Rachel duduk di tepi ranjang Martin, memandangi amplop yang baru saja diberikan oleh Leonard. Tangannya gemetar. “Rachel, lihat ini kesempatanmu,” kata Leonard dengan nada yang lembut. “Kau masih muda, kau pasti bisa mendapatkan hidup yang lebih baik.” Di dalam amplop itu ada kontrak. Jika ia menandatangani, ia akan mendapatkan bagian dari kekayaan Martin. Rachel menoleh ke arah suaminya. Martin tampak lebih lemah dari sebelumnya. Wajahnya pucat, tubuhnya terlihat lebih kurus, tetapi matanya tetap hangat seperti dulu. Ia tidak memohon agar Rachel bertahan. Ia hanya menatapnya dengan ketenangan yang menyakitkan. “Rachel,” suara Martin terdengar pelan tapi tegas. “Keputusan ada di tanganmu.” Rachel menelan ludah. Apa ini akhir dari pernikahan mereka? Martin adalah pria yang dulu mengubah hidupnya. Dulu, ia hanyalah gadis miskin tanpa harapan. Martin memberinya segalanya—rumah, kehidupan yang layak, dan status sosial. Tetapi setelah ia memiliki semuanya, ia mulai lupa d
Rachel meremas ujung gaunnya, jantungnya berdetak kencang saat membaca isi surat gugatan yang baru saja diberikan pria berjas hitam. Leonard menuduh mereka menyalahgunakan aset perusahaan Martin. Rachel mengangkat wajahnya, menatap Martin yang masih berbaring lemah di ranjang rumah sakit. Matanya menyiratkan ketenangan, tetapi tangannya mengepal di atas selimut. “Jadi ini langkah pertama Leonard?” gumam Martin, suaranya terdengar serak. Pria berjas hitam itu mengangguk. “Ya, dan ini bukan gugatan biasa. Jika Leonard menang, pasti kalian akan kehilangan semua aset Martin, termasuk rumah dan sahamnya di perusahaan.” Rachel terperanjat. “Itu berarti kita akan kehilangan segalanya?” “Benar,” jawab pria itu dengan nada yang serius. Rachel menelan ludah. Baru saja ia memilih untuk tetap bersama Martin, sekarang mereka harus menghadapi ancaman yang jauh lebih besar. Leonard tidak main-main. Ia memang benar ingin menghancurkan mereka. “Apa yang bisa kita lakukan?” tanya Rachel, suara
Rachel menggenggam dokumen di tangannya, jari-jarinya gemetar.Leonard menatapnya dengan tenang, seolah sudah tahu jawabannya.“Jangan terburu-buru, Rachel,” katanya dengan nada santai. “Ambil waktumu, tapi ingat, tawaran ini tidak berlaku selamanya.”Rachel menatap pria itu dengan penuh kebencian. Ia tahu Leonard tidak akan membiarkan mereka menang begitu saja.“Aku tidak akan mengkhianati Martin,” ucapnya tegas.Leonard menghela napas, lalu menatapnya tajam. “Rachel, Martin tidak akan bisa menang melawan aku. Jika kau tetap bersamanya, kau hanya akan jatuh lebih dalam ke jurang kemiskinan. Tapi jika kau menandatangani ini…”Ia menunjuk dokumen di tangan Rachel.“Kau bisa hidup nyaman, kaya, dan bebas dari semua masalah ini.”Rachel menatap dokumen itu lagi. Tawaran ini memang menggoda.Dulu, sebelum menikah dengan Martin, ia hanyalah seorang gadis miskin yang tidak memiliki apa-apa.Sekarang, ia kembali dihadapkan dengan pilihan sulit.Jika ia memilih bertahan bersama Martin, mereka
Malam itu, Rachel berdiri di depan jendela kamar rumah sakit. Tangannya mengepal erat, pikirannya berputar cepat. Siapa orang yang meneleponnya tadi? Apa benar dia memiliki informasi tentang Leonard? Dan yang paling penting,apakah ini jebakan atau harapan? Martin masih tertidur, wajahnya terlihat lelah setelah semua yang terjadi hari ini. Rachel tahu ia tidak bisa membiarkan Martin menghadapi ini sendirian. Dia harus bertindak. Dengan hati-hati, Rachel mengambil tasnya dan keluar dari kamar. Langkahnya cepat namun hati-hati, takut membangunkan Martin. Namun, baru beberapa langkah dari kamar, seseorang menarik lengannya dengan kuat. “Rachel, kau mau ke mana?” Rachel tersentak. Ia menoleh dan mendapati sosok Erik, sahabat lama Martin sekaligus mantan pengacaranya. “Erik?” suaranya berbisik. Pria itu menatapnya tajam. “Kau mau menemui seseorang, bukan?” Rachel mengerjap. “Bagaimana kau tahu?” Erik menghela napas. “Aku sudah menduga kau akan melakukan sesuatu seperti ini. Rac
Rachel menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Kata-kata terakhir dari penelepon itu terus terngiang di kepalanya.“Jika kau ingin kode itu, temui aku di tempat yang akan aku kirimkan. Datang sendiri. Jika kau membawa siapa pun, Martin akan mati.”Jantungnya berdebar kencang.Siapa penelepon itu?Bagaimana orang itu tahu tentang flash drive ini?Dan yang paling mengerikan,bagaimana dia bisa mengancam Martin?Rachel menggigit bibirnya. Ini perangkap. Itu jelas. Tapi ia tidak punya pilihan.Tak lama kemudian, sebuah pesan masuk.“Gudang tua di Jalan Richmond. Tengah malam. Datang sendiri.”Rachel menelan ludah. Mereka hanya memberinya waktu beberapa jam.Rencana yang BerbahayaRachel berjalan mondar-mandir di kamar rumah sakit Martin. Erik mengamati dari sudut ruangan dengan ekspresi serius, sementara Martin mencoba duduk dengan susah payah.“Rachel, kau tidak bisa pergi sendiri,” kata Martin dengan suara lemah. “Ini jelas jebakan.”“Aku tahu,” Rachel menjawab, suaranya penuh keb
Rachel mengira hidupnya kini sempurna. Ia memiliki suami kaya, rumah mewah, dan status sosial yang ia impikan sejak dulu. Tidak ada lagi hinaan dan penderitaan yang menghantuinya seperti saat ia masih miskin. Namun, di balik kemewahan yang ia nikmati, ancaman tak kasat mata mulai mengintai. Sore itu, Rachel sedang duduk di ruang tamu, mengenakan gaun sutra mahal sambil menyesap teh hangat. Seorang pelayan baru saja datang dengan wajah gugup, dan menyerahkan sebuah amplop berwarna hitam. “Nyonya, ini dikirimkan seseorang tadi siang. Katanya penting.” Rachel mengangkat alis. Surat fisik? Di zaman sekarang? Penasaran, ia membuka amplop itu. Selembar kertas putih dengan tulisan tangan kasar terbaca jelas sangat jelas : “Kau pikir bisa menikmati hidup tanpa konsekuensi? Bersiaplah, sesuatu yang besar akan segera menghancurkanmu.” Jantungnya berdegup kencang. Tangannya sedikit gemetar saat ia melipat kembali surat itu. Apa maksudnya? Siapa yang mengirim surat ini? Ia berusaha meng
Rachel duduk di ruang tamunya dengan perasaan tidak tenang. Sejak menerima surat ancaman itu, tidurnya tidak pernah nyenyak. Martin masih terbaring sakit di kamar atas, dan sekarang dia merasa seolah-olah ada seseorang yang mengawasi rumahnya. Angin malam bertiup pelan melalui celah jendela yang lupa ditutup. Ia mendekap dirinya sendiri, mencoba menenangkan detak jantung yang berdebar keras. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari dapur. Rachel tersentak. Dia bangkit perlahan, menajamkan pendengaran. “Siapa di sana?” Tidak ada jawaban. Dia melangkah ke arah dapur, tangannya gemetar saat meraih pegangan pintu. Dengan satu tarikan napas dalam, dia mendorong pintu terbuka. Seseorang berdiri di sana. “Sandra?” Wanita itu menatapnya dengan sorot mata dingin. Rambutnya tampak berantakan, wajahnya lebih tirus dari terakhir kali mereka bertemu. “Kau tampak terkejut melihatku,” kata Sandra dengan suara datar. Rachel menelan ludah. “Apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana kau bis
Rachel duduk di tepi tempat tidur Martin, matanya tak lepas dari suaminya yang masih tampak lemah. Keringat dingin mengalir di pelipis pria itu, wajahnya pucat, dan napasnya terengah-engah. Sandra berdiri di dekat pintu, masih menggenggam pisau dapur dengan erat. Matanya menyapu setiap sudut ruangan, mencari tanda-tanda kehadiran orang lain. Tapi tidak ada siapa pun. Rachel menggenggam tangan Martin. “Siapa yang kau lihat?” bisiknya. Martin menggeleng pelan, matanya tampak kosong. “Aku tidak tahu… tapi aku merasa ada seseorang di sini. Aku bisa mendengar napasnya, Rachel. Aku bahkan bisa mencium bau parfumnya.” Rachel merasakan bulu kuduknya berdiri. “Seseorang sudah masuk ke rumah ini,” kata Sandra. “Dan dia ingin kita tahu bahwa dia ada di sini.” Rachel menelan ludah. “Tapi kenapa? Apa yang mereka inginkan?” Sandra mendesah. “Kau benar-benar tidak sadar, ya?” Rachel menatapnya bingung. “Ini tentang uang, Rachel. Kekayaan Martin. Semua ini terlalu jelas.” Rachel terdiam. Ap
Seiring berjalannya waktu, kondisi Rachel semakin membaik. Ia rutin meminum obat yang diresepkan dokter, dan ingatannya perlahan mulai stabil. Rasa pusing yang sering menyerangnya kini berkurang, dan ia mulai merasa seperti dirinya yang dulu.Setiap pagi, Martin selalu mengingatkan Rachel untuk tidak melewatkan obatnya. Ia bahkan menyusun alarm di ponselnya agar tak ada satu pun dosis yang terlewat. Perhatian Martin membuat Rachel semakin yakin bahwa suaminya adalah pria terbaik yang pernah hadir dalam hidupnya.Ia memandangi wajah Martin yang tengah sibuk di ruang kerja. Walaupun lahir dari keluarga kaya raya, pria itu tidak pernah memandangnya rendah. Martin selalu menerima dirinya apa adanya, bahkan ketika ia dulu sempat lupa diri dan berubah menjadi orang yang berbeda.Rachel menggigit bibirnya, merasa sedikit bersalah. Dulu, ia terlalu sibuk menikmati kemewahan dan mengabaikan banyak hal penting, termasuk suaminya sendiri. Tapi sekarang, ia ingin menjadi pribadi yang lebih baik—
Pagi itu, Martin membangunkan Rachel lebih awal dari biasanya.“Rachel, bangun. Kita harus ke rumah sakit hari ini,” katanya lembut sambil menggoyangkan bahu istrinya.Rachel mengerjap pelan, matanya masih terasa berat. Kepalanya berdenyut, dan sebagian ingatannya masih terasa kabur. Ia sempat lupa bahwa hari ini adalah jadwal kontrolnya.Martin membantu Rachel duduk di tempat tidur. “Kita harus pastikan kondisimu benar-benar stabil. Setelah itu, kamu bisa kembali minum obat dengan teratur.”Rachel mengangguk lemah. Ia tahu Martin sangat mengkhawatirkannya. Sejak kecelakaan itu, suaminya semakin protektif, bahkan ia merasa Martin lebih sering memperhatikannya dibanding dirinya sendiri.Setelah tiba di rumah sakit, dokter melakukan pemeriksaan menyeluruh. Rachel menjalani beberapa tes untuk memastikan kondisinya, terutama mengenai ingatannya yang masih belum sepenuhnya pulih.“Sejauh ini, kondisinya cukup stabil,” kata dokter sambil menuliskan sesuatu di buku catatan medis. “Tapi efek
Sejak kepulangannya dari rumah sakit sebulan lalu, Rachel menjalani hari-harinya dengan lebih tenang. Martin kembali fokus pada perusahaannya yang sempat terguncang, sementara ia sendiri lebih banyak beristirahat di rumah, mengikuti saran dokter agar tubuhnya bisa pulih sepenuhnya.Setiap hari, ia rutin mengonsumsi obat yang diresepkan dokter. Namun, pagi ini, sesuatu terasa berbeda. Saat ia membuka laci tempat menyimpan obatnya, botol itu kosong. Rachel terdiam, mencoba mengingat kapan terakhir kali ia kontrol ke rumah sakit.“Oh… seharusnya aku kontrol hari ini,” gumamnya pelan.Namun, tubuhnya terasa terlalu lemas untuk bergerak. Kepala mulai berdenyut perlahan, lalu semakin tajam seiring berjalannya waktu.Sementara itu, Martin baru saja menyelesaikan rapat di kantornya. Setelah sempat absen selama berminggu-minggu karena kecelakaan, ia harus bekerja ekstra keras untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul di perusahaan. Beberapa orang bahkan mencoba mengambil kesempatan saat diri
Hari kedua di rumah sakit, Rachel mulai menyadari sesuatu yang mengganggu dirinya. Ada bagian dari ingatannya yang terasa kabur—tidak sepenuhnya hilang, tetapi sulit dijangkau. Saat ia berusaha mengingat masa lalu, kepalanya terasa berat, seolah ada kabut yang menghalangi pikirannya.Ia masih mengenali Martin, masih ingat siapa dirinya, dan masih memahami sebagian besar kehidupannya. Tapi ada detail-detail kecil yang terasa hilang—seperti kejadian-kejadian tertentu yang seharusnya ia ingat, tetapi kini hanya menyisakan bayangan samar.Rachel mengerutkan kening, mencoba mengingat sesuatu yang spesifik. “Martin… aku merasa ada yang aneh dengan ingatanku. Aku bisa mengingat banyak hal, tapi rasanya tidak setajam biasanya.”Martin, yang sejak tadi duduk di sampingnya, menatap istrinya dengan tenang meski dalam hatinya ia merasa khawatir. Ia tahu sesuatu yang tidak Rachel sadari—dokter telah memberitahunya bahwa benturan yang dialami Rachel cukup serius dan mungkin menyebabkan gangguan mem
Malam di rumah sakit terasa begitu sunyi. Hanya suara detak mesin medis dan langkah kaki suster yang sesekali terdengar di lorong. Rachel masih terbaring di ranjang, sementara Martin duduk di sofa kecil di sampingnya. Matanya memandangi istrinya yang tertidur, namun pikirannya tak tenang.Siapa pun yang berusaha mencelakai mereka pasti memiliki alasan kuat untuk menyembunyikan kebenaran tentang Adrian. Tapi siapa?Ponsel Martin bergetar di atas meja kecil di samping ranjang. Ia mengambilnya dan melihat nama di layar: Nomor Tidak Dikenal.Martin ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab.“Halo?” suaranya tenang, tapi waspada.Tak ada jawaban di seberang. Hanya suara napas pelan.“Halo?” ulangnya, kali ini lebih tegas.Lalu, terdengar suara berat yang nyaris berbisik.“Berhenti mencari… atau kau akan kehilangan lebih dari yang kau bayangkan.”Seketika, panggilan itu terputus.Martin merasakan tengkuknya meremang. Ini bukan peringatan biasa—ini ancaman.Ia segera berdiri dan berjalan ke lua
Rasa sakit menusuk seluruh tubuh Rachel saat kesadarannya perlahan kembali. Matanya terasa begitu berat, namun ia bisa mendengar suara samar-samar di sekitarnya dan bunyi monitor medis yang berdetak pelan dan suara langkah kaki seseorang.Perlahan, ia membuka matanya. Langit-langit putih dan bau antiseptik memenuhi indranya. Rumah sakit. Ia mencoba menggerakkan tangannya, tetapi rasa nyeri langsung menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya meringis.“Rachel…”Suara itu. Lembut, penuh kekhawatiran.Rachel menoleh perlahan dan melihat Martin duduk di samping tempat tidurnya. Wajahnya penuh luka dan lebam, namun sorot matanya tetap lembut menatapnya.“Kamu sadar,” katanya, suaranya dipenuhi rasa lega.Rachel mencoba berbicara, namun tenggorokannya begitu kering. Martin langsung menuangkan air ke dalam gelas dan mencoba membantunya untuk minum.“Apa… yang terjadi?” Rachel akhirnya bisa bersuara, meski lemah.Martin menghela napas panjang. “Kita telah mengalami kecelakaan. Mobil itu menabra
Pagi itu, yaitu setelah percakapan penuh emosi dengan ibunya, Rachel merasa semakin yakin bahwa dia harus menemukan pria yang dimaksud, yaitu Malik. Orang yang bisa jadi mengetahui lebih banyak tentang Adrian dan masa lalu yang selama ini disembunyikan. Martin, meski ragu, akhirnya setuju untuk ikut serta. Ia tahu betul betapa pentingnya pencarian ini bagi Rachel, dan meski ada rasa khawatir yang menggelayuti dirinya, ia tak bisa membiarkan Rachel melakukannya sendirian.Mereka berdua memutuskan untuk menuju ke daerah yang disebutkan oleh pria misterius di gudang—tempat terakhir Malik terlihat beberapa tahun lalu. Tidak ada petunjuk pasti mengenai keberadaan Malik, namun Rachel merasa bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.Di dalam mobil, suasana sunyi menyelimuti mereka. Rachel melirik Martin, mencoba membaca ekspresinya. Suaminya itu terlihat tegang, memfokuskan perhatian pada jalan yang semakin sepi.“Martin, kamu yakin kita harus melanjutk
Rachel terdiam setelah mendengar kata-kata Pak Surya. Matanya terasa kosong, kosong oleh semua informasi baru yang datang begitu cepat. Apa maksud Pak Surya dengan mengatakan kebenaran ini akan menghancurkannya? Apa yang lebih gelap dari apa yang sudah ia temui? Semua hal yang ia percayai kini terancam hancur.Pak Surya menatapnya dengan raut wajah yang penuh kecemasan. “Rachel, aku tidak ingin kau terjebak dalam dunia ini. Dunia yang sudah mengubah hidup banyak orang. Dunia yang menganggap nyawa tak lebih dari sebuah harga yang bisa ditawar.”Rachel dengan tegas. “Saya tidak akan mundur begitu saja, Pak. Saya harus tahu apa yang terjadi pada Adrian. Apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu?”Pak Surya menghela napas panjang. “Malam itu… bukan hanya Adrian yang menghilang. Ada banyak hal yang terjadi di balik itu. Banyak hal yang tidak pernah seharusnya kamu tahu.”Rachel menatapnya intens. “Kenapa sekarang, Pak? Kenapa Anda baru bicara sekarang?”Pak Surya menundukkan kepala, tampa
Rachel berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang terpantul. Sesuatu dalam dirinya telah berubah. Kebenaran yang baru ia terima begitu menghantam, meninggalkan rasa sakit yang dalam, namun juga memberikan pemahaman yang baru. Adrian, saudara kandungnya, ternyata telah dibawa pergi oleh ayah kandungnya sendiri, yang selama ini disembunyikan ibunya.Pikiran Rachel terus berputar, mengingat setiap momen yang pernah ia alami bersama ibunya. Momen-momen yang tampak begitu sempurna, tapi kini terasa seperti ilusi. Mengapa ibunya tidak pernah menceritakan tentang ayah mereka? Apa yang membuatnya begitu takut? Dan mengapa ayahnya tiba-tiba muncul setelah sekian lama?Rachel menghela napas panjang dan melangkah menuju meja, di mana ponselnya tergeletak. Ada pesan dari Clara yang baru saja masuk.“Rachel, aku sudah menemukan sesuatu. Kita perlu bicara.”Tangan Rachel gemetar ketika membuka pesan tersebut. Clara selalu menjadi orang yang paling bisa diandalkan, namun pesan ini memberi isyara