"What?!"
Teriakan histeris Natalie. Tak percaya, ketakutannya ternyata jadi nyata. Sudah sejak setahunan ini, Natalie selalu berusaha keras untuk menarik perhatian Vin, bahkan rela menjadi penguntit untuk mengetahui setiap jadwal kegiatan Vin, selain meminta bantuan dari tantenya, Helena. Tapi sayang, Vin selalu menolak ajakan kencan atau bahkan bercinta dari Natalie. Namun di setiap penolakan ini, maka semakin keras usahanya untuk mendapatkan hati dan tentu saja harapan sebagai istri sekaligus nama belakang keluarga Dharmawan. "Vin. Kamu ngomong apa? Kamu itu masih mabuk!" sambung Helena, meneruskan keterkejutan Natalie yang kini menangis dalam pelukannya. "Dia ini gadis apa? Pasti kamu ketemu dia club malam, ya kan? Dia wanita murah--" "Dia asisten pribadiku, sekaligus calon istriku!" tegas Vin. Vin bergeser, berdiri di samping Lea yang menatapnya bingung. "Ca calon istri anda?" tanya Lea, sembari menatap bergantian antara Vin dan dua wanita di hadapannya. "Sejak kapan?" tanyanya lirih lagi. "Ya sejak sekarang!" sahut Vin pelan juga, mengucapkannya secara geregetan tanpa membuka terlalu lebar bibirnya. "Vin. Mommy nggak bisa terima ini. Ayahmu di alam sana pasti kecewa denganmu. Gadis itu...lihatlah dia. Apa yang menarik dari dia!" Mendapat cemoohan dari Helena, Lea naikkan gagang tengah kacamata hitamnya, lalu mengangkat kopernya. "Iya, saya cuma mau pulang!' ucap Lea dengan getaran, tapi lengannya kemudian di tahan Vin, sehingga langkahnyapun terhenti. "Kamu...tetap di sini, karena yang harus pulang itu mereka berdua," perintah Vin dingin. "Vin! Kamu ini kenapa, sih?! Selalu saja cari jalan buat lawan mommy. Aku ini istri ayahmu, dan ibumu sudah meninggal lama. Akulah yang jadi ibumu selama ini, tapi kenapa masih saja membenci mommy, hah?" Helena berusaha mengambil hati Vin. Rencana menjadi penguasa sebagian harta Anthony Dharmawan, bersama Natalie, sebisa mungkin Helena wujudkan melalui segala cara, meski selalu saja mendapat halangan dari Vin. "Aku tidak pernah meminta tante melakukannya. Bagiku, kita berdua hanya partner dalam mengelola harta ayah, jadi jangan mengatur hidupku lagi. Kembalilah ke hotel dan hadiri pernikahanku dengan Lea di Sicilia, lusa nanti." "Vin! Kamu tega banget!" pekik Helena, lalu membuang muka dan membawa Natalie yang kecewa, keluar dari penthouse pribadi milik Vin ini. Pintu kemudian terdengar di tutup dengan keras. Setelah terlihat di monitor CCTV, pintu lift juga telah tertutup membawa Helena dan Natalie, Vin kemudian jatuhkan diri di atas sofa dengan kedua mata terpejam. "Pak...saya pengen pulang," pinta Lea takut-takut. Setelah terdengar helaan napas, Vin membuka kembali kedua matanya, lalu menatap Lea tertegun. Satu dua detik kemudian, baru berbicara memberi tanggapan. "Kamu ini kok nggak paham-paham. Kan aku sudah bilang, kamu itu calon istriku, dan kita akan menikah lusa di kota Sicilia. Ngerti, nggak?!" "Apa ini bentuk tanggung jawab bapak?" tanya Lea, dengan air mata yang tak bisa terbendung lagi. "Siapa bilang!" pekik Vin, yang telah berdiri dan mendekati Lea. Vin naikkan dagu Lea, agar tak perlu berbicara berkali-kali buat gadis polos dan sering lama loading ini. "Aku memang akan bertanggung jawab atas kejadian semalam, tapi perlu kamu ingat, kita melakukannya juga karena kamu tidak menolak atau bahkan mencoba melawanku, jadi bisa di bilang, semua itu kita lakukan atas dasar suka sama suka." "Tapi saya tidak menginginkannya. Sepertinya saya salah minum sesuatu, lalu mabuk. Saya...saya..." Lea tak sanggup meneruskan pembelaannya. Dia kembali tenggelam dalam tangis, sampai napasnya tak sanggup untuk bicara panjang lebar. "Lea," panggil Vin lirih, setelah melepaskan tangannya dari dagu Lea. "Akan aku buat surat kontrak pernikahan buat kita berdua." "Apa maksud anda?" "Sebenarnya, aku sudah tahu tentang kondisi ibumu dan bagaimana perekonomian keluargamu. Kamu anak yatim yang harus menanggung biaya pengobatan ibumu, bukan?" Lea berikan anggukan pelan seraya bertanya, "Bagaimana bapak tahu?" "Itu yang tidak perlu kamu tahu, yang pasti aku sudah tahu banyak soal dirimu." "Jadi untuk apa kontrak pernikahan itu kalau anda tidak menginginkannya?" "Demi keuntungan kita berdua. Mungkin tadi kamu sudah mendengar sebagian ceritanya. Aku butuh seorang istri agar bisa penuhi wasiat ayahku untuk jadi penerus bisnisnya, dan kamu perlu uang banyak untuk pengobatan ibumu. " "Pak Vin." "Kita akan buat perjanjian saling menguntungkan, sampai batas satu tahun, kita bisa jalani kehidupan masing-masing." Lea mundur beberapa langkah,di sapu air mata di kedua pipi dan di tahan semua tangisannya, karena telah menyadari sesuatu. "Jadi...anda sudah mencari tahu soal saya, dan karena alasan inilah anda menginginkan saya jadi asisten anda. Iya, kan?" Vin kedipkan kedua mata dan menggangguk samar sebagai jawaban. "Anda memilih saya karena saya bodoh. Iya, kan?" dugaan negatif Lea. "Saya bukan kriteria anda, pak. Saya tidak sebanding dengan gadis-gadis yang anda campakkan. Anda pasti mengira, saya akan menurut saja pada anda, karena saya tidak bisa menolak permintaan anda. Iya, kan?" Lea kembali terisak dengan penilaiannya pada dirinya sendiri ini. "Karena kamu berbeda, Lea." "KARENA SAYA BODOH!" teriak Lea. "Bilang saja begitu, pak!" Hati Lea hancur, tangisnya kembali meraung, hampir saja dia terjatuh, kalau saja Vin tidak segera berlari dan menahan tubuhnya. "Lea. Tidak seperti itu. Kejadian semalam bukan bagian dari rencanaku. Aku memang sudah mengincarmu, tapi itu murni untuk kontrak pernikahan itu, bukan...bukan..." Vin tak sanggup meneruskan, langkahnya mundur setelah melepaskan ikatan tangannya pada Lea yang sudah kembali kuat berdiri. "Segera aku minta sekretaris Li buatkan kontrak pernikahan ini. Selama kamu jadi istri kontrakku, semua biaya pengobatan ibumu akan aku tanggung. Ibumu akan mendapatkan fasilitas VIP sampai sembuh. Kamu juga akan dapat uang cash 1 miliar, di luar semua tunjangan dan fasilitas kelas 1 sebagai istriku nanti." Vin berbalik, lalu meraih ponsel yang dia letakkan begitu saja di atas meja ruang tamu. "Nama sekretaris Li sudah ada di layar ponselku, sekarang tinggal apa jawaban darimu," ucap Vin dingin. "Apa kamu bersedia atau tidak?" tanyanya kemudian. Lea jadi gamang. Bukan karena semata dia membutuhkan materi saja, tapi bagaimana tatapan sendu ibunya dalam menahan rasa sakit, segera memenuhi pikirannya. Maksud hati Lea ingin tunjukkan harga diri di depan Vin, yang sudah di kenalnya sebagai pria tak berperasaan pada wanita, selain sikap arogansinya, tapi senyum ibunya jualah yang mengharuskan Lea harus kesampingkan pikiran egoisnya ini. Melalui getaran bibirnya, Lea berikan jawaban dengan keterpaksaan di luar keinginan hati terdalamnya. "Baiklah, pak. Saya setuju." Vin tersenyum. Penilaiannya terhadap Lea sebagai gadis polos, pintar, namun unik berbeda dengan wanita-wanita yang dia jadikan boneka saja, ternyata memanglah benar adanya. "Bagus. Sekarang hidupmu akan bergantung padaku!"Seharian sejak cinta satu malam dan kesepakatan kontrak pernikahan itu terjadi, Lea hanya sendirian di dalam penthouse milik Vin, sedangkan pemiliknya pergi entah kemana, dan belum menunjukkan kabar beritanya sama sekali. "Dimana orang ini? Dia benar-benar mempermainkan gue!" gerutu Lea, duduk risau di kursi berkaki tinggi pada area dapur. Berada di tempat tertinggi pada sebuah gedung tempat tinggal, dengan fasilitas keamanan tingkat pertama, justru membuat Lea jadi merasa terpenjara. Di tatap layar ponsel dengan satu nama berharga tertulis di sana, jadi keputusan Lea untuk menelponnya. "Mama. Bagaimana keadaan mama sekarang?" tanya Lea to the point, setelah panggilannya di angkat sang ibunda, dan kemudian mengaktifkan loudspeaker. "Justru mama ingin tahu keadaanmu sekarang, sayang? Bagaimana pekerjaanmu di sana? Apa kamu bisa bersenang-senang? Atau cuma di suruh bekerja terus?" cercaan pertanyaan dari Sarah, ibu dari Lea. Sebelum keberangkatannya ke Italia, Lea sempat mencerit
Bola mata hitam Lea melebar karena terbelalak kaget."Pak Vin. Sebelum surat kontak itu kita tanda tangani, saya ingin tegaskan sesuatu.""Perutku mual. Jangan nambahi beban pikiranku. Memangnya kamu mau apa?"Lea hela napas panjang terlebih dahulu sebelum memulai berbicara lagi. Lea berpikir, beberapa hal harus sudah dia bicarakan dengan Vin, sebelum mereka kembali ke Indonesia."Saya berjanji akan mengikuti aturan yang bapak berikan, dan juga berusaha jadi istri kontrak yang baik, tapi..""Tapi apa?""Malam kemarin...bagi kita haruslah...malam pertama dan jadi malam terakhir. Saya--""Hei, dengar ya," potong Vin tak mau kalah. "Siapa yang mau minta malam kemarin itu berulang? Tentu itu bukan dari aku.""Maksud saya seperti itu, dan tentu bukan dari saya juga," perjelas Lea takut menyakiti."Ya sudah. What's the problem? Aku cuma bercanda...sialan!"Lea pasang kacamatanya, di sertai kerutan di dahi."Ke kenapa, pak?" Tak ada jawaban dari Vin, panggilan pun tiba-tiba di tutup, membu
Wanita mana yang tak akan tersinggung, bila penilaian akan penampilannya mendapatkan kesimpulan tak baik, terutama di utarakan secara langsung di hadapannya."Kurang menarik ya, pak?" tanya Lea bergetar.Tetesan air dari perasan kain berbahan handuk dan berukuran kecil itu jadi pengisi keheningan ruang TV, penthouse milik Vin untuk beberapa detik lamanya. "Bukan lagi kurang menarik, tapi memang nggak menarik," sahut Vin dingin.Vin lantas membuang muka ke samping. Kelambu berisi air terlihat di kelopak mata Lea, membuat Vin jadi tak tega sendiri."Maka dari itu, sekalian ku perintahkan perancang gaun pengantin itu bawa pakaian yang sekiranya sesuai buat meeting sama klien," tambahnya kalem."Permisi, pak," ijin Lea ketika akan membasuh luka Vin.Vin masih membuang muka. Ekspresinya menegang, karena menahan rasa perih setelah tetesan-tetesan air itu mengenai tepat di bagian luka menganga akibat pecahan gelas kaca."Apa kamu akan lakukan hal yang sama juga, seandainya aku bukan orang ya
Sontak Lea mendelik, amarah sudah di ujung ubun-ubun kepalanya."Pak Vin. Saya bukan gadis seperti itu. Sudah saya katakan kalau--"Keberatan Lea terhenti, saat melihat Vin memegangi kepalanya, lalu hampir limbung. Lea berlari mendekat dan berusaha menahannya, agar tidak sampai terjatuh ke lantai."Pak Vin!" terkejutnya Lea dengan kedua tangan menopang tubuh atletis Vin, sampai dirinya sendiri hampir tak sanggup menyanggah, kalau saja Vin tidak segera membuat dirinya sendiri tersadar. "Anda tak apa-apa? Ada apa dengan anda? Habis mabuk, atau memang sakit?" tanya Lea penasaran."Bawa aku ke kamar," perintah Vin dengan bantuan Lea. Pikiran dan tubuh Vin kembali kacau . Setelah membantu Vin merebahkan diri secara perlahan, Lea mundur beberapa langkah dan menelusuri tubuh atasannya ini dari ujung kepala sampai ujung kaki."Badan anda panas. Apa perlu saya panggilkan bodyguard anda buat antar ke dokter?""Morgan?" tanya Vin lemah dengan mata setengah terpejam."Morgan?" Lea berikan perta
"Karena aku ngantuk!" jawab Vin singkat, tapi terkesan sekenanya."Tapi--""Ahh, sudahlah nggak usah di bahas lagi!" putus Vin, menyela tanggapan yang akan di berikan Lea. "Kita hanya akan jadi suami istri di atas kertas kontrak saja, jadi jangan mengatur hidupku, ok!""Baik, pak. Maafkan saya," sahut Lea, menyadari telah terlalu memasuki ranah kewenangan di luar kuasanya. "Akan saya siapkan keperluan untuk bertemu klien nanti terlebih dulu. Sekretaris Li sudah email saya.""Iya. Keluarlah." Vin berikan perintah dengan membuang muka. Salah satu sikap dan kebiasaan Vin yang tak di sukai Lea.Lea keluar dari kamar, tapi sengaja berhenti di depan pintu yang tertutup, lalu melihat ke arah samping, dimana terdapat sebuah kamar lain tapi selalu dalam keadaan terkunci."Kenapa aku nggak di suruh tidur di kamar sebelah? Eh, dianya juga malah tidur di hotel seberang. Aneh banget nih orang," gumam Lea tak habis pikir.Memang Lea belum menjelajah isi penthouse milik Vin ini secara seksama. Tapi
Setelah satu jam berselang, Vin kembali dengan langkah tergesa-gesa. Satu tas koper di tangan kanan, dan tumpukan file dan dokumen-dokumen, di rengkuh dalam pelukan lengkungan lengan kiri."Lea!" panggilnya kencang, setelah meletakkan semua bawaan di lantai dan di atas meja ruang tamu."Iya, pak?" sahut Lea, segera berlari kecil mendekat."Tuan Alberto sudah di jalan, kita harus--" perintah Vin terhenti, setelah menoleh dan mendapati Lea beserta penampilan berbedanya."Iya, pak? Harus apa?" sambar Lea.Urat syaraf rahang Vin menegang, tatapannya menurun sayu, searah dua bola hazelnya menelusuri kaki mulus Lea sampai ke arah atas lutut yang tak tertutupi, hingga tepat tertuju di dua kilatan abu-abu dari warna soft lens yang di gunakan Lea.Penampilan jauh berbeda dari kesehariannya, meski Lea terlihat sekali masih kaku dengan perubahan ini. Berulang kali, harus paksakan diri berdiri tegak lagi, ketika hampir terjatuh bila ujung high heelsnya menyelip di antara ornamen karpey tebal yang
Selama mendampingi Vin bertemu dengan klien bernama Alberto, pikiran Lea masih terbelah akan ucapan Vin sejam yang lalu.Istri kontrak berarti pegawai di kantor, sekaligus istri di rumah. Lea masih belum sepenuhnya mengerti konsep Vin ini.Istri atau pembantu rumah tangga? Dua istilah yang memenuhi pikiran Lea saat ini."Tu non mangi, signorina?"Lea menoleh pada pria Italia berumur 40 tahunan di hadapannya dengan ekspresi kaget."Yes?" tanyanya, meminta mengulang pertanyaan dari pria bernama Alberto ini."Tuan Alberto nanya, kenapa kamu nggak makan?!" jawab Vin dingin.Sikap Vin tidak sepenuhnya tertuju pada Lea, tapi juga pada Alberto yang terlihat sekali curi-curi pandang ke arah Lea, bahkan secara terang-terangan di depannya."Iya, Signore Alberto. Anda silahkan makan terlebih dulu," jawaban dalam bahasa Inggris Lea pada Alberto.Bukan soal adab juga, Lea masih tercengang dengan menu makanan di hadapannya. Seafood ala Italia dengan tambahan karbohidrad berupa kentang, jelas bukan
"Lepaskan, please," hibah Lea, agar Helena menghentikan penyiksaannya. Aksi Helena baru berakhir di dalam kamar mandi lantai pertama gedung. Tak ada orang di dalam, setelah dua wanita lain keluar, dan hanya menatap keherahan."Gadis sialan!" teriak Helena dengan mendorong Lea sampai terantuk dinding berkeramik putih tulang kamar mandi."Auww." Lea kesakitan pada bagian pundak, setelah rasa pusing di kepala."Ini baru permulaan. Kalau kamu tidak mau mengaku, rasakan yang lebih sakit lagi!" ancam Helena mendelik."Mengaku apa, nyonya? Saya nggak ngerti," aku Lea sesenggukan."Halahh, jangan sok suci lo. Sudah berapa kali lo di tiduri Vin biar bisa jadi istrinya, hah?!" bentak Natalie, setelah merasa dapat kesempatan. "Harusnya gue yang jadi pengantinnya Vin, bukan lo. Dasar gadis kampung!" luapan emosi Natalie dengan menunjuk-nunjuk ke arah mata Lea."Aku hanya ingin pulang dan berhenti bekerja pada Pak Vin, tapi...tapi--" Lea tak sanggup meneruskan, tenggelam kembali dalam tangisan.
Pada hari jumat malam seminggu kemudian. Lea berada sendirian di dalam kondominium Vin tanpa pemiliknya. Vin harus terbang ke Italia tanpanya selasa lalu bersama dua teman prianya, karena ada keinginan dari salah satu calon investor untuk segera menandatangani perjanjian kerjasama, selain masa pengalihan dan pengucuran dana warisan dari Anthony juga sedang dalam proses, larena Vin telah selesaikan masalah dengan Helena sesuai amanat ayahnya tersebut, selain telah menikah dan akan memiliki anak. Lea meninggalkan kantor, dan menemui ibunya sebentar, sebelum akhirnya kini di depan deretan koper yang telah siap menemaninya menempuh perjalanan jauh. Morgan belum menjemput totak waktu yang di butuhkan lima belas menit untuk mengulur-ulur waktu sedikit, Lea membuka ponsel di bagian note dan memeriksa lagi. 1. Tiket pesawat ( Aku sudah melakukannya sekaligus mengkonfirmasinya. Dua kali ) 2. Memesan executive lounge bandara ( Juga sudah mengkonfirmasi dua kali ) 3. Berkemas ( Baru se
Pagi tidak lebih baik. Lea berguling turun dari ranjang pagi-pagi. Seminggu sudah telah berlalu dari kejadian yang penuh dramatis. Matahari bersinar melewati jarak antara dua gorden jendela kaca berukuran lumayan besar di kondominium milik Vin. Lea beralih ke dapur membuat susu coklat hangat. Vin masih tidur, dan kemungkinan tidak akan bangun untuk sejam dua jam ke depan. Lea melirik meja ruang tamu, botol kosong minuman kaleng beraneka macam masih di sana, sebagian adalah beralkohol. Dua teman pria kebangsaan Italia Vin semalam jadi penghisap hampir semuanya. Entah mereka berjalan kaki dari Italia ke Indonesia atau apa. yang pasti di atas meja ruang tamu sana benar-benar kacau dengan berbagai bekas makanan dan minuman berserakan. Mereka bertiga nampaknya sudah tak kuat bahkan untuk membuangnya ke dalam sampah karena sibuk bercanda berlanjut rasa kantuk di sertai setengah mabuk. Lea kemudian meringis membayangkan percakapan yang akan mereka lakukan. Secangkir susu coklat hanga
"Natalie?" Lea terkejut. Gadis muda berusia tak jauh dari dirinya itu tampak berpenampilan kusut tidak seperti biasanya, bahkan tidak ada pulasan kosmetik apapun sebagai make up semakin mempercantik diri. "Ngapain dia ke sini? Dia nggak lagi bangun tidur, kan?" pertanyaan canda Lea menatap bergantian antara Vin dan Natalie. Beberapa detik lalu Lea berada agak menjauh dari Vin untuk menghindari berinteraksi dengan Helena, tapi karena kehadiran tak terduga dari Natalie ini, membuatnya mendekati Vin dan berbicara berbisik untuk mencari tahu. Tatapan sembab dari bawah mata yang bengkak, membuat Vin spontan jadi bersikap awas. Di dorong Lea agar lebih mundur dan di posisikan tepat di belakang punggungnya, karena Vin menyadari tatapan Natalie menyorot di sekitar dia berdiri. "Tante Helena!" Mendengar nama ini di sebut dan di ketahui keberadaan posisinya, beberapa baris kerumunan tamu bergerak menyisir memberi jalan buat Natalie agar bisa melihat apa yang akan dia lakukan juga. "Na
"Kamu nggak apa-apa, kan Sayang?" Kedua mata Lea terbelalak. Di hadapannya adalah pria tampan mengenakan seragam bodyguard serba hitam berikut kacamata berwarna senada juga. Memang seperti orang lain, tapi sebagai istri yang selalu bersama dari pagi sampai malam, Lea yakin pria penyelamat di hadapannya ini adalah Vin. "Ka kamu ngapain dandan begini?" Lea masih sempatnya bertanya di saat suasana jadi riuh, bahkan terdengar teriakan-teriakan agar ruangan hall segera di amankan. Pria tersebut perlahan membawa Lea bangkit dengan di dudukkan, perut Lea di elus-elus. Kekhawatiran merambat pada bagian tubuh Lea dimana sempat di rasakannya ada gerakan. "Demi anak kita ini. Maaf kalau buatmu kaget, tapi berhasilkan. Dugaanmu benar, keamanan buatmu tidak cukup mengandalkan Morgan saja." "Pak Presdir .... Pak Presdir Vin .... anda tidak apa-apa?!" pekikan berganti terdengar dari pria lain. Dia adalah Sekretaris Li, yang berdiri tak jauh dari keduanya berada. Vin berganti ulurkaj t
Kasak-kusuk terjadi lebih ramai dari sebelumnya. Ucapan santai Lea jadi pemicu rasa ingin tahu dari tamu undangan yang merupakan para pemegang saham dari perusahaan-perusahaan dari pengelolaan keluarga Dharmawan. Helena kembali berdiri. Berbeda dari aksi sebelumnya, kali ini Helena tampak lebih kusut, wajahnya merah karena amarahnya lebih memuncak. "Ini acara pengambilan voting, bukannya cari panggung buat hal yang nggak ada bukti dan dasarnya apa kayak begini. Kamu jangan sok ya. Kamu itu orang baru. Nggak ngerti apa-apa!" Lea tak menggubris. Seperti apa yang di instruksikan oleh Vin, agar dirinya tetap tenang dalam menanggapi tiap kelakuan Helena, tidak mudah terprovokasi dengan setiap nada tinggi Helena yang berkesan memojokkan. "Slide-slide selanjutnya memang berkesan tidak ada hubungannya dengan acara ini, tapi di sini kami inginkan siapa saja jadi terbuka matanya, tentang siapa yang sebenarnya bersalah dan siapa yang sering di jadikan kambing hitam. Sekali lagi ini semua
Di sebuah hall terletak di dalam hotel bintang lima, tamu undangan sudah mulai memadati tempat acara. Perhelatan yang sebenarnya akan di laksanakan bulan depan itu, nyatanya di majukan secara mendadak dengan alasan karena keperluan mendesak. Acara awal protokoler tengah di laksanakan. Seirang wanita jadi pusat perhatian di saat sesi sambutan sedang di jadikan awal dari pembicaraan mengenai Vin, sang presdir utama. "Kubu pertama yaitu mosi tidak percaya dan minta agar jabatan presdir di copot untuk di berikan pada saya, sudah dapat banyak dukungan meskipun perolehan suara belum di laksanakan, jadi saya harapkan rekan sekalian bisa menentukan pilihan sesuai dengan logika. Perusahaan ini butuh orang-orang berpengaruh kuat. Bukannya hanya mengandalkan cara kepemimpinan yang katanya revolusioner tapi ternyata bangak pihak yang tidak senang." Helena ungkapkan sesuatu dengan kesan menyindir lawan pemilihannya, yaitu Vin. Tepuk tangan bergema setelahnya, bahkan ada yang dengan berdiri,
Sampai semalaman Lea berusaha mengorek apa rencana yang sedang Vin simpan, tetap saja Lea tak mendapatkan jawaban. Walaupun sudah melayani bercinta dengan gegap gempita, berharap Vin akan lengah lalu bercerita, namun tetap saja tak temukan hasil. Vin masih saja bungkam. Di waktu weekend, Lea membantu Vin untuk keberangkatan ke Italia. Sampai itupun, Vin belumjuga berikan jawaban akan rencananya. Vin selalu menggadang-gadang kalau yang mengetahu isi rencananya itu hanya otaknya saja. Leapun akhirnya menyerah, sudah tak bertanya lagi bila sudah tahu akan jawabannya apa. "Lama banget ke Italianya?" protesan Lea setelah selesai membantu Vin menyiapkan packing segala keperluan di dalam satu koper besar dengan sistem penutup memakai kode tertentu. "Kan ada Mama. Kamu ada temennya. Bukannya kemarin-kemarin ribut minta di temeni Mamamu?" pengingat Vin dan di jawab anggukan oleh Lea. "Tapikan tetep aja beda kalau nggak ada kamu," sedihnya Lea. Di letakkan sebuah buku bertuliskan logo d
"Aku bertemu sama pengacaraku." Morgan sudah mengatakannya, tapi bila alasannya itu keluar dari mulut Vin sendiri, maka jadi perbedaan tersendiri bagi seorang wanita termasuk Lea. "Beneran ketemu pengacara? Kamu nggak sedang main samdiwara sama Morgan, kan? Takutnya sudah kasih perintah biar bilang sama akunya temui pengacara, tapi ternyata temui wanita lain," omel Lea seperti telah mendapat peringatan secara naluri. "Hmm ... menemui pengacaraku dan juga seorang wanita." Lea menoleh dan menatap Vin sambil melotot. Rasanya akan sulit bagi Vin, bila naluri kuat Lea seperti yang di miliki para wanita pada umumnya untuk di jadikan awal dari sebuah kebohongan. "Tuh kan sama cewek, sudah ku duga!" bentak Lea. "Siapa dia? Awas kalau memang sama cewek bilangnya ke aku cuma temen atau kolega bisnis, tapi diem-diem main api di belakang. Sudah biasa itu kayak di medsos-medsos!" tak terimanya Lea. Vin semakin tertawa kencang. Tak menyangka kalau lea cemburu lebih galak daripada singa
"Hai Sayang." Sapaan dari Vin yang segera di tanggapi Lea dengan pelukan. "Kamu kemana saja? Nggak tahu apa, aku khawatir banget!" omelan Lea setelah melepaskan rengkuhan hangat namun singkatnya. "Banyak orang mencarimu, habis kamu nggak aktifin ponselmu," imbuh Lea mencari tahu. "Aku sedang jalan-jalan," jawab Vin santai. Bersama kawalan dari Morgan dan beberapa pengawal anak buah Morgan, Vin membawa Lea ke ruangan pertemuan utama gedung dengan merubah ekspresinya jadi dingin dan kaku, berbeda jauh saat bertemu Lea tadi. Tatapan Vin lurus ke depan, selain belum ada yang berani menyapa atau mengajaknya bicara, Vin juga nggak berminat di ajak bicara sampai ada yang memulai. Ini adalah bentuk aksi kekecewaan Vin ketika loyalitas bawahannya telah membuatnya jadi turunkan rasa kepercayaannya. Setelah Vin duduk di kursi utama ruanga pertemuan, dalam beberapa menit suasana hening, dengan sikap tenang, Vin menunggu dengan sabar tiap orang di ruangan tersebut mencari tempat duduk, k