“KYAAA ...!”
Teriakan yang cukup nyaring dari dalam kamar pengantin itu berhasil menghentikan langkah Deva. “Kenapa, Sayang? Mau pegang? Nih!” “Jangan, Mas!” “Coba, deh, kamu sentuh bentar. Dielus-elus aja. Enggak pa-pa, kok.” “Iiih ... geli, Mas. Gede banget itu!” Awalnya Deva ingin langsung rebah saja di kamarnya. Ia baru datang dan masih jet lag. Namun, mengingat jika ia pulang ke Indonesia lantaran kabar jika papanya telah menikah lagi dengan seorang gadis membuat Deva mendadak tersenyum geli. Apalagi setelah mendengar percakapan barusan. Dengan rasa penasaran, ia pun melangkah pelan dan menempelkan sebelah daun telinganya di pintu kamar sang papa dan mama barunya itu. “Jangan, Mas. Aku enggak mau, gak suka, gelay!” “Eh?” Deva menarik kembali kepalanya. “Suaranya merdu banget. Apa Papa nikah sama Nisa Sabyan, ya?” Ia loading sejenak, lalu terkekeh. “Gila, sih! Udah nikah hampir sebulan masih kaget aja lihat punya suami sendiri. Moga gak sawan aja itu cewek liat punya Papa,” monolog Deva dan kembali terkekeh geli. Ia pun memilih pergi ke kamarnya sendiri. Bisa-bisa ia yang sawan jika sampai suara-suara horor sepasang pengantin itu membuatnya mendadak ingin. “Rumah semewah ini kenapa kamarnya enggak dipasangi peredam suara, sih? Dasar Papa!” Deva terus gerundel sambil melangkah menuju kamar yang sudah disediakan untuknya. Sementara di dalam kamar megah dengan perlengkapan serba mewah itu, Atmaja ikut tertawa geli melihat istri cantiknya yang seperti ketakutan. “Ayolah, Sayang. Ini hanya makhluk kecil yang imut.” “Apa? Imut? Siapa yang mengatakan seekor tikus imut, Mas? Sungguh menyebalkan!” “Ini bukan tikus, Lisa-ku sayang. Ini hamster. Ukurannya juga mini. Masa hewan mungil ini kamu bilang gede?” “No, no, no! Sekecil apa pun ukurannya, buatku tikus itu besar dan membuatku geli, Mas. Udah, bawa jauh-jauh. Hus, hus!” Lisa menggerakkan tangan seperti mengusir. Atmaja kembali terkekeh. Ia pun memasukkan hamster lucu kesayangan putra tunggalnya itu ke dalam kandang. “Lagian Mas Maja aneh-aneh aja. Naruh peliharaan begitu di dalam kamar.” Wanita muda itu masih terus menggerutu. “Iya, Sayang. Maafin Mas, ya. Nanti kalau Deva sudah kembali, Mas akan berikan makhluk kecil ini padanya.” Kening Lisa sedikit berkerut. “Deva?” “Iya. Deva. Anak semata wayang Mas. Dia pemilik hamster ini.” “Deva itu laki-laki atau perempuan, Mas?” “Laki-laki, Sayang. Deva anak Mas laki-laki.” “Anak cowok pelihara hamster? Lucu sekali putramu, Mas.” “Entahlah. Dia hanya beralasan jika hamster inilah yang membuat dia tersenyum saat wanita pujaannya menghilang dan tak ada kabar.” Lisa bergeming sesaat, lalu berucap, “Oh, ya?” “Hm, hm! Tunggu sebentar.” Atmaja melangkah ke kamar mandi sebelum kembali menghampiri istrinya. Bisa-bisa Lisa makin merajuk dan tak mau disentuh jika suaminya tak mencuci tangan usai memegang hewan berbulu itu. Tak berapa lama Atmaja kembali. Pria bertubuh atletis dengan rahang kokoh yang membingkai wajah tampannya itu tersenyum dan mendekat ke sisi sang istri. “Berapa usia putramu, Mas?” “Hm ... sepertinya hampir sama denganmu, Sayang. Dua puluh lima.” “Hah? Serius?” “Iya. Tapi, kamu tak perlu khawatir. Dia bisa jadi anak yang manis. Dia juga cukup penurut. Hanya saja ... Deva sedikit berubah menjadi pendiam semenjak takdir membuat dia dan kekasihnya terpisah. Dan peristiwa itu terjadi hanya beberapa jam setelah mamanya dikebumikan.” Wajah tegas nan rupawan Atmaja langsung sendu. Lisa mengelus sebelah pipi suaminya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Belum dicukur. “Jangan sedih, Mas. Ada aku,” hiburnya. “Aku akan menjadi teman sekaligus mama pengganti yang baik untuk Deva. Anak kita.” Senyum Atmaja terbit. Banyak puluhan wanita yang menawarkan diri demi bisa dinikahi oleh Atmaja Gandhi, seorang pimpinan tertinggi sebuah perusahaan ritel terbesar di Indonesia. Namun, dari banyaknya wanita muda yang bermimpi menjadi selirnya, hanya Lisa yang berhasil memenangkan hati sang duda. “Anak kita?” ulang Atmaja. “Ya. Anakmu anakku juga, kan, Mas?” “Bagaimana jika aku menginginkan seorang bayi dari pernikahan ini, Sayang? Apa kamu bersedia mengandung benihku, hm?” Lisa tersenyum. “Aku tak keberatan, Mas. Toh, salah satu tujuan menikah untuk melanjutkan garis keturunan, kan?” “Ya, kamu benar, Sayang. Dan Mas sangat menginginkan anak perempuan. Mas pasti akan mencintai dan melindunginya seperti sebuah berlian.” “Tapi, tanyakan dulu pada putramu, Mas. Apa dia tak malu jika nanti mempunyai adik bayi?” Lagi, Atmaja tergelak. “Kenapa harus malu? Toh, kita menikah resmi, bukan menikah diam-diam karena kamu hamil duluan.” “Iya, aku tahu, Mas. Tapi—“ Kalimat Lisa terhenti. Tanpa aba-aba, Atmaja mulai menghidu leher jenjangnya yang putih dan wangi vanila. Lisa tersenyum geli sembari menjauhkan wajah sang suami. “Kapan Deva akan pulang, Mas?” “Entah. Dia memang sedikit nakal dan selalu penuh kejutan. Tak mau memberitahu papanya ini kapan mau kembali ke Indonesia.” “Apa Mas Maja sudah memberikan alamat rumah baru ini sama dia?” “Sudah. Mas sudah share lokasi dan juga memberitahu di mana kamar dia.” Lisa tersenyum walau hati kecilnya seperti mempertanyakan sesuatu. Meskipun awalnya tak mau ketika akan dinikahi oleh pria matang yang lebih cocok ia panggil ayah, tetapi Atmaja-lah yang bisa menerima Lisa apa adanya setelah peristiwa itu. Toh, dia bukan pria tua yang payah. Seharusnya Lisa malah harus bersyukur. Dari sekian banyak wanita cantik, ia-lah yang dipilih. Sementara di kamar barunya, Deva mulai dirayu rasa capek dan kantuk hingga dalam sekejap ia pun terlelap. Ia kembali ke Indonesia setelah menenangkan diri di negara ibunya berasal. Selain untuk menyelesaikan study, Deva terpaksa pergi karena kekasih yang ia cari-cari bak hilang ditelan bumi. Di bawah alam sadarnya, Deva kembali diperlihatkan akan sebuah peristiwa. “Kenapa kamu melakukannya, Nak?” “Ma ... maafin Deva, Ma. Maafin Deva ....” Wanita lemah dengan banyak selang di tubuhnya itu hanya tersenyum samar. Sebelah tangannya mengelus rambut sang putra yang menangis di samping kepalanya. “Mama maafin Deva. Tapi, Deva harus janji enggak akan berbuat seperti itu lagi. Siapa pun dia, jadikan dia menantu Papa dan Mama.” Deva hanya mengangguk-angguk dengan ribuan penyesalan. Andai sang mama tak mendengar percakapannya di telepon kala itu, mungkin mamanya tak akan kolaps. “Mama cuma pengen lihat hidup Deva terarah. Berdamailah dengan papamu, Nak. Waktu Mama sudah dekat, Va.” “Ma ... please, Ma. Jangan ngomong gitu ....” Air mata Deva semakin deras di ruang ICU. Atmaja pun tak kalah melow di luar ruangan. Ia memerhatikan interaksi istri dan anaknya dari sebuah kaca. Dokter yang berdiri di sebelahnya hanya menepuk bahunya sembari berkata, “Tuan Maja, silakan masuk dan temani istri Anda. Kami tim dokter tak mau mendahului takdir Tuhan, tapi ... kondisi istri Anda sudah tidak lagi memungkinkan.” Atmaja hanya mengangguk samar. Saat kakinya terayun untuk menemui istrinya, teriakan Deva terdengar melolong. “MAMAAA ...!” Kepala Deva bergerak ke kanan dan ke kiri dengan mata masih memejam rapat. Mimpi itu kembali hadir. Dan hanya berselang beberapa detik, tiba-tiba mimpinya berganti. Kisah lain kembali datang. Kisah saat kekasih yang dicintainya menuliskan sebuah pesan sebelum nomornya tidak aktif. [Deva, aku harus pergi. Rentenir itu tetap menginginkanku untuk menjadi istri ketiganya walau hutang kami sudah dianggap lunas. Dia punya seribu cara untuk mewujudkan tujuannya. Dia jahat, Deva!] [Maaf, Va. Aku harus pergi dan tolong jangan berharap lebih. Aku takut setelah pesan ini kamu baca, mungkin aku hanya tinggal nama saja.] Keringat sudah membanjiri kening Deva. Mimpinya seperti nyata. Kilas balik itu seperti ditayangkan ulang di depan mata. Deva langsung terbangun. Ia terduduk dengan napas terengah-engah. Dua wanita terkasih dalam hidupnya datang dalam mimpi. Sang mama ia saksikan sendiri sudah tidur di dalam liang lahat, tetapi sang kekasih? Apakah wanita cantik itu juga hanya tinggal nama? “Lisa ...,” panggil Deva lirih di antara hela napasnya yang sudah mulai stabil. “Aku kembali bukan hanya karena papaku menikah lagi, tapi aku juga ingin mencarimu, Sayang. Aku merindukanmu ... Khalisa Aurora.” []Pagi hari, Atmaja sudah rapi dengan pakaian kerja yang amat sangat pas membalut tubuh proporsionalnya. Ia berdiri di depan cermin full badan hingga pantulan keindahannya terlihat sempurna. Lisa berjalan menghampiri suaminya. “Bagaimana kamu tak semakin digilai oleh para karyawatimu, Mas? Apa tak bisa pergi ke kantor dengan tampilan biasa saja?”Kalimat satir penuh nada cemburu itu membuat Atmaja tersenyum lebar. Ia berbalik dan menarik pinggang istrinya hingga wajah ayu Lisa terangkat dan menghadapnya. “Kamu cemburu? Hm?” tanya Atmaja dengan lembut. “Perempuan mana yang tak akan ketar-ketir melihat suaminya tampil sempurna ketika berangkat kerja? Bukan hanya ipar yang maut, Mas. Karyawati pun bisa menjadi maut untuk bos-nya yang super perfeksionis.”Atmaja tergelak dan mengecup pelan bibir istrinya. “Apa istri Mas Maja yang jelita ini mau menjadi sekretaris suaminya?”Lisa menggeleng. “Nanti Mas malah tak fokus bekerja.”“Ya, tentu saja. Karena Mas akan lebih memilih bekerja denga
Lisa tersenyum dan mengangguk kecil sembari mengulurkan kedua tangan. “Ayo, Bik! Berikan padaku.”“T-tapi, Nyonya. Tadi Aden bilang kalau—”“Enggak pa-pa, Bik. Dia enggak akan berani marahin Bibik. Nanti aku yang bakalan ngomong kalau aku yang minta nampannya ke Bibik. Hm?”Dengan rasa sungkan dan juga bingung, akhirnya kedua tangan Bik Darsih pun maju untuk menyerahkan nampan berisi sarapan milik sang tuan muda. “Makasih, Bik Darsih.”“Iya, Nyonya. Kembali kasih.”Lisa pun mulai melangkah hendak menuju kamar putra dari suaminya. Namun, baru sampai di undakan anak tanggal kelima, ponsel di saku gamisnya berdering. Refleks ia menghentikan langkah. Bik Darsih sigap mendekat. “Biar saya saja, Nyonya.”Tiba-tiba dering ponsel berakhir. “Kayaknya cuma orang iseng yang nelepon, Bik. Nih, udah mati,” ucapnya dengan senyum ramah. Sungguh. Pesona nyonya muda sangat menentramkan jiwa. Walau masih dua puluh lima tahun, tetapi Lisa bukan wanita matrealistis. Ia ada di rumah megah ini karena
“Deva?” Lisa keluar dari kamarnya. Tuan Takur menatap Lisa, lalu beralih pada pria bertindik di salah satu telinganya itu. Deva melangkah dan ikut bergabung ke ruang tamu. “Berapa hutang suami Bu Rika? Aku yang akan melunasinya.”Tatang Kurnia tersenyum miring. “Bocah bau kencur mau ikut campur!”“Yang penting belum bau tanah dan enggak jadi lintah pengis*p darah,” balas Deva begitu berani. “Kurang ajar!”Kepalan tangan sang rentenir terangkat hendak memukul Deva. Namun, dengan gerakan cepat langsung ditangkap. Kekasih Lisa itu cukup berotot hingga beberapa detik kemudian pergelangan tangan Tatang Kurnia berhasil Deva putar. “Aooww! L-lepaskan, Anak Muda. Ini sangat sakit. Aoooww!”“Katakan, berapa uang yang harus aku lunasi?”“B-baik. Tapi, lepaskan dulu.”Bu Rika dan Lisa setengah memeluk. Mereka takut jika para pria sudah menggunakan aksi fisik untuk membereskan satu masalah. Deva pun segera menyodorkan ponsel setelah melepaskan tangan pria tersebut. “Catat nomor rekeningmu.
“Siapa dia?” ulang Bik Darsih. “Ya ... beliau istri baru papanya Aden.”“Iya. Aku tahu. Maksudku ... siapa namanya?”“Aden serius belum tahu siapa nama mama barunya Aden?”Deva menggeleng. Bahkan papanya tak mau memberitahu. Katanya, “Pulanglah, Jagoan. Kenalan langsung dengan mama barumu. Dia sangat jelita. Kamu pasti tak akan percaya jika papamu bisa menaklukkan hati seorang gadis.”Bik Darsih tersenyum. “Mandi dulu atuh. Terus ke bawah nemuin beliau. Kenalan langsung.”“Papa udah berangkat ke kantor, Bik?”“Udah, Den.”“Papa udah tahu kalau aku pulang?”Bik Darsih menggeleng. “Sesuai perintahnya Aden, kami yang tahu kalau Aden sudah pulang tak ada yang memberitahu Tuan. Hanya saja, tadi Bibik sempat kepergok sama Nyonya dan akhirnya beliau tanya. Ya sudah, Bibik jujur saja kalau anaknya Tuan sudah pulang. Makanya beliau mau kenalan dan sempat bawa nampan ini. Tapi, enggak jadi karena ada telepon.”Deva hanya mengangguk-angguk dan mulai mengunyah roti gandum yang sudah ia gigit. “
“Bik Darsih!”“Eh? Saya, Nyonya?” Wanita paruh baya itu segera datang menghampiri istri tuannya. “Saya mau izin bawa Wati keluar. Boleh, Bik?”“Lah? Terserah Nyonya saja, atuh. Kenapa harus izin ke Bibik segala?”“Ya ... takutnya Bibik sama Lili kewalahan ngurus rumah.”“Ah. Enggak, Nyah. Santai saja.”“Enggak pa-pa, ya? Soalnya aku sekalian mau nyekar ke makam ibu sama bapak, Bik. Mungkin pulangnya bisa sampai sore.”“Iya, atuh. Enggak pa-pa.” Bik Darsih tersenyum. Lisa mengangguk. Ia mendongak sebentar ke arah lantai dua. “Deva sudah bangun, Bik?”“Sudah, Nyonya.”“Ya, sudah. Saya mau ke atas ganti baju dulu. Oh, iya. Sekalian minta tolong bilang sama Pak Bahrul, ya, Bik, buat siapin mobil.”“Baik, Nyonya.”Lisa tersenyum dan mulai melangkah menaiki undakan anak tangga. Saat melewati pintu kamar putra suaminya, Lisa memelankan langkah. Ada aura aneh yang mulai ia rasakan. Namun, Lisa menggeleng pelan. Di dunia ini banyak pria bernama Deva. “Hanya Deva, kan? Bukan Kadeva.” Lisa b
Tangan Deva yang sudah hampir mengetuk pintu pun akhirnya hanya menggantung di udara dan kini sudah ia tarik lagi ke samping tubuhnya. Ia tersenyum aneh dan segera pergi dari depan pintu kamar tersebut. Lisa pun akhirnya membuka pintu saat langkah Deva sudah berada di undakan tangga paling bawah. Pria itu sudah berjalan hendak menuju carport. Di depan pintu utama, Deva malah bertemu dengan Pak Bahrul, sopir pribadi kepercayaan sang papa. “Den Deva?” “Halo, Pak Bahrul. Apa kabar?”“K-kabar baik, Den. Aden kapan sampai?”“Semalam, Pak.”Deva memerhatikan mobil dan juga badan tegap Pak Bahrul yang seperti sudah siap sedia. “Bapak nungguin saya?”“Eh? Ee, bukan, Den. Bapak nunggu nyonya. Beliau mau keluar,” jawab sang sopir apa adanya. Deva hanya mengangguk tanpa mau memperpanjang narasi dan juga durasi. Ia harus segera pergi. “Carport sebelah mana, Pak? Mobil saya dibawa ke sini, kan?”“Oh. Iya, Den. Pasti atuh mobil Aden dibawa ke sini.”Pak Bahrul menunjukkan carport megah yang
“Jadi kamu ke sini karena ingin konfirmasi, Tuan Muda?” tebak Dali sembari membuka kulkas kecil di ujung ruangannya. Ia mengambil dua kaleng minuman.“Kenapa kalian seperti menutupi tentang dia?”“Bukan menutupi, Va. Kami hanya ingin menolong gadis itu agar semangatnya kembali. Kata dokter kejiwaan yang sempat khusus menanganinya, jiwa si gadis cukup terguncang. Ah, sorry. Ralat. Jiwa si wanita cukup terguncang.”Deva mengernyit. “Tidak mungkin korban pem3rk*saan masih gadis, kan, Va?”“Ya. Kamu benar.”“Ibunya ditemukan tak bernyawa agak jauh dari tempat dia ditemukan. Kalau saja papaku dan Om Atmaja tak jadi berburu, mungkin wanita itu sudah terkenal lewat berita. Terkenal karena diburu awak media dan mungkin mentalnya akan semakin sulit disembuhkan.”“Apa dia ... benar-benar diperk*sa?”“Entah. Sudah jadi dieksekusi apa belum. Tapi, Papa bilang penjahat itu berjumlah dua orang. Salah satu dari mereka sudah setengah naked dan keduanya lari terbirit-birit begitu Om Maja melepas anak
Deva benar-benar mual mendengar kalimat sang papa yang sedang menelepon istrinya. Sudah seperti ABG labil saja. Tanya sudah mandi apa belum. Sok mesra pula pakai bilang ‘Sambut Mas, ya?’. Benar-benar membagongkan. “Ya sudah, Sayang. Mas tutup dulu, ya. I love you, Lisa-ku.”‘Iya, Mas. Love you more, Mas Maja-ku.’Deva langsung menghela napas berat setelah pria tua di sebelahnya mengecup layar ponsel. “Apaan, sih, Pa? Lebay banget!”Atmaja terkekeh.“Sudah lama Papa tidak merasakan getaran-getaran cinta setelah mamamu pergi, Deva. Dan Lisa ... mampu mengembalikan getaran indah yang cukup menyiksa itu. Benar kata para pujangga, love is a sweet torment.”“Halah, pret!”Kini, Atmaja tergelak. Entah kenapa Deva tak suka mendengar nama Lisa disebut oleh sang papa. Walau ada jutaan nama perempuan yang sama, tetapi ... kenapa harus Lisa? Kenapa bukan Risa, Nisa, atau Rusa saja sekalian. “Menikahlah, Jagoan. Beri tahu Papa gadis mana yang mau Papa lamarkan untukmu, hm?”“Pasti, Pa. Setelah
Hati Lisa seperti direm4s-r3mas mendengar ucapan Deva. “Bahkan aku masih berharap semua ini adalah mimpi buruk yang akan segera usai ketika aku terbangun dari tidur panjangku, Lisa. Maaf, kalau aku masih memintamu pada Tuhan secara diam-diam. Kamu adalah ketidakmungkinan yang masih aku semogakan. Kamu masih menjadi alasanku untuk bertahan, walau harapan itu sudah enggak bisa lagi aku genggam. Kamu ....” Deva menunduk dan semakin tergugu. Derasnya air mata Deva cukup menjelaskan betapa ia sudah berusaha mati-matian mengikhlaskan. Deva sudah berusaha melebur semua kenangan indah mereka dengan kehadiran cinta baru yang sudah terikat oleh komitmen yang sakral. Namun, takdir memang terkadang cukup kejam. Ia tak mentolerir segenap luka yang masih basah, dan kini kembali berdarah-darah. Hening menjeda beberapa saat. Khalisa bahkan hanya bisa bungkam dengan air mata yang terus berjatuhan. Di sana, di luar kaca, Sekar menangis di dada mertuanya. Atmaja dan menantunya ikut menyaksikan i
“Pak Atmaja, setelah meninjau kondisi Bu Khalisa selama tiga hari ini, saya dan tim dokter khawatir bayi dalam kandungan istri Anda akan lahir lebih cepat dari yang diperkirakan. Ini berarti ... bayi Anda mungkin akan lahir secara prematur.”Dunia Atmaja seperti akan runtuh mendengar penjelasan dokter. “P-prematur, Dok?”Dokter mengangguk lemah.“Seberapa serius kondisinya, Dok? Apa yang harus kami lakukan?”“Tidak perlu terlalu khawatir, Pak. Bayi prematur memang memiliki risiko tertentu, tapi dengan penanganan medis yang tepat, banyak bayi prematur yang tumbuh dengan sangat baik. Seperti yang sudah kami sampaikan di awal soal kemungkinan paling akhir, kami menyarankan agar Bu Khalisa dirujuk ke rumah sakit di Singapura, di mana mereka memiliki fasilitas perawatan intensif yang sangat baik untuk bayi prematur.”Atmaja terdiam beberapa saat dan mencoba tenang serta mencerna kalimat sang dokter dengan baik.
“Kami akan terus pantau ketat kondisi Bu Lisa hingga persalinan, Pak. Detak jantung janin sempat lemah karena sebelum kami berikan activated charcoal untuk menyerap racun, janin sudah sedikit terpapar.”Kadeva memejam, pun dengan Atmaja yang terus berusaha untuk tetap kuat. “Lalu gimana kondisi bayi saya, Dok?” Atmaja mengambil alih. “Tenang, Pak Atmaja. Bayi Anda hanya terpapar sedikit, Insya Allah masih bisa kami atasi. Tapi, kami pun harus menyampaikan kemungkinan paling akhir jika tiba-tiba kondisi Bu Lisa di luar prediksi kami.”“Dok, saya mohon ... lakukan yang terbaik untuk istri dan bayi kami. Berapa pun biayanya, kami siap.” Atmaja tampak memohon. “Itu sudah menjadi tugas utama kami, Pak. Dan opsi terakhir jika kondisi Bu Lisa menurun adalah, istri Bapak akan kami rujuk ke Mount Elizabeth Hospitals.”“Singapura?” ucap Atmaja dan Deva bersamaan. “Betul, Pak.”“
Deva tak henti menangis walau Khalisa sudah mendapat tindakan di ruang IGD. Ia kembali membodoh-bodohi dirinya sendiri yang malah mengangkat telepon lebih dulu daripada mendekati Khalisa dan menjauhkan minuman beracun itu dari sisi sang mama sambung. Harusnya Deva segera membawa Lisa pergi ke rumah sakit sebelum wanita hamil itu pingsan daripada berdebat lebih dulu dengan Rukmi. Melihat Khalisa menjadi istri papanya memang sakit, tetapi melihat wanita yang tengah hamil itu sempat membiru dan pingsan membuat Deva merasa semakin sulit untuk bangkit. Ia tak mau kehilangan Khalisa walau hati dan raga sang mantan kekasih bukan lagi miliknya. Ya, Khalisa sudah menjadi mama sambungnya, istri dari pria yang Deva panggil Papa. “Harusnya aku duluin kamu, kan, Lis? Kenapa aku malah mengulur durasi sampai kamu akhirnya begini?” bisik Deva dengan pandangan menunduk. Atmaja baru datang bersama Bahrul. Deva mengangkat kepalanya dan kembali menunduk, men
“Mas, aku lapar ...,” rengek Khalisa setelah keluar dari gerai toko perlengkapan bayi. Atmaja tersenyum. Istrinya memang mengalami perubahan pola makan. Ia jadi sering lapar di jam-jam yang belum waktunya. Namun, Atmaja tak mempermasalahkan itu. Karena baginya, ibu dan calon anak yang dikandung Khalisa harus sehat dan tercukupi segala nutrisinya. “Hayuk! Anak Papa mau makan apa, hm?” Tangan kanan Atmaja mengelus perut istrinya dengan sayang. “Mau seafood, Mas. Pengen kepiting jumbo asam manis.”“ACC, Sayang ....”Khalisa tersenyum cantik dan mulai bergelayut manja di salah satu lengan Atmaja. Bahrul yang juga ikut mengawal sang majikan dan istrinya sibuk membawa belanjaan untuk ditaruh lebih dulu ke dalam mobil. Keduanya melangkah layaknya anak muda yang sedang kasmaran. Hanya berpindah satu lantai ke atas, restoran yang menawarkan aneka makanan laut sudah ditemukan. Khalisa semringah sambil meng
Khalisa memandangi etalase toko perlengkapan bayi dengan senyum di wajahnya. Tangannya mengelus lembut perut buncitnya yang berusia tujuh bulan lebih. Di sebelahnya, Atmaja sibuk memilih pakaian bayi berwarna netral, walau jenis kelamin bayi mereka sudah diketahui. Segala kemungkinan bisa saja terjadi nanti. "Sayang, kamu suka yang ini, enggak?" tanya Atmaja, mengangkat sepasang sepatu bayi mungil dengan corak bintang-bintang. Khalisa tersenyum dan mengangguk. "Suka, Mas. Imut banget," jawabnya. Tatapan matanya berbinar, penuh harapan dan kebahagiaan yang sederhana.Tak hanya Khalisa yang begitu excited berbelanja kebutuhan bayinya, Atmaja pun sama. Jika Khalisa terlihat begitu semangat dan antusias karena ini hal baru dan pertama baginya, berbeda dengan Atmaja yang begitu semangat karena ia mulai merasa jatuh cinta pada bayinya nanti. Bayi perempuan. Ah, Atmaja jadi tak sabar ingin segera bertemu dengan gadis kecilnya itu.
“Papa serius, Pa?""Apa pria tampan di depanmu ini pernah main-main, Boy?”Deva tersenyum lebar. Ia langsung berdiri ingin memeluk sang papa. Atmaja pun ikut berdiri hingga keduanya berpelukan erat. “Makasih, Pa. Makasih. Sekar pasti seneng denger berita ini.”Atmaja merasakan ketulusan dari ucapan putranya. Namun, ia juga agak ragu apakah Deva benar-benar sudah melupakan Khalisa sebagai kekasihnya. Keputusan Atmaja merestui pernikahan Deva dengan Sekar juga tak begitu saja ia berikan. Atmaja sudah berpikir berulang kali hingga ia melihat sendiri bagaimana gadis kecil itu berinteraksi dengan para tamunya saat acara tujuh bulanan Lisa. Deva yang memperkenalkan Sekar sebagai calon istri membuat beberapa kolega Atmaja terkejut. Tentu tak hanya kabar yang terbilang dadakan, tetapi karena banyak rekan bisnis Atmaja yang diam-diam ingin menjadikan Kadeva sebagai menantunya. Bibit, bebet, dan bobot Deva
Deva melangkah meninggalkan ruang tengah mansion yang sedang disulap menjadi singgasana sang papa dan mama sambungnya. Singgasana kebahagiaan dalam acara sakral sebagai wujud rasa syukur sebelum anak dalam kandungan Khalisa akan lahir dua bulan lagi. Deva duduk menyandar di salah satu tiang gazebo dekat kolam renang. Bayang-bayang masa lalu kembali menghantam pikirannya, seperti ombak yang menghantam karang tanpa henti. Meski ia berusaha kuat dan tampak tak tergoyahkan dari luar, sesungguhnya Deva sedang terombang-ambing dalam lautan kenangan yang tak kunjung memudar.Wanita yang dulu pernah menjadi pusat dunianya, kini telah menjadi milik orang lain. Orang yang begitu Deva banggakan, ialah Atmaja Gandhi, papa kandungan sendiri. Dan setiap kali Deva mencoba mengikhlaskan, kenangan tentangnya bersama Khalisa justru semakin menyesakkan. “Aku udah nyoba, Lis,” bisiknya pelan. “Berkali-kali aku nyoba nge-ikhlasin kamu buat Papa. Ngeyakinin diriku sendiri kalau semua tentang kita udah se
“Sayang?”Sekar menoleh ke samping. Deva tersenyum sangat tampan dengan balutan tuksedo yang pas membalut tubuh indahnya. “Rileks, dong. Jangan tegang begitu.”Senyum cantik Sekar sedikit mengembang. Keduanya sedang berada di dalam mobil hendak menuju tempat acara di mana perhelatan akbar tujuh bulanan kandungan Khalisa akan digelar. Tentu bukan tempat asing bagi Kadeva, karena itu adalah rumah papanya sendiri. Namun, bagi Sekar yang baru akan menginjakkan kakinya di sana, ini menjadi hal yang cukup mendebarkan. Melihat ketegangan yang belum berangsur sepenuhnya dari wajah cantik yang sudah dipoles oleh MUA itu, Deva segera menarik lembut sebelah tangan istrinya yang kuku-kukunya cukup cantik dengan sentuhan nail art. “Papa sendiri yang ngundang kita, Sayang. Insya Allah Papa udah bisa nerima kamu.”Sekar tersenyum. Usaha suaminya untuk membuat ia pantas dan layak menjadi menantu Atmaja Gandhi jug