Share

Kecolongan

Penulis: Sity Mariah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Setelah Hardi pergi dari ruanganku, lantas aku menghempaskan bobot di kursi kerja yang ada di ruangan pribadiku ini. Aku lalu memperhatikan kembali lembar kertas yang ada di tangan.

Xaviero De'Store. Toko fashion dengan kualitas tinggi yang ada di salah satu kota di Singapura. Dulu, saat pabrik dalam keadaan stabil, bahkan pemasukan setiap tahun selalu mencapai target. Aku dan Fidelya selalu plesiran ke luar negeri, meski masih sebatas Asia Tenggara.

Setiap tiga bulan sekali, aku dan Fidelya pergi berlibur. Menghabiskan waktu di negeri orang sekalian memasarkan produk pabrik. Tapi, belum ada tanda-tanda produk yang pabrik keluarkan dilirik pasar luar.

Sedangkan satu bulan sekali. Aku dan Fidelya, rutin mengunjungi panti dan memberikan donasi sepuluh juta tiap bulannya. Aku menjadi donatur tetap untuk panti selama ini.

Setahun kebelakang, tidak lagi. Aku dan Fidelya benar-benar mengencangkan ikat pinggang demi pabrik bisa tetap berdiri.

Tapi, sekarang? Sungguh di luar dugaanku, bahwa akan secepat ini kemajuannya. Amazing!

Aku membenahi jas kerja di badan. Lalu bangkit dan keluar dari ruangan pribadiku. Berjalan menuju bangunan pabrik yang sudah lima tahun aku kembangkan.

***

Pukul delapan malam, aku baru tiba di rumah. Fidelya menyambut kedatanganku di teras luar. Ia berlari kecil dengan gaun tidur malam yang meski tertutup namun tetap terlihat indah.

Dengan cekatan, ia meraih tas kerja dari tanganku lalu menuntunku untuk masuk. Tanpa diperintah, ia melepaskan jas yang melekat. Juga sepatu dan kaus kakinya.

Kemudian Fidelya berlalu membawa jas serta sepatuku. Aku masih di sofa ruang tamu, melepas kancing lengan kemeja, lalu menggulungnya sampai siku. Serta dua kancing atas kemeja yang aku pakai.

"Mandi dulu sana, Mas!" titah Fidelya setelah kembali dan kini berdiri di sampingku yang masih duduk.

Aku menarik tangannya, hingga Fidelya duduk di pangkuanku. Fidelya menatapku. Aku melingkarkan tangan di pinggangnya. "Mas ada kabar baik, Fi!" ucapku bahagia.

"Apa, Mas?" tanya Fidelya dengan raut wajah berbinar.

"Produk pabrik kita mulai dilirik pasar luar. Tadi ada permintaan pengiriman sampel buat toko di Singapura, Fi!" jelasku.

Netra Fidelya membulat. "Beneran, Mas? Wah, baguslah, Mas! Keinginan Mas supaya produk kita tembus pasar ekspor sebentar lagi bisa tercapai!" balas Fidelya tak kalah bangga.

Aku mengangguk. "Tentu saja, Fi! Mas akan pastikan, setelah pengiriman sampel selesai, toko itu pasti akan mulai memesan produk kita."

Fidelya mengalungkan lengannya di leher dan merapatkan tubuhnya padaku. Aku dapat mencium wangi lembut dari rambutnya. "Semoga, ya, Mas!" ucapnya kemudian yang kubalas dengan anggukan.

Fidelya menarik diri, lalu beranjak. "Mandi dulu, Mas! Biar aku hangatkan makan malamnya," ucapnya dan berjalan menuju ruang makan.

Aku pun lantas beranjak dan menyusulnya. "Mas mau makan dulu, Fi!"

Sesampainya di ruang makan, aku menarik kursi lalu duduk. Sementara Fidelya menghangatkan makanan di dapur.

***

Aku keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamar. Fidelya tengah sibuk mengemasi pakaian yang akan diberikan untuk anak-anak panti. Aku yang hanya berbalut handuk di pinggang, langsung memeluknya. Menyerbunya dengan ciuman panas. Fidelya yang tidak siap dengan seranganku, memukul lenganku dan sedikit berontak. Tapi tenaganya tidak sebanding dengan tenagaku. Sehingga perlawanannya sia-sia.

Aku membawa tubuhnya dan mendorongnya hingga terlentang di atas tempat tidur.

"Mas!" pekik Fidelya. Ia hendak bangkit, namun dengan cepat aku mengurungnya. Kini, ia berada di bawah Kungkungan badanku.

Kembali aku menyerbunya dengan ciuman panas bahkan lebih daripada tadi. Hingga berujung pertempuran panas nan syahdu.

Tubuhku ambruk. Mungkin saking lelahnya dan akhirnya terlelap.

***

Pelan aku membuka mata. Posisi tidurku tidak berubah dari semalam. Masih tengkurap. Kulihat ke tempat Fidelya, sudah kosong. Aku meraba-raba mencari ponsel. Setelah dapat, aku lalu melihatnya. Jam lima pagi.

Lantas aku bangkit dan turun dari tempat tidur. Menuju lemari pakaian, mengambil pakaian dan memakainya. Aku lalu membuka pintu kamar.

Kukira, Fidelya sudah bangun dan sedang di dapur. Ternyata lagi-lagi Fidelya berada di depan jendela halaman samping yang terbuka lebar. Ia duduk dengan memeluk lututnya.

Aku bergegas menghampirinya. "Fi, kamu ngapain di sini?" tanyaku sambil berjongkok di hadapan Fidelya.

"Mas! Yang dikatakan Mas Lukman ternyata bener, Mas! Rumah ini berhantu!" ucapnya ketakutan. Ia memegang pergelangan tanganku dengan kuat.

Aku menautkan alis. "Hantu? Hantu apa, sih, Fi? Kamu jangan ngaco lagi deh!"

Fidelya menggeleng cepat. "Mas! Aku ngga ngaco! Mas harus percaya sama aku! Aku inget. Semalam, aku keluar dari kamar dan Mas tahu apa yang aku lihat?" tanyanya yang kubalas dengan gelengan.

"Kun**anak, Mas! Makhluk itu melayang di pohon jambu, Mas! Terus dia mendekat sampai akhirnya aku pingsan! Kepalaku sakit banget ini rasanya, Mas!" balas Fidelya sambil memegang bagian belakang kepalanya.

Ya, ampun. Aku kecolongan. Ah, sial. Kenapa semalam aku tidur terlalu nyenyak. Lantas aku berdiri dan berjalan mendekat ke arah jendela. Aku pura-pura melihat keadaan sekitar. Lalu kembali mendekati Fidelya yang masih terduduk.

"Nggak ada hantu, Fi! Kamu pasti cuma mimpi!" ujarku.

"Aku nggak mimpi, Mas! Aku sadar dan aku melihatnya sendiri," bantahnya.

Begitulah Fidelya. Dia akan menjadi perempuan keras kepala saat apa yang dirasanya benar. Aku mengusap wajah kasar.

"Fi, tapi di luar gak ada apa-apa. Sudahlah, mungkin itu cuma halusinasi kamu, Fi!" ucapku.

Fidelya melotot. "Nggak, Mas! Gak ada aku berhalusinasi. Aku ini beneran lihat makhluk itu, Mas! Rupanya itu mengerikan, Mas!" ucapnya lagi sambil bergidik. Lalu menutup wajahnya dengan tangan.

Aku menghela nafas. Lalu merangkul pundak Fidelya agar ia segera berdiri. "Nggak usah takut, ada Mas! Ayok kita ke kamar!" ajakku.

Sekarang Fidelya sudah duduk di atas tempat tidur dan aku di sebelahnya. Menenggelamkan kepala Fidelya di dada bidangku dan membelai rambutnya.

Setelah dirasa tenang, aku kembali bersuara.

"Fi, kita sudah lima tahun tinggal bersama di rumah ini. Selama ini, rumah kita aman. Nggak ada hantu seperti yang kamu bilang. Kamu jangan mikirin terus ucapannya Lukman tempo harilah, Fi! Lukman itu dari dulu ngaco!"

"Tapi ucapan Mas Lukman tempo hari itu beneran, Mas. Ada kuntilanak di halaman samping rumah ini. Mas bilang aku dan Mas Lukman ngaco, itu karena Mas belum melihatnya langsung. Coba kalo Mas sudah lihat. Pasti Mas bakal pingsan juga!"

Aku menghembuskan nafas kasar. "Terus, kenapa semalam kamu gak bangunin Mas?"

"Semalam aku cuma kebelet aja, Mas. Pas keluar dari kamar mandi, ada sekelebat bayangan di jendela, ditambah bau anyir banget, Mas! Aku intip, dan mengarah ke halaman samping. Aku penasaran, dan akhirnya malah lihat makhluk itu, Mas!"

Aku memegang kedua pundak istriku itu. "Sekarang mending kamu mandi. Biar kamu ngga keinget terus!" perintahku.

Fidelya mengangguk dan berjalan gontai masuk ke kamar mandi.

Aku buru-buru membuka lemari pakaian dan membuka koper. Mengambil botol kecil bening waktu itu. Setelah dapat, aku lalu keluar dari kamar. Berjalan cepat menuju dapur untuk menemui Bi Marni.

Benar saja. Bi Marni memang tengah sibuk memasak untuk sarapanku dan Fidelya. Aku lalu menghampirinya. "Bi, ambil ini!" ucapku seraya memberikan botol kecil itu.

Bi Marni menerimanya dengan raut muka keheranan namun segan untuk menolak. "Teteskan air dalam botol ini sedikit saja, pada air minum untuk Fidelya!"

Bi Marni memperhatikan botol kecil itu. "Ini apa, Den?" tanyanya kemudian.

"Udah, bibi gak perlu tahu! Pokoknya jangan sampai air minum untuk Fidelya nanti salah ya, Bi! Paham 'kan?" ujarku memastikan.

"Pa—paham, Den!" jawabnya.

"Bagus! Ya, sudah, teruskan memasaknya, Bi!"

Aku lantas buru-buru pergi dari dapur menuju kamarku sebelum Fidelya keluar dari kamar mandi.

Selesai mandi dan setelah berpakaian rapi, aku dan Fidelya lantas sarapan. Pagi ini, Fidelya terlihat tidak bersemangat. Pasti pikirannya masih dipenuhi kejadian semalam.

Tenang, Fi. Sebentar lagi kamu akan melupakannya. Setelah air itu mengalir dalam darah, ingatanmu tentang makhluk itu akan hilang dengan sendirinya.

Fidelya tidak menghabiskan sarapannya, ia lalu meminum sedikit air dalam gelas. Aku masih menikmati sarapan di piringku, sambil memperhatikan gerak-gerik Fidelya.

Setelah sarapanku habis. Fidelya sesekali menguap di kursinya. "Mas, kok, ngantuk ya?" tanyanya padaku.

"Ngantuk? Tidurlah, Fi!" balasku.

"Tapi ini masih pagi begini, Mas, hooaammm" ujarnya sambil menutup mulutnya yang menguap lagi.

"Ya, namanya juga ngantuk, Fi. Mungkin semalam tidurmu kurang."

"Tapi, Mas—"

Fidelya tidak menyelesaikan ucapannya. Ia terkulai dengan mata terpejam di kursinya.

Aku meneguk air. Lalu beranjak dari tempatku duduk dengan menjinjing tas kerja.

"Mas berangkat dulu, Sayang. Saat bangun nanti, kamu akan lupa apa yang sudah kamu lihat semalam." Aku mencium lembut pucuk kepala Fidelya yang tengah tertidur, lalu keluar dari rumah dan menaiki kendaraan roda empatku menuju pabrik. 

Hari ini, sampel akan dikirim dan aku harus segera memastikan bahwa tidak ada sedikit pun kesalahan.

Aku sudah siap kembali kaya raya.

Bab terkait

  • ISTRI KEDUA KU   Mengunjungi Panti

    Hari Minggu pagi. Aku dan Fidelya akan pergi ke panti. Fidelya masih berkemas, aku menunggunya ditemani secangkir kopi latte yang hangat. Menyesap wangi kopi tersebut lalu menyeruputnya seketika. Nikmat sekali.Bi Marni lalu menghampiriku, sesaat setelah tadi menghidangkan kopi, aku memintanya segera kembali. Aku kemudian menaruh cangkir kopi di atas meja."Bi, kubur ini pada saat menjelang magrib nanti dekat pagar! Saya dan Fidelya kemungkinan akan menginap di panti!" Aku memberikan bungkusan berwarna putih pada Bi Marni."I—ni apa, Den?" tanya Bi Marni ingin tahu."Sudah, Bibi gak perlu tahu! Pokoknya, saat menjelang magrib nanti, kubur saja itu. Kalau tidak, nanti Anjani bisa pindah tidurnya ke kamar Bibi!" jelasku.Bi Marni terlonjak. "Ja—jangan, Den! Bibi takut.""Nggak perlu takut, Bi! Makanya nanti Bibi kubur saja bungkusan itu, biar semua aman!" titahku. Bi Marni hanya mengangguk."Bibi juga harus pastikan, Anjani tidak kelaparan, Bi!""Iya, Den!"Aku mengangguk puas dengan ja

  • ISTRI KEDUA KU   Nasehat Ibu

    Istri Keduaku (9)***Makan malam sudah tersaji. Aku makan bersama semua penghuni panti yang lain. Anak-anak begitu antusias, karena menu makan malam ini sedikit istimewa dari biasanya.Siang tadi, aku memberikan uang lebih untuk dapur. Sehingga malam ini, tersaji menu mewah dan banyak untuk anak-anak. Agar anak-anak tidak perlu berebutan.Anak-anak makan dengan lahap. Begitupun aku dan Fidelya. Lukman serta istrinya pun tak ketinggalan. Ibu tersenyum bahagia.Selesai makan malam, anak-anak akan dibiarkan bermain sebentar di dalam ruangan sebelum tiba waktunya mereka tidur. Aku mendorong kursi roda Ibu menuju kamarnya bersama Fidelya.Setelah sampai di kamar Ibu, aku memapahnya untuk berpindah duduk ke kasur. Karena ada aku dan Fidelya, maka malam ini, aku dan Fidelya yang menggantikan tugas Lukman dan istrinya menemani Ibu.Lukman dan Nabila sama-sama anak panti dulunya. Mereka tumbuh bersama di panti dan akhirnya mereka menikah dan mengabdikan diri ikut serta mengurus panti. Sementa

  • ISTRI KEDUA KU   Menggantikan Tugas Bi Marni

    Istri Keduaku (10)***"Fi, Mas haus. Mas minta tolong, belikan air minum!" pintaku pada Fidelya setelah menepikan mobil di depan minimarket."Iya, Mas!" jawab Fidelya singkat seraya turun dari mobil. Fidelya meninggalkan tas kecilnya dan hanya membawa dompet masuk ke dalam minimarket.Setelah Fidelya menghilang di balik pintu minimarket, segera aku mengambil tas Fidelya yang tergeletak di atas kursi. Kubuka resletingnya dan mencari tasbih yang tadi Lukman berikan.Aku mendapatkannya. Setelah tasbih itu di tanganku, aku meremasnya. Akan kuhancurkan benda ini. Fidelya tidak boleh memakainya."Aakhh!"Tasbih itu terlempar. Tanganku rasa tersengat panas. Aku belum berhasil menghancurkannya. Sedangkan Fidelya sudah keluar dari minimarket. Cepat aku mengambil tasbih yang terlempar ke bawah tadi dan memasukkannya kembali ke dalam tas Fidelya. Lalu meletakkan lagi tas Fidelya seperti tadi.Fidelya masuk mobil dengan dua botol air mineral dan dua minuman dingin rasa jeruk. Fidelya lantas memb

  • ISTRI KEDUA KU   Jatah Bersama Anjani

    Keluar dari kamar mandi, kudapati Fidelya ternyata sudah terlelap di tempat tidur. Mungkin Fidelya lelah. Cepat aku berpakaian.Mataku lantas tertuju pada tas kecil yang tergeletak di atas sofa. Tas kecil yang berisi tasbih dari Lukman. Cepat kuambil untuk mencari tasbih berwarna hitam mengkilap itu.Hingga semua barang di dalam tas sudah aku keluarkan tapi tasbih tadi tidak ditemukan. Apa mungkin Fidelya sudah menyimpannya? Tapi dimana? Kuletakan kembali tas Fidelya di sofa.Lalu membuka setiap laci nakas. Tetap saja tasbih itu tidak kutemukan. Aku membuang nafas sejenak. Aku yakin, tasbih tadi bukan tasbih biasa. Pasti Lukman sudah membuat tasbih itu tak bisa aku sentuh. Lukman memang menyebalkan dari dulu.Aku ikut merebahkan diri di samping Fidelya dan merenggangkan otot-otot tubuh. Jam dinding di kamar ini menunjukkan pukul 2 siang. Aku pun memejam sampai akhirnya terlelap.***"Mas!" Panggilan disertai guncangan di tubuhku, meski pelan namun mampu membangunkanku. Lantas kubuka m

  • ISTRI KEDUA KU   Harus Melakukan Sesuatu

    Aku merapikan kemeja dan mematut diri di cermin. Sambil menyugar rambut dengan tangan yang telah diberi gel, lalu menyisirnya hingga rapi. Kutatap diriku dalam cermin. Satu kata untuk diriku. Perpect!Fidelya masuk kamar lalu duduk di bibir kasur. Bayangan Fidelya memantul dari cermin tempatku berdiri saat ini. "Mas, struk belanjaan kemarin masih ada gak?""Nggak tahu, Fi. Kemarin Mas masukin ke saku celana jeans. Semalam celananya Mas taruh di keranjang cucian kotor di ruang laundry!" jelasku sambil membalikkan badan.Fidelya menggaruk pelan rambutnya."Kenapa?" tanyaku kemudian."Kemarin sore, aku yakin banget udah beli daging sapi merah. Dua pics, masing-masing 250 graman. Tapi kok gak ada, ya?"Aku memperhatikan raut wajah Fidelya yang kebingungan. "Ya, kamu lihat aja di struknya, Fi!" ujarku."Tapi pakaian di keranjang cucian udah masuk mesin cuci, Mas. Lagi Bi Marni cuci.""Ya, udahlah, Fi. Mungkin kemarin pas di supermarket kamu sempat pilih, tapi lupa masukin ke troli. Bi Mar

  • ISTRI KEDUA KU   Ketar-ketir

    ~Tiga Bulan Berlalu~Ting!Suara ponsel menandakan pesan masuk. Kuraih ponsel di atas meja, rupanya pemberitahuan dari m-banking. Membuat saldo di rekeningku terus menggemuk.Aku tersenyum puas tapi satu sudut hatiku ketar-ketir. Sudah tiga bulan pernikahanku dengan Anjani, tapi Fidelya masih belum hamil juga.Padahal sudah jelas-jelas Fidelya berhenti mengkonsumsi pil KB sejak tiga bulan terakhir ini. Sejak Anjani kubawa ke rumah, Fidelya sudah ku izinkan berhenti memakai kontrasepsi. Suplemen penyubur pun setiap hari Fidelya konsumsi. Entah apa yang membuat Fidelya belum menunjukkan tanda-tanda kehamilanApa mungkin aku yang bermasalah? Ah, rasanya tidak mungkin. Sekalipun aku belum pernah memeriksakan kondisi kesuburanku, tapi aku yakin baik-baik saja. Aku pria normal. Aku sehat. Hormonku bagus.Malah dua bulan ini, aku sudah mengubah jadwal. Dua minggu dengan Fidelya dan dua minggu bersama Anjani.Otomatis malamku bersama Fidelya menjadi lebih sering dari yang awalnya terjeda kar

  • ISTRI KEDUA KU   POV FIDELYA (A)

    ISTRI KEDUAKU (14)POV FIDELYA🍁🍁🍁Setelah Mas Nuka keluar dari kamar, gegas aku mengunci pintunya. Aku melangkah menuju tempat tidur dan menghempaskan bobotku.Aku duduk menekuk lutut serta bersandar pada headboard kasur berukuran king ini. Tanganku terulur pada figura yang membingkai fotoku bersama Mas Nuka di atas nakas. Kutatap foto dalam figura yang kini berada di tanganku.Foto yang diambil 5 tahun lalu. Ketika pertama kalinya menginjakkan kaki di Negeri Malaysia. Dalam foto ini, Mas Nuka menggendongku. Dan aku tersenyum lebar seraya merentangkan kedua tanganku. Foto dengan latar belakang Menara Kembar Petronas, landmark kebanggaan warga Malaysia.Kuperhatikan lekat foto ini. Lebih tepatnya memperhatikan Mas Nuka, suamiku.Aku mengusap potretnya yang juga tersenyum lebar di foto ini dengan jemariku."Aku memahami dirimu begitu dalam, Mas. Aku mengenalmu begitu jauh. Bahkan satu titik tahi lalatmu di belakang daun telinga pun, aku tahu.""Aku sangat tahu dirimu, Mas. Aku sanga

  • ISTRI KEDUA KU   POV FIDELYA (B)

    Aku menatap layar ponsel dengan gamang. Mas Lukman, sama sepertiku dan Mas Nuka. Sama-sama anak panti. Aku berteman baik dengan Mas Lukman bahkan hingga saat ini.Setelah aku dan Mas Nuka menikah. Aku langsung menempati rumah ini. Rumah yang jauh dari panti. Karena Mas Nuka sudah menjadi orang sukses.Berbeda denganku. Mas Nuka dari dulu tidak menyukai sosok Mas Lukman. Mas Nuka selalu mengatakan kalau Mas Lukman adalah lelaki kolot dan sok suci. Entah apa yang membuat Mas Nuka tidak suka pada Mas Lukman. Tapi Mas Nuka tidak pernah terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya. Mas Nuka pandai menutupi rasa tidak sukanya itu. Ya, pandai bersandiwara.Kuletakan kembali ponsel di atas nakas. Kini tanganku beralih pada laci nakas dan membukanya. Kuambil botol kecil berwarna coklat. Botol berisi suplemen yang selalu dibelikan Mas Nuka jika sudah habis.Aku membolak-balik botol itu. Sudut bibirku terangkat. Mungkin Mas Nuka pikir, aku senang dia selalu membelikan suplemen ini? Dia tidak sad

Bab terbaru

  • ISTRI KEDUA KU   Kabar Baik Dari Fidelya (ENDING)

    POV Author*Enam bulan berlalu …•••••Enam bulan sudah Nuka dan Fidelya tinggal di desa. Mereka mampu beradaptasi, baik dengan lingkungan maupun warga sekitar dengan sangat baik.Setelah enam bulan, Nuka Dan Fidelya sudah mengenal dan mulai berbaur dengan warga lain yang menjadi tetangganya. Berbeda sekali dengan kehidupan saat di kota.Tinggal di komplek perumahan elite, yang rata-rata penghuninya jarang sekali ada di rumah. Membuat Nuka dan Fidelya tidak begitu mengenali tetangganya dulu.Hari ini, akan diadakan acara di masjid besar desa mereka. Para wanita bersama-sama memasak di dapur umum. Memasak makanan yang akan di makan secara bersama-sama nanti malam. Sedangkan para pria, bertugas menyiapkan bahan yang akan dimasak oleh para wanita dan sebagian lagi membuat dodol di halaman depan masjid."Neng Fifi, kamu sakit? Kelihatannya pucat begitu?" tanya Teh Lilis kepada Fidelya.Teh Lilis yang yang tengah mengiris-iris bawang merah, merasa bahwa Fidelya sepertinya sedang tidak se

  • ISTRI KEDUA KU   Pindah Ke Desa

    POV Author.*************Nuka dan Fidelya turun di terminal bus. Setelah lima jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di terminal bus terakhir menjelang sore hari. Mereka turun dari bus hanya membawa tas berisi pakaian yang dijinjing oleh Nuka. Setelah turun dari bus, Nuka beserta Fidelya berjalan menjauh dari area terminal.Mereka menyebrang jalan, kurang lebih dua puluh menit mereka tiba di pangkalan ojek. Kemudian menaiki ojek agar sampai di desa yang akan menjadi tempat baru bagi mereka. Desa yang belum padat penduduk. Sesuai dengan arahan A Azmi.Ibarat kata, Nuka saat ini sudah belangsak. Sudah benar-benar miskin. Tidak punya apa-apa lagi. Harta dan jabatan yang dulu begitu dia bangga-banggakan, untuk sekarang, semua itu tidak bisa menolongnya. Semuanya lenyap. Semuanya hanya semu. Nuka telah tertipu rayuan dan hasutan ibl*s terkut*k.Beruntung, Fidelya ada membersamai Nuka. Dalam kondisi seburuk apapun. Di situasi tersulit sekalipun. Fidelya akan selalu pasang badan untuk suami

  • ISTRI KEDUA KU   Ketulusan Fidelya

    POV NUKA***********Saat aku memasrahkan hatiku menerima semuanya. Rasa panas yang sedari tadi menjalar, perlahan sirna. Berganti menjadi rasa perih. Seperti goresan luka yang sengaja ditabur garam. Perih tak terkira.Tubuhku menjadi lemas dan rasanya aku pun tidak sanggup menahan tubuhku sendiri. Aku terkulai. Tidak kuat menahan berat badanku. Tubuhku terasa merosot dengan sendirinya. Aku bisa merasakan tubuhku luruh perlahan ke dalam sungai dan terbaring. Namun, anehnya. Aku tidak merasakan air sungai yang tadi begitu dingin, pada kulitku saat ini. Aku justru merasakan perih di seluruh kulitku.Ah entahlah. Aku sudah tidak mau berpikir lagi. Aku serahkan semuanya pada Sang Pemilik Kehidupan. Apa pun yang terjadi, aku siap menerimanya. Pun dengan Fidelya yang akan tetap menerimaku.Aku merasakan bahuku ditarik untuk bangkit. Kubuka mata. Benar saja, tubuhku kini sudah terduduk di dasar sungai. A Azmi berada di samping, memegangi bahuku. Serta Lukman berada di ujung kakiku. Pakaian m

  • ISTRI KEDUA KU   Dia Bukan Istrimu!

    POV NUKA*************"FIDELYAAAA!" Aku berlari. Tubuhku membeku seraya menatap aliran air yang deras di bawah sana."Apa yang kamu lakukan, Fi?" teriakku pada suara gemuruh air yang mengalir.Tanpa berpikir lagi. Aku bersiap untuk menyusul Fidelya di bawah sana."NUKAAA!" Teriakan seseorang menghentikan gerakanku yang sudas siap untuk terjun.Dari arah padepokan, nampak A Azmi berlari mendekat ke arahku. "Mau apa kamu?!!" sentaknya, serta merta menarik tanganku. Hingga aku menjauh dari tepian jembatan gantung."Istriku, A! Istriku. Fidelya menceburkan diri ke bawah sana. Aku mau menolongnya, A! Aku harus cepat sebelum Fidelya terbawa aliran sungai lebih jauh!" jawabku panik.Raut wajah A Azmi seperti kebingungan. "Fidelya menceburkan diri? Fidelya tinggal di padepokan perempuan, di belakang sana, Nuka!"Aku menggeleng. "Tapi aku melihatnya sendiri, A! Aku melihatnya dengan jelas, Fidelya melompat ke bawah sana!" ucapku dengan meninggikan suara.PLAKK!Aku memegangi pipi yang ditampa

  • ISTRI KEDUA KU   Banyak Godaan

    POV NUKA***********Aku berdiri di atas sajadah. Memulai salat taubatku.Baru selesai takbiratul ihram. Angin kencang menerpa tubuhku. Angin yang masuk melalui jendela rumah ini begitu kencang hingga menggoyahkan kedua kakiku.Aku merasa tidak kuat. Dengan terpaan angin yang seperti badai ini. Rasanya, aku akan menghentikan saja salatku ini.BRUKKKH!Darah segar muncrat dari dalam mulutku. Bersamaan dengan terpentalnya tubuhku membentur pintu kayu rumah ini. Dadaku terasa didorong begitu kuat saat tengah salat tadi."MAS!" pekik Fidelya, berlari mendekat padaku. Begitu juga Lukman dan A Azmi yang panik. Lukman membersihkan darah yang mengotori alas rumah ini yang dari papan kayu."Mas kamu baik-baik saja 'kan, Mas?" Fidelya bertanya khawatir. Aku bisa melihat matanya yang berkaca-kaca. Aku tak mampu menjawab. Kupegangi kuat-kuat dada yang terasa sesak. "Bagaimana ini A?" Fidelya bertanya pada A Azmi. Nada suaranya terdengar begitu cemas. Namun tangannya kini sibuk membersihkan sisa

  • ISTRI KEDUA KU   Menuju Taubat

    POV NUKA**********"Kenapa, Mas?" Fidelya bertanya heran."Apa Ibu tahu perbuatanku, Fi?"Fidelya menghela nafasnya lalu menggeleng. "Nggak, Mas. Tapi kata Mas Lukman, Ibu ingin sekali bertemu kamu. Ibu merasakan firasat buruk tentangmu. Bahkan Mas Lukman sampai harus berbohong pada Ibu tentang kita."Fidelya menggamit lenganku. "Ayo, Mas. Kita segera pergi."Aku hanya mengangguk. Fidelya lalu menyetop angkutan umum. Baru kali ini lagi, aku menaiki angkutan umum. Rasanya tidak nyaman. Panas dan sesak. Karena penuh dengan penumpang.Entah ke mana Fidelya akan membawaku. Aku mengikut saja. Aku masih tidak percaya dengan kedatangannya hari ini di hadapanku. Aku juga masih tidak menyangka, bahwa Fidelya menggagalkan perjanjianku atas bantuan Lukman serta Nabila. Aku pikir, mereka tidak memiliki ilmu kebatinan seperti yang Fidelya katakan tadi.Setelah setengah jam. Fidelya meminta turun di terminal bus. Lalu Fidelya mengajakku menaiki bus antar kota.***Badanku terasa diguncang-guncang.

  • ISTRI KEDUA KU   Fidelya Masih Peduli

    "Fidelya?" Aku berucap lirih.Seakan tidak percaya. Bahwa di hadapanku saat ini adalah Fidelya. Bagaimana bisa? Tiga bulan aku sudah mengabaikannya. Aku tidak memiliki keberanian untuk mencari apalagi bertemu dengannya setelah miskin seperti sekarang.Namun, nyatanya. Saat ini Fidelya ada di sini bersamaku. Nyatanya, Fidelya yang menarik tubuhku. Serta menggagalkan rencanaku mengakhiri hidup.Aku pikir. Fidelya tidak akan pernah kembali padaku lagi.Aku kira, Fidelya sudah tidak peduli lagi. Karena marah dan kecewa atas semua yang sudah kujalani.Tapi hari ini. Fidelya yang berada di hadapanku. Fidelya membantuku untuk bangkit. Lalu memapahku menuju bangku warung kopi tadi."Mas, mau bunuh diri? Orang lain mah berdoa biar panjang umur. Ini malah pengen mati. Nggak punya otak tah, Mas?" cerca ibu pemilik warkop di dalam sana."Iya, Mas! Kalau punya masalah itu, diselesaikan. Dipikir mati bisa menyelesaikan masalah?" sambung pria lain, yang juga duduk di bangku warkop ini."Iya! Dipikir

  • ISTRI KEDUA KU   Putus Asa

    Sesuatu yang mendesak meminta dikeluarkan. Membuatku harus terbangun dari tidur. Secepatnya aku bangun dan ke kamar mandi. Selesai dengan urusan yang mendesak. Aku hendak mandi. Namun, luka di kakiku masih terasa sakit. Serta jahitan di kepalaku entah aman atau tidak jika terkena air. Mengingat ini jahitan yang dilakukan di sebuah puskesmas pelosok desa. Aku meragukan kualitasnya.Dengan malas, akhirnya aku hanya membasuh muka saja. Lantas aku keluar dari kamar mandi. Hari sudah siang rupanya. Cahaya sudah menerobos melalui jendela kamar ini.Aku berjalan menuju meja nakas. Menyalakan ponsel yang mati sejak kemarin. Setelah ponsel menyala dan kuperiksa ternyata banyak sekali pesan yang masuk.Namun, tidak ada satu pun pesan dari Fidelya. Aku menghela nafas. Apa Fidelya benar-benar tidak mau bersamaku jika aku masih berusaha meneruskan perjanjianku ini?Kenapa Fidelya tidak mau mengerti. Kalau semua ini, aku lakukan untuknya.Lalu kucoba menghubungi nomor Fidelya. Tersambung tapi tidak

  • ISTRI KEDUA KU   Di Desa Terpencil

    Aku mengerjap. Setelah mataku terbuka sempurna. Aku mendapati langit-langit bercat putih serta lampu yang menerangi.Entah dimana aku saat ini. Aku melirik ke kanan dan kiri dengan ekor mata, hanya terdapat tirai berwarna hijau. Sepertinya aku tengah berbaring di brankar pasien.Kepalaku terasa ngilu. Begitu juga dengan kaki sebelah kananku. Perlahan aku coba mengingat apa yang sudah terjadi padaku.Belum sempat aku mengingatnya. Seorang wanita berpakaian layaknya dokter datang menghampiri."Sudah sadar Pak?" tanyanya seraya tersenyum ramah.Sadar? Apa aku pingsan? Aku tak menjawab pertanyaannya."Dicek dulu ya, Pak," ujarnya lagi. Lalu memeriksa keadaanku layaknya aku orang sakit yang tengah berobat."Ini dimana?" Aku bertanya ketika wanita itu sudah selesai memeriksa."Ini di puskesmas desa, Pak," jawabnya.Keningku melipat. Puskesmas desa? Aku semakin tidak paham."Bapak dibawa kemari dengan luka parah di kepala, menyebabkan 20 jahitan. Bapak ditemukan tidak sadarkan diri di dalam

DMCA.com Protection Status