Lantunan ayat suci sudah terdengar saat Alzam membuka matanya. Di sampingnya, Lani masih terlelap dengan wajah yang damai. Ia tersenyum tipis, mengenang malam yang penuh kehangatan. Jari-jarinya menyentuh rambut Lani yang terurai, tetapi gerakan kecil itu justru membangunkan istrinya. Lani mengerjap perlahan, lalu menatap Alzam dengan tatapan malas yang menggemaskan."Pagi, Mas," gumam Lani dengan suara masih serak."Pagi, Sayang." Alzam tersenyum menggoda. "Jadi, periksa kandungan nggak hari ini? Katanya kemarin nggak jadi?"Lani mendesah, menyembunyikan senyum di balik bantal. "Gimana aku ghak bilang gitu? Habisnya aku sebel banget sama kamu.""Kalau sekarang udah ghak sebel lagi? Sudah sayang lagi?" balas Alzam, pura-pura merajuk."Siapa bilang? Sebel aku masih ghak hilang, tau!" Dia segera bangkit dan duduk di tepi ranjang."Sebel sebel kok mau aja aku ajak itu,.." Alzam mengerling, menatap tubuhLani yang masih terbungkus selimut dengannya."Kamu yang maksa. Tatapan kamu itu yang
“Mas Alzam dulunya dinas di sini, jadi hafal jalur Surabaya. Kalau aku, mana ngerti.""Iya, tau kamu Lamongan saja, Num," timpal Dandi.Alzam terkekeh ringan sambil melirik Lani yang duduk di sampingnya. “Gimana ghak hafal, lawong aku arek Suroboyo.""Lho, iya ta? Aku piki cuma pendatang.""Abi yang Makasar. Ummi Surabaya tulen. Kami besar di Surabaya." Sejenak Alzam melirik Lani. "Kita mampir ya ke Ummi?""Tanya saja sama Dandi dan Hanum, apa mereka tidak keberatan diajak mampir.""Ghak apa, niatnya hari ini kan kita jalan-jalan. Iya kan, Mas?" tanya Hanum pada Dandk yang di sampingnya."Heem. Kapan lagi kalau ghak sekarang? Paing juga kalau bisa bulan depan saat kita ngantar lagi.""Emang kalian mau ngantar aku lagi?" tanya Lani dengan emnengok ke belakang.""Ya, iyalah, Mbak. Mudah-mudahan Mas Dandi ghak pas di kirim ke mana-mana.""Terimakasih," ucap Lani terharu. Demikian juga dengan yang diucapkan Alzam."Sekrang, kita makan duluh ya," ajak Alzam. "Nih, yang di sebelahku sudah k
Senja berdiri di ambang pintu, wajahnya terliha ceria dengan senyum yang mengembang. Di belakangnya, Bara dan Elma mengikuti, masing-masing membawa tas kecil hasil dari belanjaan mereka. Lani terkejut, bibirnya hampir bergetar, tetapi ia menahan diri."Mbak, kangen aku sama Mbak." Senja segera memeluk Lani yang juga memeluknya erat dengan mata yang mengaca."Bagaimana Senja bisa ada di sini, Mi?" tanya Lani menatap mertuanya."Yangti sama Yangkung yang ke rumah langsung ngajak Senja ke sini. Mumpung libur dari Jum'at katanya," jawab Senja sambil menatap Thoriq dan Salma yang nampak kebingungan menjawabb pertanyaan Lani.Bara menyalami Alzam dan Dandi. Lalu mengangguk pada Hanum."Tadi aku ajak jalan-jalan ke Mall, Mbak," ucap Elma yang segera menyalami Lani dan mencium pipinya. "Mbak makin cantik saja," pujinya. "Pantas Mas Alzam lengket terus sama Mbak."Alzam tersenyum menatap adiknya yang mengerling. Sementara Lani melirik Alzam, matanya penuh pertanyaan. Suasana di ruang tamu m
"Saya tau," ujar Alzam lemah, seolah tak punya tenaga. Mengingat Agna baginya adaslah mengingat sesuatu yang ingin dia lupakan kalau dia ada."Lalu kenapa Mas hanya mengangguk?"Salma menatap Lani dengan alis terangkat, bingung dengan arah pembicaraan. “Kenapa kamu tanya begitu, Nak? Memangnya Alzam ada janji apa besok?”Lani tersenyum kaku, matanya sekilas melirik Alzam. “Besok waktunya Mas Alzam bersama Agna, Mi.”Kalimat itu jatuh seperti hujan di tengah siang yang cerah. Semua yang ada di ruang tamu mendadak terdiam. Salma menoleh ke Thoriq, mengatakan keprihatinan. Alzam menundukkan kepalanya, sementara Elma hanya menatap kakaknya dengan tatapan iba.“Alzam,” suara Thoriq berat, memecah keheningan, “Apa itu benar? Besok waktumu bersama Agna?”Alzam menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab dengan nada lelah. “Iya, Bi. Itu sudah pengaturannya, Minggu sampai Selasa saya di Agna."Salma menyentuh pundak Lani, matanya penuh kasih. “Nak, kami tahu ini sulit. Tapi kamu kan sudah
Pagi itu udara dingin menyelimuti vila keluarga besar Alzam di Malang. Embun masih menempel di dedaunan, mencerminkan sinar matahari yang baru muncul. Vila ini berdiri di antara hamparan kebun apel yang luas, tempat yang ideal untuk menghabiskan akhir pekan bersama keluarga. Pak Ahmad, sopir keluarga, baru saja memarkir mobil. Bu Murni, pembantu keluarga yang setia, sibuk mengeluarkan tas-tas mereka dari bagasi."Bu Murni, tolong bawa tas Lani ke kamar atas," perintah Salma lembut sambil memeriksa barang-barang yang mereka bawa.Sementara itu, Alzam melirik Lani yang tampak diam di pojok, wajahnya menyiratkan ketidaknyamanan yang tidak bisa ia sembunyikan. Ia menduga penyebabnya. Nama yang tak ingin disebut, Agna."Lani," panggil Alzam mendekat, nada suaranya rendah, tetapi penuh perhatian. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Alzam meski dia tau Lani dari tadi malam mendiamkannya, bahkan menyingkirkan tangannya saat dai peluk.Lani mendesah, mengalihkan pandangannya ke arah kebun apel. "Aku ba
Lani membuka pintu rumah dengan sedikit ragu. Udara dingin Malang masih melekat pada kulitnya, tapi bukan itu yang membuat hatinya bergetar. Di balik pintu, sosok Mbok Sarem langsung menyambut dengan wajah cemas."Lani, kamu baik-baik saja, nduk?" tanya Mbok Sarem sambil mengambil tas dari tangan Lani."Iya, Mbok. Ada apa kok Mbok kelihatan panik?" tanya Lani, menaruh jaketnya di gantungan. "Kemarin pagi sekali, perempuan datang kemari, ngamuk-ngamuk di sini. Dia nyari Mas Alzam. Katanya dia nggak pulang-pulang."Lani terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Mbok Sarem. Jantungnya berdetak lebih cepat. "Siapa, Mbok?""Siapa lagi kalau bukan Agna itu. Katanya sudash hari Minggu tapi Alzam masuh bersama kamu. Mbok cuma bisa bilang ke dia kalau kamu sama Mas Alzam lagi nggak di rumah. Dia pergi, tapi mukanya nggak enak, nduk."Lani menarik nafas dalam-dalam. Apa yang dia takutkan terjadi. Untungnya tidak pas ada aku, bathin Lani. Dia tak ingin melihat wanita itu mengeluarkan taringny
Alzam yang tidur kembali setelah menyelesaikan sholat Subuh, terbangun dengan terkejut kala sang surya sudah membuatnya terang di jendela kamarnya. Dengan tergesa dia kemudian mandi dan memakai seragamnya ayng telah diambil tadi malam dari kamar utama.Karena tergesa, baju loreng seragam angkatan darat itu pun masih tak terkancing hinggah menampakkan otot tubuhnya yang sempurna.Agna yang menunggunya di ruang tamu, terdiam sejenak. Ia menatap tubuh Alzam. Otot-ototnya yang terpahat sempurna membuat pikirannya berkelana. Ia membayangkan surga dunia yang bisa ia nikmati jika Alzam menjadi miliknya sepenuhnya. "Mas," panggilnya lirih. "Aku cuma butuh kamu satu kali saja... berpikir untuk aku.. Lihatlah aku," Dia mendekat. Demikian juga dengan Alzam yang makin terbius oleh ttubuh ramping Agna."Aku sudah berpikir, Agna," jawab Alzam dengan senyum dan tatapan lembutnya. Tatapannya seolah tak sabar dan penuh harap."Mas,..""Agna,.. ayo cepat berangkat," ucap Alzam sambil mengancingkan se
Lani menatap layar komputernya dengan sedikit malas. Tumpukan laporan yang harus diselesaikan seperti tak ada habisnya. Ia menarik napas panjang sambil sesekali melirik jam dinding. Hanya tinggal beberapa jam sebelum ia bisa pulang. Namun, ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja. Dipikirnya Alzam kembali yang tiap siang mengirim pesan hanya bertanya apa dia sudah makan? Ternyata nama lain yang membuat bibirnya otomatis tersenyum: Reynaldi.Tanpa ragu, ia menjawab panggilan itu. "Halo, Kapten Rey. Tumben telepon? Ada apa?" sapanya ringan."Halo, Lani," jawab Reynaldi dengan nada ceria. "Apa nggak boleh cuma mau tanya kabar? Kamu kelihatan sibuk banget akhir-akhir ini."Lani terkekeh. "Biasa, Mas. Kerjaan menumpuk. Kalau nggak ada yang diselesaikan, gimana dunia ini bisa tetap berputar?"Rey tertawa pelan di seberang. "Berarti kamu tulang punggung peradaban, ya? Wajar kalau nggak ada waktu buat ngobrol. Maaf, jika kali ini aku mengganggu.""Enggak. Sama sekali ghak ganggu, kok. Aku sud
.Lani berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Matanya tak lepas dari jam dinding. Sudah hampir malam, tapi Alzam tak juga pulang. Dari sudut ruangan, Towirah menghela napas pelan. "Duduk dulu, Nduk. Jangan terlalu dipikirkan."Lani mengeryit. Iya juga. Ini bukan pertama kalinya Alzam melakukan ini. tiap dicueki Lani, dia selalu pergi begitu saja tanpa pamit, pikir Lani. Apa mungkin dia ada tugas mendadak seperti duluh?Wagimin, yang duduk bersila di tikar, ikut menimpali, "Bisa jadi dia ada urusan mendadak. Kalau sesuatu terjadi, pasti sudah menghubungi." Ternyata bapaknya mengataan apa yang di hati Lani.Lani berhenti. Ia menatap mereka dengan sorot sedikit tenang. "Tapi sejak kemarin aku marah padanya. Apa dia sengaja pergi karena itu?"Towirah menepuk-nepuk sisi kursi, menyuruh Lani duduk. "Lelaki itu tidak sependendam itu, Nduk. Kalau pergi jauh, pasti ada alasan kuat."Lani duduk, tapi pikirannya kadang gelisah. Ia menatap ponsel yang sejak tadi diam di meja. Tak ada pesan, tak
Suasana begitu ramai ketika Mira bersandar di pagar pusat grosir yang berdiri megah di tengah kota. Lampu-lampu menyala kerlap kerlip di toko penjual lampu, memantulkan cahaya di permukaan pertokoan yang mulai ramai oleh pengunjung yang selain mencari makan karena watunya isrtirahat makan siang, juga pembeli dari luar kota yang mencari dagangan.Mira menghembuskan napas berat. Tatapannya kosong menatap lalu-lalang orang. Air mata yang tadi ia tahan akhirnya jatuh juga."Kenapa aku sebodoh ini..." gumamnya.Sebuah sapu tangan berwarna biru tua tiba-tiba terulur ke hadapannya. "Habus air matamu."Mira menoleh. Seorang pria tinggi besar berdiri di sampingnya, tampak santai dengan tangan satu di saku celana seragam lorerngnya, sementara tangan satunya masih terulur."Kenapa menangis? Tak seharusnya kamu menangisi orang seperti itu. Dirimu teramat berharga untuk menangisi seseorang."Mira mendongak. Sorot matanya penuh kejengkelan. "Siapa kamu? Berani sekali berkata seperti itu padaku?
"Tolong panggil Mira, Pak," ucap Agna pada satpam pabrik dengan nada sedikit terburu-buru. Baru saja dia datang dari kantornya dan pergi ke pabrik, memeriksa keuangan dan segala sesuatu tentang pabrik. Dia tau, Mira yang memegang segala sesuatunya soal pabrik itu.Satpam itu menatapnya sejenak sebelum menjawab, "Mira tadi pamit Pergi istirahat makan siang dan katanya tidak kembali."Agna sontak mengernyit. "Apa? Dia nggak bilang ke saya?"Satpam itu mengangkat bahu. "Katanya nggak tahu nomor telepon Bu Agna, jadi nggak bisa kasih kabar langsung. Dia menyuruh saya minta izin Bu Agna."Agna menghembuskan napas kasar. Rasanya ingin mengumpat. Hari ini sudah cukup buruk tanpa tambahan drama ini. Pagi-pagi buta, Alzam tiba-tiba muncul dan melabraknya dengan tuduhan konyol. Sekarang, Mira malah pergi tanpa pamit.Dia merogoh tasnya dengan gerakan kasar, mencari ponselnya. Hendak menanyakan ke Lani nomer handphone Mira. Namun sebelum sempat menghubungi Mira, ponselnya bergetar lebih dulu. N
"Sebentar, Bi," Alzam minta izin abinya untuk masuk membuntuti Lani.Alzam memandang Lani yang sejak tadi diam. Raut wajahnya tak bisa dibaca. Matanya tak lagi berbinar seperti biasa."Kamu kenapa, Sayang?" suaranya pelan, mencoba mencairkan suasana.Lani mendongak sebentar, lalu kembali menunduk, memainkan ujung jarinya di tempat tidurnya. Ada bara yang sejak tadi ia tahan."Ada apa denganmu?" Alzam mengulang, kali ini tangannya berusaha menggenggam jemari Lani. Namun malah dikibaskan oleh Lani. Seketika Alzam tersentak. Lani menghela napas. Hatinya bergemuruh. Kata-kata yang seharusnya tak diungkit lagi, kini muncul. Bagaimanapun, kenangan itu masih terasa menyesakkan."Kalau saja kamu tak melakukan itu..." Lani akhirnya berbicara, suaranya terdengar serak.Alzam mengernyit. "Melakukan apa?"Lani mendongak kembali, matanya tajam menusuk. "Mengajak Agna menikah waktu itu."Hening sejenak. Perasaan di antara mereka terasa berat. Satu kesalahan dalam hidup Alzam yang tidak pernah dapa
Mereka tiba di rumah menjelang sore. Begitu masuk, suara Ibunya, Towirah, langsung terdengar."Lani! Alzam!"Lani mendekat, mencium tangan ibunya. "Ibu..."Wagimin keluar dari dalam rumah. "Jadi, bagaimana hasilnya?"Lani menatap Alzam. Senyum kebahagiaan terpancar dari tatapan mata mereka.Alzam tersenyum tipis. "Kami sudah diizinkan menikah resmi."Sejenak, hening.Lalu Towirah mengangkat tangan ke langit. "Alhamdulillah! Akhirnya!"Wagimin menepuk pundak Alzam. "Bagus. Sudah saatnya semuanya kembali ke jalurnya.""Bagaimana dengan Agna?" tanya Towirah pelan.Lani menunduk."Setelah bukti perselingkuhan itu ada, saya akan menggugat cerai, Bu," ujar Alzam."Kalau gitu segera daftar ke Pak Modin. Biar segera diurus rencana nikah kalian.""Baik, Pak. Nanti malam saya ke sana.""Rasanya Bapak tak sabar putri bapak menikah. Di rumah ini kita belum pernah mengadakan hajatan. Sampai semua orang merasa tak enak hati kalau aku pergi bawa amplop ke mereka, katanya kita tak pernah ambil buwuan
Agna menghela napas panjang, lalu menggerutu sambil menatap kap mesin mobil yang berasap. Tangannya mencengkeram ponsel, siap mengetuk layanan taksi online."Sial! Mobil ini benar-benar menyebalkan! Seperti hidupku saja! Macet, mogok, dan dipenuhi kejutan tak mengenakkan!"Ia memukul setir dengan kesal, lalu mencoba lagi aplikasi di ponselnya. Tak ada taksi yang tersedia dalam waktu dekat."Apes! Lengkap sudah hari ini!"Tiba-tiba, suara berat menyapanya."Butuh bantuan?"Agna sontak menoleh. Seorang pria berseragam militer berdiri santai dengan tangan terselip di saku celana. Mayor muda dengan tubuh tinngi besar, tatapan tajam, dan senyum yang entah kenapa terasa menenangkan."Reynaldi?" Mata Agna melebar. "Astaga, aku pikir siapa tadi. Kamu kok tau aku lagi dlaam kesulitan. pa ini kebetulan ataukah takdir? Kanapa tiap aku tidak nyaman kamu selalu datang."Rey tersenyum ngakak. "Mungkin takdir kita bertemu. Kamu sih, mudah dikenali. Apalagi dengan ekspresi cemberut seperti tadi."Ag
"Kenapa dadaku berdebar seperti ini?" Lani menatap bayangannya di cermin. Gaun sederhana berwarna biru tua, membalut tubuhnya, riasan tipis mempermanis wajahnya. Tangannya merapikan jilbab yang membingkai muka. Jilbab panjang di dada dan di belakang, namun masih terlihat modis dengan cara Lani memakainya.Alzam sudah menunggu di ambang pintu. Begitu pintu dibuka, tatapan Alzam tak berkedip memandang Lani."Sepertinya kamu baru saja bertemu dengan anak Bapak." Sentuhan lembut di bahu Alzam membuatnya tersentak kaget dan langsung menunduk karena malu.Towirah yang juga di belakangnya bahkan terkekeh sambil menutup mulutnya dengan tangan. Wajah tandas Wagimin dengan ketampanan yang masih terukir jelas di wajah tuanya yang terpanggang matahari di kulit hitamnya memang ada di wajah Lani. Namun kulit kuning langsat dengan pipi kemerahan Lani berasal dari Towirah yang walau sering terkena matahari jika menjadi buruh pemetik jeruk, tapi dia masih terihat bersih."Kamu siap?" tanya Alzam beru
Deretan mobil hitam berhenti di halaman rumah megah dengan desain minimalis modern. Pilar-pilar tinggi berdiri kokoh dengan dinding -dinding kaca. Lampu-lampu taman menyala redup, memberikan kesan elegan dan hangat.Pintu besar terbuka. Seorang pria berbaju batik dengan janggut rapi melangkah keluar. Wibawa terpancar dari tatapan teduhnya."Selamat datang," ucapnya dengan suara dalam.Al-Ayyubi, sosok yang dikenal luas karena keilmuannya. lelaki tinggi besar keturunan Arab itu, tersenyum.Evran, Manda, Armand, dan Arhand turun dari mobil. Mereka memberi salam dengan hormat."Syukran, Abi," Evran menjawab dengan nada penuh penghormatan meamnggil nama panggilan Al Ayyubi.Di belakangnya, Arhand menyesap napas panjang. Matanya menyapu halaman rumah. Berbeda dari ingar-bingar kota, suasana ini menenangkan. Namun, jauh di dalam dirinya, ada sesuatu yang bergejolak.Mereka dipersilakan masuk ke dalam.Ruang tamu luas dengan ornamen khas Makassar. Ukiran kayu jati menghiasi langit-langit. Ka
Sabtu datang dengan langit kelabu. Lani berdiri di teras rumah, memandangi jalanan yang masih lengang. Pikirannya tak tenang sejak pabrik jatuh ke tangan Agna. Kekhawatiran akan kelangsungan pabrik menjadi pemikirannya. Terlebih dengan ancaman Alzam."Sarapan duluh, Alzam,"ajak Towirah."Memangnya mau ke mana pagi begini?" Wagimin ikut bertanya."Mau ke gudang, Pak. Biasanya kalau Sabtu kan aku lihat ke gudang.""Kalau gitu ayo sarapan duluh." Wagimin mendekatkan pindang ke arah Alzam saat dia sudah duduk bersama Lani. "Makan yang banyak, Zam. Ini masakan kesukaanmu, pindang sama lodeh tewel. Sambalnya juga enak, dibuatkan Lani.""Ibu sendiri heran, Zam, wajah kamu bukan wajah orang pribumi, tapi yang kamu sukai itu makanan orang desa.""Itu urusan lidah, Bu.""Sukur juga sih, Zam. Kalau kamu sukanya daging di apa itu namanya,.. ibumu pasti ghak bisa bikin." Wagimin terkekeh.Alzam pun menanggapinya dengan senyum sambil menatap Lani yang menurutnya terlihat gelisah.Alzam telah menye