"Lepaskan, please," hibah Lea, agar Helena menghentikan penyiksaannya. Aksi Helena baru berakhir di dalam kamar mandi lantai pertama gedung. Tak ada orang di dalam, setelah dua wanita lain keluar, dan hanya menatap keherahan."Gadis sialan!" teriak Helena dengan mendorong Lea sampai terantuk dinding berkeramik putih tulang kamar mandi."Auww." Lea kesakitan pada bagian pundak, setelah rasa pusing di kepala."Ini baru permulaan. Kalau kamu tidak mau mengaku, rasakan yang lebih sakit lagi!" ancam Helena mendelik."Mengaku apa, nyonya? Saya nggak ngerti," aku Lea sesenggukan."Halahh, jangan sok suci lo. Sudah berapa kali lo di tiduri Vin biar bisa jadi istrinya, hah?!" bentak Natalie, setelah merasa dapat kesempatan. "Harusnya gue yang jadi pengantinnya Vin, bukan lo. Dasar gadis kampung!" luapan emosi Natalie dengan menunjuk-nunjuk ke arah mata Lea."Aku hanya ingin pulang dan berhenti bekerja pada Pak Vin, tapi...tapi--" Lea tak sanggup meneruskan, tenggelam kembali dalam tangisan.
"Saya tidak bisa!"Jawaban tegas dari Morgan ini, membuat Lea meradang."Tapi mama saya sedang sakit, pak. Masa bapak nggak kasihan sama kami," hibah Lea memelas."Besok anda harus menikah dengan tuan muda. Saya tidak mau ambil resiko sama kemarahan tuan Vincenzo."Lea memaksakan diri berdiri, meski rasa enggan masih menyelimuti."Tapi seharusnya pengantin wanitanya itu bukan saya.""Tapi tuan muda menghendaki anda!"Lea terdiam, tak berani menyanggah lagi. "Percayalah, nona. Memang begitulah cara tuan muda dalam berpikir, tapi yakinlah, kalau semua akan baik-baik saja kalau kita nurut sama beliau." Kalimat yang mirip seperti ucapan Sekretaris Li, sewaktu Lea dalam keraguan."Apa yang harus saya lakukan, pak?""Keluarlah, nona. Saya menunggu di depan. Jangan mempersulit diri. Meskipun saya tahu apa yang terjadi, tapi paling tidak, tuan muda masih menghormati anda."Seorang wanita berwajah hispanik masuk, Lea spontan beranjak keluar, dan memang benar, Morgan sudah berdiri menunggu, ta
Setelah beberapa jam berselang, jam menunjukkan pukul 10 malam waktu Milan. Lea masih saja tak bisa tidur, karena kedua matanya tak bisa di ajak terpejam.Lea beralih ke depan cermin full badan dengan di apit 2 pot berisi bunga mawar merah muda."Presdir Vin," ucapnya lirih. Lea seakan ingin mengucapkan langsung pada orangnya, tapi setelah dia menelpon sekali, ponsel milik atasannya ini sedang tidak aktif.Bagaimana tidak? Lea di buat terperangah kembali, saat pesan Vin masuk, berupa screenshoot pemindahan dana sebesar 1 miliar, sesuai janji Vin.Uang itu telah masuk ke dalam rekeningnya, bahkan sebelum surat perjanjian kontrak pernikahan mereka belum dia tandatangani.Hati Lea girang bukan kepalang. Baru kali ini mendapatkan uang berjumlah besar laksana menang undian. Tapi tidak dengan isi kepalanya.Lea masih saja mencampur tiap hal baik yang di lakukan Vin, dengan kebencian, bilamana mengingat tabiatnya."Tapi tidak. Aku nggak akan gunakan uang itu dulu," putus Lea di utarakan pad
Vin tak lantas langsung menjawab, tapi melangkah maju, menaiki gazebo di tengah kanal buatan, hingga lebih mendekat pada Lea, barulah memberikan tanggapan."Lea. Sudah berulang kali ku katakan, aku tahu banyak dengan apa yang ada di sekitarku, terlebih itu kamu."Belum juga Lea menjawab, tapi Vin sudah menyela."Jangan tanya , kenapa? Jawabanmu itu mudah banget di terka. Selalu saja mengulang bagian akhir dari ucapanku!" geram Vin. Lea semakin tersipu. Vin selalu saja bisa membuat perasaannya naik turun seperti roller coaster atau swinger.Dalam posisi menunduk malu begini, Lea jadi semakin terlihat cantik. Terlebih tanpa memakai kacamata bergagang hitamnya. Vinpun dengan leluasa menikmati tanpa Lea ketahui. Hal yang juga dia lakukan, saat menatap Lea dari arah pintu beranda, sebelum ke halaman belakang. Bin sempatkan berhenti sebentar, hanya untuk mengagumi kecantikan Lea dari kejauhan.Baru setelah Lea mengangkat wajahnya kembali, Vin palingkan muka ke arah samping."Berarti, say
"Anu pak...hmm....apa...""Anu-anu!" sentak Vin menyela. "Itu mulut kalau ngomong pake saringan, jangan asal ngablak aja!"Lea menunduk takut.Vin berdecak kesal, karena selalu saja Lea lakukan hal yang sama."Mau nangis?" pertanyaan Vin tanpa perlu jawaban Lea. "Ck. Sudah hentikan. Sudah telat, tahu!" Vin raih tangan Lea, lalu di tarik agar mengikutinya. "Kita lewat samping sini saja, biar pipi kamu jangan sampai ketampar lagi. Sama saja, sok-sokan bilang wanita tangguh, tapi aslinya cengeng!"Lea kerutkan dahi. Pada awalnya, merasa kesal pada Morgan, yang ternyata memang bermulut ember, tapi tertutupi oleh rasa penasaran akan salah satu bagian kalimat yang di ucapkan Vin.Sama saja? Bukankah ini lebih tertuju pada orang lain dengan model sama dengan Lea, tapi siapa? Dan apa yang sebenarnya di maksudkan oleh Vin?Setelah beberapa detik, Lea menyadari hal baru lagi, sehingga tatapannya beralih pada apa yang dia rasakan. Tangan Vin yang menggenggamnya terasa dingin seperti es, tapi ti
"Anda pasti gugup, dalam hitungan menit anda akan menjadi istri dari pria pembuat banyak wanita patah hati."Tanpa keluarga, teman, bahkan orang-orang di sekitarnya kini baru di kenal, tentu membuat Lea tak nyaman dengan pertanyaan dari asisten Giovanni ini."Gugup?" pertanyaan ini lebih tertuju pada diri Lea sendiri. "Tidak. Saya santai.""Benarkah? Tapi sewaktu anda memakai baju pengantin, saya bisa rasakan anda bergetar.""Begitukah menurut anda? Tapi saya nggak merasa seperti itu," sahut Lea masih berusaha menutupi."Sudah 10 tahun lebih saya jadi asisten di Versace. Anda pasti tahu, seperti apa klien-klien kami."Lea merasa tak enak, lalu buru-buru mengalihkan pembicaraan, karena asisten Giovanni ini terlihat tersinggung."Hum...apa anda punya kenalan pengacara perceraian?" keraguan Lea, tapi rasa ingin tahu lebih besar daripada urat malunya.gcmtkv66c6gg"Buat apa? Anda tidak sedang berpikir untuk...""Tidak tidak, bukan. Hanya..." Lea bingung sendiri. Sekitarnya seperti berpiha
Lea dan Vin saling bertatap dalam ketegangan. Tentu saja hal semacam ini tidak ada dalam skenario rencana mereka berdua."Ayo Tuan Vincenzo, cium pengantin anda!" pekik MC acara riang.Tak menunggu lama, Vin lebih maju lalu meraih pinggang ramping Lea, lalu menariknya mendekat. Kini tubuh mereka saling menjerat, saat satu tangan Lea beringsut menyentuh dada Vin lalu ke arah pundaknya."Sebaiknya kamu turuti maunya MC, " ujar Vin santai. Semakin di rengkuh lebih erat tubuh langsing Lea, begitu juga wajahnya yang terdongak jadi lebih menyatu dengan Vin.Bau mint, khas dari mulut Vin tercium segar, sontak membuat Lea refleks menutup kedua matanya. Sebuaj sapuan lembut menyentuh bibir mungil Lea berhias lipstick warna merah muda mengkilat. Lea masih bisa rasakan hawa hangat dari tubuh, seperti di lorong tadi, namun kali ini di sertai bonus berupa bibir penuh, beraroma khas mint dari Vin.Vin apit bibir tipis Lea di antara lumatan kilat namun dalam, penuh gelora ini. Tepukan tangan yang s
"Baiklah kalau begitu, Pak. Anda tidur di kasur, saya di sofa," putus Lea sepihak, sebelum berpamitan keluar ruangan.Gerak memutar balik, kemudian di iringi suara ujung heels yang di lakukan Lea, diam-diam membuat Vin terkesima.Bagian punggung Lea terlihat, ketika Vin berposisi di belakangnya seperti ini. Kenangan Vin akan mendiang ibunya kembali mengganggu pikirannya. Bila rambutnya tergerai seperti ini, bagi Vin, Lea benar-benar seperti reinkarnasi sosok mendiang Letizia, ibunya. Hal ini semakin membuat Vin merasa punya ikatan tak terkatakan dengan Lea.Lea yang tak menyadari kegalauan batin Vin ini sudah berada di dalam kamar utama yang sebenarnya di siapkan untuk Vin."Bau minyak wangi ini. Kenapa seperti selalu mengikutiku," gumam Lea saat melihat botol berisi cairan khas harum tubuh Vin tersebut, di meja nakas.Tidak seperti biasa, sengaja menghempaskan tubuh di atas kasur sebagai luapan mood hari ini, kali ini Lea duduk di pinggir kasur dengan hati-hati, sembari mencari keb
Pada hari jumat malam seminggu kemudian. Lea berada sendirian di dalam kondominium Vin tanpa pemiliknya. Vin harus terbang ke Italia tanpanya selasa lalu bersama dua teman prianya, karena ada keinginan dari salah satu calon investor untuk segera menandatangani perjanjian kerjasama, selain masa pengalihan dan pengucuran dana warisan dari Anthony juga sedang dalam proses, larena Vin telah selesaikan masalah dengan Helena sesuai amanat ayahnya tersebut, selain telah menikah dan akan memiliki anak. Lea meninggalkan kantor, dan menemui ibunya sebentar, sebelum akhirnya kini di depan deretan koper yang telah siap menemaninya menempuh perjalanan jauh. Morgan belum menjemput totak waktu yang di butuhkan lima belas menit untuk mengulur-ulur waktu sedikit, Lea membuka ponsel di bagian note dan memeriksa lagi. 1. Tiket pesawat ( Aku sudah melakukannya sekaligus mengkonfirmasinya. Dua kali ) 2. Memesan executive lounge bandara ( Juga sudah mengkonfirmasi dua kali ) 3. Berkemas ( Baru se
Pagi tidak lebih baik. Lea berguling turun dari ranjang pagi-pagi. Seminggu sudah telah berlalu dari kejadian yang penuh dramatis. Matahari bersinar melewati jarak antara dua gorden jendela kaca berukuran lumayan besar di kondominium milik Vin. Lea beralih ke dapur membuat susu coklat hangat. Vin masih tidur, dan kemungkinan tidak akan bangun untuk sejam dua jam ke depan. Lea melirik meja ruang tamu, botol kosong minuman kaleng beraneka macam masih di sana, sebagian adalah beralkohol. Dua teman pria kebangsaan Italia Vin semalam jadi penghisap hampir semuanya. Entah mereka berjalan kaki dari Italia ke Indonesia atau apa. yang pasti di atas meja ruang tamu sana benar-benar kacau dengan berbagai bekas makanan dan minuman berserakan. Mereka bertiga nampaknya sudah tak kuat bahkan untuk membuangnya ke dalam sampah karena sibuk bercanda berlanjut rasa kantuk di sertai setengah mabuk. Lea kemudian meringis membayangkan percakapan yang akan mereka lakukan. Secangkir susu coklat hanga
"Natalie?" Lea terkejut. Gadis muda berusia tak jauh dari dirinya itu tampak berpenampilan kusut tidak seperti biasanya, bahkan tidak ada pulasan kosmetik apapun sebagai make up semakin mempercantik diri. "Ngapain dia ke sini? Dia nggak lagi bangun tidur, kan?" pertanyaan canda Lea menatap bergantian antara Vin dan Natalie. Beberapa detik lalu Lea berada agak menjauh dari Vin untuk menghindari berinteraksi dengan Helena, tapi karena kehadiran tak terduga dari Natalie ini, membuatnya mendekati Vin dan berbicara berbisik untuk mencari tahu. Tatapan sembab dari bawah mata yang bengkak, membuat Vin spontan jadi bersikap awas. Di dorong Lea agar lebih mundur dan di posisikan tepat di belakang punggungnya, karena Vin menyadari tatapan Natalie menyorot di sekitar dia berdiri. "Tante Helena!" Mendengar nama ini di sebut dan di ketahui keberadaan posisinya, beberapa baris kerumunan tamu bergerak menyisir memberi jalan buat Natalie agar bisa melihat apa yang akan dia lakukan juga. "Na
"Kamu nggak apa-apa, kan Sayang?" Kedua mata Lea terbelalak. Di hadapannya adalah pria tampan mengenakan seragam bodyguard serba hitam berikut kacamata berwarna senada juga. Memang seperti orang lain, tapi sebagai istri yang selalu bersama dari pagi sampai malam, Lea yakin pria penyelamat di hadapannya ini adalah Vin. "Ka kamu ngapain dandan begini?" Lea masih sempatnya bertanya di saat suasana jadi riuh, bahkan terdengar teriakan-teriakan agar ruangan hall segera di amankan. Pria tersebut perlahan membawa Lea bangkit dengan di dudukkan, perut Lea di elus-elus. Kekhawatiran merambat pada bagian tubuh Lea dimana sempat di rasakannya ada gerakan. "Demi anak kita ini. Maaf kalau buatmu kaget, tapi berhasilkan. Dugaanmu benar, keamanan buatmu tidak cukup mengandalkan Morgan saja." "Pak Presdir .... Pak Presdir Vin .... anda tidak apa-apa?!" pekikan berganti terdengar dari pria lain. Dia adalah Sekretaris Li, yang berdiri tak jauh dari keduanya berada. Vin berganti ulurkaj t
Kasak-kusuk terjadi lebih ramai dari sebelumnya. Ucapan santai Lea jadi pemicu rasa ingin tahu dari tamu undangan yang merupakan para pemegang saham dari perusahaan-perusahaan dari pengelolaan keluarga Dharmawan. Helena kembali berdiri. Berbeda dari aksi sebelumnya, kali ini Helena tampak lebih kusut, wajahnya merah karena amarahnya lebih memuncak. "Ini acara pengambilan voting, bukannya cari panggung buat hal yang nggak ada bukti dan dasarnya apa kayak begini. Kamu jangan sok ya. Kamu itu orang baru. Nggak ngerti apa-apa!" Lea tak menggubris. Seperti apa yang di instruksikan oleh Vin, agar dirinya tetap tenang dalam menanggapi tiap kelakuan Helena, tidak mudah terprovokasi dengan setiap nada tinggi Helena yang berkesan memojokkan. "Slide-slide selanjutnya memang berkesan tidak ada hubungannya dengan acara ini, tapi di sini kami inginkan siapa saja jadi terbuka matanya, tentang siapa yang sebenarnya bersalah dan siapa yang sering di jadikan kambing hitam. Sekali lagi ini semua
Di sebuah hall terletak di dalam hotel bintang lima, tamu undangan sudah mulai memadati tempat acara. Perhelatan yang sebenarnya akan di laksanakan bulan depan itu, nyatanya di majukan secara mendadak dengan alasan karena keperluan mendesak. Acara awal protokoler tengah di laksanakan. Seirang wanita jadi pusat perhatian di saat sesi sambutan sedang di jadikan awal dari pembicaraan mengenai Vin, sang presdir utama. "Kubu pertama yaitu mosi tidak percaya dan minta agar jabatan presdir di copot untuk di berikan pada saya, sudah dapat banyak dukungan meskipun perolehan suara belum di laksanakan, jadi saya harapkan rekan sekalian bisa menentukan pilihan sesuai dengan logika. Perusahaan ini butuh orang-orang berpengaruh kuat. Bukannya hanya mengandalkan cara kepemimpinan yang katanya revolusioner tapi ternyata bangak pihak yang tidak senang." Helena ungkapkan sesuatu dengan kesan menyindir lawan pemilihannya, yaitu Vin. Tepuk tangan bergema setelahnya, bahkan ada yang dengan berdiri,
Sampai semalaman Lea berusaha mengorek apa rencana yang sedang Vin simpan, tetap saja Lea tak mendapatkan jawaban. Walaupun sudah melayani bercinta dengan gegap gempita, berharap Vin akan lengah lalu bercerita, namun tetap saja tak temukan hasil. Vin masih saja bungkam. Di waktu weekend, Lea membantu Vin untuk keberangkatan ke Italia. Sampai itupun, Vin belumjuga berikan jawaban akan rencananya. Vin selalu menggadang-gadang kalau yang mengetahu isi rencananya itu hanya otaknya saja. Leapun akhirnya menyerah, sudah tak bertanya lagi bila sudah tahu akan jawabannya apa. "Lama banget ke Italianya?" protesan Lea setelah selesai membantu Vin menyiapkan packing segala keperluan di dalam satu koper besar dengan sistem penutup memakai kode tertentu. "Kan ada Mama. Kamu ada temennya. Bukannya kemarin-kemarin ribut minta di temeni Mamamu?" pengingat Vin dan di jawab anggukan oleh Lea. "Tapikan tetep aja beda kalau nggak ada kamu," sedihnya Lea. Di letakkan sebuah buku bertuliskan logo d
"Aku bertemu sama pengacaraku." Morgan sudah mengatakannya, tapi bila alasannya itu keluar dari mulut Vin sendiri, maka jadi perbedaan tersendiri bagi seorang wanita termasuk Lea. "Beneran ketemu pengacara? Kamu nggak sedang main samdiwara sama Morgan, kan? Takutnya sudah kasih perintah biar bilang sama akunya temui pengacara, tapi ternyata temui wanita lain," omel Lea seperti telah mendapat peringatan secara naluri. "Hmm ... menemui pengacaraku dan juga seorang wanita." Lea menoleh dan menatap Vin sambil melotot. Rasanya akan sulit bagi Vin, bila naluri kuat Lea seperti yang di miliki para wanita pada umumnya untuk di jadikan awal dari sebuah kebohongan. "Tuh kan sama cewek, sudah ku duga!" bentak Lea. "Siapa dia? Awas kalau memang sama cewek bilangnya ke aku cuma temen atau kolega bisnis, tapi diem-diem main api di belakang. Sudah biasa itu kayak di medsos-medsos!" tak terimanya Lea. Vin semakin tertawa kencang. Tak menyangka kalau lea cemburu lebih galak daripada singa
"Hai Sayang." Sapaan dari Vin yang segera di tanggapi Lea dengan pelukan. "Kamu kemana saja? Nggak tahu apa, aku khawatir banget!" omelan Lea setelah melepaskan rengkuhan hangat namun singkatnya. "Banyak orang mencarimu, habis kamu nggak aktifin ponselmu," imbuh Lea mencari tahu. "Aku sedang jalan-jalan," jawab Vin santai. Bersama kawalan dari Morgan dan beberapa pengawal anak buah Morgan, Vin membawa Lea ke ruangan pertemuan utama gedung dengan merubah ekspresinya jadi dingin dan kaku, berbeda jauh saat bertemu Lea tadi. Tatapan Vin lurus ke depan, selain belum ada yang berani menyapa atau mengajaknya bicara, Vin juga nggak berminat di ajak bicara sampai ada yang memulai. Ini adalah bentuk aksi kekecewaan Vin ketika loyalitas bawahannya telah membuatnya jadi turunkan rasa kepercayaannya. Setelah Vin duduk di kursi utama ruanga pertemuan, dalam beberapa menit suasana hening, dengan sikap tenang, Vin menunggu dengan sabar tiap orang di ruangan tersebut mencari tempat duduk, k