TERIMA KASIH BUAT TEMAN-TEMAN YANG MASIH BACA SAMPAI BAB INI, TERIMA KASIH JUGA BUAT DUKUNGANNYA, LOPE U SEKEBON TEH 🫶🫶
Dua hari berlalu sejak Zio dan Lea bertemu. Tak ada apapun yang terjadi. Zio tak pernah menemui atau mencari Lea. Hal itu tentu membuat Lea lega luar biasa. Dia pikir, Zio tak lagi peduli padanya.Bagus, memang itu yang Lea harapkan. Dia tidak mau berhubungan dengan Zio lagi. Tidak masalah, jika selama enam bulan ini lelaki itu rutin mengisi kartu yang saat ini Lea mainkan. Perempuan itu tengah mempertimbangkan sesuatu. Meski status mereka masih suami istri, Lea tidak mau tahu. Dia tidak mau kembali pada Zio. Apalagi ke rumah itu. Maka tak berapa lama, Lea memasukan benda tipis berisi nominal tak sedikit ke dalam amplop. Menuliskan sederet alamat yang dia dapat dari sebuah file di laptopnya."Mang, minta tolong nitip ya." Pinta Lea pada seorang office boy yang mengantarkan teh untuknya."Siap, Bu. Kebetulan kurirnya baru datang. Bisa sekalian diangkut," sahut si kurir."Terima kasih, Mang."Si OB memberikan kode oke sebelum menghilang di balik. Lea menarik napasnya lega. Urusannya
Lea melangkah mundur ketika Agra muncul di hadapannya. Bagaimana bisa lelaki itu ada di sini? Lea melepas kacamata hitamnya, hingga visualnya bisa bertatapan langsung dengan netra Agra."Lea aku ingin bicara.""Soal apa? Saya rasa tidak ada yang perlu kita bicarakan," balas Lea tenang.Rian, Zio dan sekarang Agra, kenapa mereka selalu bisa menemukan dirinya. Apa dia harus lari ke luar kota agar terhindar dari pria-pria ini. Jangan bilang nanti dia bakal bertemu Aldo juga, playboy buaya buntung yang menyebalkan.Apalagi kemarin Lea baru bertemu Rina. Tapi tidak mungkin kalau Rina akan cerita pada Aldo jika mereka bertemu. Pun dengan Vika, ke mana perempuan itu pergi. Tapi baguslah dengan begitu berkurang rasa kesal Lea."Kita cari tempat yang enak untuk bicara.""Tunggu, kalau Anda ke sini untuk urusan pesta perusahaan Anda. Saya akan panggilkan Irene. Dia kemarin yang jadi konsultan Anda.""Saya gak mau dia. Saya mau kamu.""Sayangnya saya harus pergi sekarang. Saya akan panggilkan Ir
Lea kembali dengan napas terengah ke gedung Dreamcatcher setelah Zio membebaskannya. Tadinya perempuan itu sudah parno kalau Zio akan menyeretnya ke hotel terdekat. Dia teringat cerita seorang staf yang suaminya kerja di pertambangan minyak lepas pantai. Tiap kali pulang dia akan langsung diserang tak peduli tempat. Lea pikir Zio akan seperti itu, nyatanya tidak. Langkah Lea terhenti di lobi ketika dia melihat Han yang tampak surprise melihatnya. "OMO, nyonyaku. Ini beneran kamu. Sedang apa kamu di sini?" Han bertanya sambil mendekati Lea yang turut memangkas jarak di antara keduanya. "Suruh orang-orangmu pergi dari sini." Han terdiam, otaknya berpikir cepat. Hingga dia sampai pada kesimpulan yang sangat masuk akal. "Sekarang aku tahu kenapa Zio ingin mengutak atik kantor ini. Kamu kerja di sini. Pantas saja dia makin uring-uringan sejak hari itu. Dia bertemu kamu rupanya." "Diam kamu!" Han terbahak melihat bagaimana Lea yang sekarang berani menggigitnya. Perempuan di depanny
Lea kembali dibuat tidak berdaya menolak keinginan Zio. Kala lelaki itu memaksanya masuk ke dalam mobil, sambil merebut barang bawaan Lea. Melemparkannya ke kursi belakang. Mengabaikan protes Lea yang meratapi laptopnya yang kena banting."Kubelikan yang baru kalau rusak."Lea mendengus geram, sambil menghempaskan bokongnya dengan kesal setelah mendapat pelototan dari Zio."Apalagi sekarang?" Lea bertanya putus asa. Kerjaannya banyak, dia sengaja ingin mengajak Zico lembur dari pada bocah itu keluyuran tak jelas atau apel ke tempat Raisa. "Sudah kubilang kalau kau harus menggunakan kartu itu untuk belanja.""Saya tidak punya waktu. Kerjaan saya banyak.""Yang menyuruhmu bekerja siapa?"Lea berpaling cepat ke arah Zio. Haloo, lelaki itu tidak ingat apa kalau enam bulan lalu sudah mengusirnya. Kalau dia tidak bekerja, mau jadi apa dia sekarang, tengkorak hidup?"Anda tidak amnesia kan? Anda mengusir saya."Zio meneguk ludah susah payah mendengar ucapan Lea."Kalau tahu tidak salah kena
"Dia saja nempel terus sama Nancy. Nuduh orang jalan sama pria lain," batin Lea jengkel.Mood Lea hancur seketika. Tanpa kata dia memilih pergi meninggalkan Zio yang hanya bisa berkacak pinggang melihat kelakuan Lea. "Kebiasaan," maki Zio. Terpaksa dia mendorong troli ke arah kasir, membayarnya lalu menyusul Lea, yang dia harap tidak main pergi begitu saja. Sampai di parkiran dia mendapati Lea sedang mengangkuti barangnya sendiri."Bisa tidak kita kamu itu kalau marah jangan asal pergi?"Lea berbalik begitu melihat Zio memasukkan barang belanjaan ke jok belakang."Kalau begitu bisa tidak Anda jangan asal tuduh."First date keduanya diwarnai debat yang sontak membuat emosi keduanya merayap naik. Tensi Lea masih bisa dikendalikan. Parasnya masih terlihat tenang. Walau sejatinya kepalanya mulai berasap."Aku tidak main asal tuduh. Nyatanya terakhir kali kau pergi dengannya."Helaan napas terdengar dari arah Lea. "Kalau begitu, jangan hanya menilai dari apa yang Anda lihat. Anda juga ha
Seperti dejavu, Lea menoleh ke arah kiri ketika dilihatnya seorang anak laki-laki berjalan pada ibunya. Tanpa Lea sadari dia menangis. Serindukah itu dia pada putra yang jelas bukan darah dagingnya.Wanita itu lantas menundukkan wajah, lebih suka menyembunyikan tangis, yang bisa jadi akan menarik perhatian banyak orang jika dia tunjukkan secara nyata.Lea masih tetap menunduk, kala suara tadi terdengar lagi. Namun kali ini sangat dekat, persis di depan Lea. Sang perempuan lebih suka mengabaikannya, dia pikir itu hanya fantasinya. Sampai sepasang telapak tangan mungil menyentuh tangan Lea yang ada di atas pangkuannya. Lea berkedip cepat, tangan kecil itu nyata bukan imaginasinya."Mama kenapa nangis?" Lea langsung mengangkat wajah, dia terkejut melihat siapa sosok yang berdiri di depannya."Mama bohong!" Raung suara itu langsung memeluk Lea tanpa aba-aba. Tubuh Lea tak mampu bergerak, waktu terasa berhenti di momen itu. "Ini ... bukan mimpi kan?" Lea bergumam hingga dia merasakan sa
"Ini tempat tinggal, Mama?" Arch melompat kegirangan begitu masuk ke unit Lea. Perempuan itu menjawab iya, sambil meletakkan barang-barangnya di meja dekat pintu masuk. Zio sendiri hanya diam, tapi matanya sejak tadi memindai keadaan rumah Lea. Rapi macam biasa. "Arch, ganti baju dulu. Atau mau mandi sekalian? Lalu tidur siang."Arch langsung menyahut antusias. Dia mengekor langkah Lea masuk ke kamar sang mama. Meninggalkan Zio yang langsung duduk di sofa di ruang tengah.Netra sepekat malam lelaki itu masih menelisik tempat tinggal Lea. Hidungnya mencium samar parfum maskulin. Zio mendengus kecil. Buktinya sudah ada, masih mau mengelak.Di dalam kamar Lea, perempuan itu mulai mengeluarkan barang-barang Arch. Mereka tadi sempat belanja keperluan Arch juga membeli bahan makanan yang ingin Lea masak."Kamar Mama enak sekali. Jadi betah di sini, gak mau pulang. Arch sama Mama saja.""Nanti nenek bagaimana kalau nanyain Arch."Lea menjawab sambil membasahi rambut sang bocah untuk keram
Zio dan Zico saling lempar tatapan penuh permusuhan. Dua beradik itu duduk berhadapan, dengan tangan terlipat di dada, terpisah meja antara mereka.Zio baru saja menempeleng kepala Zico, setelah tahu kalau sang adiklah yang suka menginap di rumah Lea. Dan bukan Zico jika terima dibuli, maka dua beradik itu terlibat perkelahian yang malah memancing tawa Lea.Gelut ala smack down bocah TK dengan kepala Zico diketekin Zio. Bisa dibayangkan bagaimana sakitnya perut Lea melihat part adik kakak saling balas memelintir tangan lawannya.Dengan hasil akhir, Zico meraung kala Zio menindihnya di karpet, benar-benar seperti smack down."Lanjutin aja gelutnya. Seru tahu!" Kompor Lea dari arah kamar.Dua pria itu menoleh, lalu mendengus bersamaan. Bisa-bisanya Lea malah menyiram bensin ke bara api yang sudah berkobar."Kartu!" Tangan Zio terulur dengan Zico langsung membuka dompetnya. Menyerahkan selembar kartu hitam dari dalamnya dengan wajah penuh ejekan pada sang kakak."Ambil semua, semakin ka
Lea menarik Arch ke belakang tubuhnya. Menyembunyikan si anak dari amarah yang mungkin saja Zio tunjukkan. Awalnya Lea pikir begitu, tapi ketika lebih dari lima menit Zio hanya diam. Lea hanya bisa menghela napas."Sebenarnya apa yang mau kamu katakan. Kalau tidak, aku mau pulang. Mau tidur."Lea maju, dengan Zio sigap menghalangi. Lea ke kiri, Zio ke kiri. Lea ke kanan, Zio ikut ke kanan. Lea jelas kesal dibuatnya. "Minggir, gak? Maunya apa sih?" Bentak Lea turut emosi."Bisa gak kita bicara baik-baik.""Kamu yang mulai," sewot Lea."Sayang," bujuk Zio. Lelaki itu maju, Lea mundur."Aku minta maaf, aku salah." Kata Zio lagi. Mukanya memelas, penuh permohonan. "Minta maafnya bukan sama aku."Lea menatap tajam Zio yang menggulirkan pandangannya pada Arch yang sama sekali tak berani melihat ke arahnya. Anak itu sejak tadi menjadikan Lea tameng seolah hanya Lea yang bisa melindunginya.Zio bungkam untuk beberapa waktu, hal itu membuat Lea jengah. Hingga dia memutuskan pergi saat itu j
"Mama!"Lirikan tajam dari Zio membuat Arch mengkeret. Bocah itu merangsek mundur, bersembunyi di belakang tubuh Sari, yang juga ketakutan. Perempuan itu teramat takut ketika melihat dua tuannya harus masuk rumah sakit bersamaan.Lea nyaris pingsan ketika Zio menemukan sang istri dalam pelukan Arch yang menjerit panik. Pria itu tanpa kata membawa Lea ke rumah sakit. Walau Arch turut serta tapi anak itu jelas gentar melihat paras murka sang papa. Arch hafal benar karakter Zio. "Kau diam saja di situ." Zio menunjuk kursi tunggu di depan ruangan tempat Lea dirawat.Walau Zio menampilkan kemarahan, tapi entah kenapa bocah itu bisa melihat kelegaan luar biasa terpancar dalam netra sekelam jelaga milik sang papa."Zio! Kau marahi putraku, aku hajar kamu!"Teriakan Lea membuat Zio menoleh. Sudah hampir pingsan pun masih bisa dengar Zio memarahi Arch."Enggak kok." Zio ikut masuk ruangan setelah Heri memberi izin.Lea tampak pucat, beberapa lembar selimut melilit tubuh sang wanita. Lea masi
Lukisan seorang pria dan wanita sedang menggandeng seorang bocah laki-laki. Satu yang Lea kenali adalah rambut si wanita berwarna brunette, miliknya. Sementara di pria dengan tato bintang di pergelangan tangan. Zio memang memiliki tato di pergelangan tangan, tapi selalu tertutup jam. Lea tak pernah menyangka kalau ada orang lain yang tahu. Lea mulai menggila di tempat itu. Ini sudah hampir satu jam sejak hujan turun. Dia saja sudah dingin pol-polan. Bagaimana dengan Arch. "Arch! Di mana kamu! Ini Mama!" Teriak Lea dengan suara gemetar. Dalam hati sibuk berdoa, berharap menemukan Arch di sana. Jika tidak, Lea tak tahu harus mencari ke mana lagi. Tempat ini sudah lokasi paling ujung dari komplek tempat sekolah Arch berada. Setelah kawasan ini, ada area hutan lindung yang tertutup bagi masyarakat umum. "Arch, jawab! Kalau kamu dengar Mama." Bunyi ranting patah terdengar dari arah kiri. Lea lekas menoleh, dilihatnya samar seseorang sedang duduk di ayunan yang letaknya di sisi gedung
Kepala Zio bak dihantam batu, kehilangan Arch? Big no! Hatinya lekas menyahut. Bagi Zio Arch punya arti yang sangat besar."Aku pernah bilang, anak adopsi memang tidak lahir dari benih kita, tapi dia lahir dari hati. Cinta dan kasih kita yang melahirkannya."Zio diam, membiarkan kata-kata Lea menyiramnya. "Aku tidak tahu persis seperti apa perasaan Arch sekarang, yang aku takutkan, berkali-kali ditolak akan membuatnya terluka. Ingat, dia pernah dibuli karena statusnya yang tidak jelas. Arch pasti trauma dengan hal itu.""Ditambah sekarang kamu bersikap begini. Kamu mendiamkannya, mengabaikannya. Salah dia apa? Dia tidak tahu akan lahir dari rahim siapa. Dia tidak bisa memilih dari orang tua mana dia dilahirkan.""Percayalah, dalam hal ini dia yang paling menderita. Dibuang ke panti sejak lahir, lalu diambil lagi oleh mbak Nika, konon diadopsi, tidak tahunya anak sendiri.""Bagaimana anak sekecil itu bisa menghadapinya?"Zio terpekur. Kemarahannya mereda, tapi belum hilang. Zio sepenu
Sejak beberapa hari terakhir, Zio tak bisa fokus pada pekerjaannya. Lelaki itu lebih banyak melamun, pikirannya kosong. Dengan hati terasa sesak tiap kali dia teringat Arch.Putranya, oh bukan. Anak itu putra Miguel dan Nika. Setiap fakta itu muncul di kepalanya, Zio hanya bisa menitikkan air mata dengan tangan terkepal.Dia rindu dengan Arch, tapi mengingat perbuatan Nika, amarah itu kembali hadir. Zio sama sekali tak bisa memaafkan Nika. Perempuan itu bukan saja sudah menelantarkan Arch di panti asuhan, Nika juga Zio duga memanfaatkan Arch."Aku bingung, apa yang harus aku lakukan padamu," ratap Zio penuh kebimbangan.Saat Zio tengah dirundung kesedihan pasal sang putra. Suara ribut terdengar dari arah depan.Lea dan Rina terlibat pertengkaran. "Siapa kau berani melarangku menemui suamiku?" Lea bertanya pada Rina yang tampak mengangkat dagunya, seolah menantang Lea."Tuan Alkanders tadi memberi perintah begitu," balas Rina merasa mendapat mandat dari Zio.Padahal yang diberi perinta
Miguel melotot melihat Melani mendatanginya, dengan selembar kertas yang seketika membuat lelaki itu merutuki kebodohannya. Harusnya dia simpan kertas tersebut ke brankas. Bukan hanya dia masukkan ke dalam laci meja.Miguel cukup hafal watak Melani yang suka mengacak-acak ruang kerjanya. Sekedar untuk mencari tahu sang suami berselingkuh atau tidak. Melani memang tipe curigaan dan cemburuan. Dua sifat yang sebenarnya cukup membuat Miguel kerepotan.Kali ini kecerobohan Miguel bakal berbuntut panjang. Pasalnya ada Lea dan Arch di sana. Bisa dipastikan Lea akan jadi korban kesalahpahaman Melani dua kali."Maksudnya apa? Pasangan selingkuh? Siapa yang selingkuh?" Di luar dugaan, Lea langsung merespon tudingan Melani dengan berani."Kau! Kalian! Pasangan selingkuh! Dan dia anak hasil perbuatan kotor kalian kan! Ngaku!" Teriakan Melani lantang terdengar. Cukup membuat Arch ketakutan."Mel! Kamu apa-apaan sih? Bukannya kemarin aku sudah kasih tahu siapa dia. Dia Nyonya Alkanders dan itu put
"Kenapa Arch bilang begitu?" Miguel merasa ada yang tidak beres dengan anak yang duduk di depannya."Papa gak mau peluk Arch, gak mau cium Arch, gak mau bicara sama Arch. Papa sudah tidak sayang Arch."Bocah itu akhirnya menangis. Hati Miguel serasa ditusuk ribuan jarum kala Arch menangis di depannya. Tangan lelaki itu perlahan terulur, menyentuh pundak Arch bergeser ke punggung, lantas menariknya, hingga akhirnya Arch menangis di pundak Miguel."Arch gak minta banyak, Arch gak minta apa-apa. Arch cuma mau papa Zio sayang sama Arch," raung Arch sarat kesedihan."Mungkin papamu sedang stres, Arch. Jangan punya pikiran buruk sama papamu," tutur Miguel lembut.Dari sini, Miguel tahu kalau Arch sudah sangat sayang pada Zio. Itu wajar, mengingat Zio yang muncul lebih dulu menggantikan perannya sebagai seorang ayah."Stres kenapa? Papa kerja banyak yang bantuin. Ada Om Han juga ada nenek lampir. Bohong kalau stres.""Arch, urusan orang dewasa itu rumit. Kamu perlu tahu, tidak semua hal bisa
"Zi, Arch minta salim."Ucapan Lea membuat Zio menoleh, lantas dengan enggan mengulurkan tangan untuk Arch cium punggung tangannya."Arch pergi sekolah, Papa.""Hmm," hanya itu yang Zio ucapkan.Wajah ceria Arch berganti sendu ketika Zio mengabaikannya. Sudah beberapa hari ini, tak ada ciuman, pelukan bahkan senda gurau dari sang papa.Pria yang selalu Arch banggakan itu seolah tak peduli lagi padanya. Arch mengusap cepat air mata yang mulai menggenang di pelupuk netranya.Paras tampan itu tampak muram, tak ada senyum lebar macam biasa."Kamu ada masalah apa? Kenapa Arch yang jadi korban?" Lea kembali angkat bicara. Lea perhatikan, sudah hampir seminggu ini Zio mengabaikan Arch. Putranya yang peka tentu langsung merasakan perubahan sikap sang papa.Meski di depan Lea, Arch selalu tampak bahagia, bocah itu akan segera murung jika sedang sendiri. Perasaan anak kecil sejatinya sangat halus.Satu perubahan sikap akan membuat mereka sedih. Apalagi ini Arch, bocah yang tahu pasti kalau dir
Zio tak tahu bagaimana harus mengekspresikan perasaan. Sedih, kecewa, marah, semua rasa yang menyesakkan jiwa mengungkung hati lelaki itu. Tak pernah terbayangkan bagaimana Nika bisa menipunya mentah-mentah. Dia dibohongi habis-habisan oleh perempuan yang sangat dia cinta. "Arch adalah putra kandung Nika dan Miguel." Miguel memberitahu kalau anak buahnya mendapati fakta jika Nika pernah melahirkan hampir enam tahun lalu, sejurus perempuan itu kembali dari negeri seberang. Miguel menggerakkan anak buahnya untuk mencari masa lalu Nika dan inilah yang mereka temukan. "Dia membuang anaknya ke panti asuhan, lalu mengadopsinya saat berusia tiga tahun. Arch, dia bayi itu." Zio meremat rambutnya, bulir bening mula menuruni pipi. Dia tak pernah menitikkan air mata, bahkan ketika sang papa meninggal. Namun sakit hati karena orang tercinta membuat Zio hancur. Dia punya julukan tuan penguasa tapi dia kalah oleh cinta. Benar, cinta bisa membutakan mata hati, menumpulkan logika, hingga otak