BARA Tubuhnya mengeluarkan parfum yang biasa digunakannya. Kurasa itu sisa-sisa parfum dan masih melekat ditubuhnya. Rambutnya beraroma stroberi seperti biasanya. Itu karena dia mencuci rambut sebelum tidur tadi. Aku terbiasa dengan aroma yang keluar ketika Sabrina berada di sekitarku. Dari dulu aromanya tak pernah berubah, sungguh konservatif. Wanita beraroma stroberi itu tampak gelisah. Punggungnya berkali-kali bergerak tak nyaman, sesekali aku mendengar helaan nafas kecilnya. "Na, kamu sulit tidur?" Dia sedikit menelengkan kepalanya dan mengangguk. "Kamu ng
SABRINA Pak Broto mengadakan acara ulang tahun pernikahan ke empat puluh di salah satu hotel mewah miliknya. Aku masuk ke gala ballroom dan ikut nimbrung cipika cipiki dengan tamu lainnya. Setelah celingukan, aku akhirnya menemukan Pak Broto. Beliau sedang berkeliling dengan istrinya dan menyapa para tamu undangan. Akupun mendekati mereka dan di sambut dengan hangat. "Malam, Pak." Aku menyapa yang empunya acara, kemudian bergantian ke istrinya. "Selamat ulang tahun pernikahannya, Pak," ujarku. "Makasih, Sabri. Kamu sendiri? Mana Bara?" tanya Pak Broto sembari mengecek sekelilingku. Belum sempat aku menjawab, ada tamu lainnya datang
BARAAku harus segera berangkat ke acara pernikahan Satria, acaranya satu jam lagi. Tapi Sabrina tidak juga nampak keluar dari kamarnya, padahal dia tahu ini hari penting. Sebenarnya aku bisa saja pergi tanpa dia, hanya saja Satria mengenal Sabrina. Bukan kenal baik, tapi ya mereka cukup sering ngobrol ketika bertemu. Bahkan menurutku Sabrina jauh lebih nyaman ngobrol dan bercanda dengan Satria dibandingkan denganku yang dihadapinya sehari-hari.Aku nyaris kembali menaiki tangga untuk menuju kamarnya, tapi pembantuku mencegah. Katanya Sabrina menitipkan pesan tidak akan ikut ke acara Satria."Ibu sakit, Pak.""Sakit apa?"Pembantuku itu cuma menggeleng kecil, "Cuma tadi Ibu pes
Itu Nico. Dia berdiri di hadapanku yang sedang menghalau kerumunan. Dia mencekal pergelangan tanganku dan membawaku pergi. Langkah lebarnya membuat kami lekas mencapai tempat parkir. Dia memintaku untuk masuk ke mobilnya dan kami pergi dari sana. Air mataku pecah saat itu juga, hatiku sakit sekali mendengar hal-hal mengerikan yang dikatakan Michela tadi. Meskipun aku tahu kelakuan Mas Bara buruk diluar sana, tapi melalui informanku aku tahu Mas Bara selalu main rapi dan tak membiarkan siapapun mencium keburukannya. "Kenapa menikahi pria seperti itu?" tanya Nico ketika aku sudah usai menangis. Ternyata air mataku tidak sebanyak itu. Aku diam. Tidak ada jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. "Dipermalukan seperti itu untuk seorang laki-laki yang kelakuannya buruk
"Mas." Aku memberanikan diri untuk memanggil laki-laki yang sedang mengemudikan mobil disampingku ini. Dia adalah suamiku yang beberapa hari sebelumnya telah resmi untuk menyongsong masa depan kami kedepannya yang bernama bahtera pernikahan. Sungguh aku tak menyangka akan bersuamikan dia. Laki-laki tampan dan berkarisma yang sebelumnya tak pernah terpikir akan menjadi pendamping hidupku, kini ia benar-benar nyata ada didekatku. "Kenapa?" tanya Mas Bara datar dan tanpa menoleh sedikitpun padaku, tiadaku dapati senyum lembut disana. Sungguh aneh menurutku, apa aku ada salah padanya hingga tiba-tiba Mas Bara seakan cuek padaku? "Apa?" ulang Mas Bara lagi, aku sedikit tersentak oleh intonasi suaranya. "Eum... Itu... Apa di rumah ada
~SELAMAT ULANG TAHUN PERNIKAHAN KE EMPAT TAHUN BAPAK DZIKRI BARA MAJID DAN IBU SABRINA MAJID~ ~HAPPY ANNIVERSARY MR. DZIKRI BARA MAJID AND MRS. SABRINA MAJID~ Semua tulisan papan rangkaian bunga maupun kartu ucapan itu isinya nyaris sama, mengucapkan selamat untuk ulang tahun pernikahan Mas Bara dan aku. Empat tahun. Time flies. Empat tahun, siapa sangka aku mampu bertahan dalam gelanggang pernikahan ini. Bahkan, diriku sendiri sendiri tak pernah mempercayainya. Menikah dengan salah seorang keturunan Majid memang sulit untuk tidak mendapatkan atensi seperti ini. Seluruh rekan dan media tahu kapan ulang tahun pernikahan kami, juga tanggal-tanggal penting lainnya. Alih-alih merasa terganggu, aku harus membiasakan diri untuk mene
BARA Aku melihat ke Rolex Daytona di pergelangan tanganku entah untuk keberapa kalinya. Gerakan itu kemudian diikuti dongakan mengecek arah pintu masuk. Kemana dia? Aku yakin sudah mengirimkan alamat dan jam dimana Sabrina harus muncul dan menemaniku sekarang, tapi kenapa belum kelihatan? Sebenarnya aku tak terlalu suka melibatkan Sabrina dipertemuan bisnis seperti ini. Aku tahu bagaimana gatalnya mulut para rekan dan media menguliti soal kehidupan pribadi kami dan aku tahu Sabrina tak nyaman menghadapinya. Hanya saja image bahwa rumah tangga kami baik-baik saja harus ditampilkan dengan sesekali muncul seperti ini. Setelah kulirik jam sekali lagi, akhirnya Sabrina muncul. Wanita itu berpenampilan anggun dalam balutan gamis hitam yang sangat terkesan elegan dan make up yang membuatnya semakin terlihat bersinar. Senyum yang diikut
SABRINA Aku meneguk kopi selagi terus mengunyah roti bakar Coklat madu di tangan kananku. Sarapan ini sangat lezat dan praktis. Ya, cukup juga mengenyangkan sebelum memulai mengawali hari. Tak butuh banyak waktu untuk menyelesaikan sarapanku tiap pagi, setelahnya aku langsung bersiap untuk berangkat. "Sudah mau berangkat?" Suara seseorang mengintruksikan, membuatku menengok ke sumbernya seketika. Cukup pagi kali ini Mas Bara bersiap ke kantor. Dia sudah menggunakan setelan rapi dan memasang dasinya sembari menghampiriku ke meja pantry dapur. Aku mengangguk kecil, "Aku berangkat dulu, Mas." Setelah mencuci tangan aku langsung menyambar tas dan berangkat kerja. Hari ini hari penting untuk meeting f
Itu Nico. Dia berdiri di hadapanku yang sedang menghalau kerumunan. Dia mencekal pergelangan tanganku dan membawaku pergi. Langkah lebarnya membuat kami lekas mencapai tempat parkir. Dia memintaku untuk masuk ke mobilnya dan kami pergi dari sana. Air mataku pecah saat itu juga, hatiku sakit sekali mendengar hal-hal mengerikan yang dikatakan Michela tadi. Meskipun aku tahu kelakuan Mas Bara buruk diluar sana, tapi melalui informanku aku tahu Mas Bara selalu main rapi dan tak membiarkan siapapun mencium keburukannya. "Kenapa menikahi pria seperti itu?" tanya Nico ketika aku sudah usai menangis. Ternyata air mataku tidak sebanyak itu. Aku diam. Tidak ada jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. "Dipermalukan seperti itu untuk seorang laki-laki yang kelakuannya buruk
BARAAku harus segera berangkat ke acara pernikahan Satria, acaranya satu jam lagi. Tapi Sabrina tidak juga nampak keluar dari kamarnya, padahal dia tahu ini hari penting. Sebenarnya aku bisa saja pergi tanpa dia, hanya saja Satria mengenal Sabrina. Bukan kenal baik, tapi ya mereka cukup sering ngobrol ketika bertemu. Bahkan menurutku Sabrina jauh lebih nyaman ngobrol dan bercanda dengan Satria dibandingkan denganku yang dihadapinya sehari-hari.Aku nyaris kembali menaiki tangga untuk menuju kamarnya, tapi pembantuku mencegah. Katanya Sabrina menitipkan pesan tidak akan ikut ke acara Satria."Ibu sakit, Pak.""Sakit apa?"Pembantuku itu cuma menggeleng kecil, "Cuma tadi Ibu pes
SABRINA Pak Broto mengadakan acara ulang tahun pernikahan ke empat puluh di salah satu hotel mewah miliknya. Aku masuk ke gala ballroom dan ikut nimbrung cipika cipiki dengan tamu lainnya. Setelah celingukan, aku akhirnya menemukan Pak Broto. Beliau sedang berkeliling dengan istrinya dan menyapa para tamu undangan. Akupun mendekati mereka dan di sambut dengan hangat. "Malam, Pak." Aku menyapa yang empunya acara, kemudian bergantian ke istrinya. "Selamat ulang tahun pernikahannya, Pak," ujarku. "Makasih, Sabri. Kamu sendiri? Mana Bara?" tanya Pak Broto sembari mengecek sekelilingku. Belum sempat aku menjawab, ada tamu lainnya datang
BARA Tubuhnya mengeluarkan parfum yang biasa digunakannya. Kurasa itu sisa-sisa parfum dan masih melekat ditubuhnya. Rambutnya beraroma stroberi seperti biasanya. Itu karena dia mencuci rambut sebelum tidur tadi. Aku terbiasa dengan aroma yang keluar ketika Sabrina berada di sekitarku. Dari dulu aromanya tak pernah berubah, sungguh konservatif. Wanita beraroma stroberi itu tampak gelisah. Punggungnya berkali-kali bergerak tak nyaman, sesekali aku mendengar helaan nafas kecilnya. "Na, kamu sulit tidur?" Dia sedikit menelengkan kepalanya dan mengangguk. "Kamu ng
SABRINA Meski saat sarapan dan makan malam Mas Bara tak pernah mau makan di rumah, aku akan tetap berusaha mencoba menjadi istri yang berbakti padanya. Kata orang, meluluhkan hati suami bisa dengan masakan istri yang enak dan penuh ketulusan, itulah hal yang sering aku lakukan beberapa bulan belakangan ini. Iya, dari awal setelah kami menikah dan pindah ke rumah ini, Mas Bara tak pernah sekalipun mau memakan masakanku. Aku selalu mengintruksikan diriku dengan kata-kata; mungkin saja Mas Bara masih belum mau memperlihatkan sisi keterbukaannya menerima diriku. Oleh sebab itu, aku berinisiatif ingin memberikannya perhatian lewat makan siangnya Mas Bara. Aku tak tau kenapa Mas Bara tak pernah mengizinkan aku untuk masuk ke dalam ruangannya, kata sekretaris dan reseps
BARA Ketukan keras yang berulang-ulang membuatku terjaga. Itu suara Salsabil yang memanggil-manggilku. Astaga kenapa sekalinya dia pulang membuat jengkel begini sih. "Ya ampun, istrimu lagi masak dan kamu masih ngebo?!?!" gerutunya ketika aku membukakan pintu. Dia langsung menerobos masuk kamar dan membuka semua tirai. "Astaga, ini weekend, Bi. Belum waktunya bangun," balasku sambil merebahkan diri kembali ke kasur. Salsabila duduk di dekatku dan memukul pelan lenganku, "Bangun. Mandi. Ayo sarapan bersama!" Aku membiarkan Bila berbicara dan tetap merebahkan diriku d
SABRINA "Tebak aku dimana?" seru penelpon di seberang ketika aku mengangkat teleponku. Ini masih jam enam pagi dan aku sudah di telepon. "Bandara. Ya, kan?" Salsabila tertawa kencang. Hari ini dia memang tiba di Indonesia sesuai rencana. Seharusnya dia bisa menggunakan penerbangan pribadi, sesuai tawaran Mas Bara. Tapi, wanita itu menolak dan bersikeras untuk naik pesawat komersial saja. Dia memang sering beda pemikiran dengan Mas Bara. Kalau Mas Bara memikirkan kenyamanan dan kecepatan, Salsabila bilang itu pemborosan. Toh, dia tidak diburu deadline tertentu. "Aku akan kerumahmu, Sabri. Ayo kita sarapan bersama." Setelah mengatakan hal tersebut, wanita itu langsung menu
SABRINA Aku meneguk kopi selagi terus mengunyah roti bakar Coklat madu di tangan kananku. Sarapan ini sangat lezat dan praktis. Ya, cukup juga mengenyangkan sebelum memulai mengawali hari. Tak butuh banyak waktu untuk menyelesaikan sarapanku tiap pagi, setelahnya aku langsung bersiap untuk berangkat. "Sudah mau berangkat?" Suara seseorang mengintruksikan, membuatku menengok ke sumbernya seketika. Cukup pagi kali ini Mas Bara bersiap ke kantor. Dia sudah menggunakan setelan rapi dan memasang dasinya sembari menghampiriku ke meja pantry dapur. Aku mengangguk kecil, "Aku berangkat dulu, Mas." Setelah mencuci tangan aku langsung menyambar tas dan berangkat kerja. Hari ini hari penting untuk meeting f
BARA Aku melihat ke Rolex Daytona di pergelangan tanganku entah untuk keberapa kalinya. Gerakan itu kemudian diikuti dongakan mengecek arah pintu masuk. Kemana dia? Aku yakin sudah mengirimkan alamat dan jam dimana Sabrina harus muncul dan menemaniku sekarang, tapi kenapa belum kelihatan? Sebenarnya aku tak terlalu suka melibatkan Sabrina dipertemuan bisnis seperti ini. Aku tahu bagaimana gatalnya mulut para rekan dan media menguliti soal kehidupan pribadi kami dan aku tahu Sabrina tak nyaman menghadapinya. Hanya saja image bahwa rumah tangga kami baik-baik saja harus ditampilkan dengan sesekali muncul seperti ini. Setelah kulirik jam sekali lagi, akhirnya Sabrina muncul. Wanita itu berpenampilan anggun dalam balutan gamis hitam yang sangat terkesan elegan dan make up yang membuatnya semakin terlihat bersinar. Senyum yang diikut