Pagi itu udara dingin menyelimuti vila keluarga besar Alzam di Malang. Embun masih menempel di dedaunan, mencerminkan sinar matahari yang baru muncul. Vila ini berdiri di antara hamparan kebun apel yang luas, tempat yang ideal untuk menghabiskan akhir pekan bersama keluarga. Pak Ahmad, sopir keluarga, baru saja memarkir mobil. Bu Murni, pembantu keluarga yang setia, sibuk mengeluarkan tas-tas mereka dari bagasi."Bu Murni, tolong bawa tas Lani ke kamar atas," perintah Salma lembut sambil memeriksa barang-barang yang mereka bawa.Sementara itu, Alzam melirik Lani yang tampak diam di pojok, wajahnya menyiratkan ketidaknyamanan yang tidak bisa ia sembunyikan. Ia menduga penyebabnya. Nama yang tak ingin disebut, Agna."Lani," panggil Alzam mendekat, nada suaranya rendah, tetapi penuh perhatian. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Alzam meski dia tau Lani dari tadi malam mendiamkannya, bahkan menyingkirkan tangannya saat dai peluk.Lani mendesah, mengalihkan pandangannya ke arah kebun apel. "Aku ba
Lani membuka pintu rumah dengan sedikit ragu. Udara dingin Malang masih melekat pada kulitnya, tapi bukan itu yang membuat hatinya bergetar. Di balik pintu, sosok Mbok Sarem langsung menyambut dengan wajah cemas."Lani, kamu baik-baik saja, nduk?" tanya Mbok Sarem sambil mengambil tas dari tangan Lani."Iya, Mbok. Ada apa kok Mbok kelihatan panik?" tanya Lani, menaruh jaketnya di gantungan. "Kemarin pagi sekali, perempuan datang kemari, ngamuk-ngamuk di sini. Dia nyari Mas Alzam. Katanya dia nggak pulang-pulang."Lani terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Mbok Sarem. Jantungnya berdetak lebih cepat. "Siapa, Mbok?""Siapa lagi kalau bukan Agna itu. Katanya sudash hari Minggu tapi Alzam masuh bersama kamu. Mbok cuma bisa bilang ke dia kalau kamu sama Mas Alzam lagi nggak di rumah. Dia pergi, tapi mukanya nggak enak, nduk."Lani menarik nafas dalam-dalam. Apa yang dia takutkan terjadi. Untungnya tidak pas ada aku, bathin Lani. Dia tak ingin melihat wanita itu mengeluarkan taringny
Alzam yang tidur kembali setelah menyelesaikan sholat Subuh, terbangun dengan terkejut kala sang surya sudah membuatnya terang di jendela kamarnya. Dengan tergesa dia kemudian mandi dan memakai seragamnya ayng telah diambil tadi malam dari kamar utama.Karena tergesa, baju loreng seragam angkatan darat itu pun masih tak terkancing hinggah menampakkan otot tubuhnya yang sempurna.Agna yang menunggunya di ruang tamu, terdiam sejenak. Ia menatap tubuh Alzam. Otot-ototnya yang terpahat sempurna membuat pikirannya berkelana. Ia membayangkan surga dunia yang bisa ia nikmati jika Alzam menjadi miliknya sepenuhnya. "Mas," panggilnya lirih. "Aku cuma butuh kamu satu kali saja... berpikir untuk aku.. Lihatlah aku," Dia mendekat. Demikian juga dengan Alzam yang makin terbius oleh ttubuh ramping Agna."Aku sudah berpikir, Agna," jawab Alzam dengan senyum dan tatapan lembutnya. Tatapannya seolah tak sabar dan penuh harap."Mas,..""Agna,.. ayo cepat berangkat," ucap Alzam sambil mengancingkan s
Di luar begitu gelap. Tak ada bintang yang terlihat. Dengan mengendap Lani berjalan melewati belakang rumah , menyusuri belukar hinggah jatuh berkali-kali. Pedih dan perih tak lagi dia rasakan."Ya, Allah, beri aku kekuatan untuk keluar dari semua ini," untaian do'a terus dipanjatkan Lani. Kakinya sudah banyak mengeluarkan darah saat dia menyusuri semak-semak."Aww!" Lani meringis saat duri menancap di kakinya. Segera dia lepaskan duri itu dan dia kembali berlari dengan tertatih."Ini ke mana ujungnya, ya Allah?" Lani merasa tidak kuat lagi, terlebih dengan kerongkongannya yang terasa kering. Dia lalu menggapai air di aliran air yang kini terhampar di depannya. Meminumnya untuk mengeluarkan dahaga yang menyerangnya."Hey, wanita sialan, mau lari ke mana kamu?"Lani sontak menoleh dengan teriakan dari kejauhan. Dua lelaki itu kini bahkan mengejarnya."Ya, Allah, tolong aku! Tolong aku! Izinkan aku keluar dari kejaran mereka." Dengan bingung Lani segera menceburkan diri ke aliran air ya
"Jika nanti kamu sembuh, aku bisa menjatuhkan talak untukmu. Dan kamu bisa pergi seperti kemauanmu." Alzam masih menerangkan maksudnya. Dia mendengar dari cerita Mbok Sarem kapan hari kalau Lani rajin minum obat dan rajin makan walau mulutnya pahit, dengan mengatakan kalau dia ingin segera sembuh dan pergi.Lani menggeleng kuat."Kita hanya menikah sirih, disaksikan pak kyai.""Aku sudah pernah menyetujui pernikahan siri yang berujung dengan kesengsaraanku seperti ini, kenapa aku harus terjun kembali?"tanya Lani dengan menatap pria yang kini ada di hadapannya. "apalagi denganmu, orang yang mengingatkanku pada orang yang paling aku benci di dunia."" Ini hanya untuk membuat kita menjadi muhrim, sementara sampai kamu kuat kembali dan aku bisa melepasmu." Perkataan Alzam agak meninggi melihat sikap Lani."Tidak, aku tidak ingin lagi terlibat dalam masalah," tekat Lani dengan terus menggigil. Giginya kembali gemertak."Entah apa masalahmu kepadaku sampai kamu seolah membenciku. Nama saja
"Lupakan! Ayo, kita ke ruang rapat sekarang. Katanya mau ada operasi khusus."Dandi hanya diam sambil berjalan mengikuti Alzam. Dia sedikit heran dengan arah pembicaran Alzam. Terlebih saat Alzam begitu terlihat menghawatirkan Lani."Maaf, ini agak sakit." Dandi mengambil sampel darah.Lani hanya memandang jarum itu menghisap darahnya. Padahal Alzam malah memalingkan pandangannya seolah tak tega."Aku sudah kebal dengan rasa sakit sejak aku lari dari orang-orang biadab itu, dan tidak lagi merasakan duri yang menancap di kakiku.""Bagaimana kejadiannya hinggah kamu mengalami hal seperti itu?" "Aku hendak pulang ke desa, ada dua orang mencegatku, dan membekamku. Sepertinya mereka suruan seseorang melihat segala macam yang mereka ungkapkan dan laporkan.""Kamu tau orangnya, kenapa dia sampai berniat buruk padamu?"Lani menggeleng."Kamu punya musuh?""Apa mungkin dia tega melakukan itu," gumannya."Dia siapa?""Ini memang salahku, aku menyetujui menikah siri dengan suami orang hanya k
"Silahkan masuk Pak Kyai!" Alzam mempersilahkan tamunya."Saya izin masuk sebentar.""Lani, maaf jika aku tak memberitahumu. Kita harus menikah siri sampai kamu merasa kuat dan pergi dari rumah ini seperti keinginanmu. Seperti yang aku katakan, aku tak ingin berbuat dosa dengan tak muhrim untukmu tapi selalu melakukan kontak fisik denganmu.""Kamu melakukan hal ini tanpa persetujuanku?" Lani sampai membulat matanya."Aku hanya ingin menjaga kita agar tak menjadi dosa."Lani menggeleng."Tolonglah, hanya nikah siri. Setelah semuanya ghak ada masalah, aku akan menjatuhkan talak untukmu. Dan kamu bisa pergi jika itu kemauanmu.""Tidak, Mas!""Jangan keras-keras, Pak Kyai sudah di sini.""Apa? Kamu ya, bisa-bisanya kamu,.."Alzam menbekam mulut Lani. "Nurut saja. Apa kamu tidak percaya padaku?""Tapi jangan menuntut yang tidak-tidak kamu.""Contohnya?""Kamu bukan lagi anak kecil yang harus dijelaskan secara rinci.""Kalau kamu yang mulai duluan?" canda Alzam dengan menyimpan senyumnya mel
"Mau ke kamar mandi?" tanya Alzam.Lani sejenak memandang Alzam. Rasa aneh dan canggung menjadi terasa di hatinya. Demikian juga dengan yang dialami Alzam. Padahal sebelumnya itu justru tak mereka rasakan."Aku mau sholat saja duluh dengan tayamum. Aku takut tiap pegang air selalu kedinginan.""Baiklah, kalau begitu aku akan ke kamar mandi duluh. Aku mau wudhu, nanti sholatnya aku imami, ya."Lani mengangguk. Lalu tayamum.Alzam kemudian ke kamar mandi dan sebentar saja sudah kembali. Mereka pun segera berjamah. Ada yang sejuk dirasakan Lani saat mendengar ayat suci dilantunkan Alzam dengan fasihnya saat dia menjadi imam. Diam-diam Lani merasa jika benar dia dinikahi Alzam memang karena pria itu tak ingin melakukan dosa dengan terus bersamanya tanpa ada kata muhrim."Kenapa memandangiku?" "Enggak, ghak apa-apa," sahut Lani bingung."Jangan terus memandangi aku, nanti kamu jatuh cinta sama aku.""Aku takkan berani jatuh cinta padamu. Aku tau aku siapa. Hidupku telah hilang dibawa lela
Alzam yang tidur kembali setelah menyelesaikan sholat Subuh, terbangun dengan terkejut kala sang surya sudah membuatnya terang di jendela kamarnya. Dengan tergesa dia kemudian mandi dan memakai seragamnya ayng telah diambil tadi malam dari kamar utama.Karena tergesa, baju loreng seragam angkatan darat itu pun masih tak terkancing hinggah menampakkan otot tubuhnya yang sempurna.Agna yang menunggunya di ruang tamu, terdiam sejenak. Ia menatap tubuh Alzam. Otot-ototnya yang terpahat sempurna membuat pikirannya berkelana. Ia membayangkan surga dunia yang bisa ia nikmati jika Alzam menjadi miliknya sepenuhnya. "Mas," panggilnya lirih. "Aku cuma butuh kamu satu kali saja... berpikir untuk aku.. Lihatlah aku," Dia mendekat. Demikian juga dengan Alzam yang makin terbius oleh ttubuh ramping Agna."Aku sudah berpikir, Agna," jawab Alzam dengan senyum dan tatapan lembutnya. Tatapannya seolah tak sabar dan penuh harap."Mas,..""Agna,.. ayo cepat berangkat," ucap Alzam sambil mengancingkan s
Lani membuka pintu rumah dengan sedikit ragu. Udara dingin Malang masih melekat pada kulitnya, tapi bukan itu yang membuat hatinya bergetar. Di balik pintu, sosok Mbok Sarem langsung menyambut dengan wajah cemas."Lani, kamu baik-baik saja, nduk?" tanya Mbok Sarem sambil mengambil tas dari tangan Lani."Iya, Mbok. Ada apa kok Mbok kelihatan panik?" tanya Lani, menaruh jaketnya di gantungan. "Kemarin pagi sekali, perempuan datang kemari, ngamuk-ngamuk di sini. Dia nyari Mas Alzam. Katanya dia nggak pulang-pulang."Lani terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Mbok Sarem. Jantungnya berdetak lebih cepat. "Siapa, Mbok?""Siapa lagi kalau bukan Agna itu. Katanya sudash hari Minggu tapi Alzam masuh bersama kamu. Mbok cuma bisa bilang ke dia kalau kamu sama Mas Alzam lagi nggak di rumah. Dia pergi, tapi mukanya nggak enak, nduk."Lani menarik nafas dalam-dalam. Apa yang dia takutkan terjadi. Untungnya tidak pas ada aku, bathin Lani. Dia tak ingin melihat wanita itu mengeluarkan taringny
Pagi itu udara dingin menyelimuti vila keluarga besar Alzam di Malang. Embun masih menempel di dedaunan, mencerminkan sinar matahari yang baru muncul. Vila ini berdiri di antara hamparan kebun apel yang luas, tempat yang ideal untuk menghabiskan akhir pekan bersama keluarga. Pak Ahmad, sopir keluarga, baru saja memarkir mobil. Bu Murni, pembantu keluarga yang setia, sibuk mengeluarkan tas-tas mereka dari bagasi."Bu Murni, tolong bawa tas Lani ke kamar atas," perintah Salma lembut sambil memeriksa barang-barang yang mereka bawa.Sementara itu, Alzam melirik Lani yang tampak diam di pojok, wajahnya menyiratkan ketidaknyamanan yang tidak bisa ia sembunyikan. Ia menduga penyebabnya. Nama yang tak ingin disebut, Agna."Lani," panggil Alzam mendekat, nada suaranya rendah, tetapi penuh perhatian. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Alzam meski dia tau Lani dari tadi malam mendiamkannya, bahkan menyingkirkan tangannya saat dai peluk.Lani mendesah, mengalihkan pandangannya ke arah kebun apel. "Aku ba
"Saya tau," ujar Alzam lemah, seolah tak punya tenaga. Mengingat Agna baginya adaslah mengingat sesuatu yang ingin dia lupakan kalau dia ada."Lalu kenapa Mas hanya mengangguk?"Salma menatap Lani dengan alis terangkat, bingung dengan arah pembicaraan. “Kenapa kamu tanya begitu, Nak? Memangnya Alzam ada janji apa besok?”Lani tersenyum kaku, matanya sekilas melirik Alzam. “Besok waktunya Mas Alzam bersama Agna, Mi.”Kalimat itu jatuh seperti hujan di tengah siang yang cerah. Semua yang ada di ruang tamu mendadak terdiam. Salma menoleh ke Thoriq, mengatakan keprihatinan. Alzam menundukkan kepalanya, sementara Elma hanya menatap kakaknya dengan tatapan iba.“Alzam,” suara Thoriq berat, memecah keheningan, “Apa itu benar? Besok waktumu bersama Agna?”Alzam menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab dengan nada lelah. “Iya, Bi. Itu sudah pengaturannya, Minggu sampai Selasa saya di Agna."Salma menyentuh pundak Lani, matanya penuh kasih. “Nak, kami tahu ini sulit. Tapi kamu kan sudah
Senja berdiri di ambang pintu, wajahnya terliha ceria dengan senyum yang mengembang. Di belakangnya, Bara dan Elma mengikuti, masing-masing membawa tas kecil hasil dari belanjaan mereka. Lani terkejut, bibirnya hampir bergetar, tetapi ia menahan diri."Mbak, kangen aku sama Mbak." Senja segera memeluk Lani yang juga memeluknya erat dengan mata yang mengaca."Bagaimana Senja bisa ada di sini, Mi?" tanya Lani menatap mertuanya."Yangti sama Yangkung yang ke rumah langsung ngajak Senja ke sini. Mumpung libur dari Jum'at katanya," jawab Senja sambil menatap Thoriq dan Salma yang nampak kebingungan menjawabb pertanyaan Lani.Bara menyalami Alzam dan Dandi. Lalu mengangguk pada Hanum."Tadi aku ajak jalan-jalan ke Mall, Mbak," ucap Elma yang segera menyalami Lani dan mencium pipinya. "Mbak makin cantik saja," pujinya. "Pantas Mas Alzam lengket terus sama Mbak."Alzam tersenyum menatap adiknya yang mengerling. Sementara Lani melirik Alzam, matanya penuh pertanyaan. Suasana di ruang tamu m
“Mas Alzam dulunya dinas di sini, jadi hafal jalur Surabaya. Kalau aku, mana ngerti.""Iya, tau kamu Lamongan saja, Num," timpal Dandi.Alzam terkekeh ringan sambil melirik Lani yang duduk di sampingnya. “Gimana ghak hafal, lawong aku arek Suroboyo.""Lho, iya ta? Aku piki cuma pendatang.""Abi yang Makasar. Ummi Surabaya tulen. Kami besar di Surabaya." Sejenak Alzam melirik Lani. "Kita mampir ya ke Ummi?""Tanya saja sama Dandi dan Hanum, apa mereka tidak keberatan diajak mampir.""Ghak apa, niatnya hari ini kan kita jalan-jalan. Iya kan, Mas?" tanya Hanum pada Dandk yang di sampingnya."Heem. Kapan lagi kalau ghak sekarang? Paing juga kalau bisa bulan depan saat kita ngantar lagi.""Emang kalian mau ngantar aku lagi?" tanya Lani dengan emnengok ke belakang.""Ya, iyalah, Mbak. Mudah-mudahan Mas Dandi ghak pas di kirim ke mana-mana.""Terimakasih," ucap Lani terharu. Demikian juga dengan yang diucapkan Alzam."Sekrang, kita makan duluh ya," ajak Alzam. "Nih, yang di sebelahku sudah k
Lantunan ayat suci sudah terdengar saat Alzam membuka matanya. Di sampingnya, Lani masih terlelap dengan wajah yang damai. Ia tersenyum tipis, mengenang malam yang penuh kehangatan. Jari-jarinya menyentuh rambut Lani yang terurai, tetapi gerakan kecil itu justru membangunkan istrinya. Lani mengerjap perlahan, lalu menatap Alzam dengan tatapan malas yang menggemaskan."Pagi, Mas," gumam Lani dengan suara masih serak."Pagi, Sayang." Alzam tersenyum menggoda. "Jadi, periksa kandungan nggak hari ini? Katanya kemarin nggak jadi?"Lani mendesah, menyembunyikan senyum di balik bantal. "Gimana aku ghak bilang gitu? Habisnya aku sebel banget sama kamu.""Kalau sekarang udah ghak sebel lagi? Sudah sayang lagi?" balas Alzam, pura-pura merajuk."Siapa bilang? Sebel aku masih ghak hilang, tau!" Dia segera bangkit dan duduk di tepi ranjang."Sebel sebel kok mau aja aku ajak itu,.." Alzam mengerling, menatap tubuhLani yang masih terbungkus selimut dengannya."Kamu yang maksa. Tatapan kamu itu yang
Maghrib bahkan sudah berkumandang. Setelah mandi dan berdandan, juga sholat, Lani keluar dari kamarnya dengan wajah dingin. Langkahnya menuju dapur terasa berat, tetapi ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan memasak. Tangannya cekatan mengiris bawang dan memotong sayur, meski ada getaran samar di ujung jari. Pandangannya kosong, tapi gerakan tubuhnya tetap teratur, menunjukkan bahwa rutinitas ini sudah melekat.Alzam duduk di ruang keluarga sambil nonton TV, menatap Lani tanpa suara. Dia tahu Lani masih marah, dan keberaniannya untuk mendekat seolah terhenti oleh tembok tak kasatmata yang dibangun oleh wanita itu. Alzam hanya bisa memandangi punggung Lani. Punggung yang dulu selalu ia dekap dengan hangat kini terasa begitu jauh, seperti milik seseorang yang tak lagi bisa ia sentuh."Lani," panggilnya pelan.Lani tidak menoleh. Ia hanya membuka tutup panci, membiarkan aroma tumisan menyebar. Setelah memastikan semuanya matang, ia menyiapkan meja makan tanpa sepatah kata. Piring-pirin
Lani menatap layar ponselnya yang kembali bergetar. Tanpa berpikir panjang, ia mengangkatnya."Maaf, Mas, aku tadi tidak pamitan saat pulang," suara Lani bergetar."Tidak apa-apa, Lani, kami bisa maklum. Sekarang, apa kamu baik-baik saja?" suara Dandi terdengar ragu. "Kami jadi merasa salah telah mengundangmu ke pertunangan kami setelah melihatmu merasa tak nyaman dengan berada di sini."Lani menarik napas panjang, berusaha menjaga suaranya tetap tenang. "Aku baik, Mas Dandi. Terima kasih sudah menanyakan.""Tadi... kami jadi nggak enak, Lani. Aku lihat situasi antara kamu dan Mas Alzam seperti..." Dandi terdiam, mencari kata-kata yang tepat.Lani memejamkan mata, mencoba menghindari rasa perih di dadanya. "Nggak apa-apa, Mas. Nggak usah dipikirkan. Semua sudah biasa terjadi.""Kalau ada apa-apa, kamu tahu kamu bisa hubungi aku atau Hanum, kan? Kami nggak akan diam kalau kamu butuh bantuan," kata Dandi penuh perhatian."Iya, aku tahu. Terima kasih," jawab Lani pelan.Sebelum panggi