"Aaaaaa...."
Vin bangun gelagapan. Suara teriakan barusan, sungguh sudah membuatnya harus membuka kedua matanya secara terpaksa. "Ke...ke...kenapa?" Vin spontan bertanya, di antara kesadaran yang masih setengah. "KENAPA KATAMU?!" bentak Lea, hingga membuat Vin berjingkat, kaget setengah mati. Sedetik kemudian, suara sesenggukan Lea terdengar, dan Vin juga telah menyadari sesuatu. Tatapannya beralih ke kedua tangan Lea yang menggenggam ujung selimut, menutupi bagian bawah dada Lea yang tak tertutup apapun. Vin kini sadar, keberadaan mereka berdua dalam satu ranjang selama semalaman, tentu saja bukan tanpa alasan. Mereka berdua telah bercinta dalam keadaan sama-sama mabuk. Vin bisa mencium bau manis dan keras dari botol Applejack di mulut Lea, dan dirinya juga telah menghabiskan beberapa botol minuman beralkohol di sebuah club malam. "Aku...kamu..." Vin tak sanggup meneruskan kesimpulannya, karena tangis Lea berubah jadi rintihan. "Ka kamu...kenapa?" tanya Vin, lalu julurkan tangan, berniat menyentuh pipi Lea, guna menyeka air matanya. "Perih," ujar Lea, memberi jawaban dengan memalingkan wajahnya, sehingga tak sampai tersentuh tangan Vin. "Apanya yang--" Vin hentikan ucapan, lalu mengikuti tatapan Lea pada bagian selimut di bawah kakinya. Vin berganti julurkan tangan ke arah yang jadikan Lea kini menangis seperti anak kecil kehilangan mainan kesayangannya ini, lalu berikan perintah. "Tutup matamu!" ucapnya lantang, sehingga Leapun menuruti. Vin keluar dari selimut yang menutupi tubuhnya, kemudian berjalan cepat ke arah kamar mandi, berganti membalutkan tubuh dengan piyama mandinya, baru kembali ke tempat tidur dengan selimut yang sudah tersingkap lebar. Vin bergantian menatap Lea dan bagian sprei putih yang terdapat noda merah itu seraya menyisir bagian depan rambutnya dengan jemari tangan kanan. "Lea...kamu memang masih pera..." berulang kali Vin tak sanggup meneruskan ucapannya. Baru saja Vin ingin mendekati Lea, suara bel pintu terdengar, dan Vin segera beralih pada jam dinding yang ada di tembok seberang tempat tidurnya. "Sialan!" umpatnya, setelah menyadari saat ini adalah waktu dimana acara yang paling dia ingin hindari, akan segera berlangsung. Vin berbalik ke arah penjawab interkom pada pintu masuk penthouse satu-satunya di lantai paling atas bangunan apartemen ini. "Iya?" "Vin, ini mommy." "Tunggu," sahut Vin dingin. Di matikan tombol aktif penjawab interkom, untuk kembali ke Lea yang masih terisak. "Lea," panggil Vin dengan suara berat. "Saya ingin pulang...ibu saya sedang sakit dan sekarang sedang di rawat...seharusnya...saya menemaninya saja." "Ibumu?" "Ibu...harus operasi angkat kandungan...pak Vin...saya ingin pulang." Lea kesampingkan rasa takutnya, di kala wajah ibunya memenuhi pikiran dan semakin membuatnya menangis perih. Bel kembali berbunyi, dan Vin tahu siapa itu. Ibu tiri yang usianya hanya terpaut 10 tahunan dengannya, bernama Helena. Istri kedua ayahnya, dan selalu jadi bayangan gelap di setiap langkah Vin sendiri. "Sialan!" umpat Vin lagi dalam kebingungan. Di hadapannya, seorang gadis sedang menangis karena kegadisannya telah dia renggut, sedangkan di luar sedang menunggu ibu tirinya bersama sebuah dokumen untuk kelangsungan masa depannya. "Lea, segeralah berpakaian, dan jangan keluar dari kamar, sampai semua urusanku selesai. Ok?" "Saya ingin pulang saja, pak," pinta Lea sesenggukan. "Sekarang." Vin putuskan keluar dari kamar pribadinya setelah cepat-cepat berpakaian, tak menghiraukan rengekan Lea. "Hai, Vin sayang. Senang bertemu denganmu lagi," sapa Helena, bahkan sebelum Vin memberikan sapaan terlebih dulu, setelah pintu di bukakan. Vin mundur selangkah, menghindari rengkuhan Helena. Namun, gadis di belakang ibu tirinya ini justru memanfaatkannya dengan melewati Helena, lalu melingkarkan kedua tangannya di belakang tengkuk Vin. "Vin. Aku sangat merindukanmu, dan akhirnya kita akan segera menikah!" pekik gadis yang kini bergelayut manja pada Vin. Vin tak menggubris ucapan gadis cantik bernama Natalie, yang tak lain adalah keponakan dari Helena. Helena dan Natalie bersama-sama datang ke Italia, demi meluruskan permintaan Vin yang menginginkan semua rencana mereka di lakukan di negara tempat ibunya berasal tersebut. Vin segera masuk ke dalam ruang tamu, lalu duduk di single sofa, tapi pikirannya justru teralih pada sofa panjang di sebelahnya. "Aku dapat laporan, setelah dari makam ibumu, kamu langsung party di club malam, dan pulang dalam keadaan mabuk berat, ya?" "Iya, mabuk," sahut Vin cepat, sekaligus membenarkan pikirannya yang melayang merunut kejadian semalam, sampai pada tangis Lea pagi ini. "Kamu harus segera tanda tangani dokumen ini, agar pengacara ayahmu segera muluskan tujuan utama kita, untuk menguasai 100 persen kekayaan keluarga Dharmawan." Helena menyodorkan sebuah tumpukan kertas dengan logo sebuah kantor pengacara terkenal di Indonesia. Vin meraih dokumen itu, lalu membaca secara serampangan, sampai pada klausula dimana syarat utama pengalihan hak waris padanya, berupa tanda tangan istri di antara dua tanda tangan lain, yaitu Helena dan Vin sendiri. "Semua sudah mommy siapkan. Acara pernikahanmu dan Natalie, lusa akan di laksanakan secara tertutup di Sicilia, jadi malam ini usahakan tetap di rumah buat persiapan, agar besok pagi--" Helena menjeda instruksi pada anak tiri dan satu-satunya keturunan dari almarhum suaminya, Anthony Dharmawan, saat Vin bangkit dari tempat duduknya. "Kenapa? Ada apa?" tanya Helena, yang kemudian ikut berdiri dan mendekati Vin, lalu berbicara di balik punggungnya. "Mommy sadar, kita tidak pernah dekat. Tapi percayalah, mommy juga menyayangimu seperti anak sendiri, dan Natalie juga bukan gadis sembarangan. Dia wanita berkelas, jadi mommy yakin, dia bisa mengelola kekayaan keluarga kita." "Aku tidak mau seperti ayah." "Apa maksudmu, Vin?" "Bagiku, ayah telah melakukan kesalahan saat menikahimu, dan aku tidak akan mengikutinya dengan menikahi wanita dari keluargamu." "Vin!" sahut Helena meradang. "Lupakan soal perseteruan kita selama ini. Kamu jangan munafik. Kamu sudah terbiasa hidup mewah, hanya dengan bekerjasama, kita bisa dapatkan semua harta Anthony." "Tapi aku tidak mau menikah dengan gadis pilihanmu." "Vin. Waktu kita tidak banyak, dan hanya Natalie pilihan terbaik untukmu. Mommy tahu, kamu sudah banyak menolak cinta gadis-gadis mainanmu. Mereka kamu tinggalkan karena ada yang menurutmu lebih baik, tapi mommy jamin, Nata--" "Aku bilang tidak mau menikah dengannya!" tandas Vin keras. "Lalu, kamu akan menikahi siapa? Waktu kita menipis, sebelum kekayaannya di hibahkan ke yayasan sosial. Kamu mau kita hidup miskin?" Vin balikkan badan, lalu menatap memicing pada Helena. "Kenapa yang ada di otakmu hanya uang!" bentak Vin. "Karena aku tidak bisa hidup dengan uang!" "Karena itu kamu menikah dengan ayahku yang sudah tua?" "Iya! Puas, kau!" "Helena. Bagianmu hanya maksimal 20 persen dari saham perusahaan. Kamu tahu kenapa? Karena ayah tahu sifat aslimu yang mata duitan!" "Tapi aku tetap istri sah Anthony!" Helena tidak mau begitu saja kalah argumentasi dengan anak tirinya ini. "Sudahlah, nikahi saja Natalie, lalu kamu bisa menceraikannya kapan saja, asal kamu menikah. Titik!" "Tante, kok ngomong begitu, sih? Aku mau jadi istrinya Vin selamanya. Kan tante sudah janji," rengekan Natalie sambil menggoyangkan lengan Helena. "Aku mau saja kalau harus coba tidur dulu dengan Vin. Akan aku servis calon suamiku ini sebaik mungkin," janji Natalie kemudian. Vin mendengus jijik. Bicara soal tidur dengan wanita, Vin merasakan tubuhnya tak ingin bercinta dengan Natalie, karena sensasi semalam bersama Lea, masih melekat sampai relung terdalamnya. Baru saja pikirannya ini tertuju pada gadis yang sudah dia renggut kegadisannya semalam, pintu kamarnya terbuka dan Lea berada di sana, berdiri seraya memegang kopernya. "Pak Vin. Saya harus pulang. Ijinkan saya kembali ke Indonesia sekarang juga," hibah Lea dengan riasan seadanya dan wajahnya pucat pasi. "Si siapa dia? Kenapa ada wanita di kamarmu?" tanya Helena terkejut. "Vin. Katakan kalau dia cuma salah satu mainanmu. Iya, kan?" Natalie coba tegaskan sesuatu, namun justru menunjukkan ketakutannya sendiri. Vin melirik Natalie sekilas, lalu kembali pada Lea yang merunduk dalam kesedihan. Selama beberapa detik, Vin menatapnya, lalu memecah kebekuan suasana di antara 3 wanita ini dengan keputusan besar. "Tidak. Dia bukan mainanku, tapi gadis ini adalah calon istriku.""What?!" Teriakan histeris Natalie. Tak percaya, ketakutannya ternyata jadi nyata. Sudah sejak setahunan ini, Natalie selalu berusaha keras untuk menarik perhatian Vin, bahkan rela menjadi penguntit untuk mengetahui setiap jadwal kegiatan Vin, selain meminta bantuan dari tantenya, Helena. Tapi sayang, Vin selalu menolak ajakan kencan atau bahkan bercinta dari Natalie. Namun di setiap penolakan ini, maka semakin keras usahanya untuk mendapatkan hati dan tentu saja harapan sebagai istri sekaligus nama belakang keluarga Dharmawan. "Vin. Kamu ngomong apa? Kamu itu masih mabuk!" sambung Helena, meneruskan keterkejutan Natalie yang kini menangis dalam pelukannya. "Dia ini gadis apa? Pasti kamu ketemu dia club malam, ya kan? Dia wanita murah--" "Dia asisten pribadiku, sekaligus calon istriku!" tegas Vin. Vin bergeser, berdiri di samping Lea yang menatapnya bingung. "Ca calon istri anda?" tanya Lea, sembari menatap bergantian antara Vin dan dua w
Seharian sejak cinta satu malam dan kesepakatan kontrak pernikahan itu terjadi, Lea hanya sendirian di dalam penthouse milik Vin, sedangkan pemiliknya pergi entah kemana, dan belum menunjukkan kabar beritanya sama sekali. "Dimana orang ini? Dia benar-benar mempermainkan gue!" gerutu Lea, duduk risau di kursi berkaki tinggi pada area dapur. Berada di tempat tertinggi pada sebuah gedung tempat tinggal, dengan fasilitas keamanan tingkat pertama, justru membuat Lea jadi merasa terpenjara. Di tatap layar ponsel dengan satu nama berharga tertulis di sana, jadi keputusan Lea untuk menelponnya. "Mama. Bagaimana keadaan mama sekarang?" tanya Lea to the point, setelah panggilannya di angkat sang ibunda, dan kemudian mengaktifkan loudspeaker. "Justru mama ingin tahu keadaanmu sekarang, sayang? Bagaimana pekerjaanmu di sana? Apa kamu bisa bersenang-senang? Atau cuma di suruh bekerja terus?" cercaan pertanyaan dari Sarah, ibu dari Lea. Sebelum keberangkatannya ke Italia, Lea sempat mencerit
Bola mata hitam Lea melebar karena terbelalak kaget."Pak Vin. Sebelum surat kontak itu kita tanda tangani, saya ingin tegaskan sesuatu.""Perutku mual. Jangan nambahi beban pikiranku. Memangnya kamu mau apa?"Lea hela napas panjang terlebih dahulu sebelum memulai berbicara lagi. Lea berpikir, beberapa hal harus sudah dia bicarakan dengan Vin, sebelum mereka kembali ke Indonesia."Saya berjanji akan mengikuti aturan yang bapak berikan, dan juga berusaha jadi istri kontrak yang baik, tapi..""Tapi apa?""Malam kemarin...bagi kita haruslah...malam pertama dan jadi malam terakhir. Saya--""Hei, dengar ya," potong Vin tak mau kalah. "Siapa yang mau minta malam kemarin itu berulang? Tentu itu bukan dari aku.""Maksud saya seperti itu, dan tentu bukan dari saya juga," perjelas Lea takut menyakiti."Ya sudah. What's the problem? Aku cuma bercanda...sialan!"Lea pasang kacamatanya, di sertai kerutan di dahi."Ke kenapa, pak?" Tak ada jawaban dari Vin, panggilan pun tiba-tiba di tutup, membu
Wanita mana yang tak akan tersinggung, bila penilaian akan penampilannya mendapatkan kesimpulan tak baik, terutama di utarakan secara langsung di hadapannya."Kurang menarik ya, pak?" tanya Lea bergetar.Tetesan air dari perasan kain berbahan handuk dan berukuran kecil itu jadi pengisi keheningan ruang TV, penthouse milik Vin untuk beberapa detik lamanya. "Bukan lagi kurang menarik, tapi memang nggak menarik," sahut Vin dingin.Vin lantas membuang muka ke samping. Kelambu berisi air terlihat di kelopak mata Lea, membuat Vin jadi tak tega sendiri."Maka dari itu, sekalian ku perintahkan perancang gaun pengantin itu bawa pakaian yang sekiranya sesuai buat meeting sama klien," tambahnya kalem."Permisi, pak," ijin Lea ketika akan membasuh luka Vin.Vin masih membuang muka. Ekspresinya menegang, karena menahan rasa perih setelah tetesan-tetesan air itu mengenai tepat di bagian luka menganga akibat pecahan gelas kaca."Apa kamu akan lakukan hal yang sama juga, seandainya aku bukan orang ya
Sontak Lea mendelik, amarah sudah di ujung ubun-ubun kepalanya."Pak Vin. Saya bukan gadis seperti itu. Sudah saya katakan kalau--"Keberatan Lea terhenti, saat melihat Vin memegangi kepalanya, lalu hampir limbung. Lea berlari mendekat dan berusaha menahannya, agar tidak sampai terjatuh ke lantai."Pak Vin!" terkejutnya Lea dengan kedua tangan menopang tubuh atletis Vin, sampai dirinya sendiri hampir tak sanggup menyanggah, kalau saja Vin tidak segera membuat dirinya sendiri tersadar. "Anda tak apa-apa? Ada apa dengan anda? Habis mabuk, atau memang sakit?" tanya Lea penasaran."Bawa aku ke kamar," perintah Vin dengan bantuan Lea. Pikiran dan tubuh Vin kembali kacau . Setelah membantu Vin merebahkan diri secara perlahan, Lea mundur beberapa langkah dan menelusuri tubuh atasannya ini dari ujung kepala sampai ujung kaki."Badan anda panas. Apa perlu saya panggilkan bodyguard anda buat antar ke dokter?""Morgan?" tanya Vin lemah dengan mata setengah terpejam."Morgan?" Lea berikan perta
"Karena aku ngantuk!" jawab Vin singkat, tapi terkesan sekenanya."Tapi--""Ahh, sudahlah nggak usah di bahas lagi!" putus Vin, menyela tanggapan yang akan di berikan Lea. "Kita hanya akan jadi suami istri di atas kertas kontrak saja, jadi jangan mengatur hidupku, ok!""Baik, pak. Maafkan saya," sahut Lea, menyadari telah terlalu memasuki ranah kewenangan di luar kuasanya. "Akan saya siapkan keperluan untuk bertemu klien nanti terlebih dulu. Sekretaris Li sudah email saya.""Iya. Keluarlah." Vin berikan perintah dengan membuang muka. Salah satu sikap dan kebiasaan Vin yang tak di sukai Lea.Lea keluar dari kamar, tapi sengaja berhenti di depan pintu yang tertutup, lalu melihat ke arah samping, dimana terdapat sebuah kamar lain tapi selalu dalam keadaan terkunci."Kenapa aku nggak di suruh tidur di kamar sebelah? Eh, dianya juga malah tidur di hotel seberang. Aneh banget nih orang," gumam Lea tak habis pikir.Memang Lea belum menjelajah isi penthouse milik Vin ini secara seksama. Tapi
Setelah satu jam berselang, Vin kembali dengan langkah tergesa-gesa. Satu tas koper di tangan kanan, dan tumpukan file dan dokumen-dokumen, di rengkuh dalam pelukan lengkungan lengan kiri."Lea!" panggilnya kencang, setelah meletakkan semua bawaan di lantai dan di atas meja ruang tamu."Iya, pak?" sahut Lea, segera berlari kecil mendekat."Tuan Alberto sudah di jalan, kita harus--" perintah Vin terhenti, setelah menoleh dan mendapati Lea beserta penampilan berbedanya."Iya, pak? Harus apa?" sambar Lea.Urat syaraf rahang Vin menegang, tatapannya menurun sayu, searah dua bola hazelnya menelusuri kaki mulus Lea sampai ke arah atas lutut yang tak tertutupi, hingga tepat tertuju di dua kilatan abu-abu dari warna soft lens yang di gunakan Lea.Penampilan jauh berbeda dari kesehariannya, meski Lea terlihat sekali masih kaku dengan perubahan ini. Berulang kali, harus paksakan diri berdiri tegak lagi, ketika hampir terjatuh bila ujung high heelsnya menyelip di antara ornamen karpey tebal yang
Selama mendampingi Vin bertemu dengan klien bernama Alberto, pikiran Lea masih terbelah akan ucapan Vin sejam yang lalu.Istri kontrak berarti pegawai di kantor, sekaligus istri di rumah. Lea masih belum sepenuhnya mengerti konsep Vin ini.Istri atau pembantu rumah tangga? Dua istilah yang memenuhi pikiran Lea saat ini."Tu non mangi, signorina?"Lea menoleh pada pria Italia berumur 40 tahunan di hadapannya dengan ekspresi kaget."Yes?" tanyanya, meminta mengulang pertanyaan dari pria bernama Alberto ini."Tuan Alberto nanya, kenapa kamu nggak makan?!" jawab Vin dingin.Sikap Vin tidak sepenuhnya tertuju pada Lea, tapi juga pada Alberto yang terlihat sekali curi-curi pandang ke arah Lea, bahkan secara terang-terangan di depannya."Iya, Signore Alberto. Anda silahkan makan terlebih dulu," jawaban dalam bahasa Inggris Lea pada Alberto.Bukan soal adab juga, Lea masih tercengang dengan menu makanan di hadapannya. Seafood ala Italia dengan tambahan karbohidrad berupa kentang, jelas bukan
Pada hari jumat malam seminggu kemudian. Lea berada sendirian di dalam kondominium Vin tanpa pemiliknya. Vin harus terbang ke Italia tanpanya selasa lalu bersama dua teman prianya, karena ada keinginan dari salah satu calon investor untuk segera menandatangani perjanjian kerjasama, selain masa pengalihan dan pengucuran dana warisan dari Anthony juga sedang dalam proses, larena Vin telah selesaikan masalah dengan Helena sesuai amanat ayahnya tersebut, selain telah menikah dan akan memiliki anak. Lea meninggalkan kantor, dan menemui ibunya sebentar, sebelum akhirnya kini di depan deretan koper yang telah siap menemaninya menempuh perjalanan jauh. Morgan belum menjemput totak waktu yang di butuhkan lima belas menit untuk mengulur-ulur waktu sedikit, Lea membuka ponsel di bagian note dan memeriksa lagi. 1. Tiket pesawat ( Aku sudah melakukannya sekaligus mengkonfirmasinya. Dua kali ) 2. Memesan executive lounge bandara ( Juga sudah mengkonfirmasi dua kali ) 3. Berkemas ( Baru se
Pagi tidak lebih baik. Lea berguling turun dari ranjang pagi-pagi. Seminggu sudah telah berlalu dari kejadian yang penuh dramatis. Matahari bersinar melewati jarak antara dua gorden jendela kaca berukuran lumayan besar di kondominium milik Vin. Lea beralih ke dapur membuat susu coklat hangat. Vin masih tidur, dan kemungkinan tidak akan bangun untuk sejam dua jam ke depan. Lea melirik meja ruang tamu, botol kosong minuman kaleng beraneka macam masih di sana, sebagian adalah beralkohol. Dua teman pria kebangsaan Italia Vin semalam jadi penghisap hampir semuanya. Entah mereka berjalan kaki dari Italia ke Indonesia atau apa. yang pasti di atas meja ruang tamu sana benar-benar kacau dengan berbagai bekas makanan dan minuman berserakan. Mereka bertiga nampaknya sudah tak kuat bahkan untuk membuangnya ke dalam sampah karena sibuk bercanda berlanjut rasa kantuk di sertai setengah mabuk. Lea kemudian meringis membayangkan percakapan yang akan mereka lakukan. Secangkir susu coklat hanga
"Natalie?" Lea terkejut. Gadis muda berusia tak jauh dari dirinya itu tampak berpenampilan kusut tidak seperti biasanya, bahkan tidak ada pulasan kosmetik apapun sebagai make up semakin mempercantik diri. "Ngapain dia ke sini? Dia nggak lagi bangun tidur, kan?" pertanyaan canda Lea menatap bergantian antara Vin dan Natalie. Beberapa detik lalu Lea berada agak menjauh dari Vin untuk menghindari berinteraksi dengan Helena, tapi karena kehadiran tak terduga dari Natalie ini, membuatnya mendekati Vin dan berbicara berbisik untuk mencari tahu. Tatapan sembab dari bawah mata yang bengkak, membuat Vin spontan jadi bersikap awas. Di dorong Lea agar lebih mundur dan di posisikan tepat di belakang punggungnya, karena Vin menyadari tatapan Natalie menyorot di sekitar dia berdiri. "Tante Helena!" Mendengar nama ini di sebut dan di ketahui keberadaan posisinya, beberapa baris kerumunan tamu bergerak menyisir memberi jalan buat Natalie agar bisa melihat apa yang akan dia lakukan juga. "Na
"Kamu nggak apa-apa, kan Sayang?" Kedua mata Lea terbelalak. Di hadapannya adalah pria tampan mengenakan seragam bodyguard serba hitam berikut kacamata berwarna senada juga. Memang seperti orang lain, tapi sebagai istri yang selalu bersama dari pagi sampai malam, Lea yakin pria penyelamat di hadapannya ini adalah Vin. "Ka kamu ngapain dandan begini?" Lea masih sempatnya bertanya di saat suasana jadi riuh, bahkan terdengar teriakan-teriakan agar ruangan hall segera di amankan. Pria tersebut perlahan membawa Lea bangkit dengan di dudukkan, perut Lea di elus-elus. Kekhawatiran merambat pada bagian tubuh Lea dimana sempat di rasakannya ada gerakan. "Demi anak kita ini. Maaf kalau buatmu kaget, tapi berhasilkan. Dugaanmu benar, keamanan buatmu tidak cukup mengandalkan Morgan saja." "Pak Presdir .... Pak Presdir Vin .... anda tidak apa-apa?!" pekikan berganti terdengar dari pria lain. Dia adalah Sekretaris Li, yang berdiri tak jauh dari keduanya berada. Vin berganti ulurkaj t
Kasak-kusuk terjadi lebih ramai dari sebelumnya. Ucapan santai Lea jadi pemicu rasa ingin tahu dari tamu undangan yang merupakan para pemegang saham dari perusahaan-perusahaan dari pengelolaan keluarga Dharmawan. Helena kembali berdiri. Berbeda dari aksi sebelumnya, kali ini Helena tampak lebih kusut, wajahnya merah karena amarahnya lebih memuncak. "Ini acara pengambilan voting, bukannya cari panggung buat hal yang nggak ada bukti dan dasarnya apa kayak begini. Kamu jangan sok ya. Kamu itu orang baru. Nggak ngerti apa-apa!" Lea tak menggubris. Seperti apa yang di instruksikan oleh Vin, agar dirinya tetap tenang dalam menanggapi tiap kelakuan Helena, tidak mudah terprovokasi dengan setiap nada tinggi Helena yang berkesan memojokkan. "Slide-slide selanjutnya memang berkesan tidak ada hubungannya dengan acara ini, tapi di sini kami inginkan siapa saja jadi terbuka matanya, tentang siapa yang sebenarnya bersalah dan siapa yang sering di jadikan kambing hitam. Sekali lagi ini semua
Di sebuah hall terletak di dalam hotel bintang lima, tamu undangan sudah mulai memadati tempat acara. Perhelatan yang sebenarnya akan di laksanakan bulan depan itu, nyatanya di majukan secara mendadak dengan alasan karena keperluan mendesak. Acara awal protokoler tengah di laksanakan. Seirang wanita jadi pusat perhatian di saat sesi sambutan sedang di jadikan awal dari pembicaraan mengenai Vin, sang presdir utama. "Kubu pertama yaitu mosi tidak percaya dan minta agar jabatan presdir di copot untuk di berikan pada saya, sudah dapat banyak dukungan meskipun perolehan suara belum di laksanakan, jadi saya harapkan rekan sekalian bisa menentukan pilihan sesuai dengan logika. Perusahaan ini butuh orang-orang berpengaruh kuat. Bukannya hanya mengandalkan cara kepemimpinan yang katanya revolusioner tapi ternyata bangak pihak yang tidak senang." Helena ungkapkan sesuatu dengan kesan menyindir lawan pemilihannya, yaitu Vin. Tepuk tangan bergema setelahnya, bahkan ada yang dengan berdiri,
Sampai semalaman Lea berusaha mengorek apa rencana yang sedang Vin simpan, tetap saja Lea tak mendapatkan jawaban. Walaupun sudah melayani bercinta dengan gegap gempita, berharap Vin akan lengah lalu bercerita, namun tetap saja tak temukan hasil. Vin masih saja bungkam. Di waktu weekend, Lea membantu Vin untuk keberangkatan ke Italia. Sampai itupun, Vin belumjuga berikan jawaban akan rencananya. Vin selalu menggadang-gadang kalau yang mengetahu isi rencananya itu hanya otaknya saja. Leapun akhirnya menyerah, sudah tak bertanya lagi bila sudah tahu akan jawabannya apa. "Lama banget ke Italianya?" protesan Lea setelah selesai membantu Vin menyiapkan packing segala keperluan di dalam satu koper besar dengan sistem penutup memakai kode tertentu. "Kan ada Mama. Kamu ada temennya. Bukannya kemarin-kemarin ribut minta di temeni Mamamu?" pengingat Vin dan di jawab anggukan oleh Lea. "Tapikan tetep aja beda kalau nggak ada kamu," sedihnya Lea. Di letakkan sebuah buku bertuliskan logo d
"Aku bertemu sama pengacaraku." Morgan sudah mengatakannya, tapi bila alasannya itu keluar dari mulut Vin sendiri, maka jadi perbedaan tersendiri bagi seorang wanita termasuk Lea. "Beneran ketemu pengacara? Kamu nggak sedang main samdiwara sama Morgan, kan? Takutnya sudah kasih perintah biar bilang sama akunya temui pengacara, tapi ternyata temui wanita lain," omel Lea seperti telah mendapat peringatan secara naluri. "Hmm ... menemui pengacaraku dan juga seorang wanita." Lea menoleh dan menatap Vin sambil melotot. Rasanya akan sulit bagi Vin, bila naluri kuat Lea seperti yang di miliki para wanita pada umumnya untuk di jadikan awal dari sebuah kebohongan. "Tuh kan sama cewek, sudah ku duga!" bentak Lea. "Siapa dia? Awas kalau memang sama cewek bilangnya ke aku cuma temen atau kolega bisnis, tapi diem-diem main api di belakang. Sudah biasa itu kayak di medsos-medsos!" tak terimanya Lea. Vin semakin tertawa kencang. Tak menyangka kalau lea cemburu lebih galak daripada singa
"Hai Sayang." Sapaan dari Vin yang segera di tanggapi Lea dengan pelukan. "Kamu kemana saja? Nggak tahu apa, aku khawatir banget!" omelan Lea setelah melepaskan rengkuhan hangat namun singkatnya. "Banyak orang mencarimu, habis kamu nggak aktifin ponselmu," imbuh Lea mencari tahu. "Aku sedang jalan-jalan," jawab Vin santai. Bersama kawalan dari Morgan dan beberapa pengawal anak buah Morgan, Vin membawa Lea ke ruangan pertemuan utama gedung dengan merubah ekspresinya jadi dingin dan kaku, berbeda jauh saat bertemu Lea tadi. Tatapan Vin lurus ke depan, selain belum ada yang berani menyapa atau mengajaknya bicara, Vin juga nggak berminat di ajak bicara sampai ada yang memulai. Ini adalah bentuk aksi kekecewaan Vin ketika loyalitas bawahannya telah membuatnya jadi turunkan rasa kepercayaannya. Setelah Vin duduk di kursi utama ruanga pertemuan, dalam beberapa menit suasana hening, dengan sikap tenang, Vin menunggu dengan sabar tiap orang di ruangan tersebut mencari tempat duduk, k