Lisa tersenyum dan mengangguk kecil sembari mengulurkan kedua tangan.
“Ayo, Bik! Berikan padaku.” “T-tapi, Nyonya. Tadi Aden bilang kalau—” “Enggak pa-pa, Bik. Dia enggak akan berani marahin Bibik. Nanti aku yang bakalan ngomong kalau aku yang minta nampannya ke Bibik. Hm?” Dengan rasa sungkan dan juga bingung, akhirnya kedua tangan Bik Darsih pun maju untuk menyerahkan nampan berisi sarapan milik sang tuan muda. “Makasih, Bik Darsih.” “Iya, Nyonya. Kembali kasih.” Lisa pun mulai melangkah hendak menuju kamar putra dari suaminya. Namun, baru sampai di undakan anak tanggal kelima, ponsel di saku gamisnya berdering. Refleks ia menghentikan langkah. Bik Darsih sigap mendekat. “Biar saya saja, Nyonya.” Tiba-tiba dering ponsel berakhir. “Kayaknya cuma orang iseng yang nelepon, Bik. Nih, udah mati,” ucapnya dengan senyum ramah. Sungguh. Pesona nyonya muda sangat menentramkan jiwa. Walau masih dua puluh lima tahun, tetapi Lisa bukan wanita matrealistis. Ia ada di rumah megah ini karena kemauan Atmaja, bukan ia yang memaksa menjadi penghuninya. Wajahnya ayu, tubuhnya pun sintal. Poin plusnya, Khalisa menutup keindahan tubuhnya dengan pakaian muslimah. Dan lagi, Bik Darsih hanya mengangguk patuh mendengar kalimat istri tuannya. “Bibik belum sarapan, kan?” “Iya, Nyonya. Belum.” “Ya sudah, Bibik sarapan saja. Ini aku yang bawa. Oke?” Bik Darsih tak mau membantah. Ia hanya pelayan keluarga walau sudah senior. Akan tetapi, wanita muda di hadapannya adalah seorang nyonya walau usianya sama seperti anaknya di kampung. “Baik, Nyonya.” Namun, lagi-lagi ponsel Lisa berdering. Deringnya cukup lama hingga akhirnya ia berbalik dan mengembalikan nampan beserta isinya kepada pelayan senior di mansion-nya. Dengan cepat Bik Darsih menyambut. “Ah. Sepertinya memang belum rezekiku, Bik.” “Tidak apa-apa, Nyonya. Masih banyak kesempatan bertemu dengan Aden.” Lisa mengangguk dan segera mengeluarkan ponsel dari saku gamisnya. Bik Darsih pun bergegas naik menuju kamar Deva sebelum tuan mudanya kesal karena menunggu terlalu lama. Mata Lisa terpaku menatap nomor pemanggil yang tertera di ponselnya. Nomor itu berkali-kali melakukan panggilan sejak beberapa hari yang lalu, tetapi tak pernah Lisa respons. “Siapa, ya, ini?” gumamnya pelan. Takut penting akhirnya panggilan pun Lisa jawab. “Assalamualaikum?” ‘Akhirnya ....’ DEG! Lisa terdiam saat mengenal suara di seberang sana. Ia pun menahan napas demi menahan segala amarah jika mengingat cerita di masa lalu. “B-Bude Rukmi?” ‘Ingat juga kamu sama saudara ibumu.’ Lisa tersenyum hambar. “Bude tahu dari siapa nomor Lisa?” ‘Udahlah. Enggak usah banyak tanya,’ jawab Rukmi mulai ketus. ‘Kamu jangan seperti kacang lupa kulitnya, ya, Lis. Mentang-mentang jadi istri orang kaya, keluarga sendiri dilupakan!’ Lisa memejam sebentar. Ia pun menuruni anak tangga dan berjalan ke arah sofa. “Bude apa kabar?” ‘Halah! Enggak usah sok-sok'an peduli kamu. Mana ada kamu nanyain kabarku kalau aku tidak meneleponmu lebih dulu?’ “Iya, Bude. Lisa minta maaf. Lisa kehilangan ponsel.” ‘Maaf! Maaf! Kamu pikir dengan kata maafmu itu hidupku langsung bisa kaya, ha?!’ Lisa sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya. Bukan. Bukan ia tak peduli pada kakak dari ibunya itu. Namun, konon, Rukmi adalah anak pancingan yang diasuh oleh kedua kakek nenek Khalisa sebelum ibunya hadir dalam rahim sang nenek. Selama ini, Rukmi-lah yang menguasai harta peninggalan kakek dan nenek Lisa hingga Lisa beserta ibunya harus pergi dari rumah warisan yang sebenarnya menjadi hak Bu Rika, ibunda Lisa. Bu Rika dan Lisa memilih pergi dari rumah itu lantaran Rukmi sudah menggadaikan sertifikat rumah tersebut pada bank. Bu Rika tak mau terus-terusan dijadikan alat bagi kakak angkatnya untuk membayar cicilan bank di setiap bulan. “Terus sekarang Bude nelepon Lisa maksudnya apa?” Lisa pun mulai terpancing emosi. ‘Heh! Kamu itu enggak ada sopan-sopannya sama yang tua! Aku butuh uang!’ “Lalu? Kenapa minta sama Lisa?” 'Ya karena kamu keponakanku.’ Lisa tersenyum sinis. “Keponakan yang selalu Bude zolimi? Iya? Bukankah Bude Rukmi yang menggadaikan sertifikat rumah kakek dan menikmati uangnya sendiri? Apa Lisa dan almarhumah ibu pernah memakainya? Sepeser pun kami tak ikut menikmati. Tak tahu menahu soal semua itu. Lalu sekarang Bude menghubungi Lisa hanya untuk minta uang? Gurih sekali hidupmu, Bude.” Akhirnya Lisa mulai geram. Baru pertama ini ia bisa meluapkan segala kekesalan yang dipendam. ‘Heh! Sudah mulai berani kamu, ya?!’ Klik! Lisa memutus sambungan sepihak dan langsung memblokir nomor salah satu kerabatnya itu. Ia bersandar pada bahu sofa. Hidupnya sempat terlunta-lunta setelah sang ayah pergi. Ibunya yang sudah janda harus berjuang sendiri demi dirinya. Bu Rika dan Lisa kembali ke rumah warisan dari sang nenek lantaran tak kuat lagi membayar sewa kontrakan. Namun, di rumah itu Rukmi malah menjadikan keduanya sapi perah. Rika yang berjualan nasi uduk di depan rumah selalu dimaki-maki oleh Rukmi lantaran tak bisa membantu membayar cicilan rumah pada bank. “Mbak, harusnya Mbak Rukmi yang bertanggung jawab. Kenapa harus melemparkannya pada kami?” “Karena kamu anak kandung dari ibu dan bapak!” “Tapi, Mbak Rukmi yang menggadaikan rumah ini, bukan aku!” “Dan apa kamu rela jika rumah ini akan disita bank karena tak ada yang mau mencicil angsurannya?” “Aku tak peduli, Mbak. Hidup ini hanya sebentar. Aku tak akan mau menjadi sapi perahmu. Ada Lisa yang harus lebih aku utamakan. Kamu yang berbuat, jadi kamulah yang mesti bertanggungjawab.” “Kurang ajar!” Lisa dan sang ibu pun akhirnya kembali keluar dari rumah tersebut secara diam-diam. Pergi ke desa sebelah dan mencari kontrakan agar hidup lebih tenang. Awalnya semua berjalan dengan harapan. Hidup tenang berdua saja dengan putri semata wayangnya yang sudah berkuliah semester tiga. Lisa yang semakin tumbuh cantik mulai menjadi perbincangan para laki-laki desa seusianya. Dan kabar wangi itu pun sampai pada seorang pria hidung belang yang punya banyak istri. Ialah pria bernama Tatang Kurnia yang lebih dikenal dengan nama Tuan Takur. “Aku ke sini hanya ingin menyampaikan, bahwasanya almarhum suamimu memiliki hutang padaku.” Ucapan Tatang Kurnia cukup membuat Rika terkejut. “Ti-tidak mungkin, Tuan. Suami saya tak mungkin berhutang sampai sebanyak ini.” “Ya. Memang tidak. Tapi, cicilan kurang dua kali suamimu sudah mati. Cicilan dan bunga terus berkembang karena aku pun tak tahu ke mana rimba istri dan anaknya yang seharusnya ikut bertanggungjawab pada hutang itu.” Bu Rika menggeleng. Lisa pun yang mengintip dari balik gorden kamar hanya bisa diam sembari mendengarkan. “Tolong, Tuan. Jangan bebani kami dengan bunga hutang itu. Kami hidup pas-pasan. Uang jualan saya hanya cukup untuk makan dan membayar sewa kontrakan. Masih untung si Lisa kuliah karena beasiswa." “Kalau begitu, berikan saja anak gadismu itu padaku, Rika. Aku janji akan menghapus semua hutang suamimu dan akan menjadikanmu mertua yang paling aku hormati. Bagaimana?” “Hei, Pak Tua! Ingat umur, dong. Kamu itu sudah jadi incaran malaikat maut.” Sebuah suara dari luar rumah membuat Rika dan Lisa tercengang. []“Deva?” Lisa keluar dari kamarnya. Tuan Takur menatap Lisa, lalu beralih pada pria bertindik di salah satu telinganya itu. Deva melangkah dan ikut bergabung ke ruang tamu. “Berapa hutang suami Bu Rika? Aku yang akan melunasinya.”Tatang Kurnia tersenyum miring. “Bocah bau kencur mau ikut campur!”“Yang penting belum bau tanah dan enggak jadi lintah pengis*p darah,” balas Deva begitu berani. “Kurang ajar!”Kepalan tangan sang rentenir terangkat hendak memukul Deva. Namun, dengan gerakan cepat langsung ditangkap. Kekasih Lisa itu cukup berotot hingga beberapa detik kemudian pergelangan tangan Tatang Kurnia berhasil Deva putar. “Aooww! L-lepaskan, Anak Muda. Ini sangat sakit. Aoooww!”“Katakan, berapa uang yang harus aku lunasi?”“B-baik. Tapi, lepaskan dulu.”Bu Rika dan Lisa setengah memeluk. Mereka takut jika para pria sudah menggunakan aksi fisik untuk membereskan satu masalah. Deva pun segera menyodorkan ponsel setelah melepaskan tangan pria tersebut. “Catat nomor rekeningmu.
“Siapa dia?” ulang Bik Darsih. “Ya ... beliau istri baru papanya Aden.”“Iya. Aku tahu. Maksudku ... siapa namanya?”“Aden serius belum tahu siapa nama mama barunya Aden?”Deva menggeleng. Bahkan papanya tak mau memberitahu. Katanya, “Pulanglah, Jagoan. Kenalan langsung dengan mama barumu. Dia sangat jelita. Kamu pasti tak akan percaya jika papamu bisa menaklukkan hati seorang gadis.”Bik Darsih tersenyum. “Mandi dulu atuh. Terus ke bawah nemuin beliau. Kenalan langsung.”“Papa udah berangkat ke kantor, Bik?”“Udah, Den.”“Papa udah tahu kalau aku pulang?”Bik Darsih menggeleng. “Sesuai perintahnya Aden, kami yang tahu kalau Aden sudah pulang tak ada yang memberitahu Tuan. Hanya saja, tadi Bibik sempat kepergok sama Nyonya dan akhirnya beliau tanya. Ya sudah, Bibik jujur saja kalau anaknya Tuan sudah pulang. Makanya beliau mau kenalan dan sempat bawa nampan ini. Tapi, enggak jadi karena ada telepon.”Deva hanya mengangguk-angguk dan mulai mengunyah roti gandum yang sudah ia gigit. “
“Bik Darsih!”“Eh? Saya, Nyonya?” Wanita paruh baya itu segera datang menghampiri istri tuannya. “Saya mau izin bawa Wati keluar. Boleh, Bik?”“Lah? Terserah Nyonya saja, atuh. Kenapa harus izin ke Bibik segala?”“Ya ... takutnya Bibik sama Lili kewalahan ngurus rumah.”“Ah. Enggak, Nyah. Santai saja.”“Enggak pa-pa, ya? Soalnya aku sekalian mau nyekar ke makam ibu sama bapak, Bik. Mungkin pulangnya bisa sampai sore.”“Iya, atuh. Enggak pa-pa.” Bik Darsih tersenyum. Lisa mengangguk. Ia mendongak sebentar ke arah lantai dua. “Deva sudah bangun, Bik?”“Sudah, Nyonya.”“Ya, sudah. Saya mau ke atas ganti baju dulu. Oh, iya. Sekalian minta tolong bilang sama Pak Bahrul, ya, Bik, buat siapin mobil.”“Baik, Nyonya.”Lisa tersenyum dan mulai melangkah menaiki undakan anak tangga. Saat melewati pintu kamar putra suaminya, Lisa memelankan langkah. Ada aura aneh yang mulai ia rasakan. Namun, Lisa menggeleng pelan. Di dunia ini banyak pria bernama Deva. “Hanya Deva, kan? Bukan Kadeva.” Lisa b
Tangan Deva yang sudah hampir mengetuk pintu pun akhirnya hanya menggantung di udara dan kini sudah ia tarik lagi ke samping tubuhnya. Ia tersenyum aneh dan segera pergi dari depan pintu kamar tersebut. Lisa pun akhirnya membuka pintu saat langkah Deva sudah berada di undakan tangga paling bawah. Pria itu sudah berjalan hendak menuju carport. Di depan pintu utama, Deva malah bertemu dengan Pak Bahrul, sopir pribadi kepercayaan sang papa. “Den Deva?” “Halo, Pak Bahrul. Apa kabar?”“K-kabar baik, Den. Aden kapan sampai?”“Semalam, Pak.”Deva memerhatikan mobil dan juga badan tegap Pak Bahrul yang seperti sudah siap sedia. “Bapak nungguin saya?”“Eh? Ee, bukan, Den. Bapak nunggu nyonya. Beliau mau keluar,” jawab sang sopir apa adanya. Deva hanya mengangguk tanpa mau memperpanjang narasi dan juga durasi. Ia harus segera pergi. “Carport sebelah mana, Pak? Mobil saya dibawa ke sini, kan?”“Oh. Iya, Den. Pasti atuh mobil Aden dibawa ke sini.”Pak Bahrul menunjukkan carport megah yang
“Jadi kamu ke sini karena ingin konfirmasi, Tuan Muda?” tebak Dali sembari membuka kulkas kecil di ujung ruangannya. Ia mengambil dua kaleng minuman.“Kenapa kalian seperti menutupi tentang dia?”“Bukan menutupi, Va. Kami hanya ingin menolong gadis itu agar semangatnya kembali. Kata dokter kejiwaan yang sempat khusus menanganinya, jiwa si gadis cukup terguncang. Ah, sorry. Ralat. Jiwa si wanita cukup terguncang.”Deva mengernyit. “Tidak mungkin korban pem3rk*saan masih gadis, kan, Va?”“Ya. Kamu benar.”“Ibunya ditemukan tak bernyawa agak jauh dari tempat dia ditemukan. Kalau saja papaku dan Om Atmaja tak jadi berburu, mungkin wanita itu sudah terkenal lewat berita. Terkenal karena diburu awak media dan mungkin mentalnya akan semakin sulit disembuhkan.”“Apa dia ... benar-benar diperk*sa?”“Entah. Sudah jadi dieksekusi apa belum. Tapi, Papa bilang penjahat itu berjumlah dua orang. Salah satu dari mereka sudah setengah naked dan keduanya lari terbirit-birit begitu Om Maja melepas anak
Deva benar-benar mual mendengar kalimat sang papa yang sedang menelepon istrinya. Sudah seperti ABG labil saja. Tanya sudah mandi apa belum. Sok mesra pula pakai bilang ‘Sambut Mas, ya?’. Benar-benar membagongkan. “Ya sudah, Sayang. Mas tutup dulu, ya. I love you, Lisa-ku.”‘Iya, Mas. Love you more, Mas Maja-ku.’Deva langsung menghela napas berat setelah pria tua di sebelahnya mengecup layar ponsel. “Apaan, sih, Pa? Lebay banget!”Atmaja terkekeh.“Sudah lama Papa tidak merasakan getaran-getaran cinta setelah mamamu pergi, Deva. Dan Lisa ... mampu mengembalikan getaran indah yang cukup menyiksa itu. Benar kata para pujangga, love is a sweet torment.”“Halah, pret!”Kini, Atmaja tergelak. Entah kenapa Deva tak suka mendengar nama Lisa disebut oleh sang papa. Walau ada jutaan nama perempuan yang sama, tetapi ... kenapa harus Lisa? Kenapa bukan Risa, Nisa, atau Rusa saja sekalian. “Menikahlah, Jagoan. Beri tahu Papa gadis mana yang mau Papa lamarkan untukmu, hm?”“Pasti, Pa. Setelah
Jika bumi yang gersang karena kemarau akan bahagia karena turunnya hujan, tetapi berbeda dengan gersangnya hati Kadeva. Air hujan yang ia harap akan segera datang dan memadamkan gelegak dahaga akan kegersangan hatinya, ternyata malah datang dan menyegarkan tempat lain. Deva kalah. Hatinya yang gersang kini malah semakin retak. Tubuh itu, tatapan itu, wajah ayu itu, bahkan hati milik Khalisa pernah menjadi miliknya. Deva pernah berada dalam penjara hati Khalisa. Menyerahkan diri setulus-tulusnya dan ia bahagia pernah dijajah oleh cinta Khalisa. Namun ... apa yang terjadi? Kenapa kini Khalisa malah menjadi ibu sambungnya? Mama Lisa? Kadeva tersenyum miring. Ia meninju dinding kamarnya dengan kemarahan yang memuncak. “AAARGHHH!!!”Lebih dari seminggu Deva mengurung diri di apartemennya. Kondisinya cukup kacau dan berantakan. Wajahnya menunduk di antara kedua kaki yang ditekuk dengan punggung menyandar di headboar ranjang. Kedua tangan merangkul kakinya dan tiba-tiba ia mulai terisak.
Lengkungan senyum di kedua sudut bibir Atmaja terbentuk sempurna. Sebuah paper bag degan logo sebuah toko terkenal tertera di sana. Lagi-lagi pria yang tengah jatuh cinta untuk yang kedua kalinya itu membelikan sang istri baju dinas. Atmaja ingin menghabiskan malam yang panjang dengan Khalisa sebelum pergi ke Kanada. Walau Khalisa selalu protes karena bingung dengan baju-baju er*tis yang selalu Atmaja belikan, tetapi ada kepuasan tersendiri saat melihat wajah cantik istrinya merajuk manja. “Mas ... aku bingung sama kamu. Kamu membeli baju kurang bahan begini dengan harga yang cukup mahal. Sedangkan pada akhirnya kamu lebih suka aku t*npa seh*lai benang.”Atmaja tergelak. “Iya juga, ya.”“Nah, makanya. Enggak usahlah beli lingerie terus. Udah dua lusin itu digantung.”“Enggak pa-pa, Sayang. Kamu sangat cantik memakainya. Mas sangat suka dan itu akan menambah semangat Mas untuk cepat memiliki momongan lagi.”Tin, tin! Klakson mobil membuyarkan lamunan Atmaja. Pak Bahrul membunyikan
Sudah tiga hari semenjak perdebatan bersama papanya di ruang perawatan Lisa, Deva tak mau menghubungi Atmaja selain urusan pekerjaan. Sebagai anak satu-satunya, Deva tahu dan paham apa yang diinginkan sang papa. Setiap orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk buah hatinya. Namun, dari semua perlakuan Atmaja yang dingin tapi tetap peduli, Deva cukup sanksi dengan kemarahan papanya kala itu. “Apa Papa benar-benar tak merestui pernikahanku dengan Sekar?” bisiknya pelan pada diri sendiri. Deva mulai dilema. Walau awalnya ia pun hanya ingin membantu Sekar, tetapi perlahan cinta itu pun mulai datang. Terlebih saat puncak pertengkaran Deva dengan papanya terjadi, ia cukup stres sampai akhirnya Sekar menawarkan diri bak charging energi. Sekar telah menyerahkan diri layaknya seorang istri yang tak menolak saat dig@uli. Deva pun makin merasa terikat kala gadis itu sudah tak gadis karena ulahnya. Ya, tentu bukan ulah kenakalan anak muda yang dulu pernah Deva lakukan dengan Khalisa. T
Ruang perawatan Lisa masih terasa sesak oleh ketegangan yang tak terucap. Atmaja akhirnya duduk di sofa ruangan dengan ekspresi wajah keras, tatapan matanya lurus ke arah Deva yang juga duduk di samping Sekar. Sementara Lisa masih terus berbaring dengan posisi setengah menyandar di brankar yang sudah di-setting kenyamanannya. Ia menatap suaminya, Deva dan Sekar dengan rasa ingin tahu bercampur simpati. Suara detak jam dinding terasa semakin kencang di tengah keheningan yang menyesakkan.Di ruangan yang sama, dua pria tua dengan pakaian sederhana—Wak Tarom, penghulu, dan Wak Hasan, saksi pernikahan Deva dan Sekar—ikut duduk di sofa terpisah, menunggu percakapan yang tampaknya semakin memanas.“Jadi, kamu nikahin gadis ini ... karena apa?” Suara Atmaja akhirnya pecah, menatap Deva dengan mata yang menyala. “Aturan desa? Dengar, Nak! Kamu, Kadeva Raja Arkananta, anak yang Papa didik buat berpikir rasional, malah terjebak sama aturan yang bodoh begitu?”Deva mencoba tetap tenang, meski j
“Jadi istri Om Maja itu seusia Mas Dali sama Mas Deva?” tanya Kanina antusias. Dali mengangguk sembari mengunyah potongan daging yang masuk ke mulutnya. “Kamu baru tahu?”Gadis cantik dengan outfit modis itu hanya mengangguk sembari memainkan sedotan dengan ujung jari. “Cuma tahu kalau istri baru Om Maja masih muda. Lagian Tante Lisa, kan, pakai cadar kalau ketemu banyak orang. Jadi aku belum pernah tahu semuda dan secantik apa Lisa Atmaja itu,” tuturnya panjang lebar. “Cantik. Dia cukup cantik.”“Mas Dali udah tahu?”Dali kembali mengangguk sembari menyeruput es selasihnya. “Tahu, soalnya Deva, kan ....” Kalimat Dalion menggantung. Hampir saja ia kelepasan berbicara kalau Lisa itu mantan kekasih dari anak tunggalnya Atmaja Gandhi. “Soalnya Mas Deva kenapa, Mas?” Kanina mengejar kalimat Dali yang tak diteruskan oleh sang pria. “Amm ... soalnya Deva sama aku, kan, cukup dekat. Aku beberapa kali juga tahu wajah istrinya Om Maja karena di dalam rumah dia enggak pakai cadar. Cuma,
“Mas?”“ Lisa? Kamu sudah bangun?”Khalisa tersenyum dan mulai menarik tubuhnya ke atas untuk sedikit bersandar. Atmaja sigap dan memencet tombol di samping bed, menyesuaikan tinggi yang istrinya inginkan. “ Sudah?”“Sudah, Mas. Terima kasih.”Atmaja tersenyum dan mulai duduk di sisi ranj@ng perawatan sang istri. “Mas, aku minta maaf. Aku dan Deva beneran udah selesai, Mas. Kita ... kita enggak ada apa-apa lagi.”Atmaja menghela napas panjang. Sejujurnya ia belum mau membahas hal ini. Selain kondisi Lisa yang harus ia utamakan, Atmaja juga merasa sudah ditipu. Entah, siapa yang menipu dan ditipu. Atau mungkin ia yang tak terlalu peduli dengan kisah asmara putra semata wayangnya? “Sayang, Mas cukup percaya denganmu, tapi ... Mas ragu dengan Deva. Dia itu mewarisi gen-ku. Apa yang dia mau akan dia kejar sampai dapat.”“Tapi aku tetap milih kamu, Mas. Walau misal kamu akan melepasku demi Deva, aku tak mau!”Ada getar di antara setiap kata yang terlontar. Bahkan mata itu terlihat nanar
“Sialan! Benar-benar sialan!”Akhirnya Tatang Kurnia dan Suryo berhasil dibekuk oleh polisi di tempat yang berbeda. Keduanya tak ada perlawanan saat polisi menyampaikan surat penangkapan atas kasus Bu Rika dan juga Khalisa. Awalnya Tatang yakin saja jika dia bersikap kooperatif semuanya akan mudah. Toh, dia yakin seyakin-yakinnya jika Deva tak punya bukti kuat. Namun, sayang seribu sayang, Tatang dan Suryo menganga lebar saat rekaman suara keduanya kembali diperdengarkan. Pengakuan Tatang saat mengingatkan kejahatannya bersama Suryo. Tatang tak bisa berkutik. Entah siapa dalang di baliknya dan bagaimana semua bisa didapat dengan begitu mudah. “Satu masalah belum selesai, malah aku harus mendekam di sini! Aagrh!” Tatang meninju angin dengan kemarahan yang tertahan dari kemarin. “Siapa yang ngerekam omongan kita, ya, Bang?”“Ya mana aku tahu!”“Padahal kita ngomongnya juga bisik-bisik, kan?”“Udahlah! Enggak usah ngira-ngira terus. Pusing aku!” jawab Tatang dan mulai duduk lesehan d
Bu, Sekar kangen ....Gadis cantik berambut hitam legam itu mulai menggerakkan pena di atas kertas buku diary. Maafin Sekar yang belum bisa berkunjung ke makam Ibu lagi. Sekar ingin tetap dekat dengan pusaramu, Bu. Berkunjung tiap kali rindu sambil melantunkan surah Yasin dan tahlil sebagai pemenang kalbu, tapi ... ada panggilan lain yang harus Sekar penuhi, Bu. Angin berembus pelan dari jendela kamar yang Sekar buka. Belaian udara lembut seolah-olah menyentuh pipinya yang basah oleh air mata. Rasanya baru kemarin tangan lembut Ibu membelai rambutku, memberikan petuah-petuah yang kini terus bergema di hatiku. Aku kangen, Bu. Peran baru ini tak semudah yang Ibu sampaikan kala itu. Ibu selalu bilang, bahwa bakti seorang perempuan setelah menikah adalah kepada suaminya. Dakwah utama seorang istri adalah memuliakan suami. Kata-kata itu kini terasa lebih berat, karena aku harus berbakti pada suami, tapi tak dianggap selayaknya istri. Berat, Bu, berat. Apalagi aku harus meninggalkan pus
“Jadi wajahmu bonyok begini gara-gara salam olahraga dari Om Maja, Va?”Deva mengangguk pelan dan menyentuh ujung bibirnya yang masih terasa nyeri. Dali melihat sekilas ekspresi Kadeva dan kembali fokus menyetir. “Kamu udah ngaku semuanya?”“Iya.”“Gila! Berani juga kamu, Va.”“Apa aku harus terus-terusan nyembunyiin semuanya dari papa, Dal? Cepat atau lambat semua bakal terbuka. Dan aku enggak mau kalau Papa sampai tahu dari orang lain.”“Tahu dari siapa?”“Ya bisa aja dari kamu.”“Sialan! Kamu nuduh aku kang cepu?” Kadeva hanya mengembuskan napas sebagai respons. “Hari ini aku udah niat buat melebur semuanya, Dal. Aku mau belajar nge-ikhlasin Lisa buat Papa. Tapi timing-nya kurang pas. Papa mergokin kami yang lagi pelukan di dekat kolam renang. Padahal niatku enggak gitu. Lisa tiba-tiba aja pucat pas aku bilang dia harus mau speak up soal kasusnya itu. Aku udah berhasil ngumpulin bukti dan tinggal ngebujuk dia aja buat datang ke kantor polisi.”“Terus, terus?”“Ya terus Papa curi
Sore yang hangat mendadak panas seketika. Panas karena dua pria berbeda generasi saling tatap dengan arti masing-masing. Wajah teduh Atmaja berubah dingin, tetapi wajah Deva terlihat tenang walau tidak dengan hatinya. Sementara Khalisa semakin dilanda ketakutan bertubi-tubi. Respons tubuhnya ketika mendengar nama Suryo dan Tatang disebut membuat ia lemas dan cemas seketika. Dan tentu ia butuh charging energi. Deva ada di hadapan dan bisa memberi sedikit kekuatan. Namun, rasa-rasanya semesta tak mengizinkan. Suaminya datang dan melihat Lisa sedang didekap oleh Deva. “Apa kalian sudah saling akrab jauh sebelum aku tahu sesuatu?”Pertanyaan Atmaja membuat Kadeva memejam sesaat, begitu pun denga Khalisa.“Pa, apa yang Papa lihat enggak sama dengan apa yang Papa pikirkan, Pa.”“Oh, ya? Tolong jelaskan sekarang juga sebelum Papa membVnuhmu, Nak.”Kalimat Atmaja memang datar, tetapi cukup menakutkan bagi siapa pun yang mendengar. Bik Darsih buru-buru masuk dan mencari keberadaan Bahrul. Ia
“Bik!”Bik Darsih menoleh. “Eh, Aden? Tumben ke dapur? Perlu sesuatu?” Deva menggeleng. Ia semakin mendekat pada pelayan senior yang sudah ikut mengasuh dirinya sejak remaja tersebut. Bahkan, Deva sudah menganggap Bik Darsih sebagai ibunya sendiri. Tanpa izin, Deva langsung menubruk tubuh wanita paruh baya itu. Bik Darsih terkejut saat putra majikannya sangat erat memeluk dirinya. “Deva kangen Mama, Bik. Deva kangen Mama,” ucapnya sedikit serak. Dapat Bik Darsih rasakan tubuh putra tuannya sedikit bergetar. Deva menangis. Air matanya pun mulai membasahi baju Bik Darsih di bagian bahu.“Aden? Aden baik-baik saja?” balas Bik Darsih dengan tangan mulai mengusap-usap punggung Deva. Deva menggeleng. “Aku pernah melakukan dosa dengan kekasihku dulu, Bik. Mama kolaps sampai akhirnya meninggal gara-gara denger percakapan Deva yang udah ngerusak anak gadis orang. Mama minta Deva buat nikahin dia walau dulu dia enggak sampai hamil. Itu pesan Mama sebelum pergi. Tapi ... tapi saat ini, di