"Aku mau dia jadi asistenku!"
Semua mata spontan mengikuti arah jari telunjuk sang CEO baru dan terkejut. Gadis yang di tunjukpun tidak kalah terkejutnya. "Saya, Pak?" tanggapan Lea untuk lebih meyakinkan dirinya sendiri. "Iya, kamu. Siapa lagi yang berdiri di situ, selain kamu. Masa aku lagi nunjuk hantu?" sahut sang CEO muda dengan nada tinggi. Pria muda belum genap 30 tahun, dan berwajah tampan bernama Vincenzo itu kemudian berganti duduk bersandar. Sebenarnya, pemikirannya sama dengan pegawainya yang lain. Dari segi penampilan, Lea cenderung kurang menarik. "Aku memilih dia karena prestasi marketingnya excellent," ungkap Vincenzo, atau biasa di panggil presdir Vin. "Dia selalu berhasil meyakinkan customer hanya lewat negosiasi by phone. Bagiku itu keunggulan yang patut aku apresiasi," lanjutnya memuji. "Jadi karena itu, anda juga memanggilnya ikut meeting kali ini?" tanya manager pemasaran, yang menaungi divisi telemarketing, tempat Lea berada. "Tentu saja. Kamu keberatan?" tanya balik Vin dengan tatapan tajam. "Masih ada gadis lain yang lebih pantas menjadi asisten anda, presdir Vin. Kalau anda memang lebih memilih dari divisi telemarketing, saya punya kandidat lain yang--" Brakk!! Masukan sang manager telemarketing tersela dengan suara gebrakan meja yang di lakukan Vin barusan. "Memangnya ini perusahaan kamu, hah?!" tandas Vin lantang. "Ti ti tidak, pak. Maaf," sahut manager telemarketing bernama Erwin tersebut. "Tidak ada satupun yang bisa ganggu-gugat setiap keputusanku. Paham!" sentak Vin, tunjukkan dominasi sekaligus arogansinya. "Baik, pak," jawab para peserta meeting hampir serempak.Siapa yang tak kenal presdir Vin? Meski baru saja menduduki kursi presdir kurang dari 6 bulan terakhir, setelah kematian ayahnya, Vincenzo sudah di kenal sebagai pimpinan tertinggi dengan karakter dingin, sekaligus keras kepala. "Kalau begitu, keluarlah kalian semua, dan sebelum jam 3 sore, semua laporan yang aku inginkan, harus sudah ada di mejaku. Mengerti!" tandas Vin lagi. "Baik pak," sahutan hampir serempak lagi dari para pegawai. Setelah semua orang keluar dari ruang meeting, asisten mendiang ayah Vin segera mendekatinya. "Tuan muda. Saya bisa rekomendasikan beberapa--" Ucapan pria mendekati paruh baya bernama sekretaris Li itu kemudian terhenti, ketika manik mata hazel milik Vin terarah melotot padanya. "Maaf, saya hanya berusaha yang terbaik," lanjut sekretaris Li, menyudahi ucapannya sendiri. "Ijin kembali ke ruangan," pamitnya. Siapapun tahu, pria muda berwajah blasteran Indonesia-Italy itu tidak akan suka bila apa yang sudah dia putuskan, ternyata ada yang berusaha mematahkannya. Vin menatap pintu yang sudah tertutup, sambil menggumam, menyamakan keadaan Lea seperti masa mudanya yang pernah di bully, bahkan oleh keluarganya sendiri. "Memang gadis itu bukan tipe dari semua kriteria, tapi dia seperti aku, dan akan ku buat menjadi sepertiku!"** Sementara di ruangan divisi telemarketing, kegaduhan segera tercipta, saat Lea baru saja duduk di tempatnya bekerja. "Eh, lo sudah lihat group chat kantor belum?" tanya teman dekat Lea, bernama Winda. "Belum, dan gue nggak berniat buka," sahut Lea murung. "Kenape?" tanya Winda lagi. "Gue yakin, pasti lagi pada ngomongin gue," yakin Lea, sembari naikkan gagang tengah kacamatanya. "Iya, sih. Bukan hanya soal diri lo, tapi soal cowok lo." "Dani. Kenapa sama dia?" "Gosip yang katanya cuma gosip itu, ternyata emang bener, tahu!" "Gosip Dani yang mana itu?" Winda geser kursi kerja berodanya lebih mendekat pada Lea. Ekspresinya masih serius, terlebih Lea menatapnya gusar. "Sorry dulu ye, Lea. Yang mau gue omongin ke lo ini agak nggak enak." "Kalau nggak enak, ya nanti tinggal gue lepehin aja, kan?" Lea masih berusaha lemparkan candaan. "Iye, dan gue harap lo segera lepehin pacar kurang ajar lo itu!" tandas Winda, meneruskan candaan Lea. "Di group tersebar foto Dani sama supervisor Sofie, tahu. Mereka berdua duduk deketan, terus kayak mau kiss!" pekik Winda di bagian akhir. "Beneran?" "Ih, pake nggak percaya. Lihat aja sendiri di group. Beranikan diri lo. It's oke bestie. Jangan takut, gue ada di pihak lo." Dengan gerakan tangan gemetar, di sertai keringat dingin, Lea raih ponsel yang belum di sentuhnya sedari lepas meeting tadi. "Kok dia tega banget sama gue?" perih Lea lirih. "Gue sama dia nggak pernah sampai berhubungan jauh begitu lho." "Apa gue bilang, Dani itu cowok toxic. Dia secara terang-terangan selingkuhin lo, padahal baru saja jadian beberapa bulan sama lo. Dia itu cuma manfaatin lo, Lea!" tukas Winda berapi-api. "Manfaatin gimana maksud lo?" "Dari pertama lo masuk kerja, semua orang tahu, lo adalah lulusan terbaik di kampus. Selain punya kepandaian akademis, lo juga punya kemampuan negosiasi by phone. Suara dan tata cara lo itu sudah teruji yakinin banyak customer baru." "Lalu? Dani manfaatin gue dari segi mananya?" "Menurut kesimpulanku, Dani terobsesi gantiin Pak Erwin jadi supervisor divisi telemarketing, lalu tujuannya naik ke posisi manager. Karena itu, dia kejar-kejar lo, buat naikin pamornya." "Masa, sih begitu?" "Tapi dia juga double deketin supervisor Sofie buat cari muka dan jalan, biar lebih dekat sama almarhum Pak Anthony. Paham nggak sampe sini?" "Jadi maksud lo, Dani itu seperti penjilat?" asumsi Lea. "Absolutely right, bestie. Bahkan supervisor Sofie kemakan rayuan Dani. Tuh lihat, dia ngomong apa lagi." Kedua bola mata Lea hampir saja copot pada sebuah tudingan baru, yang di tujukan padanya. "Dani tega banget sama gue. Padahal waktu pendekatan, dialah yang paling agresif, sampai akhirnya gue luluh. Dani selalu berusaha agar gue mau turuti permintaannya, tapi sering gue tolak," terang Lea terisak. "Ya lo jelasin ke group. Katakan kalau apa yang Dani ceritakan itu nggak benar," pinta Winda kembali memaksa. "Dani main playing victim itu, cih!" tambah Winda mencibir. Lea menuruti, mengetik sebuah pernyataan sikap secara singkat. Namun, sebuah hinaan jadi semakin menjatuhkan harga diri Lea. "What?!" pekik Winda tercengang. "Wanita itu bilang lo cuma gadis penjual tubuh buat naik jabatan? Apa-apaan ini? Pasti dia sudah di cuci otak sama si Dani tukang obral janji itu!" kesal Winda tak habis pikir. "Sudah, Win. Nggak akan ada akhirnya kalau berurusan sama Dani. Sekarang gue semakin sadar, kalau dia itu memang cowok red flag. Gue sudah salah mencintai orang," sesal Lea. Segera Lea hapus air mata lewat dua lembar tissu yang dia raih dari kotaknya dengan cepat-cepat. Atasannya, Erwin, sedang memasuki ruangan dengan muka masam, jadi ketakutan tersendiri bagi Lea. "Lea. Masuk ke ruanganku!" perintah Erwin dingin. "Baik, Pak." Winda genggam kilat tangan dingin Lea, sebelum sahabatnya itu memasuki ruangan sang supervisor. Rasa iba pada Lea menghinggapi Winda, yang menyadari sayap sahabatnya ini sedang coba di patahkan, bahkan sebelum dia mencoba untuk terbang. Tapi, anggapan Winda salah. Tidak semua orang ingin melakukannya pada Lea. Di dalam ruangan utama perusahaan, Vin menatap layar ponselnya dengan tatapan tajam. Tanpa pegawainya ketahui, Vin masuk ke dalam group chat kantor memakai nomor tak di ketahui, dan membaca tiap obrolan para pegawai. Vin lalu raih pesawat telpon paralel internal perusahaan dan menekan satu nomor yang menghubungkannya dengan ruangan telemarketing. "Bawa Lea ke ruanganku!" perintah Vin to the point, pada wanita muda di ujung telpon, yaitu Winda. "Tapi Lea sedang di panggil Pak Erwin di ruangannya,Pak," sahut Winda pelan, setelah tahu dering khusus panggilan adalah dari ruangan sang presdir. "Aku bilang sekarang ya sekarang! Siapa namamu? Mau aku berikan surat peringatan?" tandas Vin tak mau kompromi. "Ba baik, Pak," jawab Winda gelagapan. Vin lantas matikan begitu saja panggilan dan menggumam di balik senyuman. "Hmm, gadis penjual tubuh?" Vin lalu angkat dagu dengan tatapan memicing. "Aku jadi semakin tertarik!"Setelah beberapa menit, Lea sudah berada di dalam ruangan presdir yang di kenal sebagai 'zona panas dingin' tersebut. "Selamat pagi, Pak. Anda memanggil saya?" ucap Lea dengan tundukan kepala. Vin tidak segera menjawab, tapi di tatap penampilan Lea dari ujung kepala sampai kaki. Bukan yang pertama kali di lakukan Vin, tapi kali ini, dia ingin memastikan sesuatu. "Sejauh apa gaya pacaranmu dengan Dani?" Deg! "Mak..maksud, bapak?" sahut Lea terbata. "Oh, jadi dia putusin kamu secara sepihak, karena kamu selalu menolak ajakan bercintanya, ya?" Duarr!! "Mak...maksud, bapak?" tanya Lea masih bingung. Vin berdiri, memasukkan ponsel ke dalam saku celana abu-abu tuanya, lalu berjalan mendekati Lea. "Aku ada meeting dengan salah satu customer yang kamu prospek bulan lalu. Dia pemodal besar, jadi tunjukkan padaku, kalau kemampuanmu bukan hanya by phone, tapi juga dengan bertemu secara langsung." Lea menelan salivanya kasar, di beranikan mendongak menatap Vin secara langsung. "Sekar
"Besok?" Kedua mata Lea membulat, seiring bentuk bibirnya yang juga membentuk huruf O. "Tapi, pak?" "Nona. Anda tahu bagaimana sifat tuan muda Vin. Kalau dia sudah berikan perintah, maka waktu dan kesibukan anda adalah miliknya," sela sekretaris Li. "Jadi tiket pesawat itu sudah anda ganti atas nama saya? Kan saya belum mengurus paspor dan--" "Tuan muda sudah berikan perintah ini sejak tadi pagi. Dokumen pribadi anda, sudah saya dapatkan dari file pegawai yang ada di desk perusahaan. Besok, anda akan gunakan visa settle wisata, jadi jangan lagi bingung soal itu." "Te terima kasih, sekretaris Li. Saya jadi menyusahkan anda," jawab Lea gelagapan. "Tak apa. Begitulah dia. Hanya satu pesan saya untuk anda, Nona. Turuti saja semua perintah dan permintaan tuan muda, karena itu hanya salah satu cara anda bila ingin mencapai karier tertinggi." "Maksud sekretaris Li bagaimana?" Lea benar-benar masih tak mengerti. "Jadilah penjilat yang elegan." Wow. "Maksudnya, pak?" polosnya Lea.
"Aaaaaa...." Vin bangun gelagapan. Suara teriakan barusan, sungguh sudah membuatnya harus membuka kedua matanya secara terpaksa. "Ke...ke...kenapa?" Vin spontan bertanya, di antara kesadaran yang masih setengah. "KENAPA KATAMU?!" bentak Lea, hingga membuat Vin berjingkat, kaget setengah mati. Sedetik kemudian, suara sesenggukan Lea terdengar, dan Vin juga telah menyadari sesuatu. Tatapannya beralih ke kedua tangan Lea yang menggenggam ujung selimut, menutupi bagian bawah dada Lea yang tak tertutup apapun. Vin kini sadar, keberadaan mereka berdua dalam satu ranjang selama semalaman, tentu saja bukan tanpa alasan. Mereka berdua telah bercinta dalam keadaan sama-sama mabuk. Vin bisa mencium bau manis dan keras dari botol Applejack di mulut Lea, dan dirinya juga telah menghabiskan beberapa botol minuman beralkohol di sebuah club malam. "Aku...kamu..." Vin tak sanggup meneruskan kesimpulannya, karena tangis Lea berubah jadi r
"What?!" Teriakan histeris Natalie. Tak percaya, ketakutannya ternyata jadi nyata. Sudah sejak setahunan ini, Natalie selalu berusaha keras untuk menarik perhatian Vin, bahkan rela menjadi penguntit untuk mengetahui setiap jadwal kegiatan Vin, selain meminta bantuan dari tantenya, Helena. Tapi sayang, Vin selalu menolak ajakan kencan atau bahkan bercinta dari Natalie. Namun di setiap penolakan ini, maka semakin keras usahanya untuk mendapatkan hati dan tentu saja harapan sebagai istri sekaligus nama belakang keluarga Dharmawan. "Vin. Kamu ngomong apa? Kamu itu masih mabuk!" sambung Helena, meneruskan keterkejutan Natalie yang kini menangis dalam pelukannya. "Dia ini gadis apa? Pasti kamu ketemu dia club malam, ya kan? Dia wanita murah--" "Dia asisten pribadiku, sekaligus calon istriku!" tegas Vin. Vin bergeser, berdiri di samping Lea yang menatapnya bingung. "Ca calon istri anda?" tanya Lea, sembari menatap bergantian antara Vin dan dua w
Seharian sejak cinta satu malam dan kesepakatan kontrak pernikahan itu terjadi, Lea hanya sendirian di dalam penthouse milik Vin, sedangkan pemiliknya pergi entah kemana, dan belum menunjukkan kabar beritanya sama sekali. "Dimana orang ini? Dia benar-benar mempermainkan gue!" gerutu Lea, duduk risau di kursi berkaki tinggi pada area dapur. Berada di tempat tertinggi pada sebuah gedung tempat tinggal, dengan fasilitas keamanan tingkat pertama, justru membuat Lea jadi merasa terpenjara. Di tatap layar ponsel dengan satu nama berharga tertulis di sana, jadi keputusan Lea untuk menelponnya. "Mama. Bagaimana keadaan mama sekarang?" tanya Lea to the point, setelah panggilannya di angkat sang ibunda, dan kemudian mengaktifkan loudspeaker. "Justru mama ingin tahu keadaanmu sekarang, sayang? Bagaimana pekerjaanmu di sana? Apa kamu bisa bersenang-senang? Atau cuma di suruh bekerja terus?" cercaan pertanyaan dari Sarah, ibu dari Lea. Sebelum keberangkatannya ke Italia, Lea sempat mencerit
Bola mata hitam Lea melebar karena terbelalak kaget."Pak Vin. Sebelum surat kontak itu kita tanda tangani, saya ingin tegaskan sesuatu.""Perutku mual. Jangan nambahi beban pikiranku. Memangnya kamu mau apa?"Lea hela napas panjang terlebih dahulu sebelum memulai berbicara lagi. Lea berpikir, beberapa hal harus sudah dia bicarakan dengan Vin, sebelum mereka kembali ke Indonesia."Saya berjanji akan mengikuti aturan yang bapak berikan, dan juga berusaha jadi istri kontrak yang baik, tapi..""Tapi apa?""Malam kemarin...bagi kita haruslah...malam pertama dan jadi malam terakhir. Saya--""Hei, dengar ya," potong Vin tak mau kalah. "Siapa yang mau minta malam kemarin itu berulang? Tentu itu bukan dari aku.""Maksud saya seperti itu, dan tentu bukan dari saya juga," perjelas Lea takut menyakiti."Ya sudah. What's the problem? Aku cuma bercanda...sialan!"Lea pasang kacamatanya, di sertai kerutan di dahi."Ke kenapa, pak?" Tak ada jawaban dari Vin, panggilan pun tiba-tiba di tutup, membu
Wanita mana yang tak akan tersinggung, bila penilaian akan penampilannya mendapatkan kesimpulan tak baik, terutama di utarakan secara langsung di hadapannya."Kurang menarik ya, pak?" tanya Lea bergetar.Tetesan air dari perasan kain berbahan handuk dan berukuran kecil itu jadi pengisi keheningan ruang TV, penthouse milik Vin untuk beberapa detik lamanya. "Bukan lagi kurang menarik, tapi memang nggak menarik," sahut Vin dingin.Vin lantas membuang muka ke samping. Kelambu berisi air terlihat di kelopak mata Lea, membuat Vin jadi tak tega sendiri."Maka dari itu, sekalian ku perintahkan perancang gaun pengantin itu bawa pakaian yang sekiranya sesuai buat meeting sama klien," tambahnya kalem."Permisi, pak," ijin Lea ketika akan membasuh luka Vin.Vin masih membuang muka. Ekspresinya menegang, karena menahan rasa perih setelah tetesan-tetesan air itu mengenai tepat di bagian luka menganga akibat pecahan gelas kaca."Apa kamu akan lakukan hal yang sama juga, seandainya aku bukan orang ya
Sontak Lea mendelik, amarah sudah di ujung ubun-ubun kepalanya."Pak Vin. Saya bukan gadis seperti itu. Sudah saya katakan kalau--"Keberatan Lea terhenti, saat melihat Vin memegangi kepalanya, lalu hampir limbung. Lea berlari mendekat dan berusaha menahannya, agar tidak sampai terjatuh ke lantai."Pak Vin!" terkejutnya Lea dengan kedua tangan menopang tubuh atletis Vin, sampai dirinya sendiri hampir tak sanggup menyanggah, kalau saja Vin tidak segera membuat dirinya sendiri tersadar. "Anda tak apa-apa? Ada apa dengan anda? Habis mabuk, atau memang sakit?" tanya Lea penasaran."Bawa aku ke kamar," perintah Vin dengan bantuan Lea. Pikiran dan tubuh Vin kembali kacau . Setelah membantu Vin merebahkan diri secara perlahan, Lea mundur beberapa langkah dan menelusuri tubuh atasannya ini dari ujung kepala sampai ujung kaki."Badan anda panas. Apa perlu saya panggilkan bodyguard anda buat antar ke dokter?""Morgan?" tanya Vin lemah dengan mata setengah terpejam."Morgan?" Lea berikan perta
Pada hari jumat malam seminggu kemudian. Lea berada sendirian di dalam kondominium Vin tanpa pemiliknya. Vin harus terbang ke Italia tanpanya selasa lalu bersama dua teman prianya, karena ada keinginan dari salah satu calon investor untuk segera menandatangani perjanjian kerjasama, selain masa pengalihan dan pengucuran dana warisan dari Anthony juga sedang dalam proses, larena Vin telah selesaikan masalah dengan Helena sesuai amanat ayahnya tersebut, selain telah menikah dan akan memiliki anak. Lea meninggalkan kantor, dan menemui ibunya sebentar, sebelum akhirnya kini di depan deretan koper yang telah siap menemaninya menempuh perjalanan jauh. Morgan belum menjemput totak waktu yang di butuhkan lima belas menit untuk mengulur-ulur waktu sedikit, Lea membuka ponsel di bagian note dan memeriksa lagi. 1. Tiket pesawat ( Aku sudah melakukannya sekaligus mengkonfirmasinya. Dua kali ) 2. Memesan executive lounge bandara ( Juga sudah mengkonfirmasi dua kali ) 3. Berkemas ( Baru se
Pagi tidak lebih baik. Lea berguling turun dari ranjang pagi-pagi. Seminggu sudah telah berlalu dari kejadian yang penuh dramatis. Matahari bersinar melewati jarak antara dua gorden jendela kaca berukuran lumayan besar di kondominium milik Vin. Lea beralih ke dapur membuat susu coklat hangat. Vin masih tidur, dan kemungkinan tidak akan bangun untuk sejam dua jam ke depan. Lea melirik meja ruang tamu, botol kosong minuman kaleng beraneka macam masih di sana, sebagian adalah beralkohol. Dua teman pria kebangsaan Italia Vin semalam jadi penghisap hampir semuanya. Entah mereka berjalan kaki dari Italia ke Indonesia atau apa. yang pasti di atas meja ruang tamu sana benar-benar kacau dengan berbagai bekas makanan dan minuman berserakan. Mereka bertiga nampaknya sudah tak kuat bahkan untuk membuangnya ke dalam sampah karena sibuk bercanda berlanjut rasa kantuk di sertai setengah mabuk. Lea kemudian meringis membayangkan percakapan yang akan mereka lakukan. Secangkir susu coklat hanga
"Natalie?" Lea terkejut. Gadis muda berusia tak jauh dari dirinya itu tampak berpenampilan kusut tidak seperti biasanya, bahkan tidak ada pulasan kosmetik apapun sebagai make up semakin mempercantik diri. "Ngapain dia ke sini? Dia nggak lagi bangun tidur, kan?" pertanyaan canda Lea menatap bergantian antara Vin dan Natalie. Beberapa detik lalu Lea berada agak menjauh dari Vin untuk menghindari berinteraksi dengan Helena, tapi karena kehadiran tak terduga dari Natalie ini, membuatnya mendekati Vin dan berbicara berbisik untuk mencari tahu. Tatapan sembab dari bawah mata yang bengkak, membuat Vin spontan jadi bersikap awas. Di dorong Lea agar lebih mundur dan di posisikan tepat di belakang punggungnya, karena Vin menyadari tatapan Natalie menyorot di sekitar dia berdiri. "Tante Helena!" Mendengar nama ini di sebut dan di ketahui keberadaan posisinya, beberapa baris kerumunan tamu bergerak menyisir memberi jalan buat Natalie agar bisa melihat apa yang akan dia lakukan juga. "Na
"Kamu nggak apa-apa, kan Sayang?" Kedua mata Lea terbelalak. Di hadapannya adalah pria tampan mengenakan seragam bodyguard serba hitam berikut kacamata berwarna senada juga. Memang seperti orang lain, tapi sebagai istri yang selalu bersama dari pagi sampai malam, Lea yakin pria penyelamat di hadapannya ini adalah Vin. "Ka kamu ngapain dandan begini?" Lea masih sempatnya bertanya di saat suasana jadi riuh, bahkan terdengar teriakan-teriakan agar ruangan hall segera di amankan. Pria tersebut perlahan membawa Lea bangkit dengan di dudukkan, perut Lea di elus-elus. Kekhawatiran merambat pada bagian tubuh Lea dimana sempat di rasakannya ada gerakan. "Demi anak kita ini. Maaf kalau buatmu kaget, tapi berhasilkan. Dugaanmu benar, keamanan buatmu tidak cukup mengandalkan Morgan saja." "Pak Presdir .... Pak Presdir Vin .... anda tidak apa-apa?!" pekikan berganti terdengar dari pria lain. Dia adalah Sekretaris Li, yang berdiri tak jauh dari keduanya berada. Vin berganti ulurkaj t
Kasak-kusuk terjadi lebih ramai dari sebelumnya. Ucapan santai Lea jadi pemicu rasa ingin tahu dari tamu undangan yang merupakan para pemegang saham dari perusahaan-perusahaan dari pengelolaan keluarga Dharmawan. Helena kembali berdiri. Berbeda dari aksi sebelumnya, kali ini Helena tampak lebih kusut, wajahnya merah karena amarahnya lebih memuncak. "Ini acara pengambilan voting, bukannya cari panggung buat hal yang nggak ada bukti dan dasarnya apa kayak begini. Kamu jangan sok ya. Kamu itu orang baru. Nggak ngerti apa-apa!" Lea tak menggubris. Seperti apa yang di instruksikan oleh Vin, agar dirinya tetap tenang dalam menanggapi tiap kelakuan Helena, tidak mudah terprovokasi dengan setiap nada tinggi Helena yang berkesan memojokkan. "Slide-slide selanjutnya memang berkesan tidak ada hubungannya dengan acara ini, tapi di sini kami inginkan siapa saja jadi terbuka matanya, tentang siapa yang sebenarnya bersalah dan siapa yang sering di jadikan kambing hitam. Sekali lagi ini semua
Di sebuah hall terletak di dalam hotel bintang lima, tamu undangan sudah mulai memadati tempat acara. Perhelatan yang sebenarnya akan di laksanakan bulan depan itu, nyatanya di majukan secara mendadak dengan alasan karena keperluan mendesak. Acara awal protokoler tengah di laksanakan. Seirang wanita jadi pusat perhatian di saat sesi sambutan sedang di jadikan awal dari pembicaraan mengenai Vin, sang presdir utama. "Kubu pertama yaitu mosi tidak percaya dan minta agar jabatan presdir di copot untuk di berikan pada saya, sudah dapat banyak dukungan meskipun perolehan suara belum di laksanakan, jadi saya harapkan rekan sekalian bisa menentukan pilihan sesuai dengan logika. Perusahaan ini butuh orang-orang berpengaruh kuat. Bukannya hanya mengandalkan cara kepemimpinan yang katanya revolusioner tapi ternyata bangak pihak yang tidak senang." Helena ungkapkan sesuatu dengan kesan menyindir lawan pemilihannya, yaitu Vin. Tepuk tangan bergema setelahnya, bahkan ada yang dengan berdiri,
Sampai semalaman Lea berusaha mengorek apa rencana yang sedang Vin simpan, tetap saja Lea tak mendapatkan jawaban. Walaupun sudah melayani bercinta dengan gegap gempita, berharap Vin akan lengah lalu bercerita, namun tetap saja tak temukan hasil. Vin masih saja bungkam. Di waktu weekend, Lea membantu Vin untuk keberangkatan ke Italia. Sampai itupun, Vin belumjuga berikan jawaban akan rencananya. Vin selalu menggadang-gadang kalau yang mengetahu isi rencananya itu hanya otaknya saja. Leapun akhirnya menyerah, sudah tak bertanya lagi bila sudah tahu akan jawabannya apa. "Lama banget ke Italianya?" protesan Lea setelah selesai membantu Vin menyiapkan packing segala keperluan di dalam satu koper besar dengan sistem penutup memakai kode tertentu. "Kan ada Mama. Kamu ada temennya. Bukannya kemarin-kemarin ribut minta di temeni Mamamu?" pengingat Vin dan di jawab anggukan oleh Lea. "Tapikan tetep aja beda kalau nggak ada kamu," sedihnya Lea. Di letakkan sebuah buku bertuliskan logo d
"Aku bertemu sama pengacaraku." Morgan sudah mengatakannya, tapi bila alasannya itu keluar dari mulut Vin sendiri, maka jadi perbedaan tersendiri bagi seorang wanita termasuk Lea. "Beneran ketemu pengacara? Kamu nggak sedang main samdiwara sama Morgan, kan? Takutnya sudah kasih perintah biar bilang sama akunya temui pengacara, tapi ternyata temui wanita lain," omel Lea seperti telah mendapat peringatan secara naluri. "Hmm ... menemui pengacaraku dan juga seorang wanita." Lea menoleh dan menatap Vin sambil melotot. Rasanya akan sulit bagi Vin, bila naluri kuat Lea seperti yang di miliki para wanita pada umumnya untuk di jadikan awal dari sebuah kebohongan. "Tuh kan sama cewek, sudah ku duga!" bentak Lea. "Siapa dia? Awas kalau memang sama cewek bilangnya ke aku cuma temen atau kolega bisnis, tapi diem-diem main api di belakang. Sudah biasa itu kayak di medsos-medsos!" tak terimanya Lea. Vin semakin tertawa kencang. Tak menyangka kalau lea cemburu lebih galak daripada singa
"Hai Sayang." Sapaan dari Vin yang segera di tanggapi Lea dengan pelukan. "Kamu kemana saja? Nggak tahu apa, aku khawatir banget!" omelan Lea setelah melepaskan rengkuhan hangat namun singkatnya. "Banyak orang mencarimu, habis kamu nggak aktifin ponselmu," imbuh Lea mencari tahu. "Aku sedang jalan-jalan," jawab Vin santai. Bersama kawalan dari Morgan dan beberapa pengawal anak buah Morgan, Vin membawa Lea ke ruangan pertemuan utama gedung dengan merubah ekspresinya jadi dingin dan kaku, berbeda jauh saat bertemu Lea tadi. Tatapan Vin lurus ke depan, selain belum ada yang berani menyapa atau mengajaknya bicara, Vin juga nggak berminat di ajak bicara sampai ada yang memulai. Ini adalah bentuk aksi kekecewaan Vin ketika loyalitas bawahannya telah membuatnya jadi turunkan rasa kepercayaannya. Setelah Vin duduk di kursi utama ruanga pertemuan, dalam beberapa menit suasana hening, dengan sikap tenang, Vin menunggu dengan sabar tiap orang di ruangan tersebut mencari tempat duduk, k