukang tambal ban yang sedang bekerja.Laki-laki itu hanya menoleh sebentar, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya dengan kecepatan
Rey baru saja keluar dari markas ketika ponselnya bergetar di saku. "Aduh, Rey, kamu ngapain aja sih, dari pabrik sampai aku di rumah ini, kamu nggak ngangkat telpon aku. Kamu udah nggak mau lagi aku telpon ya?" gerutu Mira panjang lebar."Bukan begitu, Mira. Ada rapat penting, jadinya handphone aku matikan. Ini aja lupa tadi nggak aku ces jadinya baterainya tinggal sedikit.""Memangnya ada apa sih, tumben kamu duluh yang nelpon? Kangen cowok ganteng ini ya?""GR kamu! Itu Rey, Lani masuk rumah sakit."Jantung Rey berdegup cepat. Tadinya yang ngomongnya slow, kini jadi keras. "Apa?""Ketubannya pecah duluan. Sekarang masih menunggu operasi. Mungkin juga sudah berlangsung operasinya."Rey tidak langsung bertanya, suara Mira terdengar panik."Kamu di mana sekarang?""Aku sudah pulang. Orang tuaku ikut, mereka mau ke rumah sakit juga."Rey menarik napas dalam. "Aku masih di markas ini, tapi aku langsung ke sana. Tunggu aku."Mira mengiyakan. Rey segera masuk ke mobil, menyalakan mesin,
Lani berbaring di ruang operasi dengan mata setengah terpejam. Cahaya putih di atasnya menyilaukan. Monitor di sampingnya berbunyi cepat, seolah mengikuti irama jantungnya yang melemah."Tekanan darahnya turun!" seru seorang perawat.Dokter bedah yang sedang bekerja menoleh cepat. "Kehilangan darah lebih banyak dari perkiraan.""Segera hubungi bank darah!" perintah dokter anestesi.Perawat yang memegang ponsel terlihat pucat setelah berbicara dengan pihak PMI. "Dok, stok AB negatif kosong!"Dokter bedah terdiam sesaat, lalu menoleh ke timnya. "Panggil keluarganya! Kita butuh donor segera!"Alzam yang sedari radi dengan tak tenang menunggu di depan pintu ruang operasi, segera menatap seorang dokteryang keluar dengan wajah serius."Dokter, bagaimana istri saya, Dok?""Anda suami pasien?"Alzam mengangguk cepat. "Iya! Gimana istri saya, Dok?" Pertanyaan yang sama diulang Alzam."Kondisinya kritis. Dia mengalami perdarahan hebat dan butuh tambahan darah. Tapi... stok AB negatif kosong di
:Lani duduk di kursi ruang istirahat pabrik, tubuhnya gemetar. Dita berjongkok di sampingnya, menggenggam tangan yang mulai dingin."Kamu yakin ini bukan air biasa?" suara Dita penuh kecemasan.Lani mengangguk lemah. "Bukan. Rasanya aneh. Kemarin memng pernah keluar, tap hanya sekali, kok ini malah sering."Budi bergegas mencari tisu, tetapi Dita lebih dulu berinisiatif menarik Lani berdiri. "Kita ke rumah sakit sekarang!"Lani meraba perutnya yang mengeras. Bayinya masih bergerak, tetapi ada perasaan tidak enak yang menjalar dari ujung kaki ke kepala.Dita dan Budi nyaris menyeretnya ke parkiran. Lani merogoh ponsel, mencoba menghubungi Alzam.Satu kali... tidak diangkat.Dua kali... masih tidak tersambung.Naparnya makin memburu."Kenapa nggak diangkat?!"Budi menyalakan mobil, Dita membantu Lani naik ke belakang."Aku yang bawa, biar babti Alzam nusul.!" ujar Budi, lalu mobil melaju membelah jalanan yang mulai ramai.Lani masih terus mencoba menelepon Alzam, tapi hasilnya sama."T
Lani memandangi ibunya yang tengah melipat baju. "Bu, nanti aku pulangnya agak telat. Aku dan Mas Alzam mungkin buka bersama di rumah sana," ujar Lani pelan. Namun ternyata cukup membuat Towirah terhentak.Towirah menghentikan tangannya, lalu menatap putrinya dengan mata sayu. "Serius mau pindah?"Lani menelan ludah. Ia tahu pertanyaan itu lebih dari sekadar konfirmasi. Ada ketidakrelaan yang jelas dalam nada suara ibunya."Habis lebaran, Bu. Setelah anak kami lahir," jawabnya akhirnya. "nggak sekarang. Cuma nanti kita mau diam di sana sebentar. Mungkin habis Isya' baru pulang. Jadi, jangan masakbanyak seperti biasanya."Wagimin, yang sejak tadi duduk di sudut ruangan, menghela napas panjang. "Kenapa harus buru-buru? Rumah ini besar, cukup buat kalian bertiga."Lani menunduk, memainkan ujung kain bajunya. "Jauh, Pak. Aku masih kerja. Pasti repot kalau harus bolak-balik sambil momong bayi nanti."Alzam yang sejak tadi diam, akhirnya ikut bicara. "Rumah sana lebih dekat dengan pabrik.