"Maaf, Tuan. Kami belum bisa menemukannya."Agra nyaris membanting ponselnya kala anak buahnya melapor, kalau mereka belum bisa menemukan Lea. Jelas-jelas dia ada di rumah sakit itu tapi ketika dia menelusuri tiap sudutnya, Agra tak bisa menemukan Lea."Dia di mana? Dokter itu, dan ... lelaki itu. Mereka pasti tahu di mana Lea berada," gumam Agra.Pikirannya menerawang pada pertemuan tidak sengaja dengan Lea beberapa waktu lalu. "Dia makin cantik."Sudut bibir Agra tertarik, dia kian terpesona pada perempuan yang awalnya ingin dia manfaatkan untuk menghancurkan Zio. Dia berhasil melakukannya. Hidup Zio berantakan akhir-akhir ini. Agra tersenyum kecil melihat bagaimana tidak fokusnya Zio saat mereka bertemu."Jadi benar kalau dia sudah jadi kelemahanmu. Jika begitu aku harus menemukan dia lebih dulu. Kau harus makin hancur karena dia."Lisan Agra memang berucap demikian, tapi jauh di sudut hatinya, Agra sedikit terusik dengan tatapan Lea padanya. Tatapan tak suka, ingin menghindar, dan
"Siapa kamu?"Agra bertanya dengan wajah keheranan sekaligus merah padam, melihat seorang perempuan berdiri di depannya. "Saya Irene, staf dari Dreamcatcher Wedding Organizer and Event Organizer. Saya yang akan berdiskusi dengan Anda hari ini.""Irene? Bukan Lea, di sini tertulis Azalea Graziela."Irene mengulum senyum, ini bukan kali pertama dia ditolak lantaran bukan Lea yang datang. Meski ke mana-mana tak pernah menunjukkan wajah, tapi banyak orang ingin dilayani oleh Lea. Diskusi dengan Lea memang menyenangkan."Maaf, Ibu Lea ada urusan penting ....""Oo, jadi calon klien itu tidak penting. Kalian tidak profesional sekali." Agra melipat tangan, memandang penuh intimidasi pada Irene."Bukan begitu, Tuan. Klien kami sama penting satu sama lain. Dan kami para staf dibekali keterampilan sama satu lain oleh Ibu Lea. Jadi kamipun punya kemampuan sama dalam berdiskusi dengan klien. Kecuali Anda memiliki motif ingin bertemu Ibu Lea secara pribadi. Seperti yang kerap terjadi."Kalimat teg
Lea memandang Nancy dan Rina yang tampak tak percaya kala melihatnya. Namun perempuan itu tak menyapa, dia berlalu pergi bersama Irene yang juga telah siap dengan bajunya."Itu Lea kan?" Rina bertanya pada Nancy yang seketika berpaling pada aspri yang kadang suka dia kerjai."Kau kenal dia?" Nancy tentu penasaran ketika Rina tahu mengenai Lea."Tentu saja kenal. Dia itu dulu mantan kakak iparku." Ha? Jadi status Lea yang janda itu benar adanya. Dan perempuan di depan Nancy adalah mantan adik iparnya. Wah ini kesempatan bagus untuk mengorek soal masa lalu Lea."Aku heran dia punya selingkuhan selama menikah dengan kakakku. Ada ya lelaki yang mau dengan perempuan buta," cetus Rina kian membuat Nancy kepo."Buta? Dia dulu tak bisa melihat?" Rina mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Nancy.Tapi Lea sudah bisa melihat waktu dibawa pulang ke The Mirror. Apa mungkin Zio dan Lea sudah lama punya hubungan, bahkan ketika status Zio masih suami Nika. Apa keduanya berselingkuh dari pasang
"Gak makan dulu, Le?" Sia bertanya pada Lea yang sudah siap dengan sling bagnya. "Sudah, Bu. Tadi makan bareng Irene sama staf di stand pojok. Sudah selesai to, tinggal ramah tamah sama klien." "Iya, saya juga kayaknya mau balik dulu, Ivan ribut nyari mulu. Tadinya mau diajak, eh sepupunya malah datang. Ya sudah mereka main, sekarang baru kelihatan rewelnya." "Kalau tuan rumah tidak ada bagaimana?" "Ada bang Sat." Sia menjawab sambil nyengir. Lea tertawa, mendengar nama asisten Arch yang kerap dinistakan. "Padahal namanya sudah bagus lo. Kita aja yang kejam sama dia." Sia tersenyum, sambil membalas lambaian tangan sang staf. Lea berjalan santai melalui jalan tadi, dia mengangguk pada petugas keamanan yang balas memberi hormat padanya. Lea pikir tidak akan bertemu siapapun. Pasalnya semua tamu masih berada di dalam gedung. Termasuk Zio, ah pria itu. Kenapa juga Arch mengundangnya. Tapi kalau dipikir, Zio pribadi dan kantornya memang berlangganan kantor WO dan EO tempatnya beke
Dua hari berlalu sejak Zio dan Lea bertemu. Tak ada apapun yang terjadi. Zio tak pernah menemui atau mencari Lea. Hal itu tentu membuat Lea lega luar biasa. Dia pikir, Zio tak lagi peduli padanya.Bagus, memang itu yang Lea harapkan. Dia tidak mau berhubungan dengan Zio lagi. Tidak masalah, jika selama enam bulan ini lelaki itu rutin mengisi kartu yang saat ini Lea mainkan. Perempuan itu tengah mempertimbangkan sesuatu. Meski status mereka masih suami istri, Lea tidak mau tahu. Dia tidak mau kembali pada Zio. Apalagi ke rumah itu. Maka tak berapa lama, Lea memasukan benda tipis berisi nominal tak sedikit ke dalam amplop. Menuliskan sederet alamat yang dia dapat dari sebuah file di laptopnya."Mang, minta tolong nitip ya." Pinta Lea pada seorang office boy yang mengantarkan teh untuknya."Siap, Bu. Kebetulan kurirnya baru datang. Bisa sekalian diangkut," sahut si kurir."Terima kasih, Mang."Si OB memberikan kode oke sebelum menghilang di balik. Lea menarik napasnya lega. Urusannya
Lea melangkah mundur ketika Agra muncul di hadapannya. Bagaimana bisa lelaki itu ada di sini? Lea melepas kacamata hitamnya, hingga visualnya bisa bertatapan langsung dengan netra Agra."Lea aku ingin bicara.""Soal apa? Saya rasa tidak ada yang perlu kita bicarakan," balas Lea tenang.Rian, Zio dan sekarang Agra, kenapa mereka selalu bisa menemukan dirinya. Apa dia harus lari ke luar kota agar terhindar dari pria-pria ini. Jangan bilang nanti dia bakal bertemu Aldo juga, playboy buaya buntung yang menyebalkan.Apalagi kemarin Lea baru bertemu Rina. Tapi tidak mungkin kalau Rina akan cerita pada Aldo jika mereka bertemu. Pun dengan Vika, ke mana perempuan itu pergi. Tapi baguslah dengan begitu berkurang rasa kesal Lea."Kita cari tempat yang enak untuk bicara.""Tunggu, kalau Anda ke sini untuk urusan pesta perusahaan Anda. Saya akan panggilkan Irene. Dia kemarin yang jadi konsultan Anda.""Saya gak mau dia. Saya mau kamu.""Sayangnya saya harus pergi sekarang. Saya akan panggilkan Ir
Lea kembali dengan napas terengah ke gedung Dreamcatcher setelah Zio membebaskannya. Tadinya perempuan itu sudah parno kalau Zio akan menyeretnya ke hotel terdekat. Dia teringat cerita seorang staf yang suaminya kerja di pertambangan minyak lepas pantai. Tiap kali pulang dia akan langsung diserang tak peduli tempat. Lea pikir Zio akan seperti itu, nyatanya tidak. Langkah Lea terhenti di lobi ketika dia melihat Han yang tampak surprise melihatnya. "OMO, nyonyaku. Ini beneran kamu. Sedang apa kamu di sini?" Han bertanya sambil mendekati Lea yang turut memangkas jarak di antara keduanya. "Suruh orang-orangmu pergi dari sini." Han terdiam, otaknya berpikir cepat. Hingga dia sampai pada kesimpulan yang sangat masuk akal. "Sekarang aku tahu kenapa Zio ingin mengutak atik kantor ini. Kamu kerja di sini. Pantas saja dia makin uring-uringan sejak hari itu. Dia bertemu kamu rupanya." "Diam kamu!" Han terbahak melihat bagaimana Lea yang sekarang berani menggigitnya. Perempuan di depanny
Lea kembali dibuat tidak berdaya menolak keinginan Zio. Kala lelaki itu memaksanya masuk ke dalam mobil, sambil merebut barang bawaan Lea. Melemparkannya ke kursi belakang. Mengabaikan protes Lea yang meratapi laptopnya yang kena banting."Kubelikan yang baru kalau rusak."Lea mendengus geram, sambil menghempaskan bokongnya dengan kesal setelah mendapat pelototan dari Zio."Apalagi sekarang?" Lea bertanya putus asa. Kerjaannya banyak, dia sengaja ingin mengajak Zico lembur dari pada bocah itu keluyuran tak jelas atau apel ke tempat Raisa. "Sudah kubilang kalau kau harus menggunakan kartu itu untuk belanja.""Saya tidak punya waktu. Kerjaan saya banyak.""Yang menyuruhmu bekerja siapa?"Lea berpaling cepat ke arah Zio. Haloo, lelaki itu tidak ingat apa kalau enam bulan lalu sudah mengusirnya. Kalau dia tidak bekerja, mau jadi apa dia sekarang, tengkorak hidup?"Anda tidak amnesia kan? Anda mengusir saya."Zio meneguk ludah susah payah mendengar ucapan Lea."Kalau tahu tidak salah kena
Lea menarik Arch ke belakang tubuhnya. Menyembunyikan si anak dari amarah yang mungkin saja Zio tunjukkan. Awalnya Lea pikir begitu, tapi ketika lebih dari lima menit Zio hanya diam. Lea hanya bisa menghela napas."Sebenarnya apa yang mau kamu katakan. Kalau tidak, aku mau pulang. Mau tidur."Lea maju, dengan Zio sigap menghalangi. Lea ke kiri, Zio ke kiri. Lea ke kanan, Zio ikut ke kanan. Lea jelas kesal dibuatnya. "Minggir, gak? Maunya apa sih?" Bentak Lea turut emosi."Bisa gak kita bicara baik-baik.""Kamu yang mulai," sewot Lea."Sayang," bujuk Zio. Lelaki itu maju, Lea mundur."Aku minta maaf, aku salah." Kata Zio lagi. Mukanya memelas, penuh permohonan. "Minta maafnya bukan sama aku."Lea menatap tajam Zio yang menggulirkan pandangannya pada Arch yang sama sekali tak berani melihat ke arahnya. Anak itu sejak tadi menjadikan Lea tameng seolah hanya Lea yang bisa melindunginya.Zio bungkam untuk beberapa waktu, hal itu membuat Lea jengah. Hingga dia memutuskan pergi saat itu j
"Mama!"Lirikan tajam dari Zio membuat Arch mengkeret. Bocah itu merangsek mundur, bersembunyi di belakang tubuh Sari, yang juga ketakutan. Perempuan itu teramat takut ketika melihat dua tuannya harus masuk rumah sakit bersamaan.Lea nyaris pingsan ketika Zio menemukan sang istri dalam pelukan Arch yang menjerit panik. Pria itu tanpa kata membawa Lea ke rumah sakit. Walau Arch turut serta tapi anak itu jelas gentar melihat paras murka sang papa. Arch hafal benar karakter Zio. "Kau diam saja di situ." Zio menunjuk kursi tunggu di depan ruangan tempat Lea dirawat.Walau Zio menampilkan kemarahan, tapi entah kenapa bocah itu bisa melihat kelegaan luar biasa terpancar dalam netra sekelam jelaga milik sang papa."Zio! Kau marahi putraku, aku hajar kamu!"Teriakan Lea membuat Zio menoleh. Sudah hampir pingsan pun masih bisa dengar Zio memarahi Arch."Enggak kok." Zio ikut masuk ruangan setelah Heri memberi izin.Lea tampak pucat, beberapa lembar selimut melilit tubuh sang wanita. Lea masi
Lukisan seorang pria dan wanita sedang menggandeng seorang bocah laki-laki. Satu yang Lea kenali adalah rambut si wanita berwarna brunette, miliknya. Sementara di pria dengan tato bintang di pergelangan tangan. Zio memang memiliki tato di pergelangan tangan, tapi selalu tertutup jam. Lea tak pernah menyangka kalau ada orang lain yang tahu. Lea mulai menggila di tempat itu. Ini sudah hampir satu jam sejak hujan turun. Dia saja sudah dingin pol-polan. Bagaimana dengan Arch. "Arch! Di mana kamu! Ini Mama!" Teriak Lea dengan suara gemetar. Dalam hati sibuk berdoa, berharap menemukan Arch di sana. Jika tidak, Lea tak tahu harus mencari ke mana lagi. Tempat ini sudah lokasi paling ujung dari komplek tempat sekolah Arch berada. Setelah kawasan ini, ada area hutan lindung yang tertutup bagi masyarakat umum. "Arch, jawab! Kalau kamu dengar Mama." Bunyi ranting patah terdengar dari arah kiri. Lea lekas menoleh, dilihatnya samar seseorang sedang duduk di ayunan yang letaknya di sisi gedung
Kepala Zio bak dihantam batu, kehilangan Arch? Big no! Hatinya lekas menyahut. Bagi Zio Arch punya arti yang sangat besar."Aku pernah bilang, anak adopsi memang tidak lahir dari benih kita, tapi dia lahir dari hati. Cinta dan kasih kita yang melahirkannya."Zio diam, membiarkan kata-kata Lea menyiramnya. "Aku tidak tahu persis seperti apa perasaan Arch sekarang, yang aku takutkan, berkali-kali ditolak akan membuatnya terluka. Ingat, dia pernah dibuli karena statusnya yang tidak jelas. Arch pasti trauma dengan hal itu.""Ditambah sekarang kamu bersikap begini. Kamu mendiamkannya, mengabaikannya. Salah dia apa? Dia tidak tahu akan lahir dari rahim siapa. Dia tidak bisa memilih dari orang tua mana dia dilahirkan.""Percayalah, dalam hal ini dia yang paling menderita. Dibuang ke panti sejak lahir, lalu diambil lagi oleh mbak Nika, konon diadopsi, tidak tahunya anak sendiri.""Bagaimana anak sekecil itu bisa menghadapinya?"Zio terpekur. Kemarahannya mereda, tapi belum hilang. Zio sepenu
Sejak beberapa hari terakhir, Zio tak bisa fokus pada pekerjaannya. Lelaki itu lebih banyak melamun, pikirannya kosong. Dengan hati terasa sesak tiap kali dia teringat Arch.Putranya, oh bukan. Anak itu putra Miguel dan Nika. Setiap fakta itu muncul di kepalanya, Zio hanya bisa menitikkan air mata dengan tangan terkepal.Dia rindu dengan Arch, tapi mengingat perbuatan Nika, amarah itu kembali hadir. Zio sama sekali tak bisa memaafkan Nika. Perempuan itu bukan saja sudah menelantarkan Arch di panti asuhan, Nika juga Zio duga memanfaatkan Arch."Aku bingung, apa yang harus aku lakukan padamu," ratap Zio penuh kebimbangan.Saat Zio tengah dirundung kesedihan pasal sang putra. Suara ribut terdengar dari arah depan.Lea dan Rina terlibat pertengkaran. "Siapa kau berani melarangku menemui suamiku?" Lea bertanya pada Rina yang tampak mengangkat dagunya, seolah menantang Lea."Tuan Alkanders tadi memberi perintah begitu," balas Rina merasa mendapat mandat dari Zio.Padahal yang diberi perinta
Miguel melotot melihat Melani mendatanginya, dengan selembar kertas yang seketika membuat lelaki itu merutuki kebodohannya. Harusnya dia simpan kertas tersebut ke brankas. Bukan hanya dia masukkan ke dalam laci meja.Miguel cukup hafal watak Melani yang suka mengacak-acak ruang kerjanya. Sekedar untuk mencari tahu sang suami berselingkuh atau tidak. Melani memang tipe curigaan dan cemburuan. Dua sifat yang sebenarnya cukup membuat Miguel kerepotan.Kali ini kecerobohan Miguel bakal berbuntut panjang. Pasalnya ada Lea dan Arch di sana. Bisa dipastikan Lea akan jadi korban kesalahpahaman Melani dua kali."Maksudnya apa? Pasangan selingkuh? Siapa yang selingkuh?" Di luar dugaan, Lea langsung merespon tudingan Melani dengan berani."Kau! Kalian! Pasangan selingkuh! Dan dia anak hasil perbuatan kotor kalian kan! Ngaku!" Teriakan Melani lantang terdengar. Cukup membuat Arch ketakutan."Mel! Kamu apa-apaan sih? Bukannya kemarin aku sudah kasih tahu siapa dia. Dia Nyonya Alkanders dan itu put
"Kenapa Arch bilang begitu?" Miguel merasa ada yang tidak beres dengan anak yang duduk di depannya."Papa gak mau peluk Arch, gak mau cium Arch, gak mau bicara sama Arch. Papa sudah tidak sayang Arch."Bocah itu akhirnya menangis. Hati Miguel serasa ditusuk ribuan jarum kala Arch menangis di depannya. Tangan lelaki itu perlahan terulur, menyentuh pundak Arch bergeser ke punggung, lantas menariknya, hingga akhirnya Arch menangis di pundak Miguel."Arch gak minta banyak, Arch gak minta apa-apa. Arch cuma mau papa Zio sayang sama Arch," raung Arch sarat kesedihan."Mungkin papamu sedang stres, Arch. Jangan punya pikiran buruk sama papamu," tutur Miguel lembut.Dari sini, Miguel tahu kalau Arch sudah sangat sayang pada Zio. Itu wajar, mengingat Zio yang muncul lebih dulu menggantikan perannya sebagai seorang ayah."Stres kenapa? Papa kerja banyak yang bantuin. Ada Om Han juga ada nenek lampir. Bohong kalau stres.""Arch, urusan orang dewasa itu rumit. Kamu perlu tahu, tidak semua hal bisa
"Zi, Arch minta salim."Ucapan Lea membuat Zio menoleh, lantas dengan enggan mengulurkan tangan untuk Arch cium punggung tangannya."Arch pergi sekolah, Papa.""Hmm," hanya itu yang Zio ucapkan.Wajah ceria Arch berganti sendu ketika Zio mengabaikannya. Sudah beberapa hari ini, tak ada ciuman, pelukan bahkan senda gurau dari sang papa.Pria yang selalu Arch banggakan itu seolah tak peduli lagi padanya. Arch mengusap cepat air mata yang mulai menggenang di pelupuk netranya.Paras tampan itu tampak muram, tak ada senyum lebar macam biasa."Kamu ada masalah apa? Kenapa Arch yang jadi korban?" Lea kembali angkat bicara. Lea perhatikan, sudah hampir seminggu ini Zio mengabaikan Arch. Putranya yang peka tentu langsung merasakan perubahan sikap sang papa.Meski di depan Lea, Arch selalu tampak bahagia, bocah itu akan segera murung jika sedang sendiri. Perasaan anak kecil sejatinya sangat halus.Satu perubahan sikap akan membuat mereka sedih. Apalagi ini Arch, bocah yang tahu pasti kalau dir
Zio tak tahu bagaimana harus mengekspresikan perasaan. Sedih, kecewa, marah, semua rasa yang menyesakkan jiwa mengungkung hati lelaki itu. Tak pernah terbayangkan bagaimana Nika bisa menipunya mentah-mentah. Dia dibohongi habis-habisan oleh perempuan yang sangat dia cinta. "Arch adalah putra kandung Nika dan Miguel." Miguel memberitahu kalau anak buahnya mendapati fakta jika Nika pernah melahirkan hampir enam tahun lalu, sejurus perempuan itu kembali dari negeri seberang. Miguel menggerakkan anak buahnya untuk mencari masa lalu Nika dan inilah yang mereka temukan. "Dia membuang anaknya ke panti asuhan, lalu mengadopsinya saat berusia tiga tahun. Arch, dia bayi itu." Zio meremat rambutnya, bulir bening mula menuruni pipi. Dia tak pernah menitikkan air mata, bahkan ketika sang papa meninggal. Namun sakit hati karena orang tercinta membuat Zio hancur. Dia punya julukan tuan penguasa tapi dia kalah oleh cinta. Benar, cinta bisa membutakan mata hati, menumpulkan logika, hingga otak