Home / Romansa / ISTRI PAJANGAN / Selai madu cokelat

Share

Selai madu cokelat

Author: Nad28
last update Last Updated: 2021-09-30 14:41:05

SABRINA

 

Aku meneguk kopi selagi terus mengunyah roti bakar Coklat madu di tangan kananku. Sarapan ini sangat lezat dan praktis. Ya, cukup juga mengenyangkan sebelum memulai mengawali hari. Tak butuh banyak waktu untuk menyelesaikan sarapanku tiap pagi, setelahnya aku langsung bersiap untuk berangkat.

 

"Sudah mau berangkat?" Suara seseorang mengintruksikan, membuatku menengok ke sumbernya seketika.

 

Cukup pagi kali ini Mas Bara bersiap ke kantor. Dia sudah menggunakan setelan rapi dan memasang dasinya sembari menghampiriku ke meja pantry dapur.

 

Aku mengangguk kecil, "Aku berangkat dulu, Mas."

 

Setelah mencuci tangan aku langsung menyambar tas dan berangkat kerja. Hari ini hari penting untuk meeting final konsep brand baru kami. Sekalian aku akan melakukan persiapan seleksi foto untuk model yang akan mengenakan pakaian couple dengan desain baju gamis terbaru kami. Ya, aku bersemangat dengan projects ini! Selain karena ini berarti tantangan baru, aku senang bisa bekerja sama dengan Salsabila, adik iparku.

 

Saat ini, adik iparku itu sedang bekerja sebagai editor dan fashion advisor dari Turki. Kalau Mas Bara dulu memanfaatkan masa mudanya dengan banyak berpesta, Salsabila menghabiskan waktu itu bekerja di luar dunia perbisnisan milik keluarga Majid.

 

"Aku harus puas meraup banyak ilmu dari perusahaan lain sebelum mengendalikan majalahku sendiri, Sabri. Kalau aku main pegang aja, ya identitas majalah itu ya sama aja kayak sekarang. Membosankan." Ujarnya kala itu.

 

Salsabila memang sudah berencana akan mengambil alih perusahaan majalah fashion keluarga Majid. Nama majalahnya pun masuk tiga terbaik di Indonesia, lumayan, kan? Tapi meskipun termasuk tiga majalah dengan penjualan terbaik, Salsabila bilang isi majalah itu membosankan. Tentu saja ia hanya akan mengatakan itu padaku saja, kalau orang lain tahu ia bisa diomelin.

 

Saat ini perusahaan itu masih dibawah pengawasan Mas Bara, akan dialihkan ke Salsabila saat dia kembali ke Indonesia beberapa hari lagi. Kalau aku ingat-ingat Mas Bara memang banyak memegang kerjaan sih. Kurasa dia memang suka sibuk diluar, entahlah.

 

Selama ini aku cuma mengawasi pekerjaan Salsabila melalui majalah tempatnya bekerja. Dia memang berbakat di pekerjaannya. Aku tak sabar menunggu aksinya ketika kami bekerjasama kelak.

 

***

 

BARA

 

Aku harus melakukan perjalanan go show ke Singapura. Itulah mengapa aku harus bangun lebih pagi dari biasanya. Aku tak terlalu suka bangun pagi, apalagi setelah minum-minum semalam. Saat aku menuruni tangga aku melihat punggung Sabrina yang bergerak-gerak di dekat meja pantry. Dia punya kebiasaan makan pagi sembari berdiri, seolah duduk dan makan dengan tenang bisa menghabiskan seluruh harinya. Selain itu, dia selalu terburu-buru saat sarapan, meskipun aku tahu dia selalu cuma sarapan roti oles coklat madu dan secangkir kopi atau terkadang teh.

 

"Sudah mau berangkat?" tanyaku.

 

Punggungnya menegang seketika dan tatapan kami bertemu. Dia mengangguk kemudian beralih kembali ke depan untuk cuci tangan kemudian berpamitan. Tidak ada obrolan berarti di antara kami, ya hanya begitu saja setiap harinya.

 

Aku melihat di meja makan dan menemukan makanan yang biasa dimakannya setiap pagi. Ku rasa tadi dia kebanyakan membuatnya, jadi tak dihabiskannya. Aku tak begitu suka rasa manis Madu, tapi entah kenapa aku ingin mencicipinya. Aku mengambil satu potong roti oles itu dan memakannya.

 

Kenapa tidak semanis dugaanku?

 

"Pagi, Pak."

 

Aku menoleh dan menemukan Bik Upik, pembantu di rumahku.

 

"Mau di buatin minum apa?" tawarnya.

 

"Air putih saja, Bik."

 

Aku tak lagi menggubris pembantuku yang sedang mengambilkan aku minum dan menikmati sisa makananku.

 

"Tumben kok makan roti, Pak? Kepengen roti gara-gara lihat Bu Sabrina makan itu ya?"

 

Aku tersenyum, "Iya. Tapi kenapa selainya nggak begitu manis ya, Bik?"

 

Wanita itu tersenyum, "Ibu bikin sendiri selainya, Pak. Makanya bisa atur manisnya. Ibu sama kayak Bapak, nggak terlalu suka manis."

 

Oh ya? Kukira kebalikannya.

 

"Bapak nyesel ya baru cobain sekarang? Dulu ibu suka bikin selai sendiri dengan berbagai rasa, Pak. Kadang bikin rasa vanila madu juga buah-buahan, bahkan kacang, Pak. Buat Bapak dulu Ibu sering bikin selai apel, buah kesukaan Bapak. Tapi karena Bapak nggak pernah memakannya, Ibu jadi cuma bikin selai untuk Ibu sendiri."

 

Skak mat. Aku pasti benar-benar mirip suami yang sering mengecewakan istrinya. Ya, tentu itu benar.

 

"Saya juga suka rasa yang ada varian madunya mulai sekarang kok, Bik," jawabku untuk menyembunyikan perasaan tidak enakku.

 

Bukannya niat membela diri, hanya saja menikah dengan wanita yang secara acak dipilih untukku membuatku canggung dan tak bisa menerima perhatian darinya. Mungkin kelewatan, sampai empat tahun aku memperlakukannya seperti itu. Sedari awal, aku sebisa mungkin menggambar garis batas yang jelas untuk kami. Sabrina tak pernah protes soal itu, sama sekali. Pengendalian dirinya cukup menakjubkan.

 

Sekarang? Tentu aku sudah nyaman hidup dengan Sabrina. Dia sangat pengertian dan menghormatiku. Dia bukan istri posesif yang gemar menanyaiku kapan aku pulang, sedang di mana, atau pertanyaan mengganggu lainnya. Selain itu dia menyenangkan untuk di ajak kompromi.

 

Aku rasa Sabrina memiliki pemikiran yang berbeda mengenai pernikahan ini. Dulu dia masih berusaha menjalankan kewajibannya sebagai istri. Salah satunya ya yang tadi di sebut pembantuku, menyiapkan sesuatu yang kusukai. Pemahaman kami yang berbeda tapi aku juga tak ingin menyakiti hatinya, jadi menghindari dia sampai dia menangkap maksudku kemudian berlalu begitu saja. Aku juga masih memiliki hati nurani, jadi masih ada rasa bersalah. Tapi bukan kah perasaan tak bisa dibohongi? Namun memang sejujurnya sikapku dulu memang selalu membuatnya sakit hati.

 

***

 

SABRINA

 

Masih di awal tahun pernikahan....

 

Sarapan pagi ini hanya ditemani roti selai buah alpukat plus kopi dan segelas teh hangat. Ku dengar suara pintu terbuka dari arah kamar Mas Bara yang sepertinya dia hendak pergi keluar.

 

"Mas?" Mas Bara mengehentikan langkahnya, ia kemudian menatapku seperti biasanya, wajah datar terkesan dingin.

 

"Apa?"

 

"Aku mau ke pasar, Mas,"

 

"Terus?"

 

"Boleh temani aku, Mas? Aku masih belum terlalu fasih dengan jalan di kota ini."

 

"Saya kerja."

 

"Tapi Mas, ini kan hari sabtu,"

 

"Saya kerja!" Perkataan Mas Bara barusan di barengi dengan tekanan tegas dari sebelumnya. 

 

Aku tak lagi melanjutkan perkataanku, ku tutup rapat-rapat bibir ini, menggigit bibir bawahku untuk meredam rasa sesak dalam dadaku. Padahal ini hari sabtu, kenapa Mas Bara masih tetap bekerja? Aku pikir di hari sabtu ini bisa ditemani Mas Bara ke Pasar, aku masih baru sekali di kota metropolitan ini. Jika masih di kampungku, Padang. Mungkin aku tak akan ingin menyusahkannya seperti ini.

 

"Ya udah, kalau begitu hati-hati, Mas."

 

Mas Bara berlalu tak menanggapi perkataanku. Ku coba menepuk dadaku sedikit kencang, agar rasa sesak ini tak makin menumpuk. Akupun sebenarnya juga tak ingin di posisi ini, tapi melihat wanita yang telah merawatku setelah Bunda tiada, tak kuasa aku untuk mengatakan tidak.

 

Aku berharap Allah masih mau berbaik hati padaku agar aku di berikan kelapangan dada, untuk bisa sabar menerima ini semua.

 

Bukankah ini terlihat sangat harmonis? Atau perlu diperjelas kalau ini sangat terasa miris?

 

***

 

BARA

 

"Jadi semua persiapan brand baru sudah beres?" tanyaku sembari menatap pria kurus berkaca mata di hadapanku.

 

"Sudah, Pak. Bu Sabrina tinggal bertemu dengan model untuk pemotretan kemudian usai."

 

"Akhir-akhir ini, Sabrina hanya berkutat soal brand baru aja? Tidak ada yang lainnya?"

 

Bimo, asisten sekaligus sopir pribadi Sabrina menggeleng dan mengatakan tidak. Bimo yang selalu mengikuti kemanapun Sabrina pergi adalah informan yang sempurna untukku.

 

Hubunganku dengan Sabrina memang tidak begitu dekat, tapi aku tidak mampu mengabaikan wanita itu begitu saja. Bagaimana pun dia istriku, aku harus tahu gerak geriknya di luar sana. Dia tanggung jawabku, setidaknya itu anggapan orangtuaku yang sangat menyayangi Sabrina. Mengabaikan keadaan Sabrina bisa membuatku dimarahi habis-habisan. Mereka lebih baik kehilangan satu perusahaan yang kutangangi ketimbang kehilangan Sabrina. Besar sekali bukan, pengaruhnya?

 

Untuk keperluan itulah aku menjadikan Bimo sebagai infomanku. Bimo adalah informan sempurna, karena dia selalu ikut kemanapun Sabrina pergi. Jadi sudah pasti dia tahu semua hal yang di lakukan Sabrina dan siapa saja yang ditemuinya.

 

"Ibu tidak pernah pergi kemana-mana, Pak. Apalagi semenjak Ibu Salsabila nggak ada di sini. Ibu cuma pergi ke tempat-tempat untuk urusan pekerjaan saja."

 

Salsabila adalah adikku satu-satunya sekaligus satu-satunya teman Sabrina di sini. Pertemuan di antara mereka terjalin semenjak empat tahun yang lalu. Salsa sengaja datang dari Turki untuk menemui calon kakak iparnya saat itu. Aku tahu bertapa kesepiannya Sabrina ketika dia masuk ke kehidupanku. Tidak ada teman yang menemaninya. Syukurlah kedatangan Salsa menjadi obat tersendiri untuk Sabrina. Keduanya mudah sekali akrab bahkan Salsa membantu Sabrina dalam banyak hal.

 

"Kamu boleh pergi."

 

Mendengar perintahku, Bimo pun keluar dari ruangan. Tanganku beralih mengambil handphone dan menekan satu nomor.

 

"Ini saya," ujarku ketika orang di sebrang sana menyapa.

 

"Telepon istri saya, bilang dia harus perawatan di salon. Bilang saja ini perintah Nyinya Majid, Sabrina pasti tidak akan menolak. Dia sudah lama tidak perawatan, kan?"

 

Dua tahun lalu sebelum Salsa berangkat ke Turki, dia pernah berpesan padaku untuk lebih memperhatikan Sabrina, karena istriku itu kesepian. Aku jelas tak mungkin mengajaknya menghabiskan waktu dengan teman-temanku bukan? Jadi aku melakukan hal kecil ini, meminjam nama Mama untuk membuatnya menghabiskan waktu di salon atau belanja. Sabrina sudah jarang melakukan perawatan di salon atau belanja. Sabrina sudah jarang perawatan, dia lebih memilih tenggelam dalam kesibukannya. Aku ingin Sabrina bisa sedikit santai menjalani hidupnya.

 

"Semua tagihannya kirimkan ke rekening saya," ujarku.

 

***

 

SABRINA

 

Aku tidak bisa menolak kalau yang menyuruh adalah Mama. Padahal aku sedang repot menyiapkan line brand baru, tapi salon tempatku biasa merawat diri mengatakan Mama memintaku perawatan. Yang ini sekarang jadi hal yang wajib kulakukan semenjak menjadi istri Mas Bara. Ini semua berawal dari kemauan Salsa agar aku memperhatikan penampilanku.

 

"Kamu itu cantik, Sabrina. Lesung pipimu juga menambah kecantikanmu. Dulu saja Mas Bara selalu menyebut asetmu itu sebagai hal yang paling mencolok. Tapi apa gunanya lesung pipi kalau lainnya tidak di rawat?!?!" omelnya.

 

Setelah itu dia membawaku untuk perawatan di salon ini. Mulai dari ujung rambut dan kaki, semua di rawat dengan baik. Awalnya aku tak terbiasa ketika tubuhku disentuh orang lain, tapi sekarang sudah kebiasaan saja. Aku menjalani perawatan hingga nyaris jam sepuluh malam. Pihak salon tentu tidak akan protes kalau melayaniku membuat membuat beberapa pegawainya lembur. Itu semua karena kekuasaan orangtuanya Mas Bara.

 

"Biar kali ini saya bayar tagihannya," ujarku ketika menuju kasir.

 

"Maaf, Bu. Sudah dimasukkan ke tagihan biasanya."

 

Ya sudahlah kalau begitu. Akupun segera meninggalkan salon itu dan pulang ke rumah.

 

 

 

Related chapters

  • ISTRI PAJANGAN   Satu kamar

    SABRINA "Tebak aku dimana?" seru penelpon di seberang ketika aku mengangkat teleponku. Ini masih jam enam pagi dan aku sudah di telepon. "Bandara. Ya, kan?" Salsabila tertawa kencang. Hari ini dia memang tiba di Indonesia sesuai rencana. Seharusnya dia bisa menggunakan penerbangan pribadi, sesuai tawaran Mas Bara. Tapi, wanita itu menolak dan bersikeras untuk naik pesawat komersial saja. Dia memang sering beda pemikiran dengan Mas Bara. Kalau Mas Bara memikirkan kenyamanan dan kecepatan, Salsabila bilang itu pemborosan. Toh, dia tidak diburu deadline tertentu. "Aku akan kerumahmu, Sabri. Ayo kita sarapan bersama." Setelah mengatakan hal tersebut, wanita itu langsung menu

    Last Updated : 2021-10-15
  • ISTRI PAJANGAN   Menyesal???

    BARA Ketukan keras yang berulang-ulang membuatku terjaga. Itu suara Salsabil yang memanggil-manggilku. Astaga kenapa sekalinya dia pulang membuat jengkel begini sih. "Ya ampun, istrimu lagi masak dan kamu masih ngebo?!?!" gerutunya ketika aku membukakan pintu. Dia langsung menerobos masuk kamar dan membuka semua tirai. "Astaga, ini weekend, Bi. Belum waktunya bangun," balasku sambil merebahkan diri kembali ke kasur. Salsabila duduk di dekatku dan memukul pelan lenganku, "Bangun. Mandi. Ayo sarapan bersama!" Aku membiarkan Bila berbicara dan tetap merebahkan diriku d

    Last Updated : 2021-10-16
  • ISTRI PAJANGAN   Salahkah aku??

    SABRINA Meski saat sarapan dan makan malam Mas Bara tak pernah mau makan di rumah, aku akan tetap berusaha mencoba menjadi istri yang berbakti padanya. Kata orang, meluluhkan hati suami bisa dengan masakan istri yang enak dan penuh ketulusan, itulah hal yang sering aku lakukan beberapa bulan belakangan ini. Iya, dari awal setelah kami menikah dan pindah ke rumah ini, Mas Bara tak pernah sekalipun mau memakan masakanku. Aku selalu mengintruksikan diriku dengan kata-kata; mungkin saja Mas Bara masih belum mau memperlihatkan sisi keterbukaannya menerima diriku. Oleh sebab itu, aku berinisiatif ingin memberikannya perhatian lewat makan siangnya Mas Bara. Aku tak tau kenapa Mas Bara tak pernah mengizinkan aku untuk masuk ke dalam ruangannya, kata sekretaris dan reseps

    Last Updated : 2021-10-19
  • ISTRI PAJANGAN   Aku nggak akan menggigitmu

    BARA Tubuhnya mengeluarkan parfum yang biasa digunakannya. Kurasa itu sisa-sisa parfum dan masih melekat ditubuhnya. Rambutnya beraroma stroberi seperti biasanya. Itu karena dia mencuci rambut sebelum tidur tadi. Aku terbiasa dengan aroma yang keluar ketika Sabrina berada di sekitarku. Dari dulu aromanya tak pernah berubah, sungguh konservatif. Wanita beraroma stroberi itu tampak gelisah. Punggungnya berkali-kali bergerak tak nyaman, sesekali aku mendengar helaan nafas kecilnya. "Na, kamu sulit tidur?" Dia sedikit menelengkan kepalanya dan mengangguk. "Kamu ng

    Last Updated : 2021-10-20
  • ISTRI PAJANGAN   Pertama bagiku bukan yang pertama baginya...

    SABRINA Pak Broto mengadakan acara ulang tahun pernikahan ke empat puluh di salah satu hotel mewah miliknya. Aku masuk ke gala ballroom dan ikut nimbrung cipika cipiki dengan tamu lainnya. Setelah celingukan, aku akhirnya menemukan Pak Broto. Beliau sedang berkeliling dengan istrinya dan menyapa para tamu undangan. Akupun mendekati mereka dan di sambut dengan hangat. "Malam, Pak." Aku menyapa yang empunya acara, kemudian bergantian ke istrinya. "Selamat ulang tahun pernikahannya, Pak," ujarku. "Makasih, Sabri. Kamu sendiri? Mana Bara?" tanya Pak Broto sembari mengecek sekelilingku. Belum sempat aku menjawab, ada tamu lainnya datang

    Last Updated : 2021-11-02
  • ISTRI PAJANGAN   Istri Rasa Selingkuhan

    BARAAku harus segera berangkat ke acara pernikahan Satria, acaranya satu jam lagi. Tapi Sabrina tidak juga nampak keluar dari kamarnya, padahal dia tahu ini hari penting. Sebenarnya aku bisa saja pergi tanpa dia, hanya saja Satria mengenal Sabrina. Bukan kenal baik, tapi ya mereka cukup sering ngobrol ketika bertemu. Bahkan menurutku Sabrina jauh lebih nyaman ngobrol dan bercanda dengan Satria dibandingkan denganku yang dihadapinya sehari-hari.Aku nyaris kembali menaiki tangga untuk menuju kamarnya, tapi pembantuku mencegah. Katanya Sabrina menitipkan pesan tidak akan ikut ke acara Satria."Ibu sakit, Pak.""Sakit apa?"Pembantuku itu cuma menggeleng kecil, "Cuma tadi Ibu pes

    Last Updated : 2022-02-17
  • ISTRI PAJANGAN   Pentingkah kepercayaanku?

    Itu Nico. Dia berdiri di hadapanku yang sedang menghalau kerumunan. Dia mencekal pergelangan tanganku dan membawaku pergi. Langkah lebarnya membuat kami lekas mencapai tempat parkir. Dia memintaku untuk masuk ke mobilnya dan kami pergi dari sana. Air mataku pecah saat itu juga, hatiku sakit sekali mendengar hal-hal mengerikan yang dikatakan Michela tadi. Meskipun aku tahu kelakuan Mas Bara buruk diluar sana, tapi melalui informanku aku tahu Mas Bara selalu main rapi dan tak membiarkan siapapun mencium keburukannya. "Kenapa menikahi pria seperti itu?" tanya Nico ketika aku sudah usai menangis. Ternyata air mataku tidak sebanyak itu. Aku diam. Tidak ada jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. "Dipermalukan seperti itu untuk seorang laki-laki yang kelakuannya buruk

    Last Updated : 2022-02-17
  • ISTRI PAJANGAN   Belum siap

    "Mas." Aku memberanikan diri untuk memanggil laki-laki yang sedang mengemudikan mobil disampingku ini. Dia adalah suamiku yang beberapa hari sebelumnya telah resmi untuk menyongsong masa depan kami kedepannya yang bernama bahtera pernikahan. Sungguh aku tak menyangka akan bersuamikan dia. Laki-laki tampan dan berkarisma yang sebelumnya tak pernah terpikir akan menjadi pendamping hidupku, kini ia benar-benar nyata ada didekatku. "Kenapa?" tanya Mas Bara datar dan tanpa menoleh sedikitpun padaku, tiadaku dapati senyum lembut disana. Sungguh aneh menurutku, apa aku ada salah padanya hingga tiba-tiba Mas Bara seakan cuek padaku? "Apa?" ulang Mas Bara lagi, aku sedikit tersentak oleh intonasi suaranya. "Eum... Itu... Apa di rumah ada

    Last Updated : 2021-09-25

Latest chapter

  • ISTRI PAJANGAN   Pentingkah kepercayaanku?

    Itu Nico. Dia berdiri di hadapanku yang sedang menghalau kerumunan. Dia mencekal pergelangan tanganku dan membawaku pergi. Langkah lebarnya membuat kami lekas mencapai tempat parkir. Dia memintaku untuk masuk ke mobilnya dan kami pergi dari sana. Air mataku pecah saat itu juga, hatiku sakit sekali mendengar hal-hal mengerikan yang dikatakan Michela tadi. Meskipun aku tahu kelakuan Mas Bara buruk diluar sana, tapi melalui informanku aku tahu Mas Bara selalu main rapi dan tak membiarkan siapapun mencium keburukannya. "Kenapa menikahi pria seperti itu?" tanya Nico ketika aku sudah usai menangis. Ternyata air mataku tidak sebanyak itu. Aku diam. Tidak ada jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. "Dipermalukan seperti itu untuk seorang laki-laki yang kelakuannya buruk

  • ISTRI PAJANGAN   Istri Rasa Selingkuhan

    BARAAku harus segera berangkat ke acara pernikahan Satria, acaranya satu jam lagi. Tapi Sabrina tidak juga nampak keluar dari kamarnya, padahal dia tahu ini hari penting. Sebenarnya aku bisa saja pergi tanpa dia, hanya saja Satria mengenal Sabrina. Bukan kenal baik, tapi ya mereka cukup sering ngobrol ketika bertemu. Bahkan menurutku Sabrina jauh lebih nyaman ngobrol dan bercanda dengan Satria dibandingkan denganku yang dihadapinya sehari-hari.Aku nyaris kembali menaiki tangga untuk menuju kamarnya, tapi pembantuku mencegah. Katanya Sabrina menitipkan pesan tidak akan ikut ke acara Satria."Ibu sakit, Pak.""Sakit apa?"Pembantuku itu cuma menggeleng kecil, "Cuma tadi Ibu pes

  • ISTRI PAJANGAN   Pertama bagiku bukan yang pertama baginya...

    SABRINA Pak Broto mengadakan acara ulang tahun pernikahan ke empat puluh di salah satu hotel mewah miliknya. Aku masuk ke gala ballroom dan ikut nimbrung cipika cipiki dengan tamu lainnya. Setelah celingukan, aku akhirnya menemukan Pak Broto. Beliau sedang berkeliling dengan istrinya dan menyapa para tamu undangan. Akupun mendekati mereka dan di sambut dengan hangat. "Malam, Pak." Aku menyapa yang empunya acara, kemudian bergantian ke istrinya. "Selamat ulang tahun pernikahannya, Pak," ujarku. "Makasih, Sabri. Kamu sendiri? Mana Bara?" tanya Pak Broto sembari mengecek sekelilingku. Belum sempat aku menjawab, ada tamu lainnya datang

  • ISTRI PAJANGAN   Aku nggak akan menggigitmu

    BARA Tubuhnya mengeluarkan parfum yang biasa digunakannya. Kurasa itu sisa-sisa parfum dan masih melekat ditubuhnya. Rambutnya beraroma stroberi seperti biasanya. Itu karena dia mencuci rambut sebelum tidur tadi. Aku terbiasa dengan aroma yang keluar ketika Sabrina berada di sekitarku. Dari dulu aromanya tak pernah berubah, sungguh konservatif. Wanita beraroma stroberi itu tampak gelisah. Punggungnya berkali-kali bergerak tak nyaman, sesekali aku mendengar helaan nafas kecilnya. "Na, kamu sulit tidur?" Dia sedikit menelengkan kepalanya dan mengangguk. "Kamu ng

  • ISTRI PAJANGAN   Salahkah aku??

    SABRINA Meski saat sarapan dan makan malam Mas Bara tak pernah mau makan di rumah, aku akan tetap berusaha mencoba menjadi istri yang berbakti padanya. Kata orang, meluluhkan hati suami bisa dengan masakan istri yang enak dan penuh ketulusan, itulah hal yang sering aku lakukan beberapa bulan belakangan ini. Iya, dari awal setelah kami menikah dan pindah ke rumah ini, Mas Bara tak pernah sekalipun mau memakan masakanku. Aku selalu mengintruksikan diriku dengan kata-kata; mungkin saja Mas Bara masih belum mau memperlihatkan sisi keterbukaannya menerima diriku. Oleh sebab itu, aku berinisiatif ingin memberikannya perhatian lewat makan siangnya Mas Bara. Aku tak tau kenapa Mas Bara tak pernah mengizinkan aku untuk masuk ke dalam ruangannya, kata sekretaris dan reseps

  • ISTRI PAJANGAN   Menyesal???

    BARA Ketukan keras yang berulang-ulang membuatku terjaga. Itu suara Salsabil yang memanggil-manggilku. Astaga kenapa sekalinya dia pulang membuat jengkel begini sih. "Ya ampun, istrimu lagi masak dan kamu masih ngebo?!?!" gerutunya ketika aku membukakan pintu. Dia langsung menerobos masuk kamar dan membuka semua tirai. "Astaga, ini weekend, Bi. Belum waktunya bangun," balasku sambil merebahkan diri kembali ke kasur. Salsabila duduk di dekatku dan memukul pelan lenganku, "Bangun. Mandi. Ayo sarapan bersama!" Aku membiarkan Bila berbicara dan tetap merebahkan diriku d

  • ISTRI PAJANGAN   Satu kamar

    SABRINA "Tebak aku dimana?" seru penelpon di seberang ketika aku mengangkat teleponku. Ini masih jam enam pagi dan aku sudah di telepon. "Bandara. Ya, kan?" Salsabila tertawa kencang. Hari ini dia memang tiba di Indonesia sesuai rencana. Seharusnya dia bisa menggunakan penerbangan pribadi, sesuai tawaran Mas Bara. Tapi, wanita itu menolak dan bersikeras untuk naik pesawat komersial saja. Dia memang sering beda pemikiran dengan Mas Bara. Kalau Mas Bara memikirkan kenyamanan dan kecepatan, Salsabila bilang itu pemborosan. Toh, dia tidak diburu deadline tertentu. "Aku akan kerumahmu, Sabri. Ayo kita sarapan bersama." Setelah mengatakan hal tersebut, wanita itu langsung menu

  • ISTRI PAJANGAN   Selai madu cokelat

    SABRINA Aku meneguk kopi selagi terus mengunyah roti bakar Coklat madu di tangan kananku. Sarapan ini sangat lezat dan praktis. Ya, cukup juga mengenyangkan sebelum memulai mengawali hari. Tak butuh banyak waktu untuk menyelesaikan sarapanku tiap pagi, setelahnya aku langsung bersiap untuk berangkat. "Sudah mau berangkat?" Suara seseorang mengintruksikan, membuatku menengok ke sumbernya seketika. Cukup pagi kali ini Mas Bara bersiap ke kantor. Dia sudah menggunakan setelan rapi dan memasang dasinya sembari menghampiriku ke meja pantry dapur. Aku mengangguk kecil, "Aku berangkat dulu, Mas." Setelah mencuci tangan aku langsung menyambar tas dan berangkat kerja. Hari ini hari penting untuk meeting f

  • ISTRI PAJANGAN   Berubah

    BARA Aku melihat ke Rolex Daytona di pergelangan tanganku entah untuk keberapa kalinya. Gerakan itu kemudian diikuti dongakan mengecek arah pintu masuk. Kemana dia? Aku yakin sudah mengirimkan alamat dan jam dimana Sabrina harus muncul dan menemaniku sekarang, tapi kenapa belum kelihatan? Sebenarnya aku tak terlalu suka melibatkan Sabrina dipertemuan bisnis seperti ini. Aku tahu bagaimana gatalnya mulut para rekan dan media menguliti soal kehidupan pribadi kami dan aku tahu Sabrina tak nyaman menghadapinya. Hanya saja image bahwa rumah tangga kami baik-baik saja harus ditampilkan dengan sesekali muncul seperti ini. Setelah kulirik jam sekali lagi, akhirnya Sabrina muncul. Wanita itu berpenampilan anggun dalam balutan gamis hitam yang sangat terkesan elegan dan make up yang membuatnya semakin terlihat bersinar. Senyum yang diikut

DMCA.com Protection Status