Pagi itu, Alzam datang ke rumah Lani dengan wajah segar. Rambutnya masih basah, meneteskan sisa air yang belum sempat ia keringkan. Dia hanya memakai sarung dan kaos oblong."Sayang, kenapa nggak masak hari ini? Aku suka penyetan buatanmu," katanya santai, seolah tidak ada yang perlu dijelaskan dari kejadian-kejadian sebelumnya.Lani yang sedang duduk di kursi ruang tamu hanya melirik sekilas, lalu memalingkan wajah. Dalam hatinya, rasa jengkel membuncah. Rambutnya basah begitu, jelas dia habis menghabiskan malam dengan Agna. Sekarang, malah tanya makanan padaku, piki Lani getir."Mbok Sarem mana?" tanya Alzam."Mbok lagi di dapur," jawab Lani singkat tanpa melihat ke arah Alzam.Seolah tak peduli dengan nada dingin Lani, Alzam melangkah ke dapur. Mbok Sarem, yang sedang menyiapkan teh, langsung menyapanya."Barusan ke sini, Mas?" tanya Mbok Sarem."Iya, Mbok," jawab Alzam enteng. "Kenapa Lani nggak masak penyetan favoritku?""Ah, itu sudah kemarin, Mas. Sekarang lagi malas. Biasa, c
Lani menatap Alzam yang masih tertidur lelap di ranjang. Apa yang telah mereka lakukan pagi ini teramat indah hinggah seulas senyum menghiasi wajah Lani yang kemudian mendaratkan sebuah ciuman di kening Alzam. Walau ada sesuatu dalam dirinya yang masih terasa mengganjal. Tugas apa sebenarnya yang akan menunggu Alzam sampai dia seolah tegang. Perlahan, ia bangun dari dada Alzam, mengambil gamis yang tadi dilepas Alzam dari tubuhnya, dan mencoba melangkah ke kamar mandi. Walau pagi ini dia sudah mandi dua kali, dia lakukan agar nanti bisa sholat Dhuhah sebelum ke pabrik. Baru juga dia mau keluar, ke mushola kecilnya, sudah terdengar suara Alzam."Lani," suara Alzam yang berat memanggilnya, membuat langkahnya terhenti di depan pintu.Ia menoleh. Alzam sudah duduk di tepi ranjang, rambutnya kusut, tapi senyumnya tetap menggoda. "Tetaplah di sini hari ini. Aku ingin seharian hanya berdua denganmu," pintanya, mengulurkan tangan."Kamu kok malah ngajak aku tidur, Mas, memangnya kamu ghak ker
Lani menatap wajah Alzam yang tampak keras, seolah terbentuk oleh amarah yang menahan. Ia mencoba menghela napas panjang sebelum berkata, "Mas, aku nggak nyembunyikan apa-apa."Tatapan Alzam tajam, seperti menusuk langsung ke batinnya. "Jadi kamu nggak pernah janjian sama Rey? Dia cuma tiba-tiba ngajak makan? Lani, jangan main-main sama aku. Aku bukan orang yang dapat dikelabuhi dengan kata-kata itu.""Aku nggak janjian. Memang Rey ngajak makan, tapi aku langsung bilang nggak bisa. Aku hanya bilang aku sibuk. Itu saja."Alzam mendengus, berdiri dari sofa. Gerakannya tegas, hampir kasar, membuat Lani mundur setengah langkah. "Aku nggak suka cara dia mendekatimu.""Aku sudah bilang aku sibuk." Lani yang kesal kemudian masuk ke kamarnya. Alzam membuntutinya seolah tak terima. Namun Lani masih tak menghiaraukannya. Dengan merapikan baju di almari.Alzam memandang Lani. Ia mendekat, menggenggam pergelangan tangan istrinya perlahan. "Lani, aku serius. Apa benar kamu nggak janjian sama Rey?"
"Kapan ini berakhir?" bisik Agna pada diri sendiri. Tangannya gemetar ketika ia meraih telepon genggam di nakas. Ia hampir menelepon mamanya. Namun dia batalkan dengan mengambil kunci mobilnya, dan beranjak pergi.Dia tidak tahu bagaimana caranya menghadapi ini lagi. Selama menikah dengan Alzam, pria itu tak pernah benar-benar ada untuknya. Tidak ada kehangatan, tidak ada malam-malam penuh cinta, bahkan sentuhan pun terasa seperti sesuatu yang tabu di antara mereka. Semua yang ia miliki hanyalah status "istri sah." Tapi apa gunanya?Langit mendung ketika Agna sampai di rumah orang tuanya. Sepanjang perjalanan hanya bayang bayang Lani dan Alzam yang membuatnya mengurai airmata. Maminya, Bu Sandra membuka pintu dengan wajah terkejut."Agna? Kamu kok nggak bilang mau ke sini?" tanyanya, menatap putrinya yang tampak lelah. "Kamu sendiri saja? Mana Alzam?" tanyanya sambil mencari nama yang dimaksud.Agna hanya menggeleng pelan sambil melangkah masuk. Tubuhnya terasa rapuh, seperti angin bi
Alzam meletakkan tasnya di sofa, tubuhnya terasa berat setelah malam yang panjang di markas. Ia mengusap lehernya yang pegal, lalu matanya menangkap sosok Lani yang duduk di sudut ruangan dengan wajah muram. Sesuatu tampaknya mengganggu pikirannya."Lani?" Alzam mendekat, pandangannya penuh tanya. Ia duduk di sebelahnya, menyentuh bahu istrinya dengan lembut. "Ada apa, Sayang? Kok mukamu kusut begitu?" "Mas!""Ada apa?" "Apa kamu sudah menghubungi Agna?" tanyanya tiba-tiba.Pertanyaan itu membuat Alzam tertegun sejenak. Keningnya berkerut, mencoba memahami ke mana arah pembicaraan ini. "Kenapa kamu tanya begitu?" balasnya dengan nada yang sedikit lebih keras dari yang ia maksudkan.Lani memutar tubuhnya menghadap Alzam. "Aku cuma kasihan sama dia dengan kejadian kemarin, Mas. Dia istrimu juga, kan? Bagaimana perasaannya saat melihat kita sedang bermesraan?"Alzam mendengus pelan, lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Sayang," katanya, sambil menoleh lagi ke arah Lani, "dia tidak puny
Towirah segera mengambil ponsel dan menelepon Lani. Belum juga memencet tombol, Lani sudah menelpon dia. Suara Lani terdengar tenang, tetapi penuh kekhawatiran begitu mendengar cerita Towirah."Bu, besok kan Sabtu. Saya libur, saya bisa ke sana.""Kalau kamu datang, Ibu senang sekali. Tapi... apa Alzam tidak keberatan? Bagaimanapun dengan keadaan sekarang kalian tidak bisa leluasa pergi berdua. Apa kamu ghak apa-apa kalau bersepeda sendiri ke sini? Desa ini cukup jauh, Dhuk, sedangkan kamu hamil." Suara Towirah terdengar ragu.Lani terdiam sejenak sebelum menjawab. "Nanti saya minta izin, Bu. Kalau Mas Alzam mengizinkan, saya pasti datang."Namun, obrolan itu belum selesai ketika Alzam muncul di ruang tamu, mendengar sebagian percakapan mereka. Dengan nada datar, ia bertanya, "Ada apa, Sayang?" Ciuman di pipi Lani pun segera didaratkan Alzam.Lani menutup telepon dengan cepat, mencoba tersenyum meski sedikit gugup. Dia masih diam."Kok diam aku tanya ada apa? Masih marah?" Alzam sege
Lani tidak pernah membayangkan pertemuannya dengan Senja pagi ini akan menjadi momen yang begitu berat. Setibanya di rumah, suara isak tangis Senja terdengar lirih dari dalam kamar. Dengan langkah pelan, Lani mengetuk pintu kamar anak itu."Senja?" panggil Lani lembut, suaranya mencoba menenangkan.Tidak ada jawaban. Dengan hati-hati, Lani membuka pintu. Di dalam, ia melihat Senja duduk di sudut kamar, memeluk lututnya erat. Rambutnya berantakan, wajahnya sembab, sementara pandangan matanya kosong menatap foto yang tergenggam erat di tangannya. Hati Lani teriris melihat semua itu. Haruskah kukatakan yang sebenarnya pada Senja, bahwa aku ibunya agar dia tak merasa sendiri?"Mbak..." Suara Senja serak, seolah seluruh energinya telah terkuras habis. Ketika melihat Lani, ia langsung bangkit dan merangkul wanita itu erat. Tangisnya pecah dalam pelukan Lani.Lani membalas pelukan itu dengan erat, menepuk-nepuk punggung Senja dengan lembut. "Sudah, Mbak ada di sini. Kamu nggak sendiri, Saya
Dia mendorong tangan Lani dengan kasar. "Apa maksudnya ini?! Kamu bohong, kan?! Aku nggak percaya! Kamu hanya Mbak Lani, bukan ibuku!" jeritnya histeris. Senja lalu mundur beberapa langkah, menggelengkan kepala dengan air mata mengalir deras. Dengan air mata masih membanjiri wajahnya, Senja berlari keluar kamar, meninggalkan mereka semua dalam keheningan yang penuh luka.Di luar rumah, Senja berlari tanpa tujuan. Angin menerpa wajahnya, tetapi ia tidak peduli. Hatinya penuh dengan rasa marah, kecewa, dan kehilangan yang semakin membesar. Pandangannya buram oleh air mata, tetapi langkah kakinya tidak berhenti.Tiba-tiba, suara deru mobil terdengar mendekat. Dari arah jalan, seseorang menghentikan mobilnya di dekat Senja. Pria itu mengenakan mantel dengan topi yang menutupkepalanya.Senja berhenti, menatap pria itu dengan curiga. "Siapa kamu? Mau apa?" tanyanya, suaranya bergetar.Pria itu terdiam. Dia hanya berdiri di sana, memandang Senja dengan tatapan heran. Tangan pria itu perlaha
"Mas, telpon kamu bunyi itu," ucap Lani.Alzam segera mengambil ponsel itu, dan melihat sebuah nomor tak dikenal."Nomor nggak dikenal," gumam Alzam sebelum akhirnya menekan tombol jawab. "Halo?"Suara di seberang sana terdengar lirih tapi jelas. Suara yang membuat napas Alzam tercekat. "Alzam... ini aku, Rey."Alzam langsung berdiri tegak. "Rey? Kamu di mana?""Aku... nggak bisa lama. Aku cuma—aku hidup, Zam. Tolong jaga Mira. Tadi aku telpon dia nggak bisa."Suara Rey terdengar tergesa. Ada deru nafas berat. Seperti sedang berlari atau menyembunyikan diri."Kamu di mana sekarang? Lokasimu? Siapa yang bersamamu?" tanya Alzam cepat."Aku nggak bisa bilang. Mereka..."Tiba-tiba terdengar bunyi gaduh dari seberang. Seperti suara pintu dibuka paksa, lalu Rey menutup telepon dengan cepat."Rey! Rey!!"Alzam menatap layar yang sudah gelap. Panggilan terputus."Mas, itu tadi Rey?" Lani berdiri di belakangnya, wajahnya tegang.Alzam mengangguk pelan. "Dia masih hidup.""Syukurlah. Kita pasti
"Jangan dipikirkan terus, Sekarang minum teh jahe sing anget, biar rileks," ujar Mbok Sarem lembut, menaruh cangkir ke meja kecil. Menatap Mira dengan penuh iba.Lani yang baru kembali dari mengatur jadwal patroli satpam ikut duduk di dekat mereka. Rambutnya dikuncir rapi terihat setelah jilbabnya terlepas. Excel sudah tertidur, dan Alzam masih di pabrik membantu mengganti baterai CCTV dengan teknisi."Mira, kamu harus jaga kesehatan. Jangan-jangan Rey juga sedang berjuang supaya kamu tetap kuat di sini," kata Lani sambil menggenggam tangan Mira.Mira mengangguk. "Aku tahu... tapi suara itu, Lani. Dia sesak napas. Seperti dikejar... lalu diam, lalu teleponnya ditutup paksa. Kamu tahu betapa galaunya aku sekarang?"Lani menarik napas. "Dan itu sebabnya Mas Alzam nggak tinggal diam."Di sisi lain, Alzam sedang berdiri di belakang ruang kendali keamanan pabrik. Bersamanya, ada seorang pria tinggi dengan tuuh proporsional. Dia Evind, sahabat lama Alzam semasa kuliah, yang kini bekerja di
Hari itu, rencana pengintaian mulai disusun dengan sangat serius. Lani berdiri di hadapan empat orang satpam yang ia percaya. Wajah-wajah mereka tampak tegang, tapi penuh semangat. Ini bukan sekadar tugas biasa. Ini tentang perlindungan. Tentang memastikan tidak ada lagi teror diam-diam yang mengusik ketenangan Mira."Pak Slamet dan Pak Darto, kamu ambil shift jam sembilan sampai jam satu malam. Pak Joko dan Pak Komar jaga jam satu sampai jam empat pagi gantian. Setelah itu ganti satpam pagi," ucap Lani tegas, namun tenang.Alzam berdiri di samping istrinya, memegang sketsa tata letak pabrik dan rumah Lani di sekitarnya. Ia menunjuk titik-titik strategis di peta."Kita pakai sistem sinyal. Senter dengan lampu merah, artinya ancaman, siap siaga. Lampu biru, hanya patroli biasa. Kalau kalian lihat sesuatu yang mencurigakan, langsung nyalakan lampu merah dan tiup peluit tiga kali. Yang lain langsung ke titik itu. Jangan ada yang bergerak sendiri, kita tim. Paham?"Semua menjawab kompak
Munding Wangi masih diliputi kabut sisa embun malam. Pabrik milik Lani yang beberapa hari lalu ditutup karena libur lebaran, kini sudah kembali beroperasi penuh. Suara mesin-mesin penggilingan dan para buruh yang lalu-lalang memenuhi lorong pabrik menjadi tanda bahwa tempat ini hidup kembali. Namun suasana hati Lani masih diliputi kekhawatiran. Bukan soal produksi, bukan soal modal, melainkan soal Mira.Lani berdiri di tengah lapangan kecil yang menghubungkan bangunan utama pabrik dan kantor. Ia memanggil delapan orang satpam yang selama ini bertugas menjaga keamanan pabrik dan rumahnya. Beberapa wajah tampak masih ngantuk, tapi semua segera berdiri tegak saat Lani mulai bicara."Saya tahu ini bukan tugas biasa. Tapi beberapa malam terakhir, ada seseorang yang mondar-mandir di sekitar rumah saya. Mira khawatir, dan saya juga. Saya curiga orang itu Damar. Kalian tahu siapa dia karena duluh dia juga custumer pabrik ini untuk urusan lmbah kult jeruk. Jadi saya butuh kalian untuk siaga. K
Damar duduk sendiri di teras rumahnya. Angin malam Surabaya membelai pelan wajahnya, namun keringat dingin justru mengalir di pelipisnya. Pikirannya kacau. Perasaannya tak tenang. Sejak kabar tentang Rey yang hilang dalam tugas diterimanya di warung kopi komplek seminggu lalu, dadanya seperti diikat erat oleh kegelisahan. Budi, rekan lama yang kini sering datang ke perumahan, jadi sumber informasi utamanya."Kulit jeruk dari Lani masih dikirim ke toko ya?" tanya Damar pada Budi waktu itu.Budi mengangguk. "Bukan cuma itu, Dam. Mira juga balik kerja ke tempat Lani. Mbok Sarem bilang dia sering diam, tapi kerjaannya rapi."Hati Damar berdesir. Mira. Nama itu tak pernah benar-benar hilang dari benaknya. Sejak Rey hilang, bayangan Mira muncul lebih sering, lebih nyata, seperti hantu masa lalu yang tak pernah selesai.Tapi malam ini bukan tentang Mira. Malam ini, suara Vero yang meninggi dari dalam rumah menusuk telinganya."Kamu pikir aku nggak tahu kamu sering keluar malam belakangan ini
Hampir sebulan Mira akhirnya larut dalam kerjaannya di Munding Wangi. Kesibukan jadi pelarian yang ampuh dari gelombang rindu yang menyerangnya nyaris setiap malam. Tapi malam ini, saat seisi rumah mulai sunyi, dan hanya suara jangkrik serta detak jam dinding yang terdengar, Mira kembali duduk di sajadahnya.Pakaian tidurnya masih basah di bagian pundak oleh air wudu. Ia menatap kosong ke arah jendela yang tertutup tirai tipis. Di atas sajadah itulah, Mira menumpahkan segalanya. Dalam tiap doa tahajud, namanya selalu disebut. Bukan hanya sekali. Tapi berkali-kali."Ya Allah... kembalikan Rey padaku... Jika dia memang untukku... Tolong jangan biarkan aku hidup dalam ketidakpastian seperti ini."Air matanya jatuh. Pelan. Tenang. Tapi menyayat. Seperti air yang mengikis batu, doanya terus mengalir setiap malam. Dan selalu saja ingatan tentang Rey tak bisa diusir.Ia menyentuh ponselnya. Layar menyala, dan di sana terpampang foto pernikahan mereka. Rey yang mengenakan beskap warna merah m
POV Damar.Pagi belum sepenuhnya hidup ketika aku duduk di pojok warung kopi komplek perumahan para anggota veteran. Tempat itu bukan tempat favorit, tapi punya satu kelebihan: berita gosip dari segala lapisan bisa melintas di sana seperti aroma kopi robusta yang menyengat. Aku duduk dengan jaket hitam tipis, topi diturunkan sedikit, menyamarkan wajahnya dari siapa pun yang mungkin kenal."Rey belum pulang juga ya? Kabar terakhir sih katanya sempat ilang waktu patroli. Kayaknya kejauhan masuk zona rawan."Aku tak perlu menengok. Suara itu milik Pak Aryo, pensiunan tentara yang sekarang jualan pancingan. Dia sedang bicara pada teman duduknya sambil menyeruput kopi dengan pelan."Katanya yang ikut patroli itu bilang dia disuruh cek sendiri jalur komunikasi. Tapi nggak balik-balik. Udah semingguan, kan?""Hampir ebulan malah. Tapi keluarganya nggak mau buka suara. Padahal istrinya itu, yang cantik itu loh... siapa namanya—""Mira."Jantungku bergetar halus saat nama itu disebut. Mira. Ak
Udara pagi menampar lembut wajah Mira yang masih pucat. Jendela kamar terbuka sejak subuh, tapi hawa sejuk pegunungan Sendang Agung tak mampu membekukan panas yang mengendap di dadanya. Ia duduk diam di pinggir ranjang, pandangan tertuju pada layar ponsel yang terus gelap. Tak ada notifikasi. Tak ada pesan masuk. Dan tak ada nama Rey yang muncul.Dari balik pintu yang setengah terbuka, Laras melongok pelan, lalu mengetuk."Mira, aku bawain teh anget, mau?" tawarnya sambil masuk tanpa menunggu jawaban.Mira hanya menoleh sebentar. Sorot matanya kosong, senyum pun tak muncul. Laras meletakkan gelas di meja kecil dekat tempat tidur."Kalau kamu pengen cerita... atau cuma pengen duduk bareng tanpa ngomong apa-apa, aku siap kok," lanjut Laras, duduk di kursi rotan.Mira tetap diam. Ia kembali menatap layar ponselnya. Lalu meletakkannya di pangkuan, seolah pasrah.Laras menghela napas pelan. "Nggak apa-apa. Aku ngerti kok. Tapi kamu jangan terus begini.""Iya, Tan, ayo jalan-jalan sama Lindi
Tangis belum benar-benar reda saat Marni mengusap kepala Mira yang terkulai di pangkuannya. Aroma lepet dan ketupat yang tadi sempat membuat suasana rumah di Sendang Agung jadi hangat, kini tak lebih dari sekadar sisa-sisa tradisi yang menggantung kaku di meja ruang tamu. Rere dan Maya duduk bersisian, tak lagi berkata apa-apa, hanya menatap Mira yang tak henti menatap pintu seperti mengharap sesuatu tiba-tiba muncul dari sana."Ndok, ikut pulang ke Sendang Agung, ya... biar tenang dulu hatimu." Marni membujuk sambil membenarkan letak kerudung Mira yang sedikit miring. Suaranya lirih, tapi sarat keteguhan seorang ibu yang ingin menyelamatkan anaknya dari gelombang yang terlalu besar untuk dihadapi sendirian."Nanti kalau Rey sudah pulang, kamu bisa kembali ke sini. Di rumah, kamu bisa tenang dulu," ujar Marni, suaranya serak seperti baru saja menangis di dalam mobil.Mira menggeleng pelan. "Kalau aku pulang sekarang, terus nanti Rey pulang... dia nggak langsung ketemu aku, Bu. Aku pen