Sejatinya Lea bingung dengan perasaannya. Dia merasa benci, tapi di waktu bersamaan dia juga berdebar tiap kali bersentuhan fisik dengan Zio.Jika yang dikatakan Zio benar soal mereka yang masih suami istri, berarti yang mereka lakukan tidak salah. Namun Lea juga tidak mau buru-buru memperbaiki hubungan dengan Zio. Lea masih sakit hati."Memaafkan? Dia saja tidak mau minta maaf."Sebenarnya keinginan Lea sangat sederhana. Lea hanya ingin Zio mengakui kesalahannya, terlebih semua yang terjadi bukan perbuatannya.Harusnya Zio memang melakukannya tapi gengsi lelaki itu setinggi langit. Sulit bagi Zio untuk melakukannya walau hanya hal sederhana."Horee, makan!" Seru Arch riang. Senyum bocah itu kembali, dia akhirnya bisa makan masakan Lea setelah sekian lama.Ditambah ketika bangun, dia mendapati Zico yang tidur memeluknya. Rasanya senang sekali. Mereka berempat bisa berkumpul lagi."Kayak emak-emak anak dua."Zico berujar seraya melirik pada Zio yang sejak tadi diam saja. Pria itu mak
"Halo, cantik."Sapaan dari Zico mendapat respon pelototan sadis, dari gadis berparas manis yang duduk di depan sang remaja."Idih, makin cakep aja kalau mode manyun gitu. Jadi pengen nyipok tu bibir."Kali ini toyoran mendarat di kepala Zico. Marah? Tidak, Zico justru terbahak. Dipandanginya wajah cemberut sang pemudi."Gak ingat aja lu ngedesah pas gue kerjain. Eit, eit. Kayaknya love language lu ke gue itu suka nganiaya gue. Elu bukan pecinta gaya hard core waktu bercinta kan?"Raisa, memejamkan mata sambil coba meredam amarah. Kalau bisa dia ingin melakban mulut Zico yang kalau bicara sungguh tak kenal yang namanya filter. Benar-benar vulgar."Kok diam, diam itu artinya iya lo.""Kamu yang diam! Ngoceh mulu! Bisa gak sih kamu bicara soal hal yang umum saja.""Hal umum? Kayak apa? Kayak mereka?"Raisa menepuk jidatnya saat dia mendapati beberapa temannya secara lantang justru membicarakan mengenai cowok cakep, cewek seksi. Astaga, mereka bukan lagi sekedar bisik-bisik tapi bercerit
"Gak mau! Arch mau sama Mama!" Arch tantrum petang itu. Zio yang baru kembali dibuat trenyuh oleh rengekan sang putra. Menurut Sari sejak pulang sekolah, Arch sudah rewel. Susah dibujuk. "Mama masih di kantor, Sayang. Tanya Om Zico kalau tidak percaya," rayu Zio."Om Zico belum pulang. Dia pasti ada di rumah Mama. Curang! Arch mau ke sana juga.""Gak, Om Zico tidak ada di sana. Dia di sekolah.""Bohong!" Raung Arch nyaring.Zio sampai kehabisan akal untuk membujuk Arch. Padahal baru dua hari bocah itu tak bertemu Lea. Tapi efeknya sungguh tak main-main.Inez sampai mendatangi ruang tengah untuk melihat keributan apa yang sedang terjadi. Perempuan itu dan yang lainnya hanya bisa saling pandang mendengar Arch menyebut mama sejak tadi.Mungkin Sari dan yang lainnya lupa kalau enam bulan lalu, Arch telah memanggil mama pada Lea.Tantrumnya Arch baru berhenti ketika suara deru moge Zico terdengar dari kejauhan. Tanpa ragu, Arch langsung berlari keluar menyongsong si om. Diikuti Zio yang
Ha? Lea langsung kabur ke lobi, meninggalkan sisa pekerjaan pada Irene yang untungnya tinggal sedikit. Lagi pula jam kerja memang sudah hampir habis.Keponakan? Keponakan siapa? Dia saja tidak punya siapa-siapa. Pikirannya sibuk menerka-nerka sampai dia sedikit terkejut mendapati Zico sedang bermain ponsel di ruang tunggu lobi Dreamcatcher."Mau ngapain? Minta duit? Kan bisa TF?"Zico berdecak kesal. "Duit mah aku gak kurang, Kak. Tapi dia ini yang ribut ngajakin nyari Kakak. Begitu sampai sini, eh dianya molor."Lea melongok, guna melihat seorang bocah yang tidur di pangkuan Zico, nyaris tak terlihat sebab tertutup jaket Zico."Astaga, ini bagaimana ceritanya. Kamu bilang orang rumah tidak kalau Arch kamu bawa?"Zico nyengir sambil menggelengkan kepala, membuat Lea melebarkan mata. Tak berapa lama, seseorang diujung sana tampak menggerutu, hampir saja dia memaki si penelepon tanpa nama yang menghubunginya. Sebelum dorongan hati justru membuat jemarinya menyentuk icon terima.Dan men
Agra menyibak tirai jendela ruang kerjanya di lantai dua. Dari sana dia melihat Irene yang masih berada di luar rumah. Sudut bibir lelaki itu tertarik melihat Irene tampak mondar mandir di halaman kediamannya.Sesekali gadis itu melakukan peregangan, untuk mengusir bosan yang melanda setelah hampir lima belas menit dia belum diizinkan masuk."Kuat sekali tekadnya," gumam Agra lantas keluar dari ruangannya."Mau terus berada di luar atau mau masuk?"Irena berbalik, dia menemukan Agra dalam balutan kemeja berwarna abu dengan celana panjang hitam. Terlihat santai, berbeda jauh dengan saat lelaki itu memakai setelan formal.Sambil membawa berkas, Irene mengekor langkah Agra masuk ke rumah yang bernuansa putih."Silakan." Agra mempersilakan Irene duduk di sofa ruang tamu."Mau minum sesuatu?""Tidak, terima kasih. Saya bawa air sendiri."Agra menggulung senyumnya, melihat bagaimana waspadanya Irene padanya."Tenang saja, aku tidak akan memberimu sianida. Dari pada sianida aku lebih suka me
"Terima kasih, senang berdiskusi dengan Anda."Lea mengulurkan lengan untuk menjabat tangan seorang klien yang baru saja menyetujui konsep pesta yang Lea ajukan. Mereka tinggal menunggu hari H untuk eksekusi.Lea lantas menjatuhkan bokongnya untuk kembali duduk, sambil menyalin kembali beberapa poin penting tentang pesta yang bakal dihelat bulan depan.Aktivitas Lea terganggu ketika dia mendapati seorang pria duduk di depannya. Ampuh deh, bagaimana orang itu bisa menemukan Lea."Lea, bisa kita bicara?" "Tidak!" Balas Lea segera, cepat dan tegas.Lelaki di hadapannya menghembuskan napas kasar, "Apa kesalahanku terlalu besar padamu. Sampai kamu sulit memaafkanku."Sekarang giliran Lea yang menghela napasnya. "Semua sudah kumaafkan, cuma aku tidak mau berurusan lagi dengan Mas Rian. Jangan temui aku lagi.""Apa ada cara agar kamu tidak lagi membenciku?""Menikahlah dengan Vika dan jangan temui aku lagi."Lea lekas mengemasi barang-barangnya, siap untuk beranjak pergi ketika dia melihat
"Nyonya? Dia menyebutmu nyonya?" Arch bertanya heran setelah Zio menghilang di balik pintu.Diskusi singkat sudah mereka lakukan. Zio secara garis besar sudah memberikan gambaran kasar mengenai konsep pesta yang dia inginkan. Lea tinggal mengembangkannya untuk kemudian menyiapkan detailnya."Mungkin aku sudah terlihat kayak emak-emak," Lea menjawab asal. Tangan dan otaknya sibuk bekerja. Terlepas dari kesalnya Lea melihat Zio muncul sebagai calon klien mereka, Lea harus tetap profesional. Dia tidak boleh mencampurkan urusan pribadi dan pekerjaannya."Emak-emak anak satu zaman sekarang justru makin meresahkan. Enggak kamu, enggak Sia. Haish, malah banyak yang dicari berondong."Lea hampir tersedak, Arch agaknya sungguh menyangka kalau Arch kecil adalah putranya dengan Agra. Astaga, apa reaksi Arch kalau dia tahu bukan Agra suaminya tapi Zio."Curhat, Pak?" Ledek Lea.Arch tertawa kecil, "Sedikit, tapi aku percaya dia akan setia sama aku. Tidak sia-sia aku jadi pebinor."Lea menggetark
"Maaf."Itulah kata yang terucap dari bibir Zico begitu Lea mengamuk, setelah perempuan itu tahu cerita yang sebenarnya."Kau! Kau benar-benar mau aku buat kena serangan jantung ya! Bisa-bisanya kau lakukan ini tanpa kasih tahu aku. Kau tahu, aku hampir gila! Aku pikir kalian diculik, aku pikir rumah ini dirampok, aku pikir kalian terluka!"Zico menunduk, bukan takut tapi terharu. Dia bahkan rela waktu Lea menoyor kepalanya sampai terayun ke belakang beberapa kali. Bisa remaja itu lihat bagaimana kalutnya Lea saat ini.Perempuan itu masih ingin mencubit Zico yang cuma meringis tanpa berani balik melawan. Andai Zio tak menarik tubuh Lea mundur, lantas menahannya. Menjauhkannya dari Zico yang mulai terisak pelan.Remaja itu menangis. Belum pernah dia melihat ada orang yang peduli padanya sampai seperti itu. "Bahkan mungkin Inez tak pernah menangisiku seperti Kak Lea," batin Zico.Anak itu hanya tidak tahu, kalau Inez pun diam-diam kerap menangis karena merasa sendirian, dan rindu akan k
Lea menoleh ke arah Zio yang setengah terpejam di kursi penumpang. Lea menghembuskan napas, kemudian kembali fokus pada kemudi yang sedang dia kendalikan.Berusaha memusatkan perhatian, nyatanya Lea tak mampu mengalihkan pikiran dari ucapan Zio beberapa waktu yang lalu. Cinta? Lelaki itu bilang cinta padanya. Lea tidak salah dengar kan?Semudah itukah Zio melupakan Nika? Setahun lalu, pria yang ada di samping Lea terlihat sangat mencintai Nika, tapi sekarang. Zio dengan gamblang menyebut mencintainya."Aku tidak tahu sejak kapan, tapi sejak aku tidak bisa melihatmu hari itu. Aku sadar kalau kehilanganmu efeknya sangat besar bagiku. Please, aku tidak bisa hidup dengan baik tanpamu.""Tidak semudah itu Zi, sikapmu masih seperti enigma, teka teki untukku. Aku masih bingung harus menanggapi hubungan kita bagaimana. Terus terang, aku masih trauma dengan apa yang terjadi malam itu. Aku takut, semua akan terulang kembali."Lea berucap ketika lampu merah menghadang jalan mereka. Dipandanginya
"Zio ...." Dua jam kemudian, dan itu cukup membuat Lea sesak napas serta kebas merata di sekujur tubuh. Bagaimana dia tidak kesulitan bernapas ketika dada bidang penuh otot Zio menekan dadanya. Dekapan pria itu juga erat, melingkari tubuh Lea dengan sempurna. Belum lagi posisi kaki Zio yang seketika membuat Lea tak berani bergerak. Dia takut salah sentuh dan berakibat fatal, bisa bahaya kan kalau sang suami memaksanya. Bukannya tidak mau, tapi ... entahlah. Lea agaknya perlu waktu untuk kembali membiasakan diri akan kehadiran Zio di sekitarnya. "Zio ...." Lea memanggil lagi, tangan Lea bergerak sepelan mungkin, mengecek dahi Zio. Lumayan, tidak sepanas tadi. Dia tak punya termometer atau apapun yang behubungan dengan P3K. Hidupnya terlalu sibuk untuk mengurusi hal remeh berhubungan dengan kesehatan. Dan untungnya tubuh Lea bisa diajak bekerjasama. Walau diawal kepergiannya dari The Mirror, Lea sempat mengalami susah tidur. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Beruntung dia be
Lea nyaris ambruk, saat harus menopang sesosok tubuh, yang tiba-tiba terhuyung ke arahnya waktu dia membuka pintu apart-nya.Makian yang tadi siap dia layangkan mengudara entah ke mana. Berganti rasa heran melihat Zio bersandar sepenuhnya padanya. "Kau kenapa?""Pusing," balas Zio lirih. "Kau sakit?" Lea merasakan panas saat kulit Zio bersentuhan dengannya, juga napas lelaki itu yang memberi kesan terbakar.Zio tak menjawab, alhasil Lea harus bersusah payah setengah menyeret tubuh tinggi besar sang suami ke sofa terdekat."Tuan kulkas bisa sakit juga to." Kata Lea nyaris melempar raga Zio.Pria itu hanya mendengus kecil mendengar ucapan Lea. Zio berbaring telentang tanpa daya, mengabaikan Lea yang berkacak pinggang sambil menghubungi seseorang.Zio ingin mengumpat melihat Lea hanya memakai tank top dengan rok span selutut yang membalut bokong dan paha mulusnya.Istrinya kini benar-benar full perawatan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Siapa yang tahan untuk tidak menerkamnya kala
"Bagus, jika kamu mau pergi."Nancy melotot mendengar ucapan Zio yang sama sekali tak ingin menahannya. "Kamu mengusirku?""Kau dengar aku menyuruhmu pindah. Kau sendiri yang ingin pergi." Zio benar-benar acuh pada Nancy yang berdiri gamang di depannya.Perempuan itu sepertinya memang tak punya posisi lebih dari sekedar mantan adik ipar."Dulu Nika yang memintaku untuk mengizinkanmu tinggal. Sekarang dia sudah tidak ada. Semua terserah padamu. Kau bisa tinggal, dengan catatan kau tidak boleh mengusik kehidupanku dan Lea."Zio menegaskan batasan tegas yang harus Nancy patuhi jika ingin tinggal. Perempuan itu menggeram rendah. Itu sama artinya dengan dia yang tak lagi dipandang juga dihargai di rumah itu. "Pergilah, aku sedang tidak mood bicara denganmu." Kali ini Zio mengusir Nancy terang-terangan dari ruangan.Lelaki itu mendadak pusing dengan tubuh terasa tak nyaman. Zio pikir kondisinya menurun beberapa hari ini. Sejak bertemu Lea, Zio justru tak bisa tidur. Kepalanya hanya diisi
"Sebentar saja, Le. Bantuin aku kalau gak mau dimasukin."Lea melotot melihat Zio berada di atas tubuhnya. Semalam Lea memilih tidur di sofa bed, sebab si empunya kamar tidak Lea jumpai sehabis dia mandi. Lea tidur sudah mengenakan piyama panjang, menghindari Zio yang sekarang Lea sadari seringkali memandangnya penuh nafsu. Lea pikir bakal tidur sendiri. Siapa sangka jika Zio justru menyusulnya tidur.Rupanya itu tujuan Zio mengganti sofanya dengan sofa bed. Supaya pria itu bisa tidur berdua. Kali ini, mentari baru menampakkan sinar oranye di ufuk timur ketika Lea sudah dibuat spot jantung karena aksi Zio sedang menindihnya. Lelaki itu memang tidur topless, tanpa pakai baju. Sekedar ditindih masih mending, ini Lea juga dihadapkan pada aksi Zio yang sedang menggesekkan monsternya pada area pribadinya yang masih tertutup celana piyama.Badan Lea panas dingin dengan rasa merinding. Napas Zio terdengar berat dengan geraman sesekali terdengar."Zio, engap!""Sebentar, Sayang. Dikit lagi
"Nancy!" Teriakan Zio lantang terdengar. Pria itu marah sekaligus kaget dengan tindakan Nancy yang menyiram Lea dengan seember air.Lea sempat terbatuk, sebelum memberikan tatapan nyalang pada Nancy. Detik setelahnya perempuan itu mendorong Nancy sampai jatuh tersungkur di lantai basement.Nancy tentu terkejut dengan tindakan Lea. Wanita itu tak pernah bertindak kasar sebelumnya, tapi hari ini, dia melihat Lea yang berubah bar-bar setelah pergi delapan bulan lalu."Perempuan kampung! Beraninya kau mendorongku. Zio kau lihat ini, dia menyerangku!" "Kau yang mulai, bukan Lea!" Balas Zio telak.Nancy melotot, dia pikir Zio akan membelanya, nyatanya tidak. Lea masih ingin memberi pelajaran pada Nancy tapi Zio lekas menariknya pergi. "Lepaskan aku! Aku ingin menghajarnya!"Lea tidak sudi lagi ditindas oleh perempuan yang dia pikir adalah kekasih suaminya."Tidak sekarang! Ganti bajumu! Basah semua." Nancy memandang geram Zio dan Lea yang melangkah pergi darinya. Mereka tidak masuk melal
Lea yang hampir membalikkan badan, urung melakukannya. Ketika bisik-bisik penuh kekaguman muncul. Perempuan itu hanya bisa menutup mulut sebagai respon atas apa yang tengah Zio lakukan.Lelaki tersebut mewujudkan ucapannya soal berlutut. Sejatinya bukan itu yang membuat kaget, tapi aksi Zio yang dilakukan di hadapan banyak orang.Zio pandai sekali memanfaatkan keadaan. Memanipulasi perasaan Lea melalui situasi yang membuat perempuan itu tersudut. Zio memang bertekad akan melakukan apa saja untuk membawa Lea pulang. Termasuk hal yang satu ini.Lea terkesiap melihat Zio menekuk satu kaki sambil mengulurkan sebuket bunga mawar merah kali ini."Kamu ....""Maafkan aku, Le. Sungguh, aku menyesal untuk kejadian hari itu. Aku tidak akan membela diri. Kamu bisa menyalahkan aku, tapi aku minta satu hal. Maafkan aku, beri aku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku."Lea dan semua orang terpaku mendengar ucapan Zio yang terasa tulus dari dalam hati. Semua orang bisa merasakan kesungguhan Zio s
"Dia mengizinkanmu bekerja, syaratnya tidak lebih dari jam enam. Setelah itu kau dilarang berada di kantor. Le, dia pengertian. Terlepas dari apa yang membuatmu memilih pergi darinya delapan bulan lalu.""Tak banyak lelaki yang mau memahami apa yang pasangannya mau. Tapi suamimu mau melakukannya. Pertimbangkan lagi. Aku bisa lihat dia pria baik, juga mencintaimu."Lea mendengkus kesal, "Cinta? Kalau dia cinta gak mungkin dia ngusir aku."Masalahnya cintanya baru numbuh sekarang, oneng!Lea lantas mendorong kasar napasnya. Gara-gara Zio membuka statusnya, kini semua orang tahu siapa dirinya. Untung saja tidak ada paparazzi yang mengejarnya sampai ke kantor seperti yang Irene yang katakan.Dia tidak tahu saja, di luar gedung banyak kamera tersembunyi siap membidik dirinya. Zio sendiri sudah memberikan ancaman, barang siapa berani mengganggu kenyamanan Lea di luar sana. Zio tak segan untuk membuatnya jadi pengangguran selamanya. Hal itu cukup membuat para pemburu berita menciut nyalinya
Dan itu terjadi, Zio mengepalkan tangan waktu kembali ke apart Lea. Dengan amarah mencapai ubun-ubun. Lea sedang happy sebab sedang mengobrol via video call dengan Agni sontak menoleh kaget melihat Zio kembali bisa masuk ke unitnya."Aku hubungi lagi nanti." Lea pamit secepat kilat pada Agni. "Kamu bobol password aku lagi, aakhh. Apaan lepas!"Lea meronta saat Zio langsung mendorongnya hingga jatuh telentang ke sofa di belakangnya. Pria itu juga menjerat tangan Lea, dia kumpulkan di atas kepala sang istri."Apa lagi sekarang?" Lea meronta tapi tak bisa bergerak sama sekali. Zio totally mengunci pergerakannya."Katakan! Apa kamu bilang pada Arch kalau suamimu Agra?"Lea terdiam, coba mencerna pertanyaan Zio. Apa tadi Zio bilang? Arch? Kapan lelaki itu bertemu Arch."Enggak!""Bohong! Kamu tahu aku tidak suka pembohong!" Lea kembali tak berkata apa-apa. Dipandangnya lelaki yang kini merah padam menatapnya."Lihat, Anda lagi-lagi lebih percaya orang lain dibanding saya ....""Jangan pa