"Enggak ada apa-apa kok Pa, Ma." Balas Arch seketika mengubah ekspresi wajahnya jadi ceria.Bocah itu tampak memakai kostum kelinci lucu, menggemaskan. Tapi anehnya pertunjukkan belum dimulai, Arch malah terlihat akan melepasnya."Ini kenapa dilepas? Kan belum jadi nyanyi. Katanya mau nyanyi buat mama sama papa?" Lea bertanya penuh selidik. Lea yang peka menangkap ada hal yang disembunyikan anak adopsi suaminya. Lea bergantian menatap Arch dan Sari."Katakan!" Titah Zio membuat dua orang itu ketakutan."Eng, itu, gini. Arch enggak jadi perform.""Kenapa?" Zio dan Lea kompak bertanya."Errr ...." Jemari Arch saling meremas dengan gelisah. Bola matanya melirik kanan kiri dengan cemas."Sari, katakan apa yang terjadi." Lea beralih pada sang pengasuh. Lea bisa menangkap Arch menggeleng pelan pada Sari."Kalau kamu tidak cerita, kamu bisa saya pecat macam Desi mau kamu?" Ancam Zio yang memang sumbu pendek."Jangan, Tuan. Jangan pecat saya. Ampun, Nyonya, Tuan." Sari memeluk Arch sayang, s
"Putra dan putri kita sangat berharga untuk kita. Apa kalian akan biarkan jika ada orang menyakitinya?"Zio melemparkan pandangannya pada semua yang ada di sana. Tatapannya berhenti pada Maya dan kepala sekolah. Maya masih mempertahankan sikap angkuh dan arogannya."Jawaban saya adalah tidak. Putra saya diam, selama ini dia tidak cerita. Tapi saat saya tahu, jangan harap kalian bisa lolos. Saya jamin kalian akan dapat balasan setimpal dengan apa yang putra saya rasakan.""Kau pikir apa yang bisa kau lakukan? Kau tidak tahu siapa suami saya?" Maya mulai menunjukkan sisi sebenar dirinya. Perempuan sombong yang aslinya haus validasi dari orang-orang di sekitarnya."Marco Carson? Pebisnis di bidang ritel? Apa yang Anda harapkan dari pria yang hobi selingkuh." Cibir Zio pada Maya yang membelalakkan mata. Kaget dengan ucapan Zio.Sementara yang lain mulai berbisik sambil menuding ke arah Maya."Jangan sembarangan bicara Anda?!" Maya membentak Zio.Suami Lea tersenyum miring. Dia ganti meman
Lea mengerjap beberapa kali, Arch bilang wajahnya seperti Nika. Nancy bilang dia adalah bayangan Nika. Seberapa mirip sebenarnya mereka berdua. Lea yang sudah kembali ke kamarnya, kini disibukkan dengan pemikiran itu, sambil memandang view kota yang terik menyala di timpa sinar mentari. Lea memang kerap bertemu Nika, tapi saat dia masih buta. Jadi dia tidak tahu rupa istri pertama Zio. Lea bisa melihat bersamaan dengan Nika yang meninggal. Wanita itu mengedarkan pandangan, mencari ke laci-laci. Namun dia tak menemukan satu lembar pun foto Nika. Dia ingin tahu seperti apa rupa perempuan itu. Sejenak terdiam, Lea baru menyadari. Sejak dia dibawa pulang ke rumah ini, dia tidak melihat satu pun foto Nika. Perempuan itu seolah tak menyisakan kenangan apapun di rumah ini, setelah dia meninggal. "Kenapa begitu?" Satu-satunya barang yang mengingatkan akan keberadaan wanita itu hanyalah pakaian yang disimpan Zio dalam sebuah almari yang sama sekali tak boleh Lea sentuh. Jika Zio sangat men
"Sampai lemas? Dia itu gila apa bagaimana? Dengan permainan standar saja dia sudah buat kaki aku kayak jeli. Tidak bisa berdiri. Apalagi kalau ditambah durasinya."Lea mengomel sambil memeluk guling siang itu. Hanya beberapa menit, tapi efeknya membuat Lea lelah, walau jelas terpuaskan. Zio selalu bisa menemukannya. Membuatnya melayang tinggi untuk kemudian dibuat meledak sampai dia hancur berantakan.Namun sisi lain Lea sangat menyukai Zio yang tengah menjajah dirinya. Mengklaim tiap jengkal tubuhnya adalah wilayahnya, miliknya. Seperti yang selalu Zio bisikkan tiap kali mereka bercinta. "Kamu adalah milikku."Aihhh! Lea membenamkan wajahnya ke dalam bantal. Parasnya merona tiap kali mengingat ulah manis sang suami. "Jangan fall in dulu, Le. Tahan-tahan!"Lea coba memperingatkan dirinya agar tidak mudah menjatuhkan hati pada Zio. Dia hanya perlu menjalani kehidupan rumah tangganya sampai dia menemukan rasa apa yang dia miliki untuk sang suami.Tapi kalau dia tiap saat disuguhi aksi m
"Apa yang sedang kamu kerjakan?" Tanya Zio pada sang istri. Dia sendiri baru kembali dari kamar Arch.Sari mengatakan keadaan Arch membaik setelah tadi bicara dengan Lea. Lea juga yang menidurkan Arch."Aku cari referensi sekolah untuk Arch, apakah boleh?" balas Lea masih berkutat di depan laptop."Ada saran?" Zio memang tidak tahu harus memasukkan Arch ke sekolah mana.Ranahnya bisnis, bukan untuk me-research sekolah mana yang baik bagi sang putra."Aku direkomendasikan sekolahnya Ivan, anaknya Arch." Lea ternyata sedang searching sekolahnya Ivan."Baguskah?" Zio menunduk di dekat sang istri ikut mengamati berbagai gambar juga keterangan tentang sekolah Ivan."Satu poin plusnya, sekolah itu satu managen dengan sekolah Zico. Jika Arch bisa masuk ke sana. Setidaknya Arch punya nilai lebih ....""Keponakan dari seorang biang onar? Apa bagusnya itu?""Setidaknya mereka akan pikir dua kali waktu mau buli Arch. Lagian ada Ivan di sana. Dia anak baik.""Kamu pernah bertemu dengannya?""Seri
Sosok yang nekad menerobos masuk ke ruangan Zio membelalakkan mata, mendengar suara wanita yang membalas ucapannya. Bukannya Zio, sang atasan.Tubuh Rina bergetar melihat kursi yang perlahan berputar, menunjukkan siapa yang berada di sana. "Le-Lea?" Cicit Rina dengan wajah berubah horor. Bagaimana bisa perempuan itu ada di sana."Jadi aku harus menceraikan dia begitu?""Bu-bukan seperti itu!""Lalu apa maksudmu dengan menceritakan semua itu pada atasanmu. Kau ingin membuat buruk namaku? Oh salah, namaku memang selalu jelek di mata kalian."Rina menggigit bibir mendengar jawaban sinis Lea. Dia salah timing rupanya. Dia pikir Zio sudah selesai meeting, rupanya belum. Malah sekarang dia harus berhadapan langsung dengan Lea."Jawab!"Rina berjingkat kaget. Dia jelas syok dengan perubahan sikap Lea. Perempuan itu dulu buta, tak akan berani padanya. Tapi lihatlah sekarang, wanita yang dulu kerap dia permalukan, kini menatap tajam padanya.Netra hazel Lea mengunci pandangannya hanya pada s
Rina mengepalkan tangannya sampai kulitnya berubah putih, seolah tak ada darah yang mengaliri. Pikirannya melayang pada pertemuannya dengan Zio sang atasan. Dia nekat memberitahu Zio semua tentang Lea.Soal perempuan itu yang mantan kakak iparnya. Soal statusnya yang janda, soal Lea yang berselingkuh dari kakaknya. Semua Rina spill dengan tujuan Zio akan percaya lalu meninggalkan perempuan itu.Namun siapa sangka, Zio justru terbahak mendengar ucapan Rina. Pria itu bahkan dengan santai menjawab, "Kau pikir aku akan tertipu dengan perkataanmu? Kau pikir aku tidak menyelidiki dulu siapa Lea sebelum aku menikah dengannya."Rina dibuat kaget oleh jawaban Zio. Perempuan itu hanya diam sambil memandang sang atasan yang kini menatap tajam padanya."Aku tahu benar status Lea sudah janda saat dia diusir dari kediaman Mahendra hari itu. Kalau kau bilang Lea berselingkuh, maka bisa disebut akulah selingkuhannya. Sebab dia tinggal di tempatku sebelum kami menikah lalu pindah ke rumah utama.""Sia
Zio lekas melepas tangan yang melingkari pinggangnya. Menjauhkan diri dari sosok yang menatapnya dengan terluka. "Apa yang kamu lakukan, Nancy?" Zio bertanya seraya membentang jarak antara keduanya. "Semua sudah jelas kenapa kamu masih bertanya. Aku cinta sama kamu, tapi kenapa kamu justru menikah dengan wanita kampungan itu!" Raung Nancy emosional. "Berapa kali kubilang kalau aku tidak punya rasa sama sekali padamu. Yang kucinta kakakmu. Tapi itu dulu, sekarang ada orang lain yang telah menggantikannya. Dan Nika sendiri yang telah memilihnya." "Aku tidak peduli. Kalau kamu tidak punya perasaan padaku. Kenapa kau perhatian padaku. Kenapa kamu peduli padaku?!" Zio sesaat terdiam. Sejenak mengingat apa yang telah dia lakukan hingga Nancy menyimpulkan kalau dia menyukai perempuan di depannya. "Aku peduli dan perhatian padamu karena kamu adik istriku. Adik iparku, tidak lebih." Zio sepertinya mulai paham kalau Nancy salah paham akan kebaikannya selama ini. Sungguh, Zio tak pernah me
Livi menangis dengan tubuh Raisa turut gemetar, melihat bagaimana Zico menggelepar menahan sakit di kepala. "Tolong, Dok. Sakit!" Teriak Zico berulang kali.Dia pegangi kepalanya yang serasa mau pecah. Pria itu meringis, mendesis sementara tim medis sedang mencoba mengurangi kesakitan yang Zico rasa.Raisa susah payah berhasil membawa Zico ke klinik terdekat. Tubuh Zico yang tumbuh besar dan tinggi membuat Raisa kesulitan memapah. Ditambah dia sedang menggendong Livi yang sejak itu mulai menangis.Beruntungnya dia bertemu dua orang yang membantu Zico berjalan ke klinik. "Apapa!" Sebut Livi berulang kali. Balita tersebut tampak ketakutan, tapi juga menampilkan ekspresi sedih."Apa yang terjadi padanya?" Seorang dokter bertanya setelah Zico berhasil ditenangkan. Raisa melirik Zico yang mulai tenang, meski sesekali masih meringis kesakitan."Dia bilang pernah kecelakaan, lalu hilang ingatan. Tapi saya tidak tahu detail-nya.""Oke, kami paham. Kami akan memeriksanya lebih lanjut. Takut
Venue pernikahan sudah ramai orang. Agaknya prosesi pernikahan akan segera dimulai. Zico panik, dia tidak menemukan Raisa di mana pun. Mungkin perempuan itu sedang di touch up make up-nya. Tapi ruangannya di sebelah mana.Saat kecemasan Zico memuncak, dia mendengar musik pengiring pernikahan mengalun. Dia menerobos barisan tamu undangan untuk melihat lebih dekat. Raisa dan Livi muncul di pintu. Zico reflek berteriak, "Sa! Sa! Kamu gak boleh nikah sama dia!"Detik setelahnya Zico menarik Raisa pergi dari sana. Membawanya berlari setelah sempat menggendong Livi. Semua tamu melongo, melihat kejadian yang baru saja berlaku.Pun dengan Agra dan Irene. Dua orang itu jelas bingung ketika Zico mendadak muncul di Tokyo, lantas membawa pergi Raisa juga Livi.Namun hal itu tidak berlaku bagi Ryu dan Hana, sepasang pengantin itu justru saling melempar senyum."Itu tadi papanya Livi?" Tanya Hana seraya berjalan ke altar pernikahan dengan tangan melingkari lengan Ryu.Gaun putih sederhana senada d
Setelah menempuh perjalanan hampir tujuh jam, Zico sampai di Tokyo hampir pagi. Tubuhnya lelah luar biasa, hingga ketika dia sampai hotel tempat dia menginap, lelaki itu langsung ambruk untuk kemudian terlelap.Dia perlu memejamkan mata sejenak, atau dia bakal oleng. Lebih parah sakit kepala bisa membuat Zico tak berdaya. Satu yang Zico ingat, dia harus menemukan Raisa sebelum jam dua siang nanti. Sebab pernikahan Ryu digelar di jam itu. Dan Zico yang buta soal Tokyo sudah dipastikan harus berjibaku menemukan venue tempat pernikahan Ryu Watanabe."Tunggu aku, Sa," gumam Zico sebelum terlelap.Padahal yang disebut namanya sedang mengulas senyum. Pertikaianya dengan Agra berakhir lebih cepat dari yang dia duga. Raisa pikir Agra akan mendiamkannya lama. Bahkan mungkin memutuskan hubungan dengannya.Punya anak di luar nikah adalah aib besar di negara mereka. Namun di sini, Tokyo. Kota dan negara yang sedang mengalami masalah penurunan angka kelahiran yang signifikan.Kelahiran adalah hal
Agra langsung menuju apartemen Raisa begitu dia sampai di Tokyo. Lelaki itu heran melihat Ryu berkunjung ke unit sang adik, padahal hari sudah cukup malam. Ditambah besok adalah hari pernikahan sang asisten. Curiga membuat Agra bergerak cepat menahan pintu, hingga dia bisa ikut masuk ke apart sang adik tanpa penghuninya tahu. Agra pikir Ryu dan Raisa punya hubungan lebih di luar atasan dan asisten.Agra dan Irene terpaksa menguping pembicaraan Ryu dan Raisa. Betapa terkejutnya dua orang itu mendengar topik yang dibicarakan oleh Ryu dan Raisa."Livi siapa, Sa?" Pertanyaan Agra membuat Raisa terperanjat. Dia tidak pernah menyangka kalau Agra sudah berdiri di hadapannya."Kakak kapan sampai?" "Jawab dulu, Livi siapa?" Agra coba menahan diri. Meski pikirannya sudah mengembara ke mana-mana. Mungkinkah yang Agra takutkan benar terjadi. "Livi dia ....""Amama, Papa." Suara menggemaskan terdengar dari arah kamar.Agra dan Irene sontak menoleh, melihat seorang balita berjalan limbung ke ar
"Om, tahu tempat tinggal Livi gak?"Zico melirik sadis ke arah Arch, yang tampak tak masalah mendapat teror semacam itu dari om-nya."Lu ngapain sih nanya Livi mulu, kan elu sudah punya Celio," kesal Zico tiap ketemu Arch. Pasti bocah itu selalu menanyakan pasal Livi.Padahal Zico sendiri sedang H2C, harap-harap cemas menanti kabar dari dari Miguel soal tes DNA Livi dengannya. Miguel mengabarkan, sample sudah masuk lab dua hari lalu, pria itu bilang akan mengusahakan secepat mungkin. Dari mana Miguel dapat sample Livi, jangan ditanya. Mungkin saja Miguel punya join venture alias kerjasama dengan kelompok Yakuza di Tokyo sana. Aih serem, triad ketemu yakuza, kalau tawuran pasti mengerikan."Celio kan cowok. Livi cewek, beda," balas Arch cepat."Memangnya kenapa kalau cewek?" Zico mulai curiga kenapa keponakannya ngebet banget sama Livi.Arch diam, tapi rona merah bisa Zico lihat menyebar di pipi putra kandung Miguel."Dia cantik, Om.""Ha? Jangan bilang lu suka sama tu bayik. Eh biji
Berbeda dengan dua pasangan lain yang tengah melakoni malam panas membara. Kamar Zico yang selalu sunyi, kini kian dingin. Hatinya hampa sejak dia kehilangan memori soal Raisa.Namun hari ini semua terasa berbeda. Kehadiran seorang Nakaia Livi mengubah segalanya. Hati Zico menghangat. Tiap sentuhan Livi menyalurkan cinta yang telah lama hilang dari kalbunya.Panggilan "apapa" khas Livi membangkitkan sesuatu dalam jiwanya. Dia seperti diseret, dipaksa untuk memperjuangkan Livi.Zico berdecih lirih. Dia habiskan cairan merah yang ada dalam gelasnya. Matanya memandang siluet pesawat yang mengangkasa di depan sana."Dia pergi," gumam Zico. Padahal belum tentu itu pesawat Livi.Detik setelahnya bunyi benda pecah terdengar. Zico baru saja membanting gelas yang beberapa saat lalu masih dia genggam. Dia remas kepalanya, frustrasi dengan dirinya sendiri."Apa yang sebenarnya hilang? Apa yang sebenarnya kuinginkan? Apa yang sejatinya aku cari?!" Teriak Zico sambil memukuli kepalanya sendiri.Su
Agra menendang bantal terdekat untuk melampiaskan kekesalannya. Berapa lama dia puasa, berapa bulan dia menahan diri. Dia sama sekali tidak menyentuh Irene lebih dari sekedar adu bibir.Grepe-grepe pun tidak. Tapi sekarang ketika dia sudah diizinkan melakukan itu semua, Irene malah biasa saja. Tidak antusias dan tidak responsif."Gra, mandi gak?" Yang ada dikepala Irene, orang menikah itu bebas berduaan di kamar. Tidak perlu takut digrebek. Bisa lihat tubuh pasangan, boleh cium, bisa peluk. Yang Irene tidak mengerti adalah mereka diizinkan melakukan lebih dari itu. Bahkan tidak ada batasan lagi untuk orang yang sudah menikah.Terlalu sibuk belajar dan bekerja membuat Irene sama sekali tidak berkembang soal hubungan antara lawan jenis. Bahkan dia tidak punya teman yang bisa diajak sharing atau membahas hal-hal yang berbau dewasa. Bahkan dengan Lea, Irene tak pernah bahas begituan.Nonton film biru pernah sekali dua. Tapi Irene pada akhirnya bergidik ngeri. Takut dengan suara desah ya
"Kenapa kau mengizinkanku menemuinya?" "Kupikir dia menyukaimu."Balasan Ryu sontak membuat Zico menoleh. Dia pandang Ryu meski kemudian Zico dipaksa melihat Livi kembali. Livi seolah ingin Zico hanya memperhatikannya saja."Dari mana kau tahu?""Siapa namamu?"Kembali Zico berpaling, sebelum Livi lagi-lagi membuat putra Inez menatapnya lagi."Pentingkah?""He em. Siapanya Raisa? Kenapa tingkah kalian benci benci tapi rindu gitu.""Kata mereka kami pacaran waktu SMA sebelum dia lanjut studi ke Jepang.""Apapa," panggil Livi."Apa, Vi. Kamu ditanyain mulu sama Arch."Livi mengerutkan dahi, seolah sedang berpikir. "Apa? Mau omong apa? Gak bisa nyebut Arch."Livi tertawa renyah seolah senang Zico tahu yang dipikirkan."Kami pulang malam ini," info Ryu."So?""Cuma kasih tahu aja," pancing Ryu."Aku gak terlalu ingat kisah kami. Tapi aku merasa aku sudah melukainya. Jadi pantas jika dia membenciku.""Kamu masih cinta dia?""Tidak tahu."Zico membalas sendu. Matanya tak bisa beralih dari
"Tahu dari mana?" Ryu menantang Raisa. "Dia tidak pernah mencariku setelah itu. Dia melupakanku begitu saja. Dia sama seperti remaja brengsek lainnya. Suka mempermainkan perempuan." Raisa coba untuk tidak menangis. Walau Livi sudah terlelap sambil memeluk botolnya. "Dia mungkin tidak tahu kalau kamu mengandung anaknya," Ryu kembali memberi pertimbangan. Raisa mengangkat tangan. "Cukup Ryu, aku tidak mau membahasnya. Katakan saja, Livi adalah buah dari kebodohanku soal laki-laki." "Dia memaksamu, Sa. Kalian melakukannya tidak dasar suka sama suka." "Kamu salah, Ryu. Aku mencintainya. Tapi malam itu dia memang memaksa. Sungguh aku tidak pernah ingin melakukannya sebelum menikah. Tapi dia ...." Tangis Raisa pecah juga akhirnya. Dia selama ini berusaha kuat tapi tiap kali teringat bagaimana Livi hadir ke dunia, sakit itu kembali terasa. Itu belum lagi kehamilan Livi yang lumayan berat. Zico harus digetok kalau perlu dihajar, dia buat Raisa menghadapi kehamilan Livi yang membuatnya