Rachel menatap langit-langit rumahnya yang sudah mulai rapuh. Atap bocor di sana-sini, dan dinding kayu yang lapuk membuat angin dingin leluasa masuk. Malam itu, ia duduk di samping ranjang kayu tempat ibunya terbaring lemah. Napas wanita tua itu terdengar pelan dan berat, seolah setiap hembusan membutuhkan tenaga besar.
“Ibu, makanlah dulu.” Rachel menyodorkan semangkuk bubur yang hampir dingin. Sang ibu menggeleng pelan, menatapnya dengan mata sayu. “Kamu sudah makan, Nak?” Rachel tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kenyataan. “Sudah, Bu.” Padahal, sejak pagi perutnya belum terisi apa pun. Bohong demi kebaikan sudah menjadi kebiasaannya. Ia lebih memilih menahan lapar asalkan ibunya bisa makan, meski hanya sedikit. Hidup mereka selalu penuh kekurangan. Sejak ayahnya meninggal, Rachel dan ibunya hidup dalam kemiskinan. Setiap hari, ia bekerja sebagai pelayan di restoran kecil, mencoba mengumpulkan uang untuk bertahan hidup. Namun, gaji kecilnya nyaris tak cukup untuk membiayai pengobatan ibunya yang semakin hari semakin memburuk. Rachel menatap wajah ibunya yang mulai tertidur. Hatinya nyeri. Ia tak ingin kehilangan satu-satunya keluarga yang tersisa. Tapi bagaimana caranya menyelamatkan ibunya tanpa uang? Sambil menghela napas panjang, ia berbaring di atas tikar lusuh di lantai. Malam itu, perutnya kembali kosong, tapi ia memaksakan diri untuk tidur. Besok, hari baru menantinya. Keesokan harinya, restoran tempat Rachel bekerja lebih ramai dari biasanya. Pelanggan datang silih berganti, membuatnya harus bergerak cepat mengantar pesanan. “Rachel! Meja tujuh, cepat!” seru seorang koki dari dapur. Rachel segera mengambil nampan berisi sup panas dan roti, lalu berjalan menuju meja yang dimaksud. Namun, sebelum ia sampai, seseorang dengan sengaja menjulurkan kaki ke depannya. BRAK! Rachel tersungkur ke lantai. Sup panas dalam mangkuk tumpah, mengenai celana pria yang duduk di meja itu. “Astaga!” Pria itu berdiri dengan marah, menatap noda di celananya. “Kamu tidak punya mata, hah?!” Rachel langsung bangkit dan menunduk dalam. “Saya minta maaf, Tuan. Saya tidak sengaja—” “Dasar ceroboh!” Pria itu menarik kerah bajunya. “Tahu nggak berapa harga celana ini?! Aku bisa menuntutmu!” Rachel menggigit bibir, tubuhnya gemetar. Ia ingin menangis, tapi tahu menangis tak akan menyelesaikan masalah. Saat itu, suara berat dan dingin terdengar dari meja sebelah. “Lepaskan dia.” Semua orang menoleh. Seorang pria duduk santai di kursinya, menyesap kopi dengan tenang. Meski ekspresinya datar, sorot matanya tajam dan berwibawa. Rachel menelan ludah. Pria itu berbeda dari pelanggan lain. Pakaiannya rapi, wajahnya tegas, dan caranya berbicara menunjukkan bahwa ia bukan orang biasa. Pria yang menjegal Rachel langsung mundur selangkah. “Kau siapa? Jangan ikut campur!” Pria berwibawa itu mengangkat alis. “Pemilik restoran ini.” Keheningan menyelimuti ruangan. Rachel membelalakkan mata. Pemilik restoran ini? Seketika, pria yang tadi menganiaya Rachel berubah pucat. “M-Maaf, Tuan Martin… saya tidak bermaksud” “Keluar,” potong pria itu dengan nada dingin. Tanpa menunggu perintah kedua, pria itu langsung kabur dari restoran. Rachel masih berdiri terpaku, jantungnya berdebar kencang. Ia tak menyangka pria yang menolongnya adalah pemilik restoran ini—Martin Hartono, seorang pengusaha kaya raya. Martin menatapnya. “Kamu tidak apa-apa?” Rachel cepat-cepat mengangguk. “Terima kasih, Tuan.” Martin tidak langsung menjawab. Ia justru menatap Rachel lama, seolah menilai sesuatu dalam dirinya. “Berapa lama kamu bekerja di sini?” tanyanya. Rachel terkejut dengan pertanyaannya, tapi ia menjawab jujur, “Sudah hampir dua tahun, Tuan.” “Berapa gajimu?” Rachel terdiam. Kenapa pria ini menanyakan hal seperti itu? Martin menyesap kopinya, menunggu jawaban. “Aku… aku hanya mendapat cukup untuk makan dan membayar sebagian kecil biaya obat ibuku,” kata Rachel lirih. Martin menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak. Lalu, tanpa berkata banyak, ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya yaitu selembar kartu nama dan meletakkannya di atas meja. “Datanglah ke kantorku besok pagi,” katanya sebelum bangkit dan berjalan keluar dari restoran. Rachel menatap kartu nama itu dengan bingung. Kenapa pria seperti Martin ingin bertemu dengannya? Genggamannya mengerat, dadanya dipenuhi berbagai pertanyaan. Apakah ini kesempatan yang bisa mengubah hidupnya? Atau justru jebakan berbahaya?Pagi itu, Rachel berdiri di depan sebuah gedung pencakar langit yang megah. Tangannya gemetar saat menggenggam kartu nama yang diberikan Martin kemarin.Hartono Corporation.Ia menelan ludah. Perusahaan ini bukan sembarang perusahaan. Nama Martin Hartono terkenal di mana-mana sebagai pengusaha sukses dengan kekayaan melimpah.Kenapa aku ada di sini?Rachel ragu. Ia hanyalah gadis miskin yang bahkan tak bisa membeli baju bagus untuk menghadiri pertemuan penting. Dengan pakaian sederhana dan sepatu yang mulai usang, ia merasa seperti orang asing di tempat ini.Namun, suara dalam hatinya berkata, ini kesempatan besar.Mengambil napas dalam, Rachel akhirnya melangkah masuk.Begitu memasuki lobi, matanya langsung tertuju pada kemewahan di sekelilingnya. Lantai marmer mengilap, lampu kristal yang menggantung di langit-langit, dan para pekerja dengan pakaian rapi berlalu-lalang.Seorang resepsionis tersenyum padanya. “Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?”Rachel menggigit bibir, merasa ca
Seminggu berlalu dengan cepat. Rachel bahkan tidak punya banyak waktu untuk memikirkan ulang keputusannya. Sejak menerima lamaran Martin, hidupnya berubah drastis. Hari ini, ia berdiri di depan cermin dengan gaun pengantin berwarna putih gading yang begitu indah, sesuatu yang tak pernah ia bayangkan bisa ia kenakan. Namun, meskipun penampilannya sempurna, hatinya terasa kosong. Ia akan menikah dengan pria yang hampir tidak ia kenal, tanpa cinta, tanpa harapan untuk sebuah kebahagiaan seperti yang ia impikan sejak kecil. Upacara pernikahan berlangsung megah di sebuah hotel mewah. Tidak ada keluarga dari pihak Rachel yang hadir dan bukan karena ia tidak mau mengundang mereka, tetapi karena Martin sendiri yang melarang. “Tidak ada yang boleh tahu tentang latar belakangmu. Kamu adalah istri Martin Hartono, dan itu saja yang dunia perlu tahu.” Kata-kata pria itu terngiang di kepalanya. Rachel mengangguk pada dirinya sendiri di depan cermin. Hari ini bukan tentang cinta. Ini hanya seb
Rachel berdiri terpaku di ruang tamu vila megah itu, masih memproses apa yang baru saja terjadi. Kakeknya sekarat? Ia memang tidak tahu banyak tentang keluarga suaminya, selain fakta bahwa mereka adalah salah satu keluarga terkaya dan paling berpengaruh di negeri ini. Namun, melihat ekspresi Martin yang begitu tegang barusan, Rachel yakin ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar berita duka. Perasaan tidak nyaman menyelimutinya. Apa yang sebenarnya terjadi? Malam itu, Rachel tidak bisa tidur. Ia berjalan mondar-mandir di kamar yang terasa terlalu luas dan sunyi. Bayangan wajah Martin sebelum pergi tadi terus terlintas di pikirannya. Dia terlihat… takut. Martin bukan pria yang mudah menunjukkan emosi. Sejak pertama kali bertemu dengannya, Rachel selalu melihat pria itu sebagai seseorang yang dingin, keras, dan sulit ditebak. Namun, malam ini… ada sesuatu yang berbeda. Rasa penasaran menguasainya. Rachel akhirnya mengambil ponselnya dan mencoba mencari informasi tentang keluarga
Rachel menatap pria asing di hadapannya dengan jantung berdebar kencang. Ada sesuatu yang mengerikan di balik senyumnya yang tenang. Matanya tajam, penuh keyakinan, seolah-olah ia sudah memiliki kendali penuh atas situasi ini. Martin yang berdiri di sebelah Rachel mengepalkan tangannya. “Kenapa kau ada di sini?” suaranya rendah, nyaris seperti geraman. Pria itu tertawa kecil. “Aku hanya ingin menyapa keluargaku. Lagipula, aku juga punya hak untuk berada di sini, bukan?” Rachel semakin bingung. Siapa pria ini? Tuan Gunawan, yang masih terbaring lemah di ranjang, tampak berusaha mengumpulkan tenaga untuk berbicara. “Davin…” suaranya serak. Rachel tersentak. Davin? Nama itu terdengar familiar. Lalu, ingatannya kembali pada artikel yang ia baca tadi malam. Tentang pewaris keluarga Hartono yang ‘menghilang’. Davin Hartono. Rachel menatap pria itu dengan mata melebar. “Jadi… kau adalah pewaris yang seharusnya mengambil alih semua ini?” Davin mengangkat bahu dengan santai. “Seharusn
Rachel tidak bisa menghilangkan bayangan Davin dari pikirannya. Pria itu bukan hanya berbahaya, tetapi juga cerdas dan penuh perhitungan. Apa yang sedang ingin ia rencanakan? Pagi itu, Rachel duduk di ruang makan bersama Martin, tetapi pikirannya masih terjebak di malam sebelumnya. Ia ingin bertanya lebih banyak tentang Davin, tetapi Martin tampak sama sekali tidak ingin membicarakannya. Saat itulah seorang pelayan masuk, membawa sebuah amplop berwarna hitam. “Tuan muda Martin, ini surat untuk Anda.” Martin mengambil amplop itu dan menatapnya dengan dahi berkerut. Tidak ada pengirim. Rachel ikut melihat ketika Martin membuka amplop itu. Isinya hanya selembar kertas dengan tulisan tangan yang sangat rapi. “Harta yang kau banggakan bukan milikmu. Aku hanya mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi hakku. Bersiaplah.” Rachel merasa tengkuknya meremang. “Dari Davin?” Martin mengepalkan kertas itu dengan rahang mengeras. “Siapa lagi kalau bukan dia?” Tidak lama bebe
Martin menggenggam kunci itu erat, matanya penuh ketegangan. Rachel berdiri di sampingnya, jantungnya berdebar tak menentu. Apa sebenarnya yang sedang dimainkan Davin? “Kita harus mencari tahu ini sekarang,” kata Martin tegas. Rachel ragu sejenak. “Apa tidak lebih baik menunggu dan mencari tahu dulu?” Martin menggeleng. “Davin tidak akan memberi kita waktu. Jika kita diam, kita hanya akan semakin terpojok.” Rachel menelan ludah, tetapi akhirnya mengangguk. “Baiklah.” Martin menggenggam tangannya. “Aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi padamu.” Mereka keluar dari rumah dan masuk ke dalam mobil. Malam itu dingin, tetapi ketegangan membuat udara di dalam mobil terasa panas. Martin menyalakan mesin. “Ada satu tempat yang bisa kita periksa.” Rachel menoleh. “Di mana?” “Gudang tua di pinggiran kota. Dulu tempat itu digunakan keluarga kami untuk menyimpan barang-barang berharga.” Rachel merasakan firasat buruk. “Kau yakin Davin tidak menjebak kita?” Martin tersenyum tipis. “I
Rachel duduk di ruang kerja Martin dengan tatapan kosong. Semua yang ia miliki kini terasa hampa. Sejak menikah dengan Martin, hidupnya berubah drastis. Dari seorang gadis miskin yang kesulitan makan sehari-hari, ia kini hidup bergelimang harta. Gaun-gaun mahal menggantung rapi di lemarinya, perhiasan berkilauan mengelilingi tubuhnya, dan semua yang ia impikan kini ada di genggamannya. Namun, ada satu hal yang tidak ia sadari. Hatinya mulai berubah. Dulu, ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan melupakan keluarganya. Namun, setelah terbiasa dengan kehidupan mewah, ia mulai menjaga jarak. Ibunya yang dulu selalu menemaninya dalam kesulitan, kini hanya mendapat sapaan singkat setiap beberapa minggu. Adik-adiknya yang dulu sering kelaparan bersamanya, kini hanya bisa melihatnya dari jauh. Rachel telah melupakan asal-usulnya. Martin, meskipun sadar akan perubahan Rachel, tidak pernah menegurnya secara langsung. Ia mencintai istrinya, terlepas dari segala kekuranga
Rachel menatap pria itu dengan tubuh menegang. Leonard?Ia mengenali pria itu. Dulu, ia hanyalah seorang bawahan di perusahaan Martin. Tetapi sekarang, ada sesuatu dalam tatapan Leonard yang membuat Rachel merasakan ancaman yang lebih besar.Martin juga menatap pria itu dengan waspada. “Aku tidak menyangka kau akan muncul di sini.”Leonard tersenyum tipis, tetapi senyumnya penuh dengan kesombongan. “Sudah lama sekali, Martin. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja… atau lebih tepatnya, memastikan kau tidak akan menghalangi rencanaku lagi.”Rachel merasakan bulu kuduknya meremang. Apa maksud Leonard?“Aku tidak pernah menghalangimu, Leonard,” ujar Martin tenang, meskipun tubuhnya tampak lebih lemah dari sebelumnya. “Kau sendiri yang tidak cukup sabar untuk mendapatkan apa yang kau inginkan.”Leonard terkekeh. “Tidak cukup sabar? Apa kau pikir aku bisa duduk diam sementara kau menikmati semua yang seharusnya menjadi milikku?”Rachel mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”Leonard men
Seiring berjalannya waktu, kondisi Rachel semakin membaik. Ia rutin meminum obat yang diresepkan dokter, dan ingatannya perlahan mulai stabil. Rasa pusing yang sering menyerangnya kini berkurang, dan ia mulai merasa seperti dirinya yang dulu.Setiap pagi, Martin selalu mengingatkan Rachel untuk tidak melewatkan obatnya. Ia bahkan menyusun alarm di ponselnya agar tak ada satu pun dosis yang terlewat. Perhatian Martin membuat Rachel semakin yakin bahwa suaminya adalah pria terbaik yang pernah hadir dalam hidupnya.Ia memandangi wajah Martin yang tengah sibuk di ruang kerja. Walaupun lahir dari keluarga kaya raya, pria itu tidak pernah memandangnya rendah. Martin selalu menerima dirinya apa adanya, bahkan ketika ia dulu sempat lupa diri dan berubah menjadi orang yang berbeda.Rachel menggigit bibirnya, merasa sedikit bersalah. Dulu, ia terlalu sibuk menikmati kemewahan dan mengabaikan banyak hal penting, termasuk suaminya sendiri. Tapi sekarang, ia ingin menjadi pribadi yang lebih baik—
Pagi itu, Martin membangunkan Rachel lebih awal dari biasanya.“Rachel, bangun. Kita harus ke rumah sakit hari ini,” katanya lembut sambil menggoyangkan bahu istrinya.Rachel mengerjap pelan, matanya masih terasa berat. Kepalanya berdenyut, dan sebagian ingatannya masih terasa kabur. Ia sempat lupa bahwa hari ini adalah jadwal kontrolnya.Martin membantu Rachel duduk di tempat tidur. “Kita harus pastikan kondisimu benar-benar stabil. Setelah itu, kamu bisa kembali minum obat dengan teratur.”Rachel mengangguk lemah. Ia tahu Martin sangat mengkhawatirkannya. Sejak kecelakaan itu, suaminya semakin protektif, bahkan ia merasa Martin lebih sering memperhatikannya dibanding dirinya sendiri.Setelah tiba di rumah sakit, dokter melakukan pemeriksaan menyeluruh. Rachel menjalani beberapa tes untuk memastikan kondisinya, terutama mengenai ingatannya yang masih belum sepenuhnya pulih.“Sejauh ini, kondisinya cukup stabil,” kata dokter sambil menuliskan sesuatu di buku catatan medis. “Tapi efek
Sejak kepulangannya dari rumah sakit sebulan lalu, Rachel menjalani hari-harinya dengan lebih tenang. Martin kembali fokus pada perusahaannya yang sempat terguncang, sementara ia sendiri lebih banyak beristirahat di rumah, mengikuti saran dokter agar tubuhnya bisa pulih sepenuhnya.Setiap hari, ia rutin mengonsumsi obat yang diresepkan dokter. Namun, pagi ini, sesuatu terasa berbeda. Saat ia membuka laci tempat menyimpan obatnya, botol itu kosong. Rachel terdiam, mencoba mengingat kapan terakhir kali ia kontrol ke rumah sakit.“Oh… seharusnya aku kontrol hari ini,” gumamnya pelan.Namun, tubuhnya terasa terlalu lemas untuk bergerak. Kepala mulai berdenyut perlahan, lalu semakin tajam seiring berjalannya waktu.Sementara itu, Martin baru saja menyelesaikan rapat di kantornya. Setelah sempat absen selama berminggu-minggu karena kecelakaan, ia harus bekerja ekstra keras untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul di perusahaan. Beberapa orang bahkan mencoba mengambil kesempatan saat diri
Hari kedua di rumah sakit, Rachel mulai menyadari sesuatu yang mengganggu dirinya. Ada bagian dari ingatannya yang terasa kabur—tidak sepenuhnya hilang, tetapi sulit dijangkau. Saat ia berusaha mengingat masa lalu, kepalanya terasa berat, seolah ada kabut yang menghalangi pikirannya.Ia masih mengenali Martin, masih ingat siapa dirinya, dan masih memahami sebagian besar kehidupannya. Tapi ada detail-detail kecil yang terasa hilang—seperti kejadian-kejadian tertentu yang seharusnya ia ingat, tetapi kini hanya menyisakan bayangan samar.Rachel mengerutkan kening, mencoba mengingat sesuatu yang spesifik. “Martin… aku merasa ada yang aneh dengan ingatanku. Aku bisa mengingat banyak hal, tapi rasanya tidak setajam biasanya.”Martin, yang sejak tadi duduk di sampingnya, menatap istrinya dengan tenang meski dalam hatinya ia merasa khawatir. Ia tahu sesuatu yang tidak Rachel sadari—dokter telah memberitahunya bahwa benturan yang dialami Rachel cukup serius dan mungkin menyebabkan gangguan mem
Malam di rumah sakit terasa begitu sunyi. Hanya suara detak mesin medis dan langkah kaki suster yang sesekali terdengar di lorong. Rachel masih terbaring di ranjang, sementara Martin duduk di sofa kecil di sampingnya. Matanya memandangi istrinya yang tertidur, namun pikirannya tak tenang.Siapa pun yang berusaha mencelakai mereka pasti memiliki alasan kuat untuk menyembunyikan kebenaran tentang Adrian. Tapi siapa?Ponsel Martin bergetar di atas meja kecil di samping ranjang. Ia mengambilnya dan melihat nama di layar: Nomor Tidak Dikenal.Martin ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab.“Halo?” suaranya tenang, tapi waspada.Tak ada jawaban di seberang. Hanya suara napas pelan.“Halo?” ulangnya, kali ini lebih tegas.Lalu, terdengar suara berat yang nyaris berbisik.“Berhenti mencari… atau kau akan kehilangan lebih dari yang kau bayangkan.”Seketika, panggilan itu terputus.Martin merasakan tengkuknya meremang. Ini bukan peringatan biasa—ini ancaman.Ia segera berdiri dan berjalan ke lua
Rasa sakit menusuk seluruh tubuh Rachel saat kesadarannya perlahan kembali. Matanya terasa begitu berat, namun ia bisa mendengar suara samar-samar di sekitarnya dan bunyi monitor medis yang berdetak pelan dan suara langkah kaki seseorang.Perlahan, ia membuka matanya. Langit-langit putih dan bau antiseptik memenuhi indranya. Rumah sakit. Ia mencoba menggerakkan tangannya, tetapi rasa nyeri langsung menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya meringis.“Rachel…”Suara itu. Lembut, penuh kekhawatiran.Rachel menoleh perlahan dan melihat Martin duduk di samping tempat tidurnya. Wajahnya penuh luka dan lebam, namun sorot matanya tetap lembut menatapnya.“Kamu sadar,” katanya, suaranya dipenuhi rasa lega.Rachel mencoba berbicara, namun tenggorokannya begitu kering. Martin langsung menuangkan air ke dalam gelas dan mencoba membantunya untuk minum.“Apa… yang terjadi?” Rachel akhirnya bisa bersuara, meski lemah.Martin menghela napas panjang. “Kita telah mengalami kecelakaan. Mobil itu menabra
Pagi itu, yaitu setelah percakapan penuh emosi dengan ibunya, Rachel merasa semakin yakin bahwa dia harus menemukan pria yang dimaksud, yaitu Malik. Orang yang bisa jadi mengetahui lebih banyak tentang Adrian dan masa lalu yang selama ini disembunyikan. Martin, meski ragu, akhirnya setuju untuk ikut serta. Ia tahu betul betapa pentingnya pencarian ini bagi Rachel, dan meski ada rasa khawatir yang menggelayuti dirinya, ia tak bisa membiarkan Rachel melakukannya sendirian.Mereka berdua memutuskan untuk menuju ke daerah yang disebutkan oleh pria misterius di gudang—tempat terakhir Malik terlihat beberapa tahun lalu. Tidak ada petunjuk pasti mengenai keberadaan Malik, namun Rachel merasa bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.Di dalam mobil, suasana sunyi menyelimuti mereka. Rachel melirik Martin, mencoba membaca ekspresinya. Suaminya itu terlihat tegang, memfokuskan perhatian pada jalan yang semakin sepi.“Martin, kamu yakin kita harus melanjutk
Rachel terdiam setelah mendengar kata-kata Pak Surya. Matanya terasa kosong, kosong oleh semua informasi baru yang datang begitu cepat. Apa maksud Pak Surya dengan mengatakan kebenaran ini akan menghancurkannya? Apa yang lebih gelap dari apa yang sudah ia temui? Semua hal yang ia percayai kini terancam hancur.Pak Surya menatapnya dengan raut wajah yang penuh kecemasan. “Rachel, aku tidak ingin kau terjebak dalam dunia ini. Dunia yang sudah mengubah hidup banyak orang. Dunia yang menganggap nyawa tak lebih dari sebuah harga yang bisa ditawar.”Rachel dengan tegas. “Saya tidak akan mundur begitu saja, Pak. Saya harus tahu apa yang terjadi pada Adrian. Apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu?”Pak Surya menghela napas panjang. “Malam itu… bukan hanya Adrian yang menghilang. Ada banyak hal yang terjadi di balik itu. Banyak hal yang tidak pernah seharusnya kamu tahu.”Rachel menatapnya intens. “Kenapa sekarang, Pak? Kenapa Anda baru bicara sekarang?”Pak Surya menundukkan kepala, tampa
Rachel berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang terpantul. Sesuatu dalam dirinya telah berubah. Kebenaran yang baru ia terima begitu menghantam, meninggalkan rasa sakit yang dalam, namun juga memberikan pemahaman yang baru. Adrian, saudara kandungnya, ternyata telah dibawa pergi oleh ayah kandungnya sendiri, yang selama ini disembunyikan ibunya.Pikiran Rachel terus berputar, mengingat setiap momen yang pernah ia alami bersama ibunya. Momen-momen yang tampak begitu sempurna, tapi kini terasa seperti ilusi. Mengapa ibunya tidak pernah menceritakan tentang ayah mereka? Apa yang membuatnya begitu takut? Dan mengapa ayahnya tiba-tiba muncul setelah sekian lama?Rachel menghela napas panjang dan melangkah menuju meja, di mana ponselnya tergeletak. Ada pesan dari Clara yang baru saja masuk.“Rachel, aku sudah menemukan sesuatu. Kita perlu bicara.”Tangan Rachel gemetar ketika membuka pesan tersebut. Clara selalu menjadi orang yang paling bisa diandalkan, namun pesan ini memberi isyara