Bab 2: Lamaran Tak Terduga

Pagi itu, Rachel berdiri di depan sebuah gedung pencakar langit yang megah. Tangannya gemetar saat menggenggam kartu nama yang diberikan Martin kemarin.

Hartono Corporation.

Ia menelan ludah. Perusahaan ini bukan sembarang perusahaan. Nama Martin Hartono terkenal di mana-mana sebagai pengusaha sukses dengan kekayaan melimpah.

Kenapa aku ada di sini?

Rachel ragu. Ia hanyalah gadis miskin yang bahkan tak bisa membeli baju bagus untuk menghadiri pertemuan penting. Dengan pakaian sederhana dan sepatu yang mulai usang, ia merasa seperti orang asing di tempat ini.

Namun, suara dalam hatinya berkata, ini kesempatan besar.

Mengambil napas dalam, Rachel akhirnya melangkah masuk.

Begitu memasuki lobi, matanya langsung tertuju pada kemewahan di sekelilingnya. Lantai marmer mengilap, lampu kristal yang menggantung di langit-langit, dan para pekerja dengan pakaian rapi berlalu-lalang.

Seorang resepsionis tersenyum padanya. “Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?”

Rachel menggigit bibir, merasa canggung. “Saya… Rachel. Saya punya janji dengan Tuan Martin.”

Resepsionis itu langsung mengangguk, lalu menelepon seseorang. Tak lama kemudian, seorang pria berjas hitam datang menghampiri.

“Silakan ikut saya,” katanya dengan sopan.

Rachel mengikutinya naik lift menuju lantai tertinggi. Jantungnya berdebar semakin kencang. Apa yang akan terjadi?

Saat lift terbuka, ia langsung dihadapkan pada ruangan luas dengan jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota. Di balik meja kerja yang elegan, Martin duduk dengan tenang, menatapnya dengan tatapan tajam.

“Silakan duduk,” katanya tanpa basa-basi.

Rachel duduk dengan gugup. Tangannya mengepal di pangkuan.

Martin menatapnya lama sebelum akhirnya berbicara, “Kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku memanggilmu ke sini.”

Rachel mengangguk pelan.

Pria itu bersandar di kursinya. “Aku membutuhkan seorang istri.”

Jantung Rachel berhenti berdetak sejenak.

Apa yang baru saja dia katakan?!

Rachel yakin ia salah dengar. “Maaf, Tuan?”

“Aku ingin menikah denganmu,” ulang Martin dengan nada datar.

Rachel membelalakkan mata. Ia nyaris tertawa kalau saja situasi ini tidak begitu serius.

“Tuan Martin, Anda bercanda, kan?” tanyanya dengan suara gemetar.

“Aku tidak punya waktu untuk bercanda.”

Rachel menatapnya penuh kebingungan. “Tapi… kenapa saya? Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya seorang pelayan restoran. Anda bisa menikahi wanita mana pun yang Anda mau.”

Martin menatapnya tajam. “Itu bukan urusanmu. Aku sudah membuat keputusan.”

Rachel masih sulit mempercayai apa yang ia dengar. Ini gila. Tidak masuk akal.

“Tuan, saya… saya tidak bisa menerima ini. Saya bahkan tidak mengenal Anda dengan baik.”

Martin mengangkat alis. “Aku tidak memintamu untuk mencintaiku. Ini hanya pernikahan kontrak.”

Rachel semakin bingung. “Pernikahan kontrak?”

“Ya. Aku membutuhkan seorang istri untuk alasan pribadi, dan kamu membutuhkan uang untuk pengobatan ibumu, bukan?”

Rachel tercekat.

Martin menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Aku bisa membayar semua biaya rumah sakit ibumu. Aku juga bisa memberimu kehidupan yang lebih baik. Kamu hanya perlu menikah denganku selama satu tahun.”

Rachel menunduk, pikirannya kacau. Tawaran ini terdengar seperti mimpi.

Tapi… apakah ia bisa menerima pernikahan tanpa cinta?

Ia memejamkan mata. Seumur hidup, ia hanya ingin menikah dengan seseorang yang mencintainya. Tapi saat ini, ibunya lebih penting daripada impiannya.

“Jika aku setuju…” Rachel menelan ludah. “Apa yang harus aku lakukan?”

Martin menatapnya dalam. “Hanya berperan sebagai istriku di depan publik. Tidak ada kewajiban lain.”

Rachel masih ragu. “Kenapa Anda memilih saya?”

Senyum kecil terlukis di wajah Martin, tapi bukan senyum hangat. Lebih seperti senyum penuh misteri.

“Kamu tidak perlu tahu alasannya. Yang perlu kamu tahu, aku tidak akan memaksamu. Tapi jika kamu menolak, aku tidak akan menawarkan ini lagi.”

Rachel menatap pria itu dengan campuran emosi. Di satu sisi, ia merasa seperti sedang menjual dirinya. Tapi di sisi lain, ini adalah kesempatan emas untuk menyelamatkan ibunya.

Ia menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara pelan, “Baiklah. Saya setuju.”

Martin tersenyum tipis. “Bagus. Persiapkan dirimu. Kita akan menikah minggu depan.”

Rachel terkejut. “Secepat itu?”

“Ya. Aku tidak suka menunda-nunda sesuatu.”

Rachel merasakan kegugupan menjalar di tubuhnya. Ia tahu hidupnya akan berubah total setelah ini.

Tapi ia tidak menyangka bahwa keputusan ini akan menjadi awal dari sesuatu yang lebih berbahaya dari yang ia duga.