Setelah beberapa menit, Lea sudah berada di dalam ruangan presdir yang di kenal sebagai 'zona panas dingin' tersebut.
"Selamat pagi, Pak. Anda memanggil saya?" ucap Lea dengan tundukan kepala. Vin tidak segera menjawab, tapi di tatap penampilan Lea dari ujung kepala sampai kaki. Bukan yang pertama kali di lakukan Vin, tapi kali ini, dia ingin memastikan sesuatu. "Sejauh apa gaya pacaranmu dengan Dani?" Deg! "Mak..maksud, bapak?" sahut Lea terbata. "Oh, jadi dia putusin kamu secara sepihak, karena kamu selalu menolak ajakan bercintanya, ya?" Duarr!! "Mak...maksud, bapak?" tanya Lea masih bingung. Vin berdiri, memasukkan ponsel ke dalam saku celana abu-abu tuanya, lalu berjalan mendekati Lea. "Aku ada meeting dengan salah satu customer yang kamu prospek bulan lalu. Dia pemodal besar, jadi tunjukkan padaku, kalau kemampuanmu bukan hanya by phone, tapi juga dengan bertemu secara langsung." Lea menelan salivanya kasar, di beranikan mendongak menatap Vin secara langsung. "Sekarang, Pak? Pagi ini?" tanya Lea di sertai gerakan menaikkan gagang tengah kacamatanya. Nafas Lea tertahan, saat hembusan aroma mint menyeruak keluar dari tiap kalimat yang Vin keluarkan. "Memang aku bilang malam?" pertanyaan di balas pertanyaan oleh Vin. "Iya, Pak. Maaf," jawab Lea takut-takut. Kembali ruangan itu hening. Vin dan Lea saling terpaku dengan pikiran masing-masing. Tampan. Satu kata itu yang kini memenuhi pikiran Lea. Baru kali ini, bisa sangat dekat memperhatikan wajah setengah bule dari Vin. "Kalau begitu, saya ambil tas dulu," pamit Lea. "Kamu belum beri jawaban dari pertanyaanku tadi," ujar Vin tiba-tiba. Lea paham dengan apa yang di maksudkan Vin, tapi karena moodnya sudah terganggu oleh tiap ucapan Dani, maka jawaban Lea hanya singkat saja. "Biarkan itu jadi masalah pribadi saya, pak. Maaf." Lea lalu keluar dari ruangan, dan tak menyadari, presdir Vin yang di takuti semua karyawannya itu menatapnya terkesima. Baru kali ini, Vin menemui wanita dengan ekspresi datar saja, dan bukannya berusaha mencari perhatian layaknya wanita-wanita yang lain. "Hmm. Aku tahu, orang jujur tidak merasa perlu ulangi jawabannya, karena memang dia berkata sebenarnya dan tak perlu pembuktian sekalipun."** Setelah sampai di tempat yang di tentukan, Lea di minta menunggu di sebuah ruangan makan di dalam restoran bergaya Jepang. Vin sendiri, masih berada di ruangan lain. Mereka berdua datang dengan mengendarai mobil yang berbeda. "Terus gue di sini di suruh nunggu sampai kapan?" gumam Lea, sesekali memperhatikan jam tangannya. Di tengah terpaan kebosanan, pikiran Lea teralihkan oleh suara yang sayup-sayup terdengar dari ruangan sebelah. "Please, Vin. Nikahi aku," hibah seorang wanita dengan suara lembut. "Biar kita bisa semakin sering habiskan malam bersama, dan buang rasa bersalahmu itu jauh-jauh. Aku memang mencintaimu. Hanya kamu." "Aku sudah di jodohkan sama pilihan Tante Helena," sahut sang pria, lawan bicara wanita yang coba merayunya. Bahan pembatas kayu berbentuk seperti bilik dan tempat duduk lesehan ala Jepang itu, semakin memudahkan Lea untuk menempelkan telinganya guna menguping. Lea sangat yakin, pria sebagai pasangan wanita manja di ruangan samping itu adalah atasannya sendiri, yaitu Vincenzo. "Aku harus pergi," pamit Vin. "Tapi, Vin. Bagaimana dengan kita? Aku sudah korbankan banyak hal, dan kamu sudahi semuanya begini saja?" jawaban kekecewaan lawan bicara Vincenzo. "Aku tidak pernah memintamu melakukan semua itu, Nadya. Hubungan kita adalah kesalahan. Ini bukan cinta." "Lalu apa?!" tanya Nadya frustasi. "Aku mencintaimu, Vin. Jangan kamu terima wanita itu jadi tunanganmu. Aku tahu kamu tidak mencintainya." "Aku memang tidak mencintainya." "Vin...Vin, jangan pergi..please." "Sebentar lagi, aku ada meeting di ruang sebelah, kamu--" Mendengar ucapan Vin tersebut, Lea segera bangkit dan berlari kecil ke arah berlawanan dengan panik. "Aduh, Pak Vin pasti mau ke sini," gumam Lea sembari cepat-cepat membentuk kode jari di atas layar ponselnya. "Winda...gue harus pura-pura telpon dia!" putusnya mendadak. Baru saja berniat mengetik nama Winda, pintu geser di hadapannya terbuka, dan wajah Vin muncul di baliknya. "Lea," panggil Vin dengan ekspresi dingin, seperti biasanya. "Kita pergi dari sini," perintahnya. "Pergi? Sekarang, pak?" tanya balik Lea kebingungan. "Memang aku bilang minggu depan?!" sahut Vin ketus. "Habiskan welcome drinkmu itu, dan cepat berdiri!" tambahnya, setelah melihat minuman di hadapan Lea masih utuh. Di luar, terdengar dua penjaga Vin sedang argumen dengan seorang wanita yang bersikeras menemui Vin. Untuk membunuh rasa ingin tahunya, Lea teguk minuman teh Jepang di dalam cangkir hanya dalam sekali sesap, lalu segera berdiri dan berjalan cepat mendekati Vin. "Biarkan aku bicara pada Vin. Kalian tidak tahu aku ini siapa, hah?!" ngotot wanita dengan rambut panjang berwarna blonde, dan berpakaian minim. "Aku adalah wanitanya presdir Vin!" Lea ternganga setengah tak percaya. Teriakan frustasi wanita yang di hadang 2 pria berbadan tegap itu jelas sekali adalah ungkapan terdalam hatinya. Sebagai sesama wanita, Lea bisa merasakan di perlakukan sama oleh Dani, bahkan itu terjadi belum juga dalam sehari. "Pak," panggil Lea, sengaja hentikan langkah dan menghadap mendongak pada Vin. Vin yang terkejut, secara spontan juga hentikan langkahnya. "Kenapa?" tanya Vin dengan tautan dua alisnya. "Wanita itu ingin menemui anda," ujar Lea singkat. Keberadaan mereka saat ini di tengah lorong menuju ke pintu keluar restoran, jadi hanya ada beberapa pelayan yang lalu-lalang. "Kalau aku tidak mau menemuinya, apa kamu akan memarahiku?" tanya balik Vin dengan senyuman smirk arogan khasnya. "Tidak, pak. Hanya saja...saya kira, wanita itu...kekasih anda," jawab Lea jujur, meski gelagapan. Lea kembali kerjapkan kedua mata seolah terkena badai pasir, saat jari telunjuk Vin terangkat dan terarah di depan hidungnya. "Ingat. Kamu asisten pribadiku. Apa yang terjadi di sekitarku, tidak ada yang boleh bocor keluar, dan kalau sudah terlanjur jadi bahan omongan orang, maka aku sudah tahu, darimana sumber gosip itu berasal. Paham?!" Lea menelan salivanya kasar. Pikirannya segera di penuhi akan perintah Vin barusan. Tak ada jalan lain, selain berikan tanggapan pada pria arogan di hadapannya ini, selain hanya anggukan mematuhi. "Baik, pak. Siap," jawab Lea dengan keberanian yang dia paksakan, saat Vin memberi tatapan ancaman. "Hari ini aku maklumi, tapi besok dan seterusnya, tidak ada alasan. Apapun itu!" tandas Vin lantang. Lea menunduk, seraya berikan jawaban menuruti, "Baik, pak." Terdengar helaan napas Vin setelahnya, sebelum memberitahukan suatu berita yang Lea tunggu-tunggu. "Kalau kamu bertanya, dimana customer yang ingin kita temui hari ini, dialah wanita yang pernah kamu prospek itu. Namanya Nadya, dia putri pengusaha garmen besar, dan kamu telah berhasil meyakinkan dia beli saham perusahaan kita di lantai bursa." "Benarkah? Jadi dia Nona Nadya Soedibyo itu?" tanya Lea takjub. "Hmm," sahut Vin dingin, lalu berbalik dan melangkah meninggalkan Lea. "Pak Vin," panggil Lea, sembari berjalan cepat mengimbangi langkah kaki panjang Vincenzo. "Tapi kenapa bapak memperlakukannya seperti itu?" ketidakterimaan Lea, merasa perlu membela kaumnya. Secara tiba-tiba, Vin menghentikan langkah dan berbalik, sehingga tabrakan dengan Lea tak bisa terhindarkan lagi. Lea hampir saja terjatuh ke belakang, kalau saja Vin tidak segera mengarahkan satu tangannya untuk menahan pinggang asisten barunya ini. "Dengar kau asisten bawel." Vin kembali beri ancaman pada Lea, setelah dia lepaskan tangan dan Lea sudah kembali berdiri terkesiap. "Jangan lagi banyak tanya kalau aku tidak memintamu. Kamu cukup diam dan pelajari apa yang aku butuhkan darimu. Mengerti?!" arogansi Vin. "Me mengerti, pak." Lea kembali menunduk takut. "Hmm. Bagus. Setelah ini kamu balik ke kantor pakai mobil lain lagi, dan segera hubungi sekretaris Li. Katakan padanya, aku tidak jadi pergi ke Italy dengan dia, tapi denganmu." Lea dongakkan wajahnya cepat. Sepatu flat yang dia kenakan, sungguh menyiksa dirinya yang harus sering angkat wajah karena jeda postur tubuhnya dengan Vin, lumayan jauh. "Saya, pak?" tanyanya bingung. "Kamu ini memang polos beneran, atau pura-pura polos, sih? Nggak ngerti aku. Katanya prestasi kerjamu bagus, tapi di kasih perintah, lama loadingnya, malah plonga-plongo, hah huh hah nanya terus!" kesal Vin, lama-lama capek juga hadapi Lea yang polosnya kebangetan ini. "Maaf, pak. Baik, segera saya hubungi sekretaris Li. Tapi...berangkat ke italy kapan, pak?" Vin balikkan badan seraya berbicara ketus. "Tahu ah. Cari jawabannya sendiri!""Besok?" Kedua mata Lea membulat, seiring bentuk bibirnya yang juga membentuk huruf O. "Tapi, pak?" "Nona. Anda tahu bagaimana sifat tuan muda Vin. Kalau dia sudah berikan perintah, maka waktu dan kesibukan anda adalah miliknya," sela sekretaris Li. "Jadi tiket pesawat itu sudah anda ganti atas nama saya? Kan saya belum mengurus paspor dan--" "Tuan muda sudah berikan perintah ini sejak tadi pagi. Dokumen pribadi anda, sudah saya dapatkan dari file pegawai yang ada di desk perusahaan. Besok, anda akan gunakan visa settle wisata, jadi jangan lagi bingung soal itu." "Te terima kasih, sekretaris Li. Saya jadi menyusahkan anda," jawab Lea gelagapan. "Tak apa. Begitulah dia. Hanya satu pesan saya untuk anda, Nona. Turuti saja semua perintah dan permintaan tuan muda, karena itu hanya salah satu cara anda bila ingin mencapai karier tertinggi." "Maksud sekretaris Li bagaimana?" Lea benar-benar masih tak mengerti. "Jadilah penjilat yang elegan." Wow. "Maksudnya, pak?" polosnya Lea.
"Aaaaaa...." Vin bangun gelagapan. Suara teriakan barusan, sungguh sudah membuatnya harus membuka kedua matanya secara terpaksa. "Ke...ke...kenapa?" Vin spontan bertanya, di antara kesadaran yang masih setengah. "KENAPA KATAMU?!" bentak Lea, hingga membuat Vin berjingkat, kaget setengah mati. Sedetik kemudian, suara sesenggukan Lea terdengar, dan Vin juga telah menyadari sesuatu. Tatapannya beralih ke kedua tangan Lea yang menggenggam ujung selimut, menutupi bagian bawah dada Lea yang tak tertutup apapun. Vin kini sadar, keberadaan mereka berdua dalam satu ranjang selama semalaman, tentu saja bukan tanpa alasan. Mereka berdua telah bercinta dalam keadaan sama-sama mabuk. Vin bisa mencium bau manis dan keras dari botol Applejack di mulut Lea, dan dirinya juga telah menghabiskan beberapa botol minuman beralkohol di sebuah club malam. "Aku...kamu..." Vin tak sanggup meneruskan kesimpulannya, karena tangis Lea berubah jadi r
"What?!" Teriakan histeris Natalie. Tak percaya, ketakutannya ternyata jadi nyata. Sudah sejak setahunan ini, Natalie selalu berusaha keras untuk menarik perhatian Vin, bahkan rela menjadi penguntit untuk mengetahui setiap jadwal kegiatan Vin, selain meminta bantuan dari tantenya, Helena. Tapi sayang, Vin selalu menolak ajakan kencan atau bahkan bercinta dari Natalie. Namun di setiap penolakan ini, maka semakin keras usahanya untuk mendapatkan hati dan tentu saja harapan sebagai istri sekaligus nama belakang keluarga Dharmawan. "Vin. Kamu ngomong apa? Kamu itu masih mabuk!" sambung Helena, meneruskan keterkejutan Natalie yang kini menangis dalam pelukannya. "Dia ini gadis apa? Pasti kamu ketemu dia club malam, ya kan? Dia wanita murah--" "Dia asisten pribadiku, sekaligus calon istriku!" tegas Vin. Vin bergeser, berdiri di samping Lea yang menatapnya bingung. "Ca calon istri anda?" tanya Lea, sembari menatap bergantian antara Vin dan dua w
Seharian sejak cinta satu malam dan kesepakatan kontrak pernikahan itu terjadi, Lea hanya sendirian di dalam penthouse milik Vin, sedangkan pemiliknya pergi entah kemana, dan belum menunjukkan kabar beritanya sama sekali. "Dimana orang ini? Dia benar-benar mempermainkan gue!" gerutu Lea, duduk risau di kursi berkaki tinggi pada area dapur. Berada di tempat tertinggi pada sebuah gedung tempat tinggal, dengan fasilitas keamanan tingkat pertama, justru membuat Lea jadi merasa terpenjara. Di tatap layar ponsel dengan satu nama berharga tertulis di sana, jadi keputusan Lea untuk menelponnya. "Mama. Bagaimana keadaan mama sekarang?" tanya Lea to the point, setelah panggilannya di angkat sang ibunda, dan kemudian mengaktifkan loudspeaker. "Justru mama ingin tahu keadaanmu sekarang, sayang? Bagaimana pekerjaanmu di sana? Apa kamu bisa bersenang-senang? Atau cuma di suruh bekerja terus?" cercaan pertanyaan dari Sarah, ibu dari Lea. Sebelum keberangkatannya ke Italia, Lea sempat mencerit
Bola mata hitam Lea melebar karena terbelalak kaget."Pak Vin. Sebelum surat kontak itu kita tanda tangani, saya ingin tegaskan sesuatu.""Perutku mual. Jangan nambahi beban pikiranku. Memangnya kamu mau apa?"Lea hela napas panjang terlebih dahulu sebelum memulai berbicara lagi. Lea berpikir, beberapa hal harus sudah dia bicarakan dengan Vin, sebelum mereka kembali ke Indonesia."Saya berjanji akan mengikuti aturan yang bapak berikan, dan juga berusaha jadi istri kontrak yang baik, tapi..""Tapi apa?""Malam kemarin...bagi kita haruslah...malam pertama dan jadi malam terakhir. Saya--""Hei, dengar ya," potong Vin tak mau kalah. "Siapa yang mau minta malam kemarin itu berulang? Tentu itu bukan dari aku.""Maksud saya seperti itu, dan tentu bukan dari saya juga," perjelas Lea takut menyakiti."Ya sudah. What's the problem? Aku cuma bercanda...sialan!"Lea pasang kacamatanya, di sertai kerutan di dahi."Ke kenapa, pak?" Tak ada jawaban dari Vin, panggilan pun tiba-tiba di tutup, membu
Wanita mana yang tak akan tersinggung, bila penilaian akan penampilannya mendapatkan kesimpulan tak baik, terutama di utarakan secara langsung di hadapannya."Kurang menarik ya, pak?" tanya Lea bergetar.Tetesan air dari perasan kain berbahan handuk dan berukuran kecil itu jadi pengisi keheningan ruang TV, penthouse milik Vin untuk beberapa detik lamanya. "Bukan lagi kurang menarik, tapi memang nggak menarik," sahut Vin dingin.Vin lantas membuang muka ke samping. Kelambu berisi air terlihat di kelopak mata Lea, membuat Vin jadi tak tega sendiri."Maka dari itu, sekalian ku perintahkan perancang gaun pengantin itu bawa pakaian yang sekiranya sesuai buat meeting sama klien," tambahnya kalem."Permisi, pak," ijin Lea ketika akan membasuh luka Vin.Vin masih membuang muka. Ekspresinya menegang, karena menahan rasa perih setelah tetesan-tetesan air itu mengenai tepat di bagian luka menganga akibat pecahan gelas kaca."Apa kamu akan lakukan hal yang sama juga, seandainya aku bukan orang ya
Sontak Lea mendelik, amarah sudah di ujung ubun-ubun kepalanya."Pak Vin. Saya bukan gadis seperti itu. Sudah saya katakan kalau--"Keberatan Lea terhenti, saat melihat Vin memegangi kepalanya, lalu hampir limbung. Lea berlari mendekat dan berusaha menahannya, agar tidak sampai terjatuh ke lantai."Pak Vin!" terkejutnya Lea dengan kedua tangan menopang tubuh atletis Vin, sampai dirinya sendiri hampir tak sanggup menyanggah, kalau saja Vin tidak segera membuat dirinya sendiri tersadar. "Anda tak apa-apa? Ada apa dengan anda? Habis mabuk, atau memang sakit?" tanya Lea penasaran."Bawa aku ke kamar," perintah Vin dengan bantuan Lea. Pikiran dan tubuh Vin kembali kacau . Setelah membantu Vin merebahkan diri secara perlahan, Lea mundur beberapa langkah dan menelusuri tubuh atasannya ini dari ujung kepala sampai ujung kaki."Badan anda panas. Apa perlu saya panggilkan bodyguard anda buat antar ke dokter?""Morgan?" tanya Vin lemah dengan mata setengah terpejam."Morgan?" Lea berikan perta
"Karena aku ngantuk!" jawab Vin singkat, tapi terkesan sekenanya."Tapi--""Ahh, sudahlah nggak usah di bahas lagi!" putus Vin, menyela tanggapan yang akan di berikan Lea. "Kita hanya akan jadi suami istri di atas kertas kontrak saja, jadi jangan mengatur hidupku, ok!""Baik, pak. Maafkan saya," sahut Lea, menyadari telah terlalu memasuki ranah kewenangan di luar kuasanya. "Akan saya siapkan keperluan untuk bertemu klien nanti terlebih dulu. Sekretaris Li sudah email saya.""Iya. Keluarlah." Vin berikan perintah dengan membuang muka. Salah satu sikap dan kebiasaan Vin yang tak di sukai Lea.Lea keluar dari kamar, tapi sengaja berhenti di depan pintu yang tertutup, lalu melihat ke arah samping, dimana terdapat sebuah kamar lain tapi selalu dalam keadaan terkunci."Kenapa aku nggak di suruh tidur di kamar sebelah? Eh, dianya juga malah tidur di hotel seberang. Aneh banget nih orang," gumam Lea tak habis pikir.Memang Lea belum menjelajah isi penthouse milik Vin ini secara seksama. Tapi
Pada hari jumat malam seminggu kemudian. Lea berada sendirian di dalam kondominium Vin tanpa pemiliknya. Vin harus terbang ke Italia tanpanya selasa lalu bersama dua teman prianya, karena ada keinginan dari salah satu calon investor untuk segera menandatangani perjanjian kerjasama, selain masa pengalihan dan pengucuran dana warisan dari Anthony juga sedang dalam proses, larena Vin telah selesaikan masalah dengan Helena sesuai amanat ayahnya tersebut, selain telah menikah dan akan memiliki anak. Lea meninggalkan kantor, dan menemui ibunya sebentar, sebelum akhirnya kini di depan deretan koper yang telah siap menemaninya menempuh perjalanan jauh. Morgan belum menjemput totak waktu yang di butuhkan lima belas menit untuk mengulur-ulur waktu sedikit, Lea membuka ponsel di bagian note dan memeriksa lagi. 1. Tiket pesawat ( Aku sudah melakukannya sekaligus mengkonfirmasinya. Dua kali ) 2. Memesan executive lounge bandara ( Juga sudah mengkonfirmasi dua kali ) 3. Berkemas ( Baru se
Pagi tidak lebih baik. Lea berguling turun dari ranjang pagi-pagi. Seminggu sudah telah berlalu dari kejadian yang penuh dramatis. Matahari bersinar melewati jarak antara dua gorden jendela kaca berukuran lumayan besar di kondominium milik Vin. Lea beralih ke dapur membuat susu coklat hangat. Vin masih tidur, dan kemungkinan tidak akan bangun untuk sejam dua jam ke depan. Lea melirik meja ruang tamu, botol kosong minuman kaleng beraneka macam masih di sana, sebagian adalah beralkohol. Dua teman pria kebangsaan Italia Vin semalam jadi penghisap hampir semuanya. Entah mereka berjalan kaki dari Italia ke Indonesia atau apa. yang pasti di atas meja ruang tamu sana benar-benar kacau dengan berbagai bekas makanan dan minuman berserakan. Mereka bertiga nampaknya sudah tak kuat bahkan untuk membuangnya ke dalam sampah karena sibuk bercanda berlanjut rasa kantuk di sertai setengah mabuk. Lea kemudian meringis membayangkan percakapan yang akan mereka lakukan. Secangkir susu coklat hanga
"Natalie?" Lea terkejut. Gadis muda berusia tak jauh dari dirinya itu tampak berpenampilan kusut tidak seperti biasanya, bahkan tidak ada pulasan kosmetik apapun sebagai make up semakin mempercantik diri. "Ngapain dia ke sini? Dia nggak lagi bangun tidur, kan?" pertanyaan canda Lea menatap bergantian antara Vin dan Natalie. Beberapa detik lalu Lea berada agak menjauh dari Vin untuk menghindari berinteraksi dengan Helena, tapi karena kehadiran tak terduga dari Natalie ini, membuatnya mendekati Vin dan berbicara berbisik untuk mencari tahu. Tatapan sembab dari bawah mata yang bengkak, membuat Vin spontan jadi bersikap awas. Di dorong Lea agar lebih mundur dan di posisikan tepat di belakang punggungnya, karena Vin menyadari tatapan Natalie menyorot di sekitar dia berdiri. "Tante Helena!" Mendengar nama ini di sebut dan di ketahui keberadaan posisinya, beberapa baris kerumunan tamu bergerak menyisir memberi jalan buat Natalie agar bisa melihat apa yang akan dia lakukan juga. "Na
"Kamu nggak apa-apa, kan Sayang?" Kedua mata Lea terbelalak. Di hadapannya adalah pria tampan mengenakan seragam bodyguard serba hitam berikut kacamata berwarna senada juga. Memang seperti orang lain, tapi sebagai istri yang selalu bersama dari pagi sampai malam, Lea yakin pria penyelamat di hadapannya ini adalah Vin. "Ka kamu ngapain dandan begini?" Lea masih sempatnya bertanya di saat suasana jadi riuh, bahkan terdengar teriakan-teriakan agar ruangan hall segera di amankan. Pria tersebut perlahan membawa Lea bangkit dengan di dudukkan, perut Lea di elus-elus. Kekhawatiran merambat pada bagian tubuh Lea dimana sempat di rasakannya ada gerakan. "Demi anak kita ini. Maaf kalau buatmu kaget, tapi berhasilkan. Dugaanmu benar, keamanan buatmu tidak cukup mengandalkan Morgan saja." "Pak Presdir .... Pak Presdir Vin .... anda tidak apa-apa?!" pekikan berganti terdengar dari pria lain. Dia adalah Sekretaris Li, yang berdiri tak jauh dari keduanya berada. Vin berganti ulurkaj t
Kasak-kusuk terjadi lebih ramai dari sebelumnya. Ucapan santai Lea jadi pemicu rasa ingin tahu dari tamu undangan yang merupakan para pemegang saham dari perusahaan-perusahaan dari pengelolaan keluarga Dharmawan. Helena kembali berdiri. Berbeda dari aksi sebelumnya, kali ini Helena tampak lebih kusut, wajahnya merah karena amarahnya lebih memuncak. "Ini acara pengambilan voting, bukannya cari panggung buat hal yang nggak ada bukti dan dasarnya apa kayak begini. Kamu jangan sok ya. Kamu itu orang baru. Nggak ngerti apa-apa!" Lea tak menggubris. Seperti apa yang di instruksikan oleh Vin, agar dirinya tetap tenang dalam menanggapi tiap kelakuan Helena, tidak mudah terprovokasi dengan setiap nada tinggi Helena yang berkesan memojokkan. "Slide-slide selanjutnya memang berkesan tidak ada hubungannya dengan acara ini, tapi di sini kami inginkan siapa saja jadi terbuka matanya, tentang siapa yang sebenarnya bersalah dan siapa yang sering di jadikan kambing hitam. Sekali lagi ini semua
Di sebuah hall terletak di dalam hotel bintang lima, tamu undangan sudah mulai memadati tempat acara. Perhelatan yang sebenarnya akan di laksanakan bulan depan itu, nyatanya di majukan secara mendadak dengan alasan karena keperluan mendesak. Acara awal protokoler tengah di laksanakan. Seirang wanita jadi pusat perhatian di saat sesi sambutan sedang di jadikan awal dari pembicaraan mengenai Vin, sang presdir utama. "Kubu pertama yaitu mosi tidak percaya dan minta agar jabatan presdir di copot untuk di berikan pada saya, sudah dapat banyak dukungan meskipun perolehan suara belum di laksanakan, jadi saya harapkan rekan sekalian bisa menentukan pilihan sesuai dengan logika. Perusahaan ini butuh orang-orang berpengaruh kuat. Bukannya hanya mengandalkan cara kepemimpinan yang katanya revolusioner tapi ternyata bangak pihak yang tidak senang." Helena ungkapkan sesuatu dengan kesan menyindir lawan pemilihannya, yaitu Vin. Tepuk tangan bergema setelahnya, bahkan ada yang dengan berdiri,
Sampai semalaman Lea berusaha mengorek apa rencana yang sedang Vin simpan, tetap saja Lea tak mendapatkan jawaban. Walaupun sudah melayani bercinta dengan gegap gempita, berharap Vin akan lengah lalu bercerita, namun tetap saja tak temukan hasil. Vin masih saja bungkam. Di waktu weekend, Lea membantu Vin untuk keberangkatan ke Italia. Sampai itupun, Vin belumjuga berikan jawaban akan rencananya. Vin selalu menggadang-gadang kalau yang mengetahu isi rencananya itu hanya otaknya saja. Leapun akhirnya menyerah, sudah tak bertanya lagi bila sudah tahu akan jawabannya apa. "Lama banget ke Italianya?" protesan Lea setelah selesai membantu Vin menyiapkan packing segala keperluan di dalam satu koper besar dengan sistem penutup memakai kode tertentu. "Kan ada Mama. Kamu ada temennya. Bukannya kemarin-kemarin ribut minta di temeni Mamamu?" pengingat Vin dan di jawab anggukan oleh Lea. "Tapikan tetep aja beda kalau nggak ada kamu," sedihnya Lea. Di letakkan sebuah buku bertuliskan logo d
"Aku bertemu sama pengacaraku." Morgan sudah mengatakannya, tapi bila alasannya itu keluar dari mulut Vin sendiri, maka jadi perbedaan tersendiri bagi seorang wanita termasuk Lea. "Beneran ketemu pengacara? Kamu nggak sedang main samdiwara sama Morgan, kan? Takutnya sudah kasih perintah biar bilang sama akunya temui pengacara, tapi ternyata temui wanita lain," omel Lea seperti telah mendapat peringatan secara naluri. "Hmm ... menemui pengacaraku dan juga seorang wanita." Lea menoleh dan menatap Vin sambil melotot. Rasanya akan sulit bagi Vin, bila naluri kuat Lea seperti yang di miliki para wanita pada umumnya untuk di jadikan awal dari sebuah kebohongan. "Tuh kan sama cewek, sudah ku duga!" bentak Lea. "Siapa dia? Awas kalau memang sama cewek bilangnya ke aku cuma temen atau kolega bisnis, tapi diem-diem main api di belakang. Sudah biasa itu kayak di medsos-medsos!" tak terimanya Lea. Vin semakin tertawa kencang. Tak menyangka kalau lea cemburu lebih galak daripada singa
"Hai Sayang." Sapaan dari Vin yang segera di tanggapi Lea dengan pelukan. "Kamu kemana saja? Nggak tahu apa, aku khawatir banget!" omelan Lea setelah melepaskan rengkuhan hangat namun singkatnya. "Banyak orang mencarimu, habis kamu nggak aktifin ponselmu," imbuh Lea mencari tahu. "Aku sedang jalan-jalan," jawab Vin santai. Bersama kawalan dari Morgan dan beberapa pengawal anak buah Morgan, Vin membawa Lea ke ruangan pertemuan utama gedung dengan merubah ekspresinya jadi dingin dan kaku, berbeda jauh saat bertemu Lea tadi. Tatapan Vin lurus ke depan, selain belum ada yang berani menyapa atau mengajaknya bicara, Vin juga nggak berminat di ajak bicara sampai ada yang memulai. Ini adalah bentuk aksi kekecewaan Vin ketika loyalitas bawahannya telah membuatnya jadi turunkan rasa kepercayaannya. Setelah Vin duduk di kursi utama ruanga pertemuan, dalam beberapa menit suasana hening, dengan sikap tenang, Vin menunggu dengan sabar tiap orang di ruangan tersebut mencari tempat duduk, k