Tangan Deva yang sudah hampir mengetuk pintu pun akhirnya hanya menggantung di udara dan kini sudah ia tarik lagi ke samping tubuhnya. Ia tersenyum aneh dan segera pergi dari depan pintu kamar tersebut.
Lisa pun akhirnya membuka pintu saat langkah Deva sudah berada di undakan tangga paling bawah. Pria itu sudah berjalan hendak menuju carport. Di depan pintu utama, Deva malah bertemu dengan Pak Bahrul, sopir pribadi kepercayaan sang papa. “Den Deva?” “Halo, Pak Bahrul. Apa kabar?” “K-kabar baik, Den. Aden kapan sampai?” “Semalam, Pak.” Deva memerhatikan mobil dan juga badan tegap Pak Bahrul yang seperti sudah siap sedia. “Bapak nungguin saya?” “Eh? Ee, bukan, Den. Bapak nunggu nyonya. Beliau mau keluar,” jawab sang sopir apa adanya. Deva hanya mengangguk tanpa mau memperpanjang narasi dan juga durasi. Ia harus segera pergi. “Carport sebelah mana, Pak? Mobil saya dibawa ke sini, kan?” “Oh. Iya, Den. Pasti atuh mobil Aden dibawa ke sini.” Pak Bahrul menunjukkan carport megah yang berada di samping bangunan bak istana ini. Letaknya agak ke belakang. Pak Bahrul pun sedikit berlari untuk mengambil kunci mobil milik putra tuannya yang ia simpankan. Deva cukup takjub dengan bangunan megah dan super mewah kedua milik sang ayah. Harganya pasti fantastis. Di dekat carport ada kolam renang beratap yang cukup estetik. Sangat kekinian. Dua buah mobil masih berada di tempatnya selain mobil mewah yang sedang Pak Bahrul persiapkan untuk mengantarkan sang nyonya. “Papa lagi mode bucin keknya,” ucap Deva sembari memasuki mobilnya sendiri. “Seindah apa mama tiriku sampai bokap se-effort ini buat nyenengin dia?” Deva tahu, rumah pertama yang Atmaja tempati bersamanya dan mendiang sang mama dulu akan menjadi milik Deva. Mungkin itu alasan sang papa membeli rumah baru serupa istana ini. Tak kalah mewah dari rumah pertama. Dalam perjalanan, Deva memberi kabar pada Dalion jika ia akan segera menemuinya lepas bertemu dengan sang papa di kantor. ‘Kabari aja, Va. Aku pasti siapkan waktu khusus buat my best friend,’ ucap Dali dari sambungan telepon. “Thanks, Brother.” Sesampainya di lobi kantor, beberapa karyawati yang berpapasan dengan Deva malah ternganga. Wajah bersih dan hidung bangir Kadeva dibingkai oleh berewok tipis yang rapi dan pas. Rambutnya yang panjang sebahu dan agak berombak ia cemol ke atas. Proporsi keindahan yang cukup memukau tergambar jelas di wajah keturunan Indonesia-Turki tersebut. “P-Pak Deva?” Deva hanya tersenyum singkat dan terus mengayun langkah. “Pagi, Pak Deva.” “Selamat datang, Pak.” “Selamat datang kembali, Pak Deva.” Sapaan demi sapaan mengantarkan Deva hingga ia menaiki lift khusus untuk para petinggi perusahaan. Tak berapa lama, lift terbuka dan tatapan Deva bersirobok dengan salah satu teman baik sang papa. “Kadeva?” “Om Vikram?” Keduanya saling berjabat hingga mendekap. “Apa kabar, Jagoan?” “Kabar baik, Om. Om sendiri apa kabar?” “Alhamdulillah, Om baik dan masih sehat, Nak. Tapi, Om kalah hoki dari papamu.” Vikram tergelak renyah, sementara Deva tersenyum lebar. Vikram menepuk-nepuk punggung Deva hingga dekapan keduanya melonggar. “Papa ada di dalam, Om?” “Oh, iya ada. Setengah jam yang lalu kami berbincang. Om baru selesai urusan dengan orang divisi. Dan ini sudah mau kembali ke kantor lagi.” “Buru-buru amat, Om?” “Udah. Ini udah molor. Takut Dali muring-muring.” Deva terkekeh. Dulu, ia dan Dali sering dibanding-bandingkan oleh oleh Atmaja. Dan Deva memang sesantai Vikram. Tidak seperti Dali dan Atmaja yang cukup serius dan juga perfeksionis. Terkadang Dalion dan Kadeva merasa sengaja ditukar saat mereka masih balita. “Habis dari sini, aku juga mau ketemu Dalion, Om.” “Oh. Silakan, Nak. Silakan. Om tunggu kedatanganmu.” Keduanya sama-sama tersenyum hangat. “Eh, Deva. Ngomong-ngomong, apa kamu sudah berkenalan dengan mama barumu?” “Belum, Om. Enggak enak mau nemuin dia kalau enggak ada Papa. Takut khilaf, Om,” jawab Deva santai. Vikram tergelak. “Jangan nakali mamamu, Deva. Dia mengalami trauma yang cukup berat sebelum akhirnya mau dinikahi oleh papamu.” Deva mengernyit. “Maksudnya, Om?” “Temui papamu. Dia yang berhak bercerita semuanya.” Deva diam sejenak, lalu mengangguk bersamaan dengan Vikram yang menepuk lengan atasnya. “Ya sudah, Om pamit kembali ke kantor dulu, ya.” “Baik, Om. Silakan!” balas Deva sopan. Deva memerhatikan punggung ayah sahabatnya itu hingga hilang di balik lift. Ia terdiam sejenak. “Perempuan bermasalah kenapa malah Papa nikahin?” ucap Deva pelan, bertanya pada dirinya sendiri. “Secantik apa dia sampai seorang Atmaja Gandhi yang dingin dan cuek bisa luluh?” Deva menggeleng pelan dan berjalan untuk menuju ruangan papanya berada. Baru membuka pintu, tatapan datar Atmaja langsung bertemu dengan manik Deva. Sang pimpinan kembali menunduk melihat Ipad di tangannya. “Papa enggak kaget lihat Deva?” Atmaja kembali mengangkat pandangan. “Kenapa harus kaget? Kamu bukan nun mati ketemu ‘ain, lalu ‘ain terkejut.” Deva terkekeh. “Assalamualaikum, papaku sayang,” sambut Deva dengan kedua tangan merentang dan langkah mendekat. “Waalaikumsalam, anak nakal!” Atmaja akhirnya berdiri dan menyambut anak bujangnya. Keduanya berpelukan erat walau ini bukan pertama kalinya Deva pulang dari Turki setelah sekian lama. Tahun lalu, Deva sempat pulang karena suatu urusan. Hanya beberapa hari, lalu kembali lagi ke Turki. “Beberapa menit yang lalu Papa sudah melihatmu berinteraksi dengan Vikram dari pantauan CCTV lorong.” “Ah, sudah kuduga,” ucap Deva. Atmaja tersenyum dan dekapan pun melonggar. “Sudah sarapan, Nak?” “Sudah, Pa.” “Ayo! Kita ngobrol santai di sofa.” Deva pun memenuhi kemauan sang papa karena ia juga cukup penasaran dengan ucapan papa dari Dalion tadi ketika di lorong. Namun, sebelum itu pandangan Deva lebih dulu mengitari setiap sudut ruangan kerja milik sang papa. Pajangan masih sama, tak ada yang berubah. Bahkan di rumah baru Atmaja yang ia pijak dari semalam, tak ada foto sang papa dan mama barunya. Apa belum dicetak? “Pa, kenapa di rumah baru dan juga ruangan kantor Papa ini tak ada foto baru? Maksudku ... foto pengantin Papa dan istri barunya Papa?” Atmaja tersenyum. “Kenapa? Kamu mulai penasaran dengannya, hm?” “Sebenarnya biasa saja, sih, Pa. Cuma, aku takut saja kalau nanti di rumah ketemu wanita cantik dan aku enggak tahu kalau ternyata itu mama baruku. Enggak lucu, kan, kalau nanti aku bilang: Hai, Cantik. Maukah kamu menjadi menantu papaku?” Bukannya marah, Atmaja malah tergelak. “Ya, ya. Kamu benar. Apalagi dia memang cantik. Sangat cantik malah,” jawab Atmaja dengan pandangan sedikit menerawang. Menghadirkan sosok jelita yang belum lama sudah sah menjadi istrinya. Melihat papanya yang seperti sedikit melamun, Deva malah terkekeh dan kian penasaran. “Jadi, kenapa Papa tak mau memajang foto pernikahan kalian? Di rumah, di kantor, aku enggak lihat. Beda ketika sama mama. Papa seperti ingin mengabarkan pada seantero negeri kalau Papa bisa menikahi putri konglomerat Turki yang cantik dan berbudi pekerti. Apa ... mamaku lebih cantik dari mama sambungku?” Deva mulai berceloteh panjang. Terkadang, Atmaja juga penasaran kenapa putranya dengan Elnara sedikit somplak. Namun, Atmaja juga cukup bangga ketika perusahaan tekstil mertuanya yang di Turki semakin maju ketika Deva ikut bergabung bersama paman dan sepupunya dalam mengembangkan bisnis tersebut. Itu artinya, Deva tak sesomplak yang ia pikirkan. “Mama sambungmu cantik, Deva. Dia sangat cantik. Tapi, Papa hanya sedang mem-protect dia dari hal-hal yang membuat dia tak nyaman.” Putra Atmaja membenarkan duduknya. “Tak nyaman?” ulang Deva. “Papa dan Om Vikram menemukan seorang gadis cantik di hutan. Dia ... korban pem3rkosaan.” “Apa?!” (*)“Jadi kamu ke sini karena ingin konfirmasi, Tuan Muda?” tebak Dali sembari membuka kulkas kecil di ujung ruangannya. Ia mengambil dua kaleng minuman.“Kenapa kalian seperti menutupi tentang dia?”“Bukan menutupi, Va. Kami hanya ingin menolong gadis itu agar semangatnya kembali. Kata dokter kejiwaan yang sempat khusus menanganinya, jiwa si gadis cukup terguncang. Ah, sorry. Ralat. Jiwa si wanita cukup terguncang.”Deva mengernyit. “Tidak mungkin korban pem3rk*saan masih gadis, kan, Va?”“Ya. Kamu benar.”“Ibunya ditemukan tak bernyawa agak jauh dari tempat dia ditemukan. Kalau saja papaku dan Om Atmaja tak jadi berburu, mungkin wanita itu sudah terkenal lewat berita. Terkenal karena diburu awak media dan mungkin mentalnya akan semakin sulit disembuhkan.”“Apa dia ... benar-benar diperk*sa?”“Entah. Sudah jadi dieksekusi apa belum. Tapi, Papa bilang penjahat itu berjumlah dua orang. Salah satu dari mereka sudah setengah naked dan keduanya lari terbirit-birit begitu Om Maja melepas anak
Deva benar-benar mual mendengar kalimat sang papa yang sedang menelepon istrinya. Sudah seperti ABG labil saja. Tanya sudah mandi apa belum. Sok mesra pula pakai bilang ‘Sambut Mas, ya?’. Benar-benar membagongkan. “Ya sudah, Sayang. Mas tutup dulu, ya. I love you, Lisa-ku.”‘Iya, Mas. Love you more, Mas Maja-ku.’Deva langsung menghela napas berat setelah pria tua di sebelahnya mengecup layar ponsel. “Apaan, sih, Pa? Lebay banget!”Atmaja terkekeh.“Sudah lama Papa tidak merasakan getaran-getaran cinta setelah mamamu pergi, Deva. Dan Lisa ... mampu mengembalikan getaran indah yang cukup menyiksa itu. Benar kata para pujangga, love is a sweet torment.”“Halah, pret!”Kini, Atmaja tergelak. Entah kenapa Deva tak suka mendengar nama Lisa disebut oleh sang papa. Walau ada jutaan nama perempuan yang sama, tetapi ... kenapa harus Lisa? Kenapa bukan Risa, Nisa, atau Rusa saja sekalian. “Menikahlah, Jagoan. Beri tahu Papa gadis mana yang mau Papa lamarkan untukmu, hm?”“Pasti, Pa. Setelah
Jika bumi yang gersang karena kemarau akan bahagia karena turunnya hujan, tetapi berbeda dengan gersangnya hati Kadeva. Air hujan yang ia harap akan segera datang dan memadamkan gelegak dahaga akan kegersangan hatinya, ternyata malah datang dan menyegarkan tempat lain. Deva kalah. Hatinya yang gersang kini malah semakin retak. Tubuh itu, tatapan itu, wajah ayu itu, bahkan hati milik Khalisa pernah menjadi miliknya. Deva pernah berada dalam penjara hati Khalisa. Menyerahkan diri setulus-tulusnya dan ia bahagia pernah dijajah oleh cinta Khalisa. Namun ... apa yang terjadi? Kenapa kini Khalisa malah menjadi ibu sambungnya? Mama Lisa? Kadeva tersenyum miring. Ia meninju dinding kamarnya dengan kemarahan yang memuncak. “AAARGHHH!!!”Lebih dari seminggu Deva mengurung diri di apartemennya. Kondisinya cukup kacau dan berantakan. Wajahnya menunduk di antara kedua kaki yang ditekuk dengan punggung menyandar di headboar ranjang. Kedua tangan merangkul kakinya dan tiba-tiba ia mulai terisak.
Lengkungan senyum di kedua sudut bibir Atmaja terbentuk sempurna. Sebuah paper bag degan logo sebuah toko terkenal tertera di sana. Lagi-lagi pria yang tengah jatuh cinta untuk yang kedua kalinya itu membelikan sang istri baju dinas. Atmaja ingin menghabiskan malam yang panjang dengan Khalisa sebelum pergi ke Kanada. Walau Khalisa selalu protes karena bingung dengan baju-baju er*tis yang selalu Atmaja belikan, tetapi ada kepuasan tersendiri saat melihat wajah cantik istrinya merajuk manja. “Mas ... aku bingung sama kamu. Kamu membeli baju kurang bahan begini dengan harga yang cukup mahal. Sedangkan pada akhirnya kamu lebih suka aku t*npa seh*lai benang.”Atmaja tergelak. “Iya juga, ya.”“Nah, makanya. Enggak usahlah beli lingerie terus. Udah dua lusin itu digantung.”“Enggak pa-pa, Sayang. Kamu sangat cantik memakainya. Mas sangat suka dan itu akan menambah semangat Mas untuk cepat memiliki momongan lagi.”Tin, tin! Klakson mobil membuyarkan lamunan Atmaja. Pak Bahrul membunyikan
Hari berganti. Selimut malam yang semalam membentang, kini telah berganti dengan pagi yang terang. Deva akan memulai hari sibuknya di kantor papanya. Ia pun mulai memilih pakaian kerja yang rapi setelah membersihkan diri. Ia baru sadar jika beberapa pakaiannya sudah tertata rapi di walk in closet di kamar barunya. Ah, Deva jadi mulai merindukan rumah pertama yang dulu ia tempati bersama almarhumah mamanya dan sang papa. Semua yang ia perlukan sudah melekat sempurna di badannya yang cukup indah. Deva tersenyum. “Aku yakin kamu masih mencintaiku, Lisa,” ucapnya sembari membentuk simpul dasi di kerah bajunya. Namun, beberapa kali mencoba, tak jadi-jadi juga. Di Turki, pelayan pribadinya yang selalu menyiapkan semua kebutuhan Deva, dari mulai baju kerja, sepatu, sampai dasi yang ia kenakan. “Bik Darsih bisa enggak, ya?” ucapnya pelan. “Ke bawah aja, deh. Minta tolong sama dia.”Sekali lagi Deva meneliti penampilannya dan bersiul setelah semuanya terlihat sempurna. Ia segera keluar d
“Tidak! Kami tak akan pernah mau membayarnya! Itu hutang Mbak Rukmi. Bukan hutangku!”“Tapi Rukmi menjaminkan putrimu padaku, Rika. Dia tak bisa menebus rumah orang tuamu yang ia gadaikan suratnya padaku.”“Apa?! Bukankah Mbak Rukmi menggadaikannya di bank?”“Ya. Dia memang pernah menggadaikannya pada bank. Tapi, apa kamu tahu jika separuhnya aku yang menebus?”Rika menggeleng. Bukan karena tak tahu, tapi lebih ke rasa tidak percaya, bahwa kakak angkatnya berhubungan dengan lintah pengi*ap darah itu. Ironinya, wanita itu malah seenaknya berbuat. “Aku menebusnya karena Rukmi bilang ia akan memberikan keponakannya yang cantik itu padaku sebagai gantinya. Bukan hanya itu. Dia menghilang setelah membawa pergi uangku sebanyak tiga puluh juta. Lalu, sebuah pesan masuk dari nomornya. Silakan baca sendiri.”Dengan tangan bergetar, Rika menerima ponsel dari tangan Tatang Kurnia. Di sana tertulis sebuah pesan dari nomor Rukmi yang cukup Rika hafal. [Juragan, tampaknya keponakanku, si Lisa, su
Ucapan Khalisa berhasil membuat tubuh Kadeva membeku.“L-Lisa, apa aku tak salah dengar?”Khalisa menarik kepalanya dari dada Kadeva. Ia melepas cadarnya dan kini pria di hadapan bebas menikmati kecantikannya. “Aku masih mencintaimu, Deva. Tapi ... cinta itu sudah berubah menjadi rasa sayang dari seorang ibu untuk putranya.”Kadeva berdecak tak suka. Entah magic apa yang sudah papanya berikan pada Khalisa sampai wanita seumurannya itu memilih om-om untuk menjadi suaminya.“Banyak kesulitan yang aku lalui sampai akhirnya aku bertemu dengan papamu, Deva. Mas Atmaja dan temannya yang menemukanku di hutan dalam keadaan terluka cukup parah.” Ada hela napas sebagai jeda. “Andai papamu tak datang di waktu yang tepat. Mungkin ... mungkin aku sudah menjadi budak n@fsu para iblis bertopeng manusia itu.”“Siapa yang melakukannya, Lisa?” Khalisa menggeleng. Ia masih ingat wajah itu. Dan tadi, ia sempat bertemu salah satunya di bandara. “Bandit genit itu? Si rentenir itu?”Khalisa memejam sebe
Saat ini Deva menjadi penonton dua wanita yang sedang asyik bercengkerama layaknya sedang reuni. Khalisa dan Linda, mereka memang cukup dekat dan satu fakultas saat kuliah. Berbeda dengan Deva walau ketiganya bernaung di universitas yang sama. “Jadi, kalian balikan setelah terpisah cukup lama?”“Heuh?” Khalisa terkesiap mendengar pertanyaan dari Linda.Berbeda dengan Deva yang terlihat lebih santai dan menunggu reaksi Khalisa. Mungkin Linda juga belum tahu kebenaran yang sesungguhnya. “Enggak nyangka, euy, si Deva bisa bikin istrinya tertutup begini. Udah berapa lama kalian nikah? Privat wedding, kah? Kok, aku enggak diundang, sih, Lis?” Linda terus nyerocos sambil mengunyah isian seblak di hadapannya. Ia seperti lupa kalau beberapa jam yang lalu sempat marah-marah karena mobilnya ditabrak oleh mobil Deva dari belakang. “Va, kamu kerja apaan btw? Mobil kamu keren, bjiirr.”Deva mula
Hati Lisa seperti direm4s-r3mas mendengar ucapan Deva. “Bahkan aku masih berharap semua ini adalah mimpi buruk yang akan segera usai ketika aku terbangun dari tidur panjangku, Lisa. Maaf, kalau aku masih memintamu pada Tuhan secara diam-diam. Kamu adalah ketidakmungkinan yang masih aku semogakan. Kamu masih menjadi alasanku untuk bertahan, walau harapan itu sudah enggak bisa lagi aku genggam. Kamu ....” Deva menunduk dan semakin tergugu. Derasnya air mata Deva cukup menjelaskan betapa ia sudah berusaha mati-matian mengikhlaskan. Deva sudah berusaha melebur semua kenangan indah mereka dengan kehadiran cinta baru yang sudah terikat oleh komitmen yang sakral. Namun, takdir memang terkadang cukup kejam. Ia tak mentolerir segenap luka yang masih basah, dan kini kembali berdarah-darah. Hening menjeda beberapa saat. Khalisa bahkan hanya bisa bungkam dengan air mata yang terus berjatuhan. Di sana, di luar kaca, Sekar menangis di dada mertuanya. Atmaja dan menantunya ikut menyaksikan i
“Pak Atmaja, setelah meninjau kondisi Bu Khalisa selama tiga hari ini, saya dan tim dokter khawatir bayi dalam kandungan istri Anda akan lahir lebih cepat dari yang diperkirakan. Ini berarti ... bayi Anda mungkin akan lahir secara prematur.”Dunia Atmaja seperti akan runtuh mendengar penjelasan dokter. “P-prematur, Dok?”Dokter mengangguk lemah.“Seberapa serius kondisinya, Dok? Apa yang harus kami lakukan?”“Tidak perlu terlalu khawatir, Pak. Bayi prematur memang memiliki risiko tertentu, tapi dengan penanganan medis yang tepat, banyak bayi prematur yang tumbuh dengan sangat baik. Seperti yang sudah kami sampaikan di awal soal kemungkinan paling akhir, kami menyarankan agar Bu Khalisa dirujuk ke rumah sakit di Singapura, di mana mereka memiliki fasilitas perawatan intensif yang sangat baik untuk bayi prematur.”Atmaja terdiam beberapa saat dan mencoba tenang serta mencerna kalimat sang dokter dengan baik.
“Kami akan terus pantau ketat kondisi Bu Lisa hingga persalinan, Pak. Detak jantung janin sempat lemah karena sebelum kami berikan activated charcoal untuk menyerap racun, janin sudah sedikit terpapar.”Kadeva memejam, pun dengan Atmaja yang terus berusaha untuk tetap kuat. “Lalu gimana kondisi bayi saya, Dok?” Atmaja mengambil alih. “Tenang, Pak Atmaja. Bayi Anda hanya terpapar sedikit, Insya Allah masih bisa kami atasi. Tapi, kami pun harus menyampaikan kemungkinan paling akhir jika tiba-tiba kondisi Bu Lisa di luar prediksi kami.”“Dok, saya mohon ... lakukan yang terbaik untuk istri dan bayi kami. Berapa pun biayanya, kami siap.” Atmaja tampak memohon. “Itu sudah menjadi tugas utama kami, Pak. Dan opsi terakhir jika kondisi Bu Lisa menurun adalah, istri Bapak akan kami rujuk ke Mount Elizabeth Hospitals.”“Singapura?” ucap Atmaja dan Deva bersamaan. “Betul, Pak.”“
Deva tak henti menangis walau Khalisa sudah mendapat tindakan di ruang IGD. Ia kembali membodoh-bodohi dirinya sendiri yang malah mengangkat telepon lebih dulu daripada mendekati Khalisa dan menjauhkan minuman beracun itu dari sisi sang mama sambung. Harusnya Deva segera membawa Lisa pergi ke rumah sakit sebelum wanita hamil itu pingsan daripada berdebat lebih dulu dengan Rukmi. Melihat Khalisa menjadi istri papanya memang sakit, tetapi melihat wanita yang tengah hamil itu sempat membiru dan pingsan membuat Deva merasa semakin sulit untuk bangkit. Ia tak mau kehilangan Khalisa walau hati dan raga sang mantan kekasih bukan lagi miliknya. Ya, Khalisa sudah menjadi mama sambungnya, istri dari pria yang Deva panggil Papa. “Harusnya aku duluin kamu, kan, Lis? Kenapa aku malah mengulur durasi sampai kamu akhirnya begini?” bisik Deva dengan pandangan menunduk. Atmaja baru datang bersama Bahrul. Deva mengangkat kepalanya dan kembali menunduk, men
“Mas, aku lapar ...,” rengek Khalisa setelah keluar dari gerai toko perlengkapan bayi. Atmaja tersenyum. Istrinya memang mengalami perubahan pola makan. Ia jadi sering lapar di jam-jam yang belum waktunya. Namun, Atmaja tak mempermasalahkan itu. Karena baginya, ibu dan calon anak yang dikandung Khalisa harus sehat dan tercukupi segala nutrisinya. “Hayuk! Anak Papa mau makan apa, hm?” Tangan kanan Atmaja mengelus perut istrinya dengan sayang. “Mau seafood, Mas. Pengen kepiting jumbo asam manis.”“ACC, Sayang ....”Khalisa tersenyum cantik dan mulai bergelayut manja di salah satu lengan Atmaja. Bahrul yang juga ikut mengawal sang majikan dan istrinya sibuk membawa belanjaan untuk ditaruh lebih dulu ke dalam mobil. Keduanya melangkah layaknya anak muda yang sedang kasmaran. Hanya berpindah satu lantai ke atas, restoran yang menawarkan aneka makanan laut sudah ditemukan. Khalisa semringah sambil meng
Khalisa memandangi etalase toko perlengkapan bayi dengan senyum di wajahnya. Tangannya mengelus lembut perut buncitnya yang berusia tujuh bulan lebih. Di sebelahnya, Atmaja sibuk memilih pakaian bayi berwarna netral, walau jenis kelamin bayi mereka sudah diketahui. Segala kemungkinan bisa saja terjadi nanti. "Sayang, kamu suka yang ini, enggak?" tanya Atmaja, mengangkat sepasang sepatu bayi mungil dengan corak bintang-bintang. Khalisa tersenyum dan mengangguk. "Suka, Mas. Imut banget," jawabnya. Tatapan matanya berbinar, penuh harapan dan kebahagiaan yang sederhana.Tak hanya Khalisa yang begitu excited berbelanja kebutuhan bayinya, Atmaja pun sama. Jika Khalisa terlihat begitu semangat dan antusias karena ini hal baru dan pertama baginya, berbeda dengan Atmaja yang begitu semangat karena ia mulai merasa jatuh cinta pada bayinya nanti. Bayi perempuan. Ah, Atmaja jadi tak sabar ingin segera bertemu dengan gadis kecilnya itu.
“Papa serius, Pa?""Apa pria tampan di depanmu ini pernah main-main, Boy?”Deva tersenyum lebar. Ia langsung berdiri ingin memeluk sang papa. Atmaja pun ikut berdiri hingga keduanya berpelukan erat. “Makasih, Pa. Makasih. Sekar pasti seneng denger berita ini.”Atmaja merasakan ketulusan dari ucapan putranya. Namun, ia juga agak ragu apakah Deva benar-benar sudah melupakan Khalisa sebagai kekasihnya. Keputusan Atmaja merestui pernikahan Deva dengan Sekar juga tak begitu saja ia berikan. Atmaja sudah berpikir berulang kali hingga ia melihat sendiri bagaimana gadis kecil itu berinteraksi dengan para tamunya saat acara tujuh bulanan Lisa. Deva yang memperkenalkan Sekar sebagai calon istri membuat beberapa kolega Atmaja terkejut. Tentu tak hanya kabar yang terbilang dadakan, tetapi karena banyak rekan bisnis Atmaja yang diam-diam ingin menjadikan Kadeva sebagai menantunya. Bibit, bebet, dan bobot Deva
Deva melangkah meninggalkan ruang tengah mansion yang sedang disulap menjadi singgasana sang papa dan mama sambungnya. Singgasana kebahagiaan dalam acara sakral sebagai wujud rasa syukur sebelum anak dalam kandungan Khalisa akan lahir dua bulan lagi. Deva duduk menyandar di salah satu tiang gazebo dekat kolam renang. Bayang-bayang masa lalu kembali menghantam pikirannya, seperti ombak yang menghantam karang tanpa henti. Meski ia berusaha kuat dan tampak tak tergoyahkan dari luar, sesungguhnya Deva sedang terombang-ambing dalam lautan kenangan yang tak kunjung memudar.Wanita yang dulu pernah menjadi pusat dunianya, kini telah menjadi milik orang lain. Orang yang begitu Deva banggakan, ialah Atmaja Gandhi, papa kandungan sendiri. Dan setiap kali Deva mencoba mengikhlaskan, kenangan tentangnya bersama Khalisa justru semakin menyesakkan. “Aku udah nyoba, Lis,” bisiknya pelan. “Berkali-kali aku nyoba nge-ikhlasin kamu buat Papa. Ngeyakinin diriku sendiri kalau semua tentang kita udah se
“Sayang?”Sekar menoleh ke samping. Deva tersenyum sangat tampan dengan balutan tuksedo yang pas membalut tubuh indahnya. “Rileks, dong. Jangan tegang begitu.”Senyum cantik Sekar sedikit mengembang. Keduanya sedang berada di dalam mobil hendak menuju tempat acara di mana perhelatan akbar tujuh bulanan kandungan Khalisa akan digelar. Tentu bukan tempat asing bagi Kadeva, karena itu adalah rumah papanya sendiri. Namun, bagi Sekar yang baru akan menginjakkan kakinya di sana, ini menjadi hal yang cukup mendebarkan. Melihat ketegangan yang belum berangsur sepenuhnya dari wajah cantik yang sudah dipoles oleh MUA itu, Deva segera menarik lembut sebelah tangan istrinya yang kuku-kukunya cukup cantik dengan sentuhan nail art. “Papa sendiri yang ngundang kita, Sayang. Insya Allah Papa udah bisa nerima kamu.”Sekar tersenyum. Usaha suaminya untuk membuat ia pantas dan layak menjadi menantu Atmaja Gandhi jug