Share

Kadaluarsa

Author: Nad28
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

 

~SELAMAT ULANG TAHUN PERNIKAHAN KE EMPAT TAHUN BAPAK DZIKRI BARA MAJID DAN IBU SABRINA MAJID~

 

~HAPPY ANNIVERSARY MR. DZIKRI BARA MAJID AND MRS. SABRINA MAJID~

 

Semua tulisan papan rangkaian bunga maupun kartu ucapan itu isinya nyaris sama, mengucapkan selamat untuk ulang tahun pernikahan Mas Bara dan aku. Empat tahun. Time flies. Empat tahun, siapa sangka aku mampu bertahan dalam gelanggang pernikahan ini. Bahkan, diriku sendiri sendiri tak pernah mempercayainya.

 

Menikah dengan salah seorang keturunan Majid memang sulit untuk tidak mendapatkan atensi seperti ini. Seluruh rekan dan media tahu kapan ulang tahun pernikahan kami, juga tanggal-tanggal penting lainnya. Alih-alih merasa terganggu, aku harus membiasakan diri untuk menerima perhatian itu. Berat? Tentu saja.

 

"Bu, selamat ya," ujar seseorang yang baru memasuki ruanganku.

 

Aku sedang menilik bunga-bunga di atas nakas samping ruangan berbalik dan tersenyum pada asistenku itu.

 

"Terimakasih. Kita meeting hari ini jam berapa?"

 

Lebih mudah menanyakan jadwal pekerjaan yang mengantri ketimbang menjawab ucapan selamat itu. Aku berjalan ke balik meja kerjaku dan mulai menyalakan laptop. Cintya menyebutkan beberapa meeting yang perlu aku hadiri selaku direktur di perusahaan industri hijab ini. Aku menduduki posisi itu semenjak tiga tahun yang lalu setelah satu tahun sebelumnya menjadi manajer di perusahaan Dayliaal

 

Di awal pernikahanku, aku sebenarnya masih bekerja di perusahaan properti kecil. Sebenarnya aku menikmati pekerjaan disana, setidaknya karena aku mendapatkan pekerjaan itu dengan usahaku sendiri.

 

Memasukkan ijazah, mengantri interview, dan serangkaian pencarian nafkah pada umumnya. Namun semenjak menikahi seorang Dzikri Bara Majid, menjadi orang biasa-biasa saja adalah sebuah pantangan.

 

Mertuaku menyuruh resign dan berpindah bekerja disalah satu anak perusahaan mereka. Mungkin mereka merasa malu karena pemilik kerjaan properti bekerja di sebuah perusahaan kecil yang hanya memiliki satu showroom. Dengan berat hati, akhirnya aku menurut juga.

 

Namun alih-alih menerima posisi di perusahaan properti, aku meminta di tempatkan di anak perusahaan saja. Kupikir aku bisa sedikit bebas dari atensi pernikahan tersebut, karena jauh dari perusahaan mertua, tapi tidak. Kehadiranku di anak perusahaan sempat disorot habis-habisan karena di tempatkan langsung menjadi manajer.

 

Tentu saja awalnya aku menolak, ya aku sadar diri aku ini siapa tiba-tiba jadi manajer. Terlalu mencolok. Tapi mau bagaimana lagi, dari pada aku di taruh di kantor pusat. Setelah menunjukkan performa baik selama satu tahun menjadi manajer Dayliaal, akhirnya aku menempati posisi direktur.

 

Meeting itu berjalan dengan baik. Laporan neraca keuangan perusahaan ini sehat dan kini kami sedang mempersiapkan line brand baru. Semenjak aku duduk di posisiku, aku sudah pernah mengalami dua kali kegagalan rencana. Untung saja kerugiannya masih bisa ditutupi dengan pendapatan lainnnya. Kali ini line brand yang baru tidak boleh gagal. Meskipun aku tahu, aku gagal pun tak akan ada yang berani menegurku.

 

"Ibu nggak mau booking dinner romantis sama Bapak?" tanya Cintya saat kami sudah kembali ke ruangan.

 

"Tidak usah, Cin. Saya mau di rumah saja, lagi pula Mas Bara juga lebih suka di rumah."

 

Perayaan anniversary seperti bayangan Cintya dan masyarakat umum, tidak lah pernah terjadi dalam hubungan pernikahan kami. Hari jadi itu sama seperti hari-hari biasa lainnya. Pergi ke kantor, pulang ke rumah, dan tenggelam dalam dunia masing-masing. Apa yang mereka pikirkan soal kami? Lovey-Dovey? Ckk. Jauh!! Kalau di tanya sejak kapan hal itu berlangsung? Jawabannya adalah semenjak tiga hari pertama saat kami pindah ke rumah Mas Bara. Semenjak pertama kali kami menginjak ke rumah yang didesain sendiri oleh Mas Bara, semenjak itu pula lah Mas Bara seakan membentang jarak tak kasat mata di antara kami.

 

"Ini kamar saya, dan di sana adalah kamar kamu!"

 

Itu perkataan Mas Bara ketika aku tanyakan perihal koper yang tak terlihat olehku di kamarnya dulu, sangat jauh sekali beda intonasi suaranya saat sebelum kami pindah ke rumah miliknya itu. Dua hari sebelum kami pindah, laki-laki yang berstatus suamiku itu masih bisa berkata lembut dan penuh senyum padaku ataupun pada anggota keluarga lainnya, sayang beribu sayang, semua sudah berubah semenjak kuketahui alasan kenapa dia bersikap kasar padaku. Meski Mas Bara tak pernahkah bermain tangan denganku, tapi perkataan dan sikap acuhnya lebih menyiksa seluruh sanubariku. Sakit fisik ada obatnya, sakit hati seorang istri sebab suaminya, apakah masih bisa diobati dengan cara pergi ke dokter? Entahlah, tapi selama empat tahun pernikahanku ini, sakit hatiku masih belum bisa terobati.

 

Aku menyadari bahwa pisah kamar artinya lebih dari sekedar tidur di ruangan berbeda, ini tembok batasan sebuah hubungan dimana kami tak boleh mengusik. Aku tahu pernikahan kami tidak biasa, tapi siapa sangka kalau akan terjadi sejauh ini?

 

Kami hanya hidup bersama dengan urusan masing-masing. Sementara aku menangani perusahaan Hijab Dalyaal, Mas Bara menangani perusahaan properti milik keluarganya. Iya, perusahaan induk yang kubicarakan tadi. Dia menjadi direktur disana. Tak hanya itu, dia juga membawahi beberapa anak perusahaan yang lainnya.

 

"Halo?" sapaku pada seseorang yang menelponku ketika berjalan menuju lobby kantor.

 

"Selamat ulang tahun pernikahan, sayang!!" ujar Mama, orang tua dari Mas Bara.

 

"Terimakasih, Ma." Aku menjawab seraya menaiki mobil yang dikemudikan oleh asistenku, Bimo.

 

Kedua mertuaku memang sangat menyayangiku. Dan rasa sayang itu, tidak timbul mendadak, mereka menyayangiku semenjak pertemuan di panti asuhan ketika aku berusia tujuh tahun. Semenjak dari itu hingga hari ini rasa sayang mereka tidak pernah berubah.

 

"Papa dan Mama kirim hadiah ke rumah. Semoga kamu dan Bara suka, ya." Mama berujar di penghujung percakapan setelah kami membahas satu dua hal lainnya.

 

Hadiah yang dikirimkan mertuaku adalah sepasang jam tangan. Hadiah itu di letakkan di  meja ruangan tengah dengan di bungkus sangat manis.

 

"Bapak sudah pulang?" tanyaku kepada pembantu yang barusan melintas.

 

"Belum, Bu."

 

Aku tahu kemana Mas Bara pergi, Padang. Mas Bara memang pengusaha properti, tapi memiliki kecintaan terhadap dunia sinematografi. Itulah mengapa dia membeli saham di perusahaan yang bergerak di industri penayangan film. Saat ini dia di undang kesana untuk menghadiri perayaan salah satu bioskop yang baru dibuka.

 

Seharusnya dinas itu sebentar, tapi kali ini lebih lama. Mas Bara tak pernah memberi tahuku apa dia akan pulang cepat atau lama, aku pun tak pernah menanyakannya lagi. Hanya saja aku hafal berapa lama dinas semacam itu berlangsung. Saat aku akan kembali ke kamar, aku mendengar deru suara mobil. Sudah pasti itu mobil Mas Bara, suamiku.

 

"Tolong kasih ke Bapak. Ini dari Mama." Aku mengatakan hal itu sembari menyerahkan box arloji bagian Mas Bara ke pembantuku.

 

Kami memang sekarang sudah biasa tidak bertegur sapa bahkan jarang bertemu. Aku melamun mengingat hari-hari awal menikah dengan Mas Bara. Saat itu, kepolosan gadis usia dua puluh dua tahun di uji. Aku masih berusaha memaklumkan kemauan laki-laki yang berusia enam tahun lebih tua dariku itu untuk tidur terpisah.

 

Mungkin orang kaya biasa melakukannya untuk memberikan privasi, pikirku dulu. Sementara itu aku masih mencoba menjadi figur istri yang baik baginya.

 

Seperti bangun lebih pagi untuk menyiapkan makanan sebisanya, menunggu saat makan bersama, dan pulang mendahului suamiku. Konyol. Bahkan sekarang aku ingin menertawakan diriku yang dulu, sebab terlalu naif akan sebuah harapan.

 

Aku mungkin bukanlah seorang wanita yang sangat bisa dikatakan wanita Solehah. Tapi walaupun begitu, aku tetap mencoba menghormati keputusan suamiku, jujur terkadang dulu aku hanya ingin sekali saja mencoba sholat diimamkan oleh suamiku sendiri. Tapi kurasa hal itu sangat sulit untukku raih. Mengingat bentangan jarak tak kasat mata ini makin meninggi, tak kuasa rasanya aku bisa menembus dinding kokoh itu.

 

Seiring berjalannya waktu, tahukan segala sesuatu itu ada batasnya? Bahkan pasti ada kadaluarsanya. Begitu pula ketekunanku itu. Itu semua karena balasan yang kudapatkan dari dia. Entah kenapa aku merasa dia menghindariku.

 

Dia seperti sengaja tak muncul untuk sarapan, bahkan hingga aku berangkat bekerja. Mas Bara juga tidak pernah pulang di bawah jam 9 malam, bahkan kadang dia tak pulang.

 

Penasaran dia bermalam dimana? Tentu. Aku akhirnya tahu kemana pria itu pergi untuk melewatkan malam jika tidak pulang, tapi aku memutuskan untuk diam. Dan dari kenyataan itulah yang akhirnya menghentikan usahaku untuk berupaya untuk menjadi seorang istri yang sesungguhnya, berubah menjadi teman serumah Mas Bara saja.

 

"Na," panggil seseorang diikuti ketukan dari luar pintu kamar.

 

Hanya satu orang di dunia ini yang memanggilku demikian. Jika orang kampung, rumah titip, partner kerja, kenalan atau bahkan mertuaku memanggil 'Sabri', hanya Mas Bara saja yang memanggilku 'Na'.

 

Aku membukakan pintu dan menemukan wajah pria itu.

 

"Akhir pekan ini, bisa temani aku menghadiri acara rekan?" Tanya nya.

 

"Mas W*-kan saja tempat dan jamnya."

 

Mas Bara mengangguk setuju.

 

Inilah salah satu hal yang inginku tertawakan juga. Dulu, susah-susah aku membuat sarapan atau menantinya, tidaklah membuatku  menjadi istri yang sempurna baginya. Bagi pria ini, istri yang sempurna adalah yang bisa jadi temannya menghadiri acara penting. Sesederhana itu.

 

Aku melihat satu tangan pria itu memegang box jam tangan, pasti pembantu yang tadi memberikannya. Di satu tangan lainnya dia memegang goodie bag yang diulurkan padaku.

 

"Buat kamu," ujar Mas Bara  dengan suara baritonnya.

 

Aku menerima kado itu kemudian tersenyum berterima kasih. Ketika Mas bara sudah berlalu, aku membuka kotak itu. Kemudian membawanya ke ruangan tempatku menyimpan perhiasan lainnya. Kalung berlian itu berjejer dengan perhiasan lainnya. Aku heran kenapa orang kaya hobi sekali membeli perhiasan, padahal leher cuma satu apa harus dipasangi perhiasan yang berbeda terus? Tapi aku tetap menerimanya. Ini jelas tentu saja hadiah ulang tahun pernikahan kami.....

 

Related chapters

  • ISTRI PAJANGAN   Berubah

    BARA Aku melihat ke Rolex Daytona di pergelangan tanganku entah untuk keberapa kalinya. Gerakan itu kemudian diikuti dongakan mengecek arah pintu masuk. Kemana dia? Aku yakin sudah mengirimkan alamat dan jam dimana Sabrina harus muncul dan menemaniku sekarang, tapi kenapa belum kelihatan? Sebenarnya aku tak terlalu suka melibatkan Sabrina dipertemuan bisnis seperti ini. Aku tahu bagaimana gatalnya mulut para rekan dan media menguliti soal kehidupan pribadi kami dan aku tahu Sabrina tak nyaman menghadapinya. Hanya saja image bahwa rumah tangga kami baik-baik saja harus ditampilkan dengan sesekali muncul seperti ini. Setelah kulirik jam sekali lagi, akhirnya Sabrina muncul. Wanita itu berpenampilan anggun dalam balutan gamis hitam yang sangat terkesan elegan dan make up yang membuatnya semakin terlihat bersinar. Senyum yang diikut

  • ISTRI PAJANGAN   Selai madu cokelat

    SABRINA Aku meneguk kopi selagi terus mengunyah roti bakar Coklat madu di tangan kananku. Sarapan ini sangat lezat dan praktis. Ya, cukup juga mengenyangkan sebelum memulai mengawali hari. Tak butuh banyak waktu untuk menyelesaikan sarapanku tiap pagi, setelahnya aku langsung bersiap untuk berangkat. "Sudah mau berangkat?" Suara seseorang mengintruksikan, membuatku menengok ke sumbernya seketika. Cukup pagi kali ini Mas Bara bersiap ke kantor. Dia sudah menggunakan setelan rapi dan memasang dasinya sembari menghampiriku ke meja pantry dapur. Aku mengangguk kecil, "Aku berangkat dulu, Mas." Setelah mencuci tangan aku langsung menyambar tas dan berangkat kerja. Hari ini hari penting untuk meeting f

  • ISTRI PAJANGAN   Satu kamar

    SABRINA "Tebak aku dimana?" seru penelpon di seberang ketika aku mengangkat teleponku. Ini masih jam enam pagi dan aku sudah di telepon. "Bandara. Ya, kan?" Salsabila tertawa kencang. Hari ini dia memang tiba di Indonesia sesuai rencana. Seharusnya dia bisa menggunakan penerbangan pribadi, sesuai tawaran Mas Bara. Tapi, wanita itu menolak dan bersikeras untuk naik pesawat komersial saja. Dia memang sering beda pemikiran dengan Mas Bara. Kalau Mas Bara memikirkan kenyamanan dan kecepatan, Salsabila bilang itu pemborosan. Toh, dia tidak diburu deadline tertentu. "Aku akan kerumahmu, Sabri. Ayo kita sarapan bersama." Setelah mengatakan hal tersebut, wanita itu langsung menu

  • ISTRI PAJANGAN   Menyesal???

    BARA Ketukan keras yang berulang-ulang membuatku terjaga. Itu suara Salsabil yang memanggil-manggilku. Astaga kenapa sekalinya dia pulang membuat jengkel begini sih. "Ya ampun, istrimu lagi masak dan kamu masih ngebo?!?!" gerutunya ketika aku membukakan pintu. Dia langsung menerobos masuk kamar dan membuka semua tirai. "Astaga, ini weekend, Bi. Belum waktunya bangun," balasku sambil merebahkan diri kembali ke kasur. Salsabila duduk di dekatku dan memukul pelan lenganku, "Bangun. Mandi. Ayo sarapan bersama!" Aku membiarkan Bila berbicara dan tetap merebahkan diriku d

  • ISTRI PAJANGAN   Salahkah aku??

    SABRINA Meski saat sarapan dan makan malam Mas Bara tak pernah mau makan di rumah, aku akan tetap berusaha mencoba menjadi istri yang berbakti padanya. Kata orang, meluluhkan hati suami bisa dengan masakan istri yang enak dan penuh ketulusan, itulah hal yang sering aku lakukan beberapa bulan belakangan ini. Iya, dari awal setelah kami menikah dan pindah ke rumah ini, Mas Bara tak pernah sekalipun mau memakan masakanku. Aku selalu mengintruksikan diriku dengan kata-kata; mungkin saja Mas Bara masih belum mau memperlihatkan sisi keterbukaannya menerima diriku. Oleh sebab itu, aku berinisiatif ingin memberikannya perhatian lewat makan siangnya Mas Bara. Aku tak tau kenapa Mas Bara tak pernah mengizinkan aku untuk masuk ke dalam ruangannya, kata sekretaris dan reseps

  • ISTRI PAJANGAN   Aku nggak akan menggigitmu

    BARA Tubuhnya mengeluarkan parfum yang biasa digunakannya. Kurasa itu sisa-sisa parfum dan masih melekat ditubuhnya. Rambutnya beraroma stroberi seperti biasanya. Itu karena dia mencuci rambut sebelum tidur tadi. Aku terbiasa dengan aroma yang keluar ketika Sabrina berada di sekitarku. Dari dulu aromanya tak pernah berubah, sungguh konservatif. Wanita beraroma stroberi itu tampak gelisah. Punggungnya berkali-kali bergerak tak nyaman, sesekali aku mendengar helaan nafas kecilnya. "Na, kamu sulit tidur?" Dia sedikit menelengkan kepalanya dan mengangguk. "Kamu ng

  • ISTRI PAJANGAN   Pertama bagiku bukan yang pertama baginya...

    SABRINA Pak Broto mengadakan acara ulang tahun pernikahan ke empat puluh di salah satu hotel mewah miliknya. Aku masuk ke gala ballroom dan ikut nimbrung cipika cipiki dengan tamu lainnya. Setelah celingukan, aku akhirnya menemukan Pak Broto. Beliau sedang berkeliling dengan istrinya dan menyapa para tamu undangan. Akupun mendekati mereka dan di sambut dengan hangat. "Malam, Pak." Aku menyapa yang empunya acara, kemudian bergantian ke istrinya. "Selamat ulang tahun pernikahannya, Pak," ujarku. "Makasih, Sabri. Kamu sendiri? Mana Bara?" tanya Pak Broto sembari mengecek sekelilingku. Belum sempat aku menjawab, ada tamu lainnya datang

  • ISTRI PAJANGAN   Istri Rasa Selingkuhan

    BARAAku harus segera berangkat ke acara pernikahan Satria, acaranya satu jam lagi. Tapi Sabrina tidak juga nampak keluar dari kamarnya, padahal dia tahu ini hari penting. Sebenarnya aku bisa saja pergi tanpa dia, hanya saja Satria mengenal Sabrina. Bukan kenal baik, tapi ya mereka cukup sering ngobrol ketika bertemu. Bahkan menurutku Sabrina jauh lebih nyaman ngobrol dan bercanda dengan Satria dibandingkan denganku yang dihadapinya sehari-hari.Aku nyaris kembali menaiki tangga untuk menuju kamarnya, tapi pembantuku mencegah. Katanya Sabrina menitipkan pesan tidak akan ikut ke acara Satria."Ibu sakit, Pak.""Sakit apa?"Pembantuku itu cuma menggeleng kecil, "Cuma tadi Ibu pes

Latest chapter

  • ISTRI PAJANGAN   Pentingkah kepercayaanku?

    Itu Nico. Dia berdiri di hadapanku yang sedang menghalau kerumunan. Dia mencekal pergelangan tanganku dan membawaku pergi. Langkah lebarnya membuat kami lekas mencapai tempat parkir. Dia memintaku untuk masuk ke mobilnya dan kami pergi dari sana. Air mataku pecah saat itu juga, hatiku sakit sekali mendengar hal-hal mengerikan yang dikatakan Michela tadi. Meskipun aku tahu kelakuan Mas Bara buruk diluar sana, tapi melalui informanku aku tahu Mas Bara selalu main rapi dan tak membiarkan siapapun mencium keburukannya. "Kenapa menikahi pria seperti itu?" tanya Nico ketika aku sudah usai menangis. Ternyata air mataku tidak sebanyak itu. Aku diam. Tidak ada jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. "Dipermalukan seperti itu untuk seorang laki-laki yang kelakuannya buruk

  • ISTRI PAJANGAN   Istri Rasa Selingkuhan

    BARAAku harus segera berangkat ke acara pernikahan Satria, acaranya satu jam lagi. Tapi Sabrina tidak juga nampak keluar dari kamarnya, padahal dia tahu ini hari penting. Sebenarnya aku bisa saja pergi tanpa dia, hanya saja Satria mengenal Sabrina. Bukan kenal baik, tapi ya mereka cukup sering ngobrol ketika bertemu. Bahkan menurutku Sabrina jauh lebih nyaman ngobrol dan bercanda dengan Satria dibandingkan denganku yang dihadapinya sehari-hari.Aku nyaris kembali menaiki tangga untuk menuju kamarnya, tapi pembantuku mencegah. Katanya Sabrina menitipkan pesan tidak akan ikut ke acara Satria."Ibu sakit, Pak.""Sakit apa?"Pembantuku itu cuma menggeleng kecil, "Cuma tadi Ibu pes

  • ISTRI PAJANGAN   Pertama bagiku bukan yang pertama baginya...

    SABRINA Pak Broto mengadakan acara ulang tahun pernikahan ke empat puluh di salah satu hotel mewah miliknya. Aku masuk ke gala ballroom dan ikut nimbrung cipika cipiki dengan tamu lainnya. Setelah celingukan, aku akhirnya menemukan Pak Broto. Beliau sedang berkeliling dengan istrinya dan menyapa para tamu undangan. Akupun mendekati mereka dan di sambut dengan hangat. "Malam, Pak." Aku menyapa yang empunya acara, kemudian bergantian ke istrinya. "Selamat ulang tahun pernikahannya, Pak," ujarku. "Makasih, Sabri. Kamu sendiri? Mana Bara?" tanya Pak Broto sembari mengecek sekelilingku. Belum sempat aku menjawab, ada tamu lainnya datang

  • ISTRI PAJANGAN   Aku nggak akan menggigitmu

    BARA Tubuhnya mengeluarkan parfum yang biasa digunakannya. Kurasa itu sisa-sisa parfum dan masih melekat ditubuhnya. Rambutnya beraroma stroberi seperti biasanya. Itu karena dia mencuci rambut sebelum tidur tadi. Aku terbiasa dengan aroma yang keluar ketika Sabrina berada di sekitarku. Dari dulu aromanya tak pernah berubah, sungguh konservatif. Wanita beraroma stroberi itu tampak gelisah. Punggungnya berkali-kali bergerak tak nyaman, sesekali aku mendengar helaan nafas kecilnya. "Na, kamu sulit tidur?" Dia sedikit menelengkan kepalanya dan mengangguk. "Kamu ng

  • ISTRI PAJANGAN   Salahkah aku??

    SABRINA Meski saat sarapan dan makan malam Mas Bara tak pernah mau makan di rumah, aku akan tetap berusaha mencoba menjadi istri yang berbakti padanya. Kata orang, meluluhkan hati suami bisa dengan masakan istri yang enak dan penuh ketulusan, itulah hal yang sering aku lakukan beberapa bulan belakangan ini. Iya, dari awal setelah kami menikah dan pindah ke rumah ini, Mas Bara tak pernah sekalipun mau memakan masakanku. Aku selalu mengintruksikan diriku dengan kata-kata; mungkin saja Mas Bara masih belum mau memperlihatkan sisi keterbukaannya menerima diriku. Oleh sebab itu, aku berinisiatif ingin memberikannya perhatian lewat makan siangnya Mas Bara. Aku tak tau kenapa Mas Bara tak pernah mengizinkan aku untuk masuk ke dalam ruangannya, kata sekretaris dan reseps

  • ISTRI PAJANGAN   Menyesal???

    BARA Ketukan keras yang berulang-ulang membuatku terjaga. Itu suara Salsabil yang memanggil-manggilku. Astaga kenapa sekalinya dia pulang membuat jengkel begini sih. "Ya ampun, istrimu lagi masak dan kamu masih ngebo?!?!" gerutunya ketika aku membukakan pintu. Dia langsung menerobos masuk kamar dan membuka semua tirai. "Astaga, ini weekend, Bi. Belum waktunya bangun," balasku sambil merebahkan diri kembali ke kasur. Salsabila duduk di dekatku dan memukul pelan lenganku, "Bangun. Mandi. Ayo sarapan bersama!" Aku membiarkan Bila berbicara dan tetap merebahkan diriku d

  • ISTRI PAJANGAN   Satu kamar

    SABRINA "Tebak aku dimana?" seru penelpon di seberang ketika aku mengangkat teleponku. Ini masih jam enam pagi dan aku sudah di telepon. "Bandara. Ya, kan?" Salsabila tertawa kencang. Hari ini dia memang tiba di Indonesia sesuai rencana. Seharusnya dia bisa menggunakan penerbangan pribadi, sesuai tawaran Mas Bara. Tapi, wanita itu menolak dan bersikeras untuk naik pesawat komersial saja. Dia memang sering beda pemikiran dengan Mas Bara. Kalau Mas Bara memikirkan kenyamanan dan kecepatan, Salsabila bilang itu pemborosan. Toh, dia tidak diburu deadline tertentu. "Aku akan kerumahmu, Sabri. Ayo kita sarapan bersama." Setelah mengatakan hal tersebut, wanita itu langsung menu

  • ISTRI PAJANGAN   Selai madu cokelat

    SABRINA Aku meneguk kopi selagi terus mengunyah roti bakar Coklat madu di tangan kananku. Sarapan ini sangat lezat dan praktis. Ya, cukup juga mengenyangkan sebelum memulai mengawali hari. Tak butuh banyak waktu untuk menyelesaikan sarapanku tiap pagi, setelahnya aku langsung bersiap untuk berangkat. "Sudah mau berangkat?" Suara seseorang mengintruksikan, membuatku menengok ke sumbernya seketika. Cukup pagi kali ini Mas Bara bersiap ke kantor. Dia sudah menggunakan setelan rapi dan memasang dasinya sembari menghampiriku ke meja pantry dapur. Aku mengangguk kecil, "Aku berangkat dulu, Mas." Setelah mencuci tangan aku langsung menyambar tas dan berangkat kerja. Hari ini hari penting untuk meeting f

  • ISTRI PAJANGAN   Berubah

    BARA Aku melihat ke Rolex Daytona di pergelangan tanganku entah untuk keberapa kalinya. Gerakan itu kemudian diikuti dongakan mengecek arah pintu masuk. Kemana dia? Aku yakin sudah mengirimkan alamat dan jam dimana Sabrina harus muncul dan menemaniku sekarang, tapi kenapa belum kelihatan? Sebenarnya aku tak terlalu suka melibatkan Sabrina dipertemuan bisnis seperti ini. Aku tahu bagaimana gatalnya mulut para rekan dan media menguliti soal kehidupan pribadi kami dan aku tahu Sabrina tak nyaman menghadapinya. Hanya saja image bahwa rumah tangga kami baik-baik saja harus ditampilkan dengan sesekali muncul seperti ini. Setelah kulirik jam sekali lagi, akhirnya Sabrina muncul. Wanita itu berpenampilan anggun dalam balutan gamis hitam yang sangat terkesan elegan dan make up yang membuatnya semakin terlihat bersinar. Senyum yang diikut

DMCA.com Protection Status