Share

Berubah

Author: Nad28
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

BARA

 

Aku melihat ke Rolex Daytona di pergelangan tanganku entah untuk keberapa kalinya. Gerakan itu kemudian diikuti dongakan mengecek arah pintu masuk. Kemana dia? Aku yakin sudah mengirimkan alamat dan jam dimana Sabrina harus muncul dan menemaniku sekarang, tapi kenapa belum kelihatan? Sebenarnya aku tak terlalu suka melibatkan Sabrina dipertemuan bisnis seperti ini. Aku tahu bagaimana gatalnya mulut para rekan dan media menguliti soal kehidupan pribadi kami dan aku tahu Sabrina tak nyaman menghadapinya. Hanya saja image bahwa rumah tangga kami baik-baik saja harus ditampilkan dengan sesekali muncul seperti ini.

 

Setelah kulirik jam sekali lagi, akhirnya Sabrina muncul. Wanita itu berpenampilan anggun dalam balutan gamis hitam yang sangat terkesan elegan dan make up yang membuatnya semakin terlihat bersinar. Senyum yang diikuti lesung pipi dari kedua sisi itu ekstrak sempurna yang menyempurnakan dalam balutan hijabnya. Tatapan kami bertemu kemudian Sabrina menghampiriku.

 

"Makin cantik saja kamu, Sabrina." Puji Bu Bambang, istri penyelenggara acara malam ini yang berdiri di dekatku.

 

Sabrina tersenyum, "Terimakasih, Bu."

 

Sulit menyembunyikan kecantikan wanita itu memang. Aku lelaki normal dan mengakui kalau Sabrina memang mempesona. Tanpa di suruh, sama seperti biasanya dia menemaniku ke acara seperti ini, dia akan menempeli aku untuk menyapa rekan-rekan kami. Menyapa dan berbasa-basi mengenai usaha masing-masing memang harus dilakukan disini.

 

"Bara," sapa seseorang yang membuatku dan beberapa orang disekitar menoleh.

 

"Selamat ulang tahun, Pak." Aku mengucapkan selamat pada yang empunya acara, sembari memeluk Pak Bambang yang barusan menyapaku.

 

Pak Bambang adalah salah satu pengusaha sukses dan teman lama orangtuaku. Kalau saja tak terhalang kesibukan mengurus usaha di Padang, Papa dan Mama pasti juga menghadiri acara malam ini. Tak hanya aku, Sabrina dan orang disitu mengucapkan selamat ulang tahun ke enam puluh tujuh tahun untuk pria sepuh itu.

 

"Bara, boleh aku ajak Sabrina berkeliling menemani laki-laki tua yang berulang tahun ini? Sudah lama aku tak bertemu kekasih hatiku yang cantik ini," ujar Pak Bambang yang diikuti tawa istrinya dan Sabrina.

 

Aku menatap Bu Bambang yang terlihat santai kemudian kepada Sabrina yang nampak tak keberatan. Selanjutnya Pak Bambang membawa Sabrina berkeliling menikmati semua jamuan yang tersedia disana, sambil sesekali berinteraksi dengan tamu yang lainnya.

 

Pak Bambang memang sedari dulu mengagumi banyak wanita cantik, makanya sering menggoda mereka seperti itu. Tapi tak ada itikad buruk, kepada Sabrina godaan itu hanya seperti candaan orangtua kepada anaknya. Baik aku maupun Sabrina pun sudah paham, jadi kami bisa santai saja menerima perhatian seperti itu. Toh, Pak Bambang kalau berani macam-macam bisa kulumpuhkan dengan cepat, dia sudah berada di usia yang tak bisa melawan kalau disakiti olehku yang berolahraga rutin boxing dan muay thai.

 

"Aku bahkan sudah tidak bisa cemburu melihat kelakuannya. Dia selalu mengatakan mengagumi Sabrina," ujar Bu Bambang padaku.

 

"Sabrina menganggapnya seperti Papa, Bu."

 

"Tentu saja. Kamu memang beruntung memiliki Sabrina. Dia perhatian dan juga cantik," puji Bu Bambang lagi.

 

Ya, kecantikan Sabrina sekarang memang jauh berbeda dari dulu saat pertama kali kami bertemu. Meskipun cukup manis dengan lesung pipi yang dalam, Sabrina memang tak terlihat begitu memikirkan penampilannya dulu. Perubahan Sabrina terjadi karena campur tangan adikku Salsabila. Dia membawa Sabrina merawat diri ke salon secara rutin dan mengajarkan Sabrina mengenai fashion. Tidak sia-sia, Sabrina yang sekarang memang berkilau dan membuat orang lain memujiku beruntung memilikinya.

 

"Kamu nggak ada rencana buat punya anak sama Sabrina memangnya, Bara? Belum ada penerus lagi di keluargamu," tepukan ringan di lenganku membuyarkan lamunanku sesaat tadi.

 

"Aku yakin, orangtuamu juga berharap kamu segera beranak pinak. Empat tahun menikah masa tidak ada tanda-tandanya punya anak. Mumpung kalian masih muda, bikinlah beberapa anak," sambung Bu Bambang.

 

Aku hanya tersenyum kecil menanggapi topik itu. Bagaimana bisa hamil jika tidak pernah mengusahakan punya? Selama empat tahun bersama, kegiatan tidur bersama memang sering kami lakukan. Hanya saja, kebanyakan tidak ada hubungannya dengan kegiatan yang bisa menghasilkan anak. Sebenarnya pernah. Hanya sekali terjadi, dan hingga saat ini aku mengutuk kejadian itu.

 

"Mungkin Salsabila bisa mendahului, Bu."

 

Aku memilih menyambar nama adikku untuk menghindari topik pembicaraan ini.

 

"Aku ragu kalau Salsabila akan menikah. Dia masih suka dengan hidupnya sendiri. Adikmu itu bukan tipe yang betah dan telaten seperti Sabrina."

 

Wajar saja Bu Bambang berpikiran seperti itu, pemikiran itupun sama  bagi kebanyakan orang. Salsabila seumuran dengan Sabrina, tapi dia masih suka bekerja, menghadiri fashion show dan menghadiri banyak pesta menyenangkan lainnya. Tak ada tanda-tanda dia ingin melepaskan masa lajangnya.

 

"Sebentar lagi juga akan menikah, Bu. Ibu tahukan umur tiga puluh itu umur maksimal saya dan Salsabila bebas?"

 

Aku menyinggung soal batas usia bebas yang di berikan orangtua kami untuk kami melajang.

 

"Tentu. Dzikri pasti akan menjodohkan Salsabila segera. Oh ya, bagaimana kalau dengan anakku saja?"

 

Aku terkekeh namun dalam hati tak setuju. Tama, anak keluarga Bambang, terlalu berbahaya. Playboy yang belum tobat.

 

"Ah, tapi susah juga punya menantu seperti Salsabila. Aku pasti kewalahan mendidiknya." Aku terkekeh mendengar timpalan Bu Bambang barusan. Ku rasa memang ide buruk menjodohkan dua orang itu.

 

"Sabrina itu hebat, Bara. Karena bisa beradaptasi sama lingkungan kita ini. Jujur saja dulu kupikir dia akan meminta cerai darimu tak lama setelah kalian menikah. Dia gadis yatim piatu, walaupun sebenarnya ayahnya masih belum diketahui entah hidup atau tidak di kota asalnya, tiba-tiba menjadi menantu dikeluargamu. Aku yakin dia kaget-kaget menghadapi dunia barunya. Tapi siapa sangka dia masih bertahan saja. Aku salut dengannya," ujar Bu Bambang yang entah kenapa terasa sedikit menyinggungku.

 

Dari kejauhan aku menatap wanita itu. Dia terlihat fokus mendengarkan Pak Bambang dan sesekali tertawa. Sabrina memang selalu seperti itu, mudah tersenyum dan tertawa saat disekitar orang lain, bahkan orang lain. Garis bawahi, dengan siapapun kecuali saat bersamaku. Saat hanya ada kami berdua, biasanya suasana akan menjadi kikuk dan tidak nyaman. Ah, aku tidak suka merasa bersalah seperti ini.

 

Untungnya pembicaraan itu usai saat Sabrina kembali. Dia nampak lelah berkeliling dan berinteraksi dengan orang lainnya cukup lama. Melihat hal itu aku menyodorkan segelas fruit punch untuk mengusir dahaga yang diterima Sabrina.

 

"Sudah kuduga, setelah Sabrina pasti dia mengincar Stella," cibir Bu Bambang ketika suaminya beralih partner dengan wanita muda lainnya.

 

Sabrina dan aku tersenyum melihat Bu Bambang yang nampak menyerah menghadapi suaminya.

 

"Bapak bilang apa saja? Kamu dirayu?" tanyaku ketika Bu Bambang berlalu.

 

Sabrina mengangguk, "Sudah biasa."

 

Aku tersenyum seolah memahami isi pembicaraan Pak Bambang dan Sabrina.Tak lama kemudian pesta usai. Bersama dengan para undangan lainnya, aku dan Sabrina bersiap meninggalkan tempat acara.

 

"Seharusnya Mas tadi kasih tahu aku kalau ini undangan ulang tahun Pak Bambang. Aku tidak tahu jadi tidak menyiapkan kado," ujar Sabrina saat kami keluar beriringan.

 

"Kamu mau jadi partner berkelilingnya saja dia pasti senang, Na. Lagian aku sudah menyiapkan hadiah, itu cukup."

 

Sabrina tersenyum kecil dan kembali mengikuti langkah kakiku keluar dari gedung.

 

"Kamu nggak pulang sama aku aja, Na?"

 

Kami berhenti di lobi dan menantikan mobil datang.

 

Sabrina menggeleng, "aku harus kembali ke kantor, Mas."

 

"Mengurus brand baru?"

 

Aku sudah mendengar kabar itu dari beberapa orangku.

 

"Ya, Mas."

 

"Aku sudah mendengar berita line baru itu. Selamat, Na."

 

Sabrina tersenyum kemudian berlalu menuju mobilnya sendiri yang datang terlebih dahulu.

 

"Na," panggilku tepat sebelum dia masuk ke mobil.

 

Panggilan itu membuatnya berhenti dan menoleh.

 

"Hati-hati."

 

Sabrina cuma membalas dengan tersenyum kecil. Mobilnya kemudian bergerak menjauh meninggalkan gedung ini.

 

Sabrina memang sudah berubah dari empat tahun lalu.

 

 

 

Related chapters

  • ISTRI PAJANGAN   Selai madu cokelat

    SABRINA Aku meneguk kopi selagi terus mengunyah roti bakar Coklat madu di tangan kananku. Sarapan ini sangat lezat dan praktis. Ya, cukup juga mengenyangkan sebelum memulai mengawali hari. Tak butuh banyak waktu untuk menyelesaikan sarapanku tiap pagi, setelahnya aku langsung bersiap untuk berangkat. "Sudah mau berangkat?" Suara seseorang mengintruksikan, membuatku menengok ke sumbernya seketika. Cukup pagi kali ini Mas Bara bersiap ke kantor. Dia sudah menggunakan setelan rapi dan memasang dasinya sembari menghampiriku ke meja pantry dapur. Aku mengangguk kecil, "Aku berangkat dulu, Mas." Setelah mencuci tangan aku langsung menyambar tas dan berangkat kerja. Hari ini hari penting untuk meeting f

  • ISTRI PAJANGAN   Satu kamar

    SABRINA "Tebak aku dimana?" seru penelpon di seberang ketika aku mengangkat teleponku. Ini masih jam enam pagi dan aku sudah di telepon. "Bandara. Ya, kan?" Salsabila tertawa kencang. Hari ini dia memang tiba di Indonesia sesuai rencana. Seharusnya dia bisa menggunakan penerbangan pribadi, sesuai tawaran Mas Bara. Tapi, wanita itu menolak dan bersikeras untuk naik pesawat komersial saja. Dia memang sering beda pemikiran dengan Mas Bara. Kalau Mas Bara memikirkan kenyamanan dan kecepatan, Salsabila bilang itu pemborosan. Toh, dia tidak diburu deadline tertentu. "Aku akan kerumahmu, Sabri. Ayo kita sarapan bersama." Setelah mengatakan hal tersebut, wanita itu langsung menu

  • ISTRI PAJANGAN   Menyesal???

    BARA Ketukan keras yang berulang-ulang membuatku terjaga. Itu suara Salsabil yang memanggil-manggilku. Astaga kenapa sekalinya dia pulang membuat jengkel begini sih. "Ya ampun, istrimu lagi masak dan kamu masih ngebo?!?!" gerutunya ketika aku membukakan pintu. Dia langsung menerobos masuk kamar dan membuka semua tirai. "Astaga, ini weekend, Bi. Belum waktunya bangun," balasku sambil merebahkan diri kembali ke kasur. Salsabila duduk di dekatku dan memukul pelan lenganku, "Bangun. Mandi. Ayo sarapan bersama!" Aku membiarkan Bila berbicara dan tetap merebahkan diriku d

  • ISTRI PAJANGAN   Salahkah aku??

    SABRINA Meski saat sarapan dan makan malam Mas Bara tak pernah mau makan di rumah, aku akan tetap berusaha mencoba menjadi istri yang berbakti padanya. Kata orang, meluluhkan hati suami bisa dengan masakan istri yang enak dan penuh ketulusan, itulah hal yang sering aku lakukan beberapa bulan belakangan ini. Iya, dari awal setelah kami menikah dan pindah ke rumah ini, Mas Bara tak pernah sekalipun mau memakan masakanku. Aku selalu mengintruksikan diriku dengan kata-kata; mungkin saja Mas Bara masih belum mau memperlihatkan sisi keterbukaannya menerima diriku. Oleh sebab itu, aku berinisiatif ingin memberikannya perhatian lewat makan siangnya Mas Bara. Aku tak tau kenapa Mas Bara tak pernah mengizinkan aku untuk masuk ke dalam ruangannya, kata sekretaris dan reseps

  • ISTRI PAJANGAN   Aku nggak akan menggigitmu

    BARA Tubuhnya mengeluarkan parfum yang biasa digunakannya. Kurasa itu sisa-sisa parfum dan masih melekat ditubuhnya. Rambutnya beraroma stroberi seperti biasanya. Itu karena dia mencuci rambut sebelum tidur tadi. Aku terbiasa dengan aroma yang keluar ketika Sabrina berada di sekitarku. Dari dulu aromanya tak pernah berubah, sungguh konservatif. Wanita beraroma stroberi itu tampak gelisah. Punggungnya berkali-kali bergerak tak nyaman, sesekali aku mendengar helaan nafas kecilnya. "Na, kamu sulit tidur?" Dia sedikit menelengkan kepalanya dan mengangguk. "Kamu ng

  • ISTRI PAJANGAN   Pertama bagiku bukan yang pertama baginya...

    SABRINA Pak Broto mengadakan acara ulang tahun pernikahan ke empat puluh di salah satu hotel mewah miliknya. Aku masuk ke gala ballroom dan ikut nimbrung cipika cipiki dengan tamu lainnya. Setelah celingukan, aku akhirnya menemukan Pak Broto. Beliau sedang berkeliling dengan istrinya dan menyapa para tamu undangan. Akupun mendekati mereka dan di sambut dengan hangat. "Malam, Pak." Aku menyapa yang empunya acara, kemudian bergantian ke istrinya. "Selamat ulang tahun pernikahannya, Pak," ujarku. "Makasih, Sabri. Kamu sendiri? Mana Bara?" tanya Pak Broto sembari mengecek sekelilingku. Belum sempat aku menjawab, ada tamu lainnya datang

  • ISTRI PAJANGAN   Istri Rasa Selingkuhan

    BARAAku harus segera berangkat ke acara pernikahan Satria, acaranya satu jam lagi. Tapi Sabrina tidak juga nampak keluar dari kamarnya, padahal dia tahu ini hari penting. Sebenarnya aku bisa saja pergi tanpa dia, hanya saja Satria mengenal Sabrina. Bukan kenal baik, tapi ya mereka cukup sering ngobrol ketika bertemu. Bahkan menurutku Sabrina jauh lebih nyaman ngobrol dan bercanda dengan Satria dibandingkan denganku yang dihadapinya sehari-hari.Aku nyaris kembali menaiki tangga untuk menuju kamarnya, tapi pembantuku mencegah. Katanya Sabrina menitipkan pesan tidak akan ikut ke acara Satria."Ibu sakit, Pak.""Sakit apa?"Pembantuku itu cuma menggeleng kecil, "Cuma tadi Ibu pes

  • ISTRI PAJANGAN   Pentingkah kepercayaanku?

    Itu Nico. Dia berdiri di hadapanku yang sedang menghalau kerumunan. Dia mencekal pergelangan tanganku dan membawaku pergi. Langkah lebarnya membuat kami lekas mencapai tempat parkir. Dia memintaku untuk masuk ke mobilnya dan kami pergi dari sana. Air mataku pecah saat itu juga, hatiku sakit sekali mendengar hal-hal mengerikan yang dikatakan Michela tadi. Meskipun aku tahu kelakuan Mas Bara buruk diluar sana, tapi melalui informanku aku tahu Mas Bara selalu main rapi dan tak membiarkan siapapun mencium keburukannya. "Kenapa menikahi pria seperti itu?" tanya Nico ketika aku sudah usai menangis. Ternyata air mataku tidak sebanyak itu. Aku diam. Tidak ada jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. "Dipermalukan seperti itu untuk seorang laki-laki yang kelakuannya buruk

Latest chapter

  • ISTRI PAJANGAN   Pentingkah kepercayaanku?

    Itu Nico. Dia berdiri di hadapanku yang sedang menghalau kerumunan. Dia mencekal pergelangan tanganku dan membawaku pergi. Langkah lebarnya membuat kami lekas mencapai tempat parkir. Dia memintaku untuk masuk ke mobilnya dan kami pergi dari sana. Air mataku pecah saat itu juga, hatiku sakit sekali mendengar hal-hal mengerikan yang dikatakan Michela tadi. Meskipun aku tahu kelakuan Mas Bara buruk diluar sana, tapi melalui informanku aku tahu Mas Bara selalu main rapi dan tak membiarkan siapapun mencium keburukannya. "Kenapa menikahi pria seperti itu?" tanya Nico ketika aku sudah usai menangis. Ternyata air mataku tidak sebanyak itu. Aku diam. Tidak ada jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. "Dipermalukan seperti itu untuk seorang laki-laki yang kelakuannya buruk

  • ISTRI PAJANGAN   Istri Rasa Selingkuhan

    BARAAku harus segera berangkat ke acara pernikahan Satria, acaranya satu jam lagi. Tapi Sabrina tidak juga nampak keluar dari kamarnya, padahal dia tahu ini hari penting. Sebenarnya aku bisa saja pergi tanpa dia, hanya saja Satria mengenal Sabrina. Bukan kenal baik, tapi ya mereka cukup sering ngobrol ketika bertemu. Bahkan menurutku Sabrina jauh lebih nyaman ngobrol dan bercanda dengan Satria dibandingkan denganku yang dihadapinya sehari-hari.Aku nyaris kembali menaiki tangga untuk menuju kamarnya, tapi pembantuku mencegah. Katanya Sabrina menitipkan pesan tidak akan ikut ke acara Satria."Ibu sakit, Pak.""Sakit apa?"Pembantuku itu cuma menggeleng kecil, "Cuma tadi Ibu pes

  • ISTRI PAJANGAN   Pertama bagiku bukan yang pertama baginya...

    SABRINA Pak Broto mengadakan acara ulang tahun pernikahan ke empat puluh di salah satu hotel mewah miliknya. Aku masuk ke gala ballroom dan ikut nimbrung cipika cipiki dengan tamu lainnya. Setelah celingukan, aku akhirnya menemukan Pak Broto. Beliau sedang berkeliling dengan istrinya dan menyapa para tamu undangan. Akupun mendekati mereka dan di sambut dengan hangat. "Malam, Pak." Aku menyapa yang empunya acara, kemudian bergantian ke istrinya. "Selamat ulang tahun pernikahannya, Pak," ujarku. "Makasih, Sabri. Kamu sendiri? Mana Bara?" tanya Pak Broto sembari mengecek sekelilingku. Belum sempat aku menjawab, ada tamu lainnya datang

  • ISTRI PAJANGAN   Aku nggak akan menggigitmu

    BARA Tubuhnya mengeluarkan parfum yang biasa digunakannya. Kurasa itu sisa-sisa parfum dan masih melekat ditubuhnya. Rambutnya beraroma stroberi seperti biasanya. Itu karena dia mencuci rambut sebelum tidur tadi. Aku terbiasa dengan aroma yang keluar ketika Sabrina berada di sekitarku. Dari dulu aromanya tak pernah berubah, sungguh konservatif. Wanita beraroma stroberi itu tampak gelisah. Punggungnya berkali-kali bergerak tak nyaman, sesekali aku mendengar helaan nafas kecilnya. "Na, kamu sulit tidur?" Dia sedikit menelengkan kepalanya dan mengangguk. "Kamu ng

  • ISTRI PAJANGAN   Salahkah aku??

    SABRINA Meski saat sarapan dan makan malam Mas Bara tak pernah mau makan di rumah, aku akan tetap berusaha mencoba menjadi istri yang berbakti padanya. Kata orang, meluluhkan hati suami bisa dengan masakan istri yang enak dan penuh ketulusan, itulah hal yang sering aku lakukan beberapa bulan belakangan ini. Iya, dari awal setelah kami menikah dan pindah ke rumah ini, Mas Bara tak pernah sekalipun mau memakan masakanku. Aku selalu mengintruksikan diriku dengan kata-kata; mungkin saja Mas Bara masih belum mau memperlihatkan sisi keterbukaannya menerima diriku. Oleh sebab itu, aku berinisiatif ingin memberikannya perhatian lewat makan siangnya Mas Bara. Aku tak tau kenapa Mas Bara tak pernah mengizinkan aku untuk masuk ke dalam ruangannya, kata sekretaris dan reseps

  • ISTRI PAJANGAN   Menyesal???

    BARA Ketukan keras yang berulang-ulang membuatku terjaga. Itu suara Salsabil yang memanggil-manggilku. Astaga kenapa sekalinya dia pulang membuat jengkel begini sih. "Ya ampun, istrimu lagi masak dan kamu masih ngebo?!?!" gerutunya ketika aku membukakan pintu. Dia langsung menerobos masuk kamar dan membuka semua tirai. "Astaga, ini weekend, Bi. Belum waktunya bangun," balasku sambil merebahkan diri kembali ke kasur. Salsabila duduk di dekatku dan memukul pelan lenganku, "Bangun. Mandi. Ayo sarapan bersama!" Aku membiarkan Bila berbicara dan tetap merebahkan diriku d

  • ISTRI PAJANGAN   Satu kamar

    SABRINA "Tebak aku dimana?" seru penelpon di seberang ketika aku mengangkat teleponku. Ini masih jam enam pagi dan aku sudah di telepon. "Bandara. Ya, kan?" Salsabila tertawa kencang. Hari ini dia memang tiba di Indonesia sesuai rencana. Seharusnya dia bisa menggunakan penerbangan pribadi, sesuai tawaran Mas Bara. Tapi, wanita itu menolak dan bersikeras untuk naik pesawat komersial saja. Dia memang sering beda pemikiran dengan Mas Bara. Kalau Mas Bara memikirkan kenyamanan dan kecepatan, Salsabila bilang itu pemborosan. Toh, dia tidak diburu deadline tertentu. "Aku akan kerumahmu, Sabri. Ayo kita sarapan bersama." Setelah mengatakan hal tersebut, wanita itu langsung menu

  • ISTRI PAJANGAN   Selai madu cokelat

    SABRINA Aku meneguk kopi selagi terus mengunyah roti bakar Coklat madu di tangan kananku. Sarapan ini sangat lezat dan praktis. Ya, cukup juga mengenyangkan sebelum memulai mengawali hari. Tak butuh banyak waktu untuk menyelesaikan sarapanku tiap pagi, setelahnya aku langsung bersiap untuk berangkat. "Sudah mau berangkat?" Suara seseorang mengintruksikan, membuatku menengok ke sumbernya seketika. Cukup pagi kali ini Mas Bara bersiap ke kantor. Dia sudah menggunakan setelan rapi dan memasang dasinya sembari menghampiriku ke meja pantry dapur. Aku mengangguk kecil, "Aku berangkat dulu, Mas." Setelah mencuci tangan aku langsung menyambar tas dan berangkat kerja. Hari ini hari penting untuk meeting f

  • ISTRI PAJANGAN   Berubah

    BARA Aku melihat ke Rolex Daytona di pergelangan tanganku entah untuk keberapa kalinya. Gerakan itu kemudian diikuti dongakan mengecek arah pintu masuk. Kemana dia? Aku yakin sudah mengirimkan alamat dan jam dimana Sabrina harus muncul dan menemaniku sekarang, tapi kenapa belum kelihatan? Sebenarnya aku tak terlalu suka melibatkan Sabrina dipertemuan bisnis seperti ini. Aku tahu bagaimana gatalnya mulut para rekan dan media menguliti soal kehidupan pribadi kami dan aku tahu Sabrina tak nyaman menghadapinya. Hanya saja image bahwa rumah tangga kami baik-baik saja harus ditampilkan dengan sesekali muncul seperti ini. Setelah kulirik jam sekali lagi, akhirnya Sabrina muncul. Wanita itu berpenampilan anggun dalam balutan gamis hitam yang sangat terkesan elegan dan make up yang membuatnya semakin terlihat bersinar. Senyum yang diikut

DMCA.com Protection Status