"Putra dan putri kita sangat berharga untuk kita. Apa kalian akan biarkan jika ada orang menyakitinya?"Zio melemparkan pandangannya pada semua yang ada di sana. Tatapannya berhenti pada Maya dan kepala sekolah. Maya masih mempertahankan sikap angkuh dan arogannya."Jawaban saya adalah tidak. Putra saya diam, selama ini dia tidak cerita. Tapi saat saya tahu, jangan harap kalian bisa lolos. Saya jamin kalian akan dapat balasan setimpal dengan apa yang putra saya rasakan.""Kau pikir apa yang bisa kau lakukan? Kau tidak tahu siapa suami saya?" Maya mulai menunjukkan sisi sebenar dirinya. Perempuan sombong yang aslinya haus validasi dari orang-orang di sekitarnya."Marco Carson? Pebisnis di bidang ritel? Apa yang Anda harapkan dari pria yang hobi selingkuh." Cibir Zio pada Maya yang membelalakkan mata. Kaget dengan ucapan Zio.Sementara yang lain mulai berbisik sambil menuding ke arah Maya."Jangan sembarangan bicara Anda?!" Maya membentak Zio.Suami Lea tersenyum miring. Dia ganti meman
Lea mengerjap beberapa kali, Arch bilang wajahnya seperti Nika. Nancy bilang dia adalah bayangan Nika. Seberapa mirip sebenarnya mereka berdua. Lea yang sudah kembali ke kamarnya, kini disibukkan dengan pemikiran itu, sambil memandang view kota yang terik menyala di timpa sinar mentari. Lea memang kerap bertemu Nika, tapi saat dia masih buta. Jadi dia tidak tahu rupa istri pertama Zio. Lea bisa melihat bersamaan dengan Nika yang meninggal. Wanita itu mengedarkan pandangan, mencari ke laci-laci. Namun dia tak menemukan satu lembar pun foto Nika. Dia ingin tahu seperti apa rupa perempuan itu. Sejenak terdiam, Lea baru menyadari. Sejak dia dibawa pulang ke rumah ini, dia tidak melihat satu pun foto Nika. Perempuan itu seolah tak menyisakan kenangan apapun di rumah ini, setelah dia meninggal. "Kenapa begitu?" Satu-satunya barang yang mengingatkan akan keberadaan wanita itu hanyalah pakaian yang disimpan Zio dalam sebuah almari yang sama sekali tak boleh Lea sentuh. Jika Zio sangat men
"Sampai lemas? Dia itu gila apa bagaimana? Dengan permainan standar saja dia sudah buat kaki aku kayak jeli. Tidak bisa berdiri. Apalagi kalau ditambah durasinya."Lea mengomel sambil memeluk guling siang itu. Hanya beberapa menit, tapi efeknya membuat Lea lelah, walau jelas terpuaskan. Zio selalu bisa menemukannya. Membuatnya melayang tinggi untuk kemudian dibuat meledak sampai dia hancur berantakan.Namun sisi lain Lea sangat menyukai Zio yang tengah menjajah dirinya. Mengklaim tiap jengkal tubuhnya adalah wilayahnya, miliknya. Seperti yang selalu Zio bisikkan tiap kali mereka bercinta. "Kamu adalah milikku."Aihhh! Lea membenamkan wajahnya ke dalam bantal. Parasnya merona tiap kali mengingat ulah manis sang suami. "Jangan fall in dulu, Le. Tahan-tahan!"Lea coba memperingatkan dirinya agar tidak mudah menjatuhkan hati pada Zio. Dia hanya perlu menjalani kehidupan rumah tangganya sampai dia menemukan rasa apa yang dia miliki untuk sang suami.Tapi kalau dia tiap saat disuguhi aksi m
"Apa yang sedang kamu kerjakan?" Tanya Zio pada sang istri. Dia sendiri baru kembali dari kamar Arch.Sari mengatakan keadaan Arch membaik setelah tadi bicara dengan Lea. Lea juga yang menidurkan Arch."Aku cari referensi sekolah untuk Arch, apakah boleh?" balas Lea masih berkutat di depan laptop."Ada saran?" Zio memang tidak tahu harus memasukkan Arch ke sekolah mana.Ranahnya bisnis, bukan untuk me-research sekolah mana yang baik bagi sang putra."Aku direkomendasikan sekolahnya Ivan, anaknya Arch." Lea ternyata sedang searching sekolahnya Ivan."Baguskah?" Zio menunduk di dekat sang istri ikut mengamati berbagai gambar juga keterangan tentang sekolah Ivan."Satu poin plusnya, sekolah itu satu managen dengan sekolah Zico. Jika Arch bisa masuk ke sana. Setidaknya Arch punya nilai lebih ....""Keponakan dari seorang biang onar? Apa bagusnya itu?""Setidaknya mereka akan pikir dua kali waktu mau buli Arch. Lagian ada Ivan di sana. Dia anak baik.""Kamu pernah bertemu dengannya?""Seri
Sosok yang nekad menerobos masuk ke ruangan Zio membelalakkan mata, mendengar suara wanita yang membalas ucapannya. Bukannya Zio, sang atasan.Tubuh Rina bergetar melihat kursi yang perlahan berputar, menunjukkan siapa yang berada di sana. "Le-Lea?" Cicit Rina dengan wajah berubah horor. Bagaimana bisa perempuan itu ada di sana."Jadi aku harus menceraikan dia begitu?""Bu-bukan seperti itu!""Lalu apa maksudmu dengan menceritakan semua itu pada atasanmu. Kau ingin membuat buruk namaku? Oh salah, namaku memang selalu jelek di mata kalian."Rina menggigit bibir mendengar jawaban sinis Lea. Dia salah timing rupanya. Dia pikir Zio sudah selesai meeting, rupanya belum. Malah sekarang dia harus berhadapan langsung dengan Lea."Jawab!"Rina berjingkat kaget. Dia jelas syok dengan perubahan sikap Lea. Perempuan itu dulu buta, tak akan berani padanya. Tapi lihatlah sekarang, wanita yang dulu kerap dia permalukan, kini menatap tajam padanya.Netra hazel Lea mengunci pandangannya hanya pada s
Rina mengepalkan tangannya sampai kulitnya berubah putih, seolah tak ada darah yang mengaliri. Pikirannya melayang pada pertemuannya dengan Zio sang atasan. Dia nekat memberitahu Zio semua tentang Lea.Soal perempuan itu yang mantan kakak iparnya. Soal statusnya yang janda, soal Lea yang berselingkuh dari kakaknya. Semua Rina spill dengan tujuan Zio akan percaya lalu meninggalkan perempuan itu.Namun siapa sangka, Zio justru terbahak mendengar ucapan Rina. Pria itu bahkan dengan santai menjawab, "Kau pikir aku akan tertipu dengan perkataanmu? Kau pikir aku tidak menyelidiki dulu siapa Lea sebelum aku menikah dengannya."Rina dibuat kaget oleh jawaban Zio. Perempuan itu hanya diam sambil memandang sang atasan yang kini menatap tajam padanya."Aku tahu benar status Lea sudah janda saat dia diusir dari kediaman Mahendra hari itu. Kalau kau bilang Lea berselingkuh, maka bisa disebut akulah selingkuhannya. Sebab dia tinggal di tempatku sebelum kami menikah lalu pindah ke rumah utama.""Sia
Zio lekas melepas tangan yang melingkari pinggangnya. Menjauhkan diri dari sosok yang menatapnya dengan terluka. "Apa yang kamu lakukan, Nancy?" Zio bertanya seraya membentang jarak antara keduanya. "Semua sudah jelas kenapa kamu masih bertanya. Aku cinta sama kamu, tapi kenapa kamu justru menikah dengan wanita kampungan itu!" Raung Nancy emosional. "Berapa kali kubilang kalau aku tidak punya rasa sama sekali padamu. Yang kucinta kakakmu. Tapi itu dulu, sekarang ada orang lain yang telah menggantikannya. Dan Nika sendiri yang telah memilihnya." "Aku tidak peduli. Kalau kamu tidak punya perasaan padaku. Kenapa kau perhatian padaku. Kenapa kamu peduli padaku?!" Zio sesaat terdiam. Sejenak mengingat apa yang telah dia lakukan hingga Nancy menyimpulkan kalau dia menyukai perempuan di depannya. "Aku peduli dan perhatian padamu karena kamu adik istriku. Adik iparku, tidak lebih." Zio sepertinya mulai paham kalau Nancy salah paham akan kebaikannya selama ini. Sungguh, Zio tak pernah me
Zio mengerling penuh goda pada sang istri yang sejak tadi memanahkan tatapan tajam padanya. Zio tidak masalah, Lea mau ngambek terserah. Yang jelas dia sudah tahu kunci mengatasi Lea kalau sedang tantrum."Ma, Ivan itu anaknya bosnya Mama ya?" Pertanyaan Arch mengalihkan rasa sebal Lea yang bertahan sejak semalam. Patah pinggangnya setelah dia dipaksa melayani Zio dua ronde. Awalnya saja terpaksa, sebab Lea lama-lama ikut mendesah juga."Iya, dia anak Om yang namanya sama denganmu." Arch manyun seketika, dia tetap tidak suka dengan Arch dewasa yang ia anggap ingin mengambil mamanya. "Dia baik lo, dia yang jagain Mama waktu Mama tinggal di luar. Kayak Om Zico."Yang disebut namanya terbatuk, "Jangan bawa-bawa aku. Nanti ada yang cemburu. Heran deh, aku ini anak pungut atau anak kandung sih. Seneng amat dijadikan bahan julidan."Inez terhenti sejenak dari acara meminum tehnya. Rasa bersalah tumbuh secara masif di dadanya. Menggerogoti hatinya dengan cepat. Memenuh dadanya dengan sesa
"Aku tidak mau dipenjara!" Teriak Rina seketika. Dia sudah dengar cerita Vika mengenai horornya hidup di penjara. Lihat saja Vika yang biasa tampil cetar membahana, kini tampilannya berubah total, belum ada setengah tahun menghuni tempat itu."Oh, kalian salah sasaran rupanya. Dia sangat takut masuk penjara, dari pada dighibahin seantero negeri," cibir Lawrence pada Abian.Sahabat Zico merengut mendengar ledekan sang pengacara. Rina sendiri sudah kembali berada dalam cekalan Lawrence. Pria itu mengikat tangan Rina dengan dasi. Mencegah putri Dani Mahendra macam-macam.Bersamaan dengan itu pintu ruangan Lea terbuka, Zico dan Kelvin masuk dengan raut wajah penuh emosi."Dia berulah lagi?" Rina melotot melihat Kelvin, berondong yang dia ingat jelas datang bersama Abian. "Kalian menjebakku! Kurang ajar! Brengsek! Argghh!"Dari teriakan suara Rina berubah jadi jerit kesakitan ketika Zico menginjak pergelangan kaki Rina tanpa ampun."Zico! Hentikan!" Lea memperingatkan dengan tangan menek
"Eh pengacara Lawrence, ada perlu apa?""Zico, kamu mau ke mana? Masih pakai baju pasien malah keluyuran."Lawrence bukannya menjawab pertanyaan Zico, tapi malam menegur kelakuan sang remaja setengah matang bersama gengnya."Bosen Om, di kamar. Pengen ngupi sama cari udara segar. Pengap di kamar terus," kilah Zico memberi alasan."Berarti kamu sudah oke ya. Kakakmu bagaimana?" Lawrence beralih bertanya pasal Lea."Mau jenguk kak Lea, ayuk tak anter," sambar Abian. Kini dia punya alasan untuk balik ke kamar Lea. Tak masalah jika Lawrence ikut serta. Toh Abian sudah puas bisa memandangi paras ayu kakak ipar Zio.Abian benar-benar setengah tidak waras. Dia sungguh menyukai Lea. Tak peduli kalau perempuan itu sudah bersuami.Kelvin langsung menyenggol lengan Zico. Dia menggelengkan kepala melihat kegilaan Abian."Iya, mau jenguk Nyonya Alkanders, mumpung ada urusan di sekitar sini. Jadi sekalian." Lawrence mengiyakan pertanyaan Abian."Ayo, aku antar." Abian menggulung senyum sambil mela
Begitu nama Raisa disebut, kepala Zico berdenyut nyeri. Rasanya sakit seakan mau pecah. Pria itu bahkan nyaris menangis menahan serbuan nyut-nyutan yang mendadak menyerangnya.Hal itu membuat Kelvin dan Abian panik. Pun dengan Lea yang keheranan melihat kesakitan yang Zico tanggung."Kelvin panggil dokter, itu tombol merah. Tekan aja."Kelvin lekas melakukan perintah Lea. Tak sampai lima menit, seorang dokter datang. Dengan sigap dia langsung memeriksa Zico yang perlahan tenang setelah pain killer diberikan.Napas pria itu masih tersengal, bahkan setelah sepuluh menit obat bereaksi. Peluh membasahi sekujur tubuh Zico, cukup untuk menggambarkan seberapa besar sakit yang menderanya."Boleh tahu penyebabnya?" Sang dokter mulai bertanya."Kami menyebut nama Raisa, Dok. Dia bilang tidak ingat nama itu. Lalu ya gitu deh. Dia terus kesakitan," jelas Abian singkat. Dari tempatnya, Lea hanya diam menyimak interaksi Zico dan dokter. Zico terus mengatakan kalau dia tidak ingat apapun soal nama
"Pengacara Lawrence."Sebut Rina dalam hati. Di depannya berdiri pria dengan kemeja hitam juga celana senada. Lelaki itu tampaknya sudah berada di luar situasi formal melihat bagaimana Lawrence menggulung kemeja sampai siku, terlihat lebih santai."Malah bengong! Jawab, ngapain kamu di sini? Arah sana kan tempat penjara wanita," berondong Lawrence.Sejak melihat sendiri bagaimana brutalnya Rina waktu menyerang Lea. Pria itu telah menempatkan Rina dalam daftar figur yang harus diwaspadai. Apalagi jika ada Lea di sekitarnya."Bukan urusan situ!" Balas Rina tak kalah lantang.Lawrence memindai ekspresi Rina. Sebagai pengacara, dia tentu pandai membaca mimik wajah lawan bicaranya. Banyak orang bisa bersandiwara di depannya, tanpa tahu Lawrence bisa menebak isi kepala mereka."Tentu saja akan jadi urusan saya, kalau kamu punya niat buruk. Ingat, saya adalah saksi hidup yang melihat langsung kamu menyerang Lea Alkanders. Jangan-jangan kamu juga yang menabrak Lea Alkanders semalam?"Tudingan
"Tapi kenapa saya dipecat? Rekaman itu bisa saja editan. Saya tidak melakukannya. Saya ...."Rina berhenti bicara ketika Zio mengangkat tangan. Sorot mata pria itu makin tak ramah dalam pandangan Rina. Zio memang tak pernah welcome padanya. Namun kali ini binar benci dan tidak suka turut terlihat di sana. "Kamu pikir saya tidak menyelidikinya lebih dulu. Rekaman itu asli. Bukan editan. Keputusan saya final. Kamu diberhentikan, saya tidak mau mempertaruhkan reputasi perusahaan, karena ulahmu. Sekarang pergi, saya tidak mau melihatmu lagi." Zio secara nyata mengusir Rina. Sudah cukup baginya memberi Rina toleransi, bukannya sadar, Rina malah makin menjadi. Cidera Lea dan Zico jadi warning keras untuk Zio kalau dia harus lebih waspada pada orang yang jelas menjadi ancaman bagi keluarganya. Menyingkirkan mereka adalah solusi terbaik."Tapi kinerja saya baik selama ini," Rina coba bertahan."Sayangnya kinerja bagus saja tidak cukup jika tak dibarengi dengan attitude yang baik. Tak akan
Tangis haru lekas terdengar ketika Zico memanggil Inez, untuk pertama kalinya setelah sadar dari pingsannya."Sebentar, Co. Kakakmu sedang panggil dokter," Inez membantu Zico setengah duduk dengan menaikkan tempat tidurnya."Sakit kepalaku," keluh Zico langsung."Iya, sebentar ya. Biar diperiksa dulu. Zico mau minum?"Zico mengangguk, baru menyadari kalau tenggorokannya kering. Tak berapa lama, tim dokter datang. Mereka sigap memeriksa Zico untuk beberapa waktu.Keterangan yang diberikan dokter, sedikit banyak membuat Inez dan Zio merasa lega. Sejauh ini tidak ada hal buruk mengancam Zico. Walau begitu, remaja setengah matang itu akan terus dipantau. Sampai keadaan Zico benar-benar tidak mengkhawatirkan."Kak Lea bagaimana?" Zico akhirnya ingat Lea. Zio menyibak tirai disebelahnya, hingga penampakan Lea yang tengah terlelap tampak oleh Zico. Lelaki itu menghembuskan napas kasar."Patah tulang, gegar otak. Tidak terlalu parah," jelas Zio."Tetap saja pelakunya harus dibalas. Balas dit
Hampir tengah malam ketika tim dokter memberitahu Zio kalau Lea telah siuman. Perempuan itu sesaat blank, tidak ingat apa yang terjadi. Sampai perlahan kepingan tabrakan kembali tersusun dalam memorinya.Zio fokus pada Lea, sementara Inez menunggu Zico yang masih belum bangun. Inez secara mengejutkan mampu meredam emosinya hingga ketika Sari memberitahu pasal kejadian ini, wanita tersebut hanya terkejut. Tidak sampai mempengaruhi tensi dan jantungnya."Mana yang sakit?" Zio bertanya dengan wajah sendu. Lagi-lagi Lea terbaring jadi pasien di rumah sakit. Sekarang dengan kondisi lumayan parah. Wajah Lea memar di beberapa bagian. Pun dengan anggota tubuh lain.Ditambah patah di tulang lengan atas Lea baru saja menjalani prosedur bedah. Bisa dipastikan jika rasa tubuh sang istri tidak karuan."Sakit semua," keluh Lea tak bisa pura-pura kuat di depan Zio."Maafkan aku, aku tidak becus menjagamu." Zio mendekat untuk kemudian mencium puncak kepala sang istri."Bukan salahmu. Aku yang tidak
"Sengaja jadikan Lea target?"Kalimat berapi-api dari Abian terus terngiang di telinga Zio. Bahkan ketika keheningan kembali membalut ruang tunggu selama beberapa waktu.Tak ada yang beranjak pergi. Semua seolah tidak ingin meninggalkan tempat itu sebelum mengetahui keadaan pasti Lea dan Zico.Sang dokter tadi memang menambahkan, hal-hal tak terduga bisa saja terjadi pada pasien dengan cidera karena benturan di kepala.Arch sudah tidur dalam pelukan Sari, tapi perempuan itu tak jua beringsut dari tempat duduknya. Sampai Zio memberi titah berbarengan dengan Han yang datang bersama Revo.Kedatangan dua orang itu jelas memberi petunjuk soal siapa orang sinting yang berani menyentuh Lea."Angel kamu bisa bawa mobil? Pulanglah, antarkan dulu Sari dan Arch ke rumah."Sari dan Angel saling pandang untuk kemudian sang gadis mengangguk patuh. Apalagi yang bisa dia lakukan di sini. Zico dan Lea sudah mendapat perawatan yang dipastikan terbaik.Gadis itu menerima kunci mobil Abian lalu melangkah
Dua brankar didorong masuk dengan cepat ke sebuah instalasi gawat darurat rumah sakit terdekat. Tubuh dua pasien tidak bergerak dengan darah membasahi bed tempat mereka dibaringkan.Di belakang brankar ada Arch, Sari dan Angel yang mengekor dengan wajah panik luar biasa. Serta air mata berlinang di wajah masing-masing.Ketiganya berhenti tepat di depan pintu ketika seorang perawat mencegah mereka ikut masuk."Mbak Sari, Mama ... Om Zico." Tangis Arch kembali tumpah. Kali ini dengan ledakan yang lebih kuat Sari sampai kewalahan membujuknya. Dia tidak bisa tenang waktu membujuk Arch. Bagaimana Sari bisa tenang waktu melihat dua majikannya dalam keadaan mengerikan seperti tadi."Mbak Angel tolong hubungi Tuan Alkanders. Cari saja kontaknya dengan nama itu."Angel ragu waktu menerima ponsel yang Sari ulurkan. Berhadapan dengan Zio membuat Angel gemetar duluan. Namun saat ini, mereka tidak punya pilihan. Zio harus tahu.Maka setengah jam kemudian, suasana yang sudah mencekam tambah parah.