Lisa tersenyum dan mengangguk kecil sembari mengulurkan kedua tangan.
“Ayo, Bik! Berikan padaku.” “T-tapi, Nyonya. Tadi Aden bilang kalau—” “Enggak pa-pa, Bik. Dia enggak akan berani marahin Bibik. Nanti aku yang bakalan ngomong kalau aku yang minta nampannya ke Bibik. Hm?” Dengan rasa sungkan dan juga bingung, akhirnya kedua tangan Bik Darsih pun maju untuk menyerahkan nampan berisi sarapan milik sang tuan muda. “Makasih, Bik Darsih.” “Iya, Nyonya. Kembali kasih.” Lisa pun mulai melangkah hendak menuju kamar putra dari suaminya. Namun, baru sampai di undakan anak tanggal kelima, ponsel di saku gamisnya berdering. Refleks ia menghentikan langkah. Bik Darsih sigap mendekat. “Biar saya saja, Nyonya.” Tiba-tiba dering ponsel berakhir. “Kayaknya cuma orang iseng yang nelepon, Bik. Nih, udah mati,” ucapnya dengan senyum ramah. Sungguh. Pesona nyonya muda sangat menentramkan jiwa. Walau masih dua puluh lima tahun, tetapi Lisa bukan wanita matrealistis. Ia ada di rumah megah ini karena kemauan Atmaja, bukan ia yang memaksa menjadi penghuninya. Wajahnya ayu, tubuhnya pun sintal. Poin plusnya, Khalisa menutup keindahan tubuhnya dengan pakaian muslimah. Dan lagi, Bik Darsih hanya mengangguk patuh mendengar kalimat istri tuannya. “Bibik belum sarapan, kan?” “Iya, Nyonya. Belum.” “Ya sudah, Bibik sarapan saja. Ini aku yang bawa. Oke?” Bik Darsih tak mau membantah. Ia hanya pelayan keluarga walau sudah senior. Akan tetapi, wanita muda di hadapannya adalah seorang nyonya walau usianya sama seperti anaknya di kampung. “Baik, Nyonya.” Namun, lagi-lagi ponsel Lisa berdering. Deringnya cukup lama hingga akhirnya ia berbalik dan mengembalikan nampan beserta isinya kepada pelayan senior di mansion-nya. Dengan cepat Bik Darsih menyambut. “Ah. Sepertinya memang belum rezekiku, Bik.” “Tidak apa-apa, Nyonya. Masih banyak kesempatan bertemu dengan Aden.” Lisa mengangguk dan segera mengeluarkan ponsel dari saku gamisnya. Bik Darsih pun bergegas naik menuju kamar Deva sebelum tuan mudanya kesal karena menunggu terlalu lama. Mata Lisa terpaku menatap nomor pemanggil yang tertera di ponselnya. Nomor itu berkali-kali melakukan panggilan sejak beberapa hari yang lalu, tetapi tak pernah Lisa respons. “Siapa, ya, ini?” gumamnya pelan. Takut penting akhirnya panggilan pun Lisa jawab. “Assalamualaikum?” ‘Akhirnya ....’ DEG! Lisa terdiam saat mengenal suara di seberang sana. Ia pun menahan napas demi menahan segala amarah jika mengingat cerita di masa lalu. “B-Bude Rukmi?” ‘Ingat juga kamu sama saudara ibumu.’ Lisa tersenyum hambar. “Bude tahu dari siapa nomor Lisa?” ‘Udahlah. Enggak usah banyak tanya,’ jawab Rukmi mulai ketus. ‘Kamu jangan seperti kacang lupa kulitnya, ya, Lis. Mentang-mentang jadi istri orang kaya, keluarga sendiri dilupakan!’ Lisa memejam sebentar. Ia pun menuruni anak tangga dan berjalan ke arah sofa. “Bude apa kabar?” ‘Halah! Enggak usah sok-sok'an peduli kamu. Mana ada kamu nanyain kabarku kalau aku tidak meneleponmu lebih dulu?’ “Iya, Bude. Lisa minta maaf. Lisa kehilangan ponsel.” ‘Maaf! Maaf! Kamu pikir dengan kata maafmu itu hidupku langsung bisa kaya, ha?!’ Lisa sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya. Bukan. Bukan ia tak peduli pada kakak dari ibunya itu. Namun, konon, Rukmi adalah anak pancingan yang diasuh oleh kedua kakek nenek Khalisa sebelum ibunya hadir dalam rahim sang nenek. Selama ini, Rukmi-lah yang menguasai harta peninggalan kakek dan nenek Lisa hingga Lisa beserta ibunya harus pergi dari rumah warisan yang sebenarnya menjadi hak Bu Rika, ibunda Lisa. Bu Rika dan Lisa memilih pergi dari rumah itu lantaran Rukmi sudah menggadaikan sertifikat rumah tersebut pada bank. Bu Rika tak mau terus-terusan dijadikan alat bagi kakak angkatnya untuk membayar cicilan bank di setiap bulan. “Terus sekarang Bude nelepon Lisa maksudnya apa?” Lisa pun mulai terpancing emosi. ‘Heh! Kamu itu enggak ada sopan-sopannya sama yang tua! Aku butuh uang!’ “Lalu? Kenapa minta sama Lisa?” 'Ya karena kamu keponakanku.’ Lisa tersenyum sinis. “Keponakan yang selalu Bude zolimi? Iya? Bukankah Bude Rukmi yang menggadaikan sertifikat rumah kakek dan menikmati uangnya sendiri? Apa Lisa dan almarhumah ibu pernah memakainya? Sepeser pun kami tak ikut menikmati. Tak tahu menahu soal semua itu. Lalu sekarang Bude menghubungi Lisa hanya untuk minta uang? Gurih sekali hidupmu, Bude.” Akhirnya Lisa mulai geram. Baru pertama ini ia bisa meluapkan segala kekesalan yang dipendam. ‘Heh! Sudah mulai berani kamu, ya?!’ Klik! Lisa memutus sambungan sepihak dan langsung memblokir nomor salah satu kerabatnya itu. Ia bersandar pada bahu sofa. Hidupnya sempat terlunta-lunta setelah sang ayah pergi. Ibunya yang sudah janda harus berjuang sendiri demi dirinya. Bu Rika dan Lisa kembali ke rumah warisan dari sang nenek lantaran tak kuat lagi membayar sewa kontrakan. Namun, di rumah itu Rukmi malah menjadikan keduanya sapi perah. Rika yang berjualan nasi uduk di depan rumah selalu dimaki-maki oleh Rukmi lantaran tak bisa membantu membayar cicilan rumah pada bank. “Mbak, harusnya Mbak Rukmi yang bertanggung jawab. Kenapa harus melemparkannya pada kami?” “Karena kamu anak kandung dari ibu dan bapak!” “Tapi, Mbak Rukmi yang menggadaikan rumah ini, bukan aku!” “Dan apa kamu rela jika rumah ini akan disita bank karena tak ada yang mau mencicil angsurannya?” “Aku tak peduli, Mbak. Hidup ini hanya sebentar. Aku tak akan mau menjadi sapi perahmu. Ada Lisa yang harus lebih aku utamakan. Kamu yang berbuat, jadi kamulah yang mesti bertanggungjawab.” “Kurang ajar!” Lisa dan sang ibu pun akhirnya kembali keluar dari rumah tersebut secara diam-diam. Pergi ke desa sebelah dan mencari kontrakan agar hidup lebih tenang. Awalnya semua berjalan dengan harapan. Hidup tenang berdua saja dengan putri semata wayangnya yang sudah berkuliah semester tiga. Lisa yang semakin tumbuh cantik mulai menjadi perbincangan para laki-laki desa seusianya. Dan kabar wangi itu pun sampai pada seorang pria hidung belang yang punya banyak istri. Ialah pria bernama Tatang Kurnia yang lebih dikenal dengan nama Tuan Takur. “Aku ke sini hanya ingin menyampaikan, bahwasanya almarhum suamimu memiliki hutang padaku.” Ucapan Tatang Kurnia cukup membuat Rika terkejut. “Ti-tidak mungkin, Tuan. Suami saya tak mungkin berhutang sampai sebanyak ini.” “Ya. Memang tidak. Tapi, cicilan kurang dua kali suamimu sudah mati. Cicilan dan bunga terus berkembang karena aku pun tak tahu ke mana rimba istri dan anaknya yang seharusnya ikut bertanggungjawab pada hutang itu.” Bu Rika menggeleng. Lisa pun yang mengintip dari balik gorden kamar hanya bisa diam sembari mendengarkan. “Tolong, Tuan. Jangan bebani kami dengan bunga hutang itu. Kami hidup pas-pasan. Uang jualan saya hanya cukup untuk makan dan membayar sewa kontrakan. Masih untung si Lisa kuliah karena beasiswa." “Kalau begitu, berikan saja anak gadismu itu padaku, Rika. Aku janji akan menghapus semua hutang suamimu dan akan menjadikanmu mertua yang paling aku hormati. Bagaimana?” “Hei, Pak Tua! Ingat umur, dong. Kamu itu sudah jadi incaran malaikat maut.” Sebuah suara dari luar rumah membuat Rika dan Lisa tercengang. []“Deva?” Lisa keluar dari kamarnya. Tuan Takur menatap Lisa, lalu beralih pada pria bertindik di salah satu telinganya itu. Deva melangkah dan ikut bergabung ke ruang tamu. “Berapa hutang suami Bu Rika? Aku yang akan melunasinya.”Tatang Kurnia tersenyum miring. “Bocah bau kencur mau ikut campur!”“Yang penting belum bau tanah dan enggak jadi lintah pengis*p darah,” balas Deva begitu berani. “Kurang ajar!”Kepalan tangan sang rentenir terangkat hendak memukul Deva. Namun, dengan gerakan cepat langsung ditangkap. Kekasih Lisa itu cukup berotot hingga beberapa detik kemudian pergelangan tangan Tatang Kurnia berhasil Deva putar. “Aooww! L-lepaskan, Anak Muda. Ini sangat sakit. Aoooww!”“Katakan, berapa uang yang harus aku lunasi?”“B-baik. Tapi, lepaskan dulu.”Bu Rika dan Lisa setengah memeluk. Mereka takut jika para pria sudah menggunakan aksi fisik untuk membereskan satu masalah. Deva pun segera menyodorkan ponsel setelah melepaskan tangan pria tersebut. “Catat nomor rekeningmu.
“Siapa dia?” ulang Bik Darsih. “Ya ... beliau istri baru papanya Aden.”“Iya. Aku tahu. Maksudku ... siapa namanya?”“Aden serius belum tahu siapa nama mama barunya Aden?”Deva menggeleng. Bahkan papanya tak mau memberitahu. Katanya, “Pulanglah, Jagoan. Kenalan langsung dengan mama barumu. Dia sangat jelita. Kamu pasti tak akan percaya jika papamu bisa menaklukkan hati seorang gadis.”Bik Darsih tersenyum. “Mandi dulu atuh. Terus ke bawah nemuin beliau. Kenalan langsung.”“Papa udah berangkat ke kantor, Bik?”“Udah, Den.”“Papa udah tahu kalau aku pulang?”Bik Darsih menggeleng. “Sesuai perintahnya Aden, kami yang tahu kalau Aden sudah pulang tak ada yang memberitahu Tuan. Hanya saja, tadi Bibik sempat kepergok sama Nyonya dan akhirnya beliau tanya. Ya sudah, Bibik jujur saja kalau anaknya Tuan sudah pulang. Makanya beliau mau kenalan dan sempat bawa nampan ini. Tapi, enggak jadi karena ada telepon.”Deva hanya mengangguk-angguk dan mulai mengunyah roti gandum yang sudah ia gigit. “
“Bik Darsih!”“Eh? Saya, Nyonya?” Wanita paruh baya itu segera datang menghampiri istri tuannya. “Saya mau izin bawa Wati keluar. Boleh, Bik?”“Lah? Terserah Nyonya saja, atuh. Kenapa harus izin ke Bibik segala?”“Ya ... takutnya Bibik sama Lili kewalahan ngurus rumah.”“Ah. Enggak, Nyah. Santai saja.”“Enggak pa-pa, ya? Soalnya aku sekalian mau nyekar ke makam ibu sama bapak, Bik. Mungkin pulangnya bisa sampai sore.”“Iya, atuh. Enggak pa-pa.” Bik Darsih tersenyum. Lisa mengangguk. Ia mendongak sebentar ke arah lantai dua. “Deva sudah bangun, Bik?”“Sudah, Nyonya.”“Ya, sudah. Saya mau ke atas ganti baju dulu. Oh, iya. Sekalian minta tolong bilang sama Pak Bahrul, ya, Bik, buat siapin mobil.”“Baik, Nyonya.”Lisa tersenyum dan mulai melangkah menaiki undakan anak tangga. Saat melewati pintu kamar putra suaminya, Lisa memelankan langkah. Ada aura aneh yang mulai ia rasakan. Namun, Lisa menggeleng pelan. Di dunia ini banyak pria bernama Deva. “Hanya Deva, kan? Bukan Kadeva.” Lisa b
Tangan Deva yang sudah hampir mengetuk pintu pun akhirnya hanya menggantung di udara dan kini sudah ia tarik lagi ke samping tubuhnya. Ia tersenyum aneh dan segera pergi dari depan pintu kamar tersebut. Lisa pun akhirnya membuka pintu saat langkah Deva sudah berada di undakan tangga paling bawah. Pria itu sudah berjalan hendak menuju carport. Di depan pintu utama, Deva malah bertemu dengan Pak Bahrul, sopir pribadi kepercayaan sang papa. “Den Deva?” “Halo, Pak Bahrul. Apa kabar?”“K-kabar baik, Den. Aden kapan sampai?”“Semalam, Pak.”Deva memerhatikan mobil dan juga badan tegap Pak Bahrul yang seperti sudah siap sedia. “Bapak nungguin saya?”“Eh? Ee, bukan, Den. Bapak nunggu nyonya. Beliau mau keluar,” jawab sang sopir apa adanya. Deva hanya mengangguk tanpa mau memperpanjang narasi dan juga durasi. Ia harus segera pergi. “Carport sebelah mana, Pak? Mobil saya dibawa ke sini, kan?”“Oh. Iya, Den. Pasti atuh mobil Aden dibawa ke sini.”Pak Bahrul menunjukkan carport megah yang
“Jadi kamu ke sini karena ingin konfirmasi, Tuan Muda?” tebak Dali sembari membuka kulkas kecil di ujung ruangannya. Ia mengambil dua kaleng minuman.“Kenapa kalian seperti menutupi tentang dia?”“Bukan menutupi, Va. Kami hanya ingin menolong gadis itu agar semangatnya kembali. Kata dokter kejiwaan yang sempat khusus menanganinya, jiwa si gadis cukup terguncang. Ah, sorry. Ralat. Jiwa si wanita cukup terguncang.”Deva mengernyit. “Tidak mungkin korban pem3rk*saan masih gadis, kan, Va?”“Ya. Kamu benar.”“Ibunya ditemukan tak bernyawa agak jauh dari tempat dia ditemukan. Kalau saja papaku dan Om Atmaja tak jadi berburu, mungkin wanita itu sudah terkenal lewat berita. Terkenal karena diburu awak media dan mungkin mentalnya akan semakin sulit disembuhkan.”“Apa dia ... benar-benar diperk*sa?”“Entah. Sudah jadi dieksekusi apa belum. Tapi, Papa bilang penjahat itu berjumlah dua orang. Salah satu dari mereka sudah setengah naked dan keduanya lari terbirit-birit begitu Om Maja melepas anak
Deva benar-benar mual mendengar kalimat sang papa yang sedang menelepon istrinya. Sudah seperti ABG labil saja. Tanya sudah mandi apa belum. Sok mesra pula pakai bilang ‘Sambut Mas, ya?’. Benar-benar membagongkan. “Ya sudah, Sayang. Mas tutup dulu, ya. I love you, Lisa-ku.”‘Iya, Mas. Love you more, Mas Maja-ku.’Deva langsung menghela napas berat setelah pria tua di sebelahnya mengecup layar ponsel. “Apaan, sih, Pa? Lebay banget!”Atmaja terkekeh.“Sudah lama Papa tidak merasakan getaran-getaran cinta setelah mamamu pergi, Deva. Dan Lisa ... mampu mengembalikan getaran indah yang cukup menyiksa itu. Benar kata para pujangga, love is a sweet torment.”“Halah, pret!”Kini, Atmaja tergelak. Entah kenapa Deva tak suka mendengar nama Lisa disebut oleh sang papa. Walau ada jutaan nama perempuan yang sama, tetapi ... kenapa harus Lisa? Kenapa bukan Risa, Nisa, atau Rusa saja sekalian. “Menikahlah, Jagoan. Beri tahu Papa gadis mana yang mau Papa lamarkan untukmu, hm?”“Pasti, Pa. Setelah
Jika bumi yang gersang karena kemarau akan bahagia karena turunnya hujan, tetapi berbeda dengan gersangnya hati Kadeva. Air hujan yang ia harap akan segera datang dan memadamkan gelegak dahaga akan kegersangan hatinya, ternyata malah datang dan menyegarkan tempat lain. Deva kalah. Hatinya yang gersang kini malah semakin retak. Tubuh itu, tatapan itu, wajah ayu itu, bahkan hati milik Khalisa pernah menjadi miliknya. Deva pernah berada dalam penjara hati Khalisa. Menyerahkan diri setulus-tulusnya dan ia bahagia pernah dijajah oleh cinta Khalisa. Namun ... apa yang terjadi? Kenapa kini Khalisa malah menjadi ibu sambungnya? Mama Lisa? Kadeva tersenyum miring. Ia meninju dinding kamarnya dengan kemarahan yang memuncak. “AAARGHHH!!!”Lebih dari seminggu Deva mengurung diri di apartemennya. Kondisinya cukup kacau dan berantakan. Wajahnya menunduk di antara kedua kaki yang ditekuk dengan punggung menyandar di headboar ranjang. Kedua tangan merangkul kakinya dan tiba-tiba ia mulai terisak.
Lengkungan senyum di kedua sudut bibir Atmaja terbentuk sempurna. Sebuah paper bag degan logo sebuah toko terkenal tertera di sana. Lagi-lagi pria yang tengah jatuh cinta untuk yang kedua kalinya itu membelikan sang istri baju dinas. Atmaja ingin menghabiskan malam yang panjang dengan Khalisa sebelum pergi ke Kanada. Walau Khalisa selalu protes karena bingung dengan baju-baju er*tis yang selalu Atmaja belikan, tetapi ada kepuasan tersendiri saat melihat wajah cantik istrinya merajuk manja. “Mas ... aku bingung sama kamu. Kamu membeli baju kurang bahan begini dengan harga yang cukup mahal. Sedangkan pada akhirnya kamu lebih suka aku t*npa seh*lai benang.”Atmaja tergelak. “Iya juga, ya.”“Nah, makanya. Enggak usahlah beli lingerie terus. Udah dua lusin itu digantung.”“Enggak pa-pa, Sayang. Kamu sangat cantik memakainya. Mas sangat suka dan itu akan menambah semangat Mas untuk cepat memiliki momongan lagi.”Tin, tin! Klakson mobil membuyarkan lamunan Atmaja. Pak Bahrul membunyikan
Setelah beberapa hari berlalu, pagi itu, akhirnya Khalisa berdiri di depan pintu ruang sidang dengan napas yang tertahan di tenggorokan. Gedung pengadilan yang seharusnya menjadi tempat mencari keadilan, malah terasa seperti arena pertempuran baginya. Khalisa tahu, proses ini tidak akan mudah. Tatang dan Suryo telah membuatnya kehilangan sosok ibu, dan trauma itu menancap dalam. Namun, di saat yang sama, tekadnya untuk mendapatkan keadilan mengalahkan ketakutan Lisa. “Sayang?”Khalisa menoleh. Atmaja tersenyum dengan tangan yang tak henti menggenggam jemari istrinya sejak turun dari mobil. “Kamu pasti bisa, Sayang.” Suara lembutnya memberikan ketenangan bagi Khalisa. “Mas akan selalu di sampingmu.”Khalisa mengangguk pelan. “Iya, Mas. Bismillah,” jawabnya dengan suara pelan, tapi penuh keyakinan.Sidang pun berjalan dengan cukup tegang. Tatang dan Suryo duduk di kursi terdakwa, wajah mereka terlihat tanpa ekspresi. Namun, Khalisa merasakan tatapan dingin keduanya yang cukup menusuk,
“Dali, kamu jangan bercanda, Nak.” Bu Maya berucap dengan nada sedikit tegas. “Kamu enggak amnesia, kan?”Dalion terdiam sejenak dengan mulut masih mengunyah, lalu ia mengangkat kedua bahunya. “Tapi ... kamu ingat sama kami, Nak. Sama keluargamu. Mama, Papa, Mbak Donna, bahkan Mikayla.”“Kalian semua keluargaku, kan? Apa alasanku melupakan kalian? Bukankah kedekatan kita sudah terjalin sejak puluhan tahun silam? Bukan hanya sebulan dua bulan,” jawab Dali realistis. Kanina terdiam, sementara Tiara menangkap sesuatu yang berubah dari dalam diri teman baiknya. Beberapa hari ini Kanina memang menyesali semua kebodohannya hingga menyebabkan Dalion celaka. Bahkan saat niatnya dekat dengan Dali demi Deva, Kanina malah sering curhat dengan Tiara soal perhatian Dali kepadanya. Tiara segera mengelus lengan Kanina, mencoba menguatkan. “Euh ... Tante Maya, Nina izin ke toilet bentar, ya.”Tanpa menunggu respons dari ibu Dalion, Kanina langsung melangkah cepat untuk keluar dari ruangan, bukan
“Lisa ... apa kamu sudah siap memberikan kesaksian atas kasus yang sudah Deva laporkan?”Khalisa terdiam, belum tahu harus menjawab apa. Di satu sisi, ia tak mau membuat Deva dan orang-orang yang sudah sejauh ini membantunya terus-terusan menunggu. Namun, di sisi lain hatinya benar-benar sakit jika harus bertemu dan melihat kembali wajah dua pelaku yang sudah membuat sang ibu pergi untuk selama-lamanya. Khalisa sadar sepenuhnya jika kematian seseorang itu memang pasti, tetapi ... hal yang menjadi penyebab ajal sang ibu sampai masih sangat membekas di hati Khalisa. Iya, penjahat memang harus dihukum sesuai undang-undang yang berlaku. Namun, respons tubuh Khalisa benar-benar tak selaras dengan keinginannya yang sangat ingin memenjarakan dua bedebah itu. Apa mungkin traumanya sudah terbubuhi oleh kondisi tubuhnya yang tengah hamil? “A-apa aku bisa, Mas? Apa aku bisa memberikan kesaksian dengan bicara lancar tanpa tersendat-sendat?”Atmaja menatap sayu pada istrinya. Ia segera menggengg
Sudah lima hari sejak kecelakaan itu terjadi, waktu seolah berhenti di rumah sakit. Setelah sempat diperiksa polisi karena kecelakaan tunggal yang dialami bersama Dalion, Kanina lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah sakit untuk memantau kondisi Dali. Walau matanya tak sesembab kemarin-kemarin, tetapi waktu tidur Kanina sering terganggu karena tak nyenyak. Ia sering tiba-tiba terkejut dari tidur hingga menangis setelahnya. Kecemasan terus menghantui. Kanina merasa seperti berada di dalam mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Setiap detik yang berlalu, setiap monitor yang berbunyi dari dalam ruang perawatan Dalion, membuat jantungnya serasa diremas-remas.Dali masih koma, dan rasa bersalah itu terus menghantui Kanina. Membuatnya merasa seolah semua ini tidak akan pernah berakhir. Kecelakaan itu menghancurkan segalanya, bukan hanya kehidupan Dali, tetapi juga hidupnya. “Sudah, Sayang. Semua akan baik-baik saja,” ucap Lexie, ayahnya yang baru datang dari luar negeri dua hari yan
Seorang gadis kecil terbangun dengan napas tersengal-sengal. Keringat dingin membasahi dahinya. Tangannya pun bergetar ketika mencoba meraih segelas air di atas meja samping tempat tidurnya. Namun, tubuh kecil itu tak mampu menenangkan rasa takut yang menguasainya. Mimpi buruk itu masih tergambar jelas dalam pikiran Mikayla. Sosok pria muda yang akrab ia panggil papa, adik kandung mamanya yang selalu tampil ceria, digandeng oleh seorang wanita berwajah pucat. Wanita itu tersenyum, tetapi bukan senyum yang menghangatkan hati. Itu adalah senyum yang membuat bulu kuduk Mikayla meremang.“Ma ... Mama!” Kayla berteriak, suaranya pecah di waktu dini hari. Donna—ibu Kayla—langsung bergegas masuk ke kamar sang anak, wajahnya pun dipenuhi kekhawatiran ketika melihat putrinya terduduk dengan wajah berkeringat.“Ada apa, Sayang?” tanya Donna lembut sembari duduk di tepi tempat tidur dan menarik tubuh kecil Kayla ke dalam pelukannya. “Kamu mimpi buruk?”Kayla mengangguk, tubuhnya masih gemetar.
Kanina melangkah cepat keluar dari apartemen milik Deva. Sedari tadi ia mati-matian menahan jantungnya yang berdebar kencang, tetapi bukan karena kebahagiaan atau kegugupan biasa, melainkan campuran rasa cemburu, marah, dan kecewa yang tak bisa ia kendalikan. Pikirannya campur aduk setelah membuktikan sendiri ucapan dari Dali, bahwa Deva dan Sekar telah menikah. Mereka tinggal satu atap. Selama ini, meski tak pernah secara terang-terangan, Kanina berharap ada kesempatan baginya dengan Deva. Namun, harapannya kini hancur. Tanpa pamit, ia pun pergi meninggalkan apartemen. Ponselnya yang berdering menjadi alasan tepat untuknya pergi. Panggilan itu memang benar adanya, tetapi Kanina memilih tak menjawab dan segera pergi agar hatinya tak semakin hancur melihat Deva dan Sekar. “Va! Nina enggak ada!” seru Dali setelah mengecek lorong lantai unit Deva berada. Deva dan Sekar beradu pandang. “Pulang duluan apa gimana?” tanya Deva. “Aku juga enggak tahu, Va.”Dali mengusap wajahnya dengan p
Khalisa sudah diperbolehkan pulang. Namun, ia tetap harus istirahat cukup sesuai anjuran dokter. Selain kandungannya yang cukup lemah, ia juga dilarang stres. Walau banyak orang beranggapan menjadi istri Atmaja Gandhi bak tertimbun gunung emas, tetapi semua tak seindah yang terlihat. Rahasia soal Khalisa yang pernah menjalin kasih dengan putra sang suami akhirnya diketahui oleh teman dekat Atmaja, yakni Vikram dan Melki. Pun dengan pekerjanya di mansion yang saat itu menyaksikan pertengkaran antara Atmaja dan Kadeva. Dan semenjak itulah Deva sudah tak mau lagi pulang ke rumah orang tuanya. “Sekar, maaf, ya. Janji Mas buat daftarin kamu kuliah kayaknya belum bisa terealisasi cepat. Banyak yang harus Mas urus,” ucap Deva ketika ia duduk santai di balkon bersama istri kecilnya. Menatap keindahan kota metropolitan di malam yang pekat. “Enggak pa-pa, Mas. Aku ngerti, kok.”Deva tersenyum dan mulai menarik Sekar ke dalam dekapannya. Mereka berbaring santai di sofa malas dengan posisi set
“Jangan kira aku enggak tahu apa yang udah terjadi, Dali.”“Maksudnya?”“Tante Maya pengen kamu dekat sama Nina, kan?”Dali terdiam sejenak. “Sok tape lu!”“Mungkin kamu yang belum tahu kalau ibumu udah minta tolong sama aku buat dukung hubunganmu sama Nina.”“Apa?!”“Kamu kaget apa enggak denger, Dal?”“Kapan Mama hubungi kamu?”“Aku lupa tepatnya kapan. Tapi, kayaknya sebelum kalian makan malam di mall dan kita sempet ketemu di sana pas aku belanja sama Sekar.”Dalion terdiam. Ini seperti sedang main kucing-kucingan namanya. Atmaja pernah bercerita pada Dali kalau ia ingin menjodohkan Kadeva dengan Kanina. Ternyata mama dari Dalion sendiri malah meminta dukungan Deva agar teman baiknya itu dekat dengan Kanina. Muter-muter terus ini, mah. “Mungkin kamu bisa bohongi orang lain, Dali. Tapi enggak sama aku,” lanjut Deva. “Ayolah, Bro. Buka hati kamu. Jangan terus-terusan ngerasa bersalah sama kepergian Mutia.”Dalion terdiam sesaat. Menyelami pikiran dan perasaannya yang seperti tak ak
Sudah tiga hari semenjak perdebatan bersama papanya di ruang perawatan Lisa, Deva tak mau menghubungi Atmaja selain urusan pekerjaan. Sebagai anak satu-satunya, Deva tahu dan paham apa yang diinginkan sang papa. Setiap orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk buah hatinya. Namun, dari semua perlakuan Atmaja yang dingin tapi tetap peduli, Deva cukup sanksi dengan kemarahan papanya kala itu. “Apa Papa benar-benar tak merestui pernikahanku dengan Sekar?” bisiknya pelan pada diri sendiri. Deva mulai dilema. Walau awalnya ia pun hanya ingin membantu Sekar, tetapi perlahan cinta itu pun mulai datang. Terlebih saat puncak pertengkaran Deva dengan papanya terjadi, ia cukup stres sampai akhirnya Sekar menawarkan diri bak charging energi. Sekar telah menyerahkan diri layaknya seorang istri yang tak menolak saat dig@uli. Deva pun makin merasa terikat kala gadis itu sudah tak gadis karena ulahnya. Ya, tentu bukan ulah kenakalan anak muda yang dulu pernah Deva lakukan dengan Khalisa. T