Istri Keduaku (9)
***Makan malam sudah tersaji. Aku makan bersama semua penghuni panti yang lain. Anak-anak begitu antusias, karena menu makan malam ini sedikit istimewa dari biasanya.Siang tadi, aku memberikan uang lebih untuk dapur. Sehingga malam ini, tersaji menu mewah dan banyak untuk anak-anak. Agar anak-anak tidak perlu berebutan.Anak-anak makan dengan lahap. Begitupun aku dan Fidelya. Lukman serta istrinya pun tak ketinggalan. Ibu tersenyum bahagia.Selesai makan malam, anak-anak akan dibiarkan bermain sebentar di dalam ruangan sebelum tiba waktunya mereka tidur. Aku mendorong kursi roda Ibu menuju kamarnya bersama Fidelya.Setelah sampai di kamar Ibu, aku memapahnya untuk berpindah duduk ke kasur. Karena ada aku dan Fidelya, maka malam ini, aku dan Fidelya yang menggantikan tugas Lukman dan istrinya menemani Ibu.Lukman dan Nabila sama-sama anak panti dulunya. Mereka tumbuh bersama di panti dan akhirnya mereka menikah dan mengabdikan diri ikut serta mengurus panti. Sementara anak-anak panti lain yang seumuran denganku, mereka bisa dibilang sudah sukses. Kebanyakan dari mereka sekarang tinggal di luar kota, jauh dari panti dan memiliki usaha masing-masing, sama sepertiku.Aku duduk di samping Ibu. Sedang Fidelya duduk di ujung kaki Ibu sambil memijat pelan kaki Ibu.Bertemu Ibu, aku seperti anak kecil yang manja. Aku bergelayut di lengan Ibu. Setelah satu tahun, baru malam ini aku bermanja lagi pada Ibu. Dibanding Fidelya, memang aku yang sangat dekat dengan Ibu."Bagaimana usaha kalian, Nak?" Ibu memulai pembicaraan."Alhamdulillah, Bu, sekarang sudah mulai stabil. Tidak separah satu tahun ke belakang," jawab Fidelya."Syukurlah. Kamu masih memproduksi sandal dan sepatu seperti dulu, Nak?" Ibu bertanya padaku."Iya, masih, Bu!" balasku."Malahan, Bu, produk pabrik Mas Nuka mulai dilirik pasar luar negeri, Bu!" sahut Fidelya."Oh, ya? Hebat kamu! Ibu bangga usahamu semakin maju, Nuka!" ujar Ibu."Ya, Bu, akhirnya produk pabrikku akan menyentuh pasar ekspor."Ibu mengusap kepalaku dan tersenyum. "Kamu memang hebat! Dari dulu, kamu memang pekerja keras. Kamu tidak pernah setengah hati dalam mengerjakan sesuatu. Jadi pantaslah, produk pabrikmu bisa sampai pasar ekspor."Aku mengangguk. Ibu memang selalu bangga dengan hasil kerjaku."Fi, kamu masih belum hamil, Nak?" tanya Ibu pada Fidelya.Fidelya menggeleng, masih memijat-mijat pelan kaki Ibu. "Belum, Bu."Ibu menghela nafas. "Apa kamu memakai kontrasepsi, Fi?" tanya Ibu lagi.Fidelya menggeleng cepat. "Nggak kok, Bu. Mungkin memang belum waktunya.""Apa kalian sudah memeriksa kondisi kesuburan kalian?""Sudah, Bu. Aku dan Mas Nuka tidak memiliki masalah kesuburan. Aku dan Mas Nuka sehat, Bu!" jelas Fidelya.Ibu memijit pelipisnya. "Kalau kalian sehat dan tidak memakai kontrasepsi, seharusnya kalian sudah punya anak. Kalian sudah lima tahun menikah, lho. Apa jangan-jangan kalian memang tidak mau punya anak?"Aku berdehem. "Nggak gitu, Bu. Mungkin memang belum waktunya aja aku dan Fidelya punya anak," selaku.Aku dan Fidelya memang merahasiakan hal ini. Hanya aku dan Fidelya yang tahu bahwa selama ini, Fidelya tidak kuizinkan untuk hamil. "Iya, Bu, mungkin memang belum waktunya aja," timpal Fidelya.Ibu terdengar menghela nafasnya. "Hidup kalian sudah berkecukupan. Kelak kalian memiliki anak, ekonomi kalian sudah baik. Pasti anak kalian tidak akan kekurangan. Jangan jadikan masa lalu kalian sebagai anak panti, menghalangi takdir anak yang seharusnya lahir.""Nggak ada begitu, Bu. Aku sama sekali gak menghalangi takdir anak yang kelak akan lahir," ucapku berbohong.Tebakan Ibu tadi sangat tepat. Masa laluku sebagai anak yang tidak diinginkan, memang membuatku tidak menginginkan kehadiran anak. Tapi tidak mungkin aku jujur pada Ibu dan mengatakan semuanya. Ibu pasti murka padaku."Setiap anak yang terlahir itu bersih, suci, tidak berdosa. Mereka berhak hidup dan mendapatkan kehidupan sekalipun anak itu terlahir di luar ikatan. Yang berdosa itu orangtuanya."Aku dan Fidelya terdiam, mendengar penuturan Ibu."Masa lalu kalian sebagai anak panti, seharusnya menjadi motivasi kalian untuk segera menjadi orangtua. Kalian terikat hubungan yang halal. Kalian sudah matang, baik dari usia dan ekonomi. Kalian sudah pantas menjadi orangtua. Ibu yakin, kalian mampu memberikan anak kalian kelak kehidupan yang layak. Yang orang cari dan usahakan setelah berumah tangga itu, keturunan. Jadi, jangan kalian berpikir untuk tidak memiliki anak, ya!" urai Ibu panjang lebar.Fidelya mengangguk begitupun aku.Ibu tersenyum. "Ibu selalu mendoakan kamu agar segera hamil, Fi! Kamu jangan stress dan terlalu banyak pikiran, supaya hormon kesuburan kamu stabil dan bisa cepat hamil, Nak!" Ibu mengusap lengan Fidelya."Iya, Bu." Fidelya menjawab disertai senyuman."Ya, sudah, kalian segera istirahatlah! Ibu juga mau istirahat ini," perintah Ibu.Gegas aku turun, diikuti Fidelya. Aku membantu Ibu untuk berbaring dan membenahi selimut hingga menutupi tubuh Ibu."Selamat istirahat, ya, Bu!" ucapku pada Ibu yang dibalas anggukan.Segera aku dan Fidelya keluar dari kamar Ibu. Lalu melangkah menuju kamar yang biasa aku gunakan jika berkunjung ke mari.***Dua hari sudah aku tinggal di panti. Sekarang waktunya aku pulang. Ibu mengantarku hingga halaman, dibantu Nabila yang mendorong kursi rodanya. Sebelum masuk mobil, aku menyelipkan amplop coklat pada Ibu, sebagai donasi untuk panti.Setelah berpamitan pada Ibu dan anak-anak, aku masuk ke dalam mobil. Aku sudah duduk di kursi kemudi sementara Fidelya masih bercengkrama dengan Ibu dan Nabila.Lukman keluar dari dalam panti, ia menghampiri Fidelya dan seperti memberikan sesuatu untuknya. Entah apa, aku tidak melihatnya dengan begitu jelas dari dalam mobil.Kemudian Fidelya masuk mobil dan duduk di kursi sebelahku. Aku dan Fidelya melambaikan tangan perpisahan. Lantas kulajukan mobilku meninggalkan halaman panti yang luas."Fi, Lukman ada kasih kamu sesuatu?" tanyaku di sela-sela perjalanan menuju pulang."Ada, Mas!" Fidelya lalu membuka resleting tas kecil yang dipakainya dan mengeluarkan sesuatu."Mas Lukman kasih ini, Mas! Biar aku selalu mengingat Allah dan tidak putus berzikir katanya." Fidelya menunjuk tasbih berwarna hitam mengkilap di tangannya. Tasbih pemberian Lukman. Aku hanya meliriknya sekilas."Kenapa Lukman kasih kamu itu, Fi?" tanyaku penasaran.Fidelya mengangkat bahu. "Katanya biar jauh dari gangguan jin dan sebagainya, Mas. Gak tahu, deh, Mas Lukman tumbenan kasih aku yang begini. Selama ini 'kan kalo kita berkunjung, Mas Lukman gak pernah kasih apa-apa. Kenapa ya, Mas? Tiba-tiba kasih ini?"Fidelya bingung sendiri.Aku tertawa dalam hati. Lukman dari dulu memang selalu ikut campur urusanku. Makanya aku tidak begitu menyukainya."Memang selama ini, kamu merasa ada diganggu jin, gitu, Fi?" tanyaku lagi pada Fidelya.Fidelya menggeleng. "Nggak ada, sih, Mas. Aku ngerasa gak ada gangguan apa-apa. Tapi, ya, gak papalah, aku terima aja tasbihnya, Mas! Gak enak juga kalo aku menolak!" ujarnya.Aku hanya mengangguk. Ternyata Fidelya tidak ingat sama sekali apa yang dilihatnya ketika malam itu. Benar-benar menakjubkan!Tapi aku pun tidak boleh terlalu sering memberinya air dalam botol kecil itu. Jika keseringan, Fidelya bisa gila.🌷🌷🌷Istri Keduaku (10)***"Fi, Mas haus. Mas minta tolong, belikan air minum!" pintaku pada Fidelya setelah menepikan mobil di depan minimarket."Iya, Mas!" jawab Fidelya singkat seraya turun dari mobil. Fidelya meninggalkan tas kecilnya dan hanya membawa dompet masuk ke dalam minimarket.Setelah Fidelya menghilang di balik pintu minimarket, segera aku mengambil tas Fidelya yang tergeletak di atas kursi. Kubuka resletingnya dan mencari tasbih yang tadi Lukman berikan.Aku mendapatkannya. Setelah tasbih itu di tanganku, aku meremasnya. Akan kuhancurkan benda ini. Fidelya tidak boleh memakainya."Aakhh!"Tasbih itu terlempar. Tanganku rasa tersengat panas. Aku belum berhasil menghancurkannya. Sedangkan Fidelya sudah keluar dari minimarket. Cepat aku mengambil tasbih yang terlempar ke bawah tadi dan memasukkannya kembali ke dalam tas Fidelya. Lalu meletakkan lagi tas Fidelya seperti tadi.Fidelya masuk mobil dengan dua botol air mineral dan dua minuman dingin rasa jeruk. Fidelya lantas memb
Keluar dari kamar mandi, kudapati Fidelya ternyata sudah terlelap di tempat tidur. Mungkin Fidelya lelah. Cepat aku berpakaian.Mataku lantas tertuju pada tas kecil yang tergeletak di atas sofa. Tas kecil yang berisi tasbih dari Lukman. Cepat kuambil untuk mencari tasbih berwarna hitam mengkilap itu.Hingga semua barang di dalam tas sudah aku keluarkan tapi tasbih tadi tidak ditemukan. Apa mungkin Fidelya sudah menyimpannya? Tapi dimana? Kuletakan kembali tas Fidelya di sofa.Lalu membuka setiap laci nakas. Tetap saja tasbih itu tidak kutemukan. Aku membuang nafas sejenak. Aku yakin, tasbih tadi bukan tasbih biasa. Pasti Lukman sudah membuat tasbih itu tak bisa aku sentuh. Lukman memang menyebalkan dari dulu.Aku ikut merebahkan diri di samping Fidelya dan merenggangkan otot-otot tubuh. Jam dinding di kamar ini menunjukkan pukul 2 siang. Aku pun memejam sampai akhirnya terlelap.***"Mas!" Panggilan disertai guncangan di tubuhku, meski pelan namun mampu membangunkanku. Lantas kubuka m
Aku merapikan kemeja dan mematut diri di cermin. Sambil menyugar rambut dengan tangan yang telah diberi gel, lalu menyisirnya hingga rapi. Kutatap diriku dalam cermin. Satu kata untuk diriku. Perpect!Fidelya masuk kamar lalu duduk di bibir kasur. Bayangan Fidelya memantul dari cermin tempatku berdiri saat ini. "Mas, struk belanjaan kemarin masih ada gak?""Nggak tahu, Fi. Kemarin Mas masukin ke saku celana jeans. Semalam celananya Mas taruh di keranjang cucian kotor di ruang laundry!" jelasku sambil membalikkan badan.Fidelya menggaruk pelan rambutnya."Kenapa?" tanyaku kemudian."Kemarin sore, aku yakin banget udah beli daging sapi merah. Dua pics, masing-masing 250 graman. Tapi kok gak ada, ya?"Aku memperhatikan raut wajah Fidelya yang kebingungan. "Ya, kamu lihat aja di struknya, Fi!" ujarku."Tapi pakaian di keranjang cucian udah masuk mesin cuci, Mas. Lagi Bi Marni cuci.""Ya, udahlah, Fi. Mungkin kemarin pas di supermarket kamu sempat pilih, tapi lupa masukin ke troli. Bi Mar
~Tiga Bulan Berlalu~Ting!Suara ponsel menandakan pesan masuk. Kuraih ponsel di atas meja, rupanya pemberitahuan dari m-banking. Membuat saldo di rekeningku terus menggemuk.Aku tersenyum puas tapi satu sudut hatiku ketar-ketir. Sudah tiga bulan pernikahanku dengan Anjani, tapi Fidelya masih belum hamil juga.Padahal sudah jelas-jelas Fidelya berhenti mengkonsumsi pil KB sejak tiga bulan terakhir ini. Sejak Anjani kubawa ke rumah, Fidelya sudah ku izinkan berhenti memakai kontrasepsi. Suplemen penyubur pun setiap hari Fidelya konsumsi. Entah apa yang membuat Fidelya belum menunjukkan tanda-tanda kehamilanApa mungkin aku yang bermasalah? Ah, rasanya tidak mungkin. Sekalipun aku belum pernah memeriksakan kondisi kesuburanku, tapi aku yakin baik-baik saja. Aku pria normal. Aku sehat. Hormonku bagus.Malah dua bulan ini, aku sudah mengubah jadwal. Dua minggu dengan Fidelya dan dua minggu bersama Anjani.Otomatis malamku bersama Fidelya menjadi lebih sering dari yang awalnya terjeda kar
ISTRI KEDUAKU (14)POV FIDELYA🍁🍁🍁Setelah Mas Nuka keluar dari kamar, gegas aku mengunci pintunya. Aku melangkah menuju tempat tidur dan menghempaskan bobotku.Aku duduk menekuk lutut serta bersandar pada headboard kasur berukuran king ini. Tanganku terulur pada figura yang membingkai fotoku bersama Mas Nuka di atas nakas. Kutatap foto dalam figura yang kini berada di tanganku.Foto yang diambil 5 tahun lalu. Ketika pertama kalinya menginjakkan kaki di Negeri Malaysia. Dalam foto ini, Mas Nuka menggendongku. Dan aku tersenyum lebar seraya merentangkan kedua tanganku. Foto dengan latar belakang Menara Kembar Petronas, landmark kebanggaan warga Malaysia.Kuperhatikan lekat foto ini. Lebih tepatnya memperhatikan Mas Nuka, suamiku.Aku mengusap potretnya yang juga tersenyum lebar di foto ini dengan jemariku."Aku memahami dirimu begitu dalam, Mas. Aku mengenalmu begitu jauh. Bahkan satu titik tahi lalatmu di belakang daun telinga pun, aku tahu.""Aku sangat tahu dirimu, Mas. Aku sanga
Aku menatap layar ponsel dengan gamang. Mas Lukman, sama sepertiku dan Mas Nuka. Sama-sama anak panti. Aku berteman baik dengan Mas Lukman bahkan hingga saat ini.Setelah aku dan Mas Nuka menikah. Aku langsung menempati rumah ini. Rumah yang jauh dari panti. Karena Mas Nuka sudah menjadi orang sukses.Berbeda denganku. Mas Nuka dari dulu tidak menyukai sosok Mas Lukman. Mas Nuka selalu mengatakan kalau Mas Lukman adalah lelaki kolot dan sok suci. Entah apa yang membuat Mas Nuka tidak suka pada Mas Lukman. Tapi Mas Nuka tidak pernah terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya. Mas Nuka pandai menutupi rasa tidak sukanya itu. Ya, pandai bersandiwara.Kuletakan kembali ponsel di atas nakas. Kini tanganku beralih pada laci nakas dan membukanya. Kuambil botol kecil berwarna coklat. Botol berisi suplemen yang selalu dibelikan Mas Nuka jika sudah habis.Aku membolak-balik botol itu. Sudut bibirku terangkat. Mungkin Mas Nuka pikir, aku senang dia selalu membelikan suplemen ini? Dia tidak sad
POV FIDELYA❤️❤️❤️Setelah lima tahun menikah dan setelah kedatangan Anjani di rumah ini. Tiba-tiba saja Mas Nuka mengizinkan aku untuk hamil.Wow. Amazing. Apa yang sudah Anjani lakukan dan berikan sehingga bisa membuat seorang Mas Nuka berubah pikiran?Mas Nuka bukan orang yang tanpa pendirian. Masa lalunya sebagai anak yang tidak diinginkan, menjadikan dendam yang mendarah daging bagi Mas Nuka."Mas mencintaimu, Fi! Tapi Mas tidak menginginkan anak dari pernikahan kita ini, Fi. Apa kamu bersedia menuruti, jika Mas meminta kamu untuk memakai kontrasepsi dan tidak mengizinkanmu untuk hamil?"Aku masih ingat kata-kata itu. Selalu ingat. Kata-kata yang Mas Nuka ucapkan saat malam pertama pernikahan lima tahun yang lalu. Saat aku akan memberikan seutuhnya jiwa dan raga pada Mas Nuka. Saat itu pula Mas Nuka sudah mempersiapkan kontrasepsi untukku juga dirinya."Ke—ken—pa, Mas? Kenapa aku tidak boleh menjalani kodratku untuk hamil, Mas?" Aku bertanya ragu malam itu.Mas Nuka mendengkus. D
POV FIDELYA❤️❤️❤️Aku termenung. Berpikir sejenak. Setiap kamar di rumah ini dipasang alat peredam suara. Andai aku menempelkan telinga di pintu kamar Anjani. Mustahil bisa mendengar suara dari balik pintu ini.Aku menengadah. Tidak ada celah sedikit pun. Pintu kamar Anjani tertutup rapat. Kamar yang ditempati Anjani tidak dipasang jendela. Susah untuk mencari petunjuk.Akhirnya kuputuskan kembali ke kamarku. Mondar-mandir di dalam kamar. Sia-sia rasanya aku terjaga hingga tengah malam begini. Tapi tidak mendapat petunjuk sedikit pun. Ayolah, Fidelya! Come on! Berpikirlah! Apa yang bisa dilakukan malam ini?"Aarghh!" Aku mengacak rambutku kesal. Lantas beranjak naik ke tempat tidur dan merebahkan tubuh.Buntu. Otakku tidak bisa berpikir apa-apa. Aku memukuli jidat dengan kepalan tanganku. Aku memejam. Apa aku harus nekat? Agar bisa menyelinap ke kamar Anjani tanpa ketahuan Mas Nuka?Malam ini kuputuskan tidur. Besok biar kucoba cara lain.***Aku menyiapkan piring sarapan seperti bia
POV Author*Enam bulan berlalu …•••••Enam bulan sudah Nuka dan Fidelya tinggal di desa. Mereka mampu beradaptasi, baik dengan lingkungan maupun warga sekitar dengan sangat baik.Setelah enam bulan, Nuka Dan Fidelya sudah mengenal dan mulai berbaur dengan warga lain yang menjadi tetangganya. Berbeda sekali dengan kehidupan saat di kota.Tinggal di komplek perumahan elite, yang rata-rata penghuninya jarang sekali ada di rumah. Membuat Nuka dan Fidelya tidak begitu mengenali tetangganya dulu.Hari ini, akan diadakan acara di masjid besar desa mereka. Para wanita bersama-sama memasak di dapur umum. Memasak makanan yang akan di makan secara bersama-sama nanti malam. Sedangkan para pria, bertugas menyiapkan bahan yang akan dimasak oleh para wanita dan sebagian lagi membuat dodol di halaman depan masjid."Neng Fifi, kamu sakit? Kelihatannya pucat begitu?" tanya Teh Lilis kepada Fidelya.Teh Lilis yang yang tengah mengiris-iris bawang merah, merasa bahwa Fidelya sepertinya sedang tidak se
POV Author.*************Nuka dan Fidelya turun di terminal bus. Setelah lima jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di terminal bus terakhir menjelang sore hari. Mereka turun dari bus hanya membawa tas berisi pakaian yang dijinjing oleh Nuka. Setelah turun dari bus, Nuka beserta Fidelya berjalan menjauh dari area terminal.Mereka menyebrang jalan, kurang lebih dua puluh menit mereka tiba di pangkalan ojek. Kemudian menaiki ojek agar sampai di desa yang akan menjadi tempat baru bagi mereka. Desa yang belum padat penduduk. Sesuai dengan arahan A Azmi.Ibarat kata, Nuka saat ini sudah belangsak. Sudah benar-benar miskin. Tidak punya apa-apa lagi. Harta dan jabatan yang dulu begitu dia bangga-banggakan, untuk sekarang, semua itu tidak bisa menolongnya. Semuanya lenyap. Semuanya hanya semu. Nuka telah tertipu rayuan dan hasutan ibl*s terkut*k.Beruntung, Fidelya ada membersamai Nuka. Dalam kondisi seburuk apapun. Di situasi tersulit sekalipun. Fidelya akan selalu pasang badan untuk suami
POV NUKA***********Saat aku memasrahkan hatiku menerima semuanya. Rasa panas yang sedari tadi menjalar, perlahan sirna. Berganti menjadi rasa perih. Seperti goresan luka yang sengaja ditabur garam. Perih tak terkira.Tubuhku menjadi lemas dan rasanya aku pun tidak sanggup menahan tubuhku sendiri. Aku terkulai. Tidak kuat menahan berat badanku. Tubuhku terasa merosot dengan sendirinya. Aku bisa merasakan tubuhku luruh perlahan ke dalam sungai dan terbaring. Namun, anehnya. Aku tidak merasakan air sungai yang tadi begitu dingin, pada kulitku saat ini. Aku justru merasakan perih di seluruh kulitku.Ah entahlah. Aku sudah tidak mau berpikir lagi. Aku serahkan semuanya pada Sang Pemilik Kehidupan. Apa pun yang terjadi, aku siap menerimanya. Pun dengan Fidelya yang akan tetap menerimaku.Aku merasakan bahuku ditarik untuk bangkit. Kubuka mata. Benar saja, tubuhku kini sudah terduduk di dasar sungai. A Azmi berada di samping, memegangi bahuku. Serta Lukman berada di ujung kakiku. Pakaian m
POV NUKA*************"FIDELYAAAA!" Aku berlari. Tubuhku membeku seraya menatap aliran air yang deras di bawah sana."Apa yang kamu lakukan, Fi?" teriakku pada suara gemuruh air yang mengalir.Tanpa berpikir lagi. Aku bersiap untuk menyusul Fidelya di bawah sana."NUKAAA!" Teriakan seseorang menghentikan gerakanku yang sudas siap untuk terjun.Dari arah padepokan, nampak A Azmi berlari mendekat ke arahku. "Mau apa kamu?!!" sentaknya, serta merta menarik tanganku. Hingga aku menjauh dari tepian jembatan gantung."Istriku, A! Istriku. Fidelya menceburkan diri ke bawah sana. Aku mau menolongnya, A! Aku harus cepat sebelum Fidelya terbawa aliran sungai lebih jauh!" jawabku panik.Raut wajah A Azmi seperti kebingungan. "Fidelya menceburkan diri? Fidelya tinggal di padepokan perempuan, di belakang sana, Nuka!"Aku menggeleng. "Tapi aku melihatnya sendiri, A! Aku melihatnya dengan jelas, Fidelya melompat ke bawah sana!" ucapku dengan meninggikan suara.PLAKK!Aku memegangi pipi yang ditampa
POV NUKA***********Aku berdiri di atas sajadah. Memulai salat taubatku.Baru selesai takbiratul ihram. Angin kencang menerpa tubuhku. Angin yang masuk melalui jendela rumah ini begitu kencang hingga menggoyahkan kedua kakiku.Aku merasa tidak kuat. Dengan terpaan angin yang seperti badai ini. Rasanya, aku akan menghentikan saja salatku ini.BRUKKKH!Darah segar muncrat dari dalam mulutku. Bersamaan dengan terpentalnya tubuhku membentur pintu kayu rumah ini. Dadaku terasa didorong begitu kuat saat tengah salat tadi."MAS!" pekik Fidelya, berlari mendekat padaku. Begitu juga Lukman dan A Azmi yang panik. Lukman membersihkan darah yang mengotori alas rumah ini yang dari papan kayu."Mas kamu baik-baik saja 'kan, Mas?" Fidelya bertanya khawatir. Aku bisa melihat matanya yang berkaca-kaca. Aku tak mampu menjawab. Kupegangi kuat-kuat dada yang terasa sesak. "Bagaimana ini A?" Fidelya bertanya pada A Azmi. Nada suaranya terdengar begitu cemas. Namun tangannya kini sibuk membersihkan sisa
POV NUKA**********"Kenapa, Mas?" Fidelya bertanya heran."Apa Ibu tahu perbuatanku, Fi?"Fidelya menghela nafasnya lalu menggeleng. "Nggak, Mas. Tapi kata Mas Lukman, Ibu ingin sekali bertemu kamu. Ibu merasakan firasat buruk tentangmu. Bahkan Mas Lukman sampai harus berbohong pada Ibu tentang kita."Fidelya menggamit lenganku. "Ayo, Mas. Kita segera pergi."Aku hanya mengangguk. Fidelya lalu menyetop angkutan umum. Baru kali ini lagi, aku menaiki angkutan umum. Rasanya tidak nyaman. Panas dan sesak. Karena penuh dengan penumpang.Entah ke mana Fidelya akan membawaku. Aku mengikut saja. Aku masih tidak percaya dengan kedatangannya hari ini di hadapanku. Aku juga masih tidak menyangka, bahwa Fidelya menggagalkan perjanjianku atas bantuan Lukman serta Nabila. Aku pikir, mereka tidak memiliki ilmu kebatinan seperti yang Fidelya katakan tadi.Setelah setengah jam. Fidelya meminta turun di terminal bus. Lalu Fidelya mengajakku menaiki bus antar kota.***Badanku terasa diguncang-guncang.
"Fidelya?" Aku berucap lirih.Seakan tidak percaya. Bahwa di hadapanku saat ini adalah Fidelya. Bagaimana bisa? Tiga bulan aku sudah mengabaikannya. Aku tidak memiliki keberanian untuk mencari apalagi bertemu dengannya setelah miskin seperti sekarang.Namun, nyatanya. Saat ini Fidelya ada di sini bersamaku. Nyatanya, Fidelya yang menarik tubuhku. Serta menggagalkan rencanaku mengakhiri hidup.Aku pikir. Fidelya tidak akan pernah kembali padaku lagi.Aku kira, Fidelya sudah tidak peduli lagi. Karena marah dan kecewa atas semua yang sudah kujalani.Tapi hari ini. Fidelya yang berada di hadapanku. Fidelya membantuku untuk bangkit. Lalu memapahku menuju bangku warung kopi tadi."Mas, mau bunuh diri? Orang lain mah berdoa biar panjang umur. Ini malah pengen mati. Nggak punya otak tah, Mas?" cerca ibu pemilik warkop di dalam sana."Iya, Mas! Kalau punya masalah itu, diselesaikan. Dipikir mati bisa menyelesaikan masalah?" sambung pria lain, yang juga duduk di bangku warkop ini."Iya! Dipikir
Sesuatu yang mendesak meminta dikeluarkan. Membuatku harus terbangun dari tidur. Secepatnya aku bangun dan ke kamar mandi. Selesai dengan urusan yang mendesak. Aku hendak mandi. Namun, luka di kakiku masih terasa sakit. Serta jahitan di kepalaku entah aman atau tidak jika terkena air. Mengingat ini jahitan yang dilakukan di sebuah puskesmas pelosok desa. Aku meragukan kualitasnya.Dengan malas, akhirnya aku hanya membasuh muka saja. Lantas aku keluar dari kamar mandi. Hari sudah siang rupanya. Cahaya sudah menerobos melalui jendela kamar ini.Aku berjalan menuju meja nakas. Menyalakan ponsel yang mati sejak kemarin. Setelah ponsel menyala dan kuperiksa ternyata banyak sekali pesan yang masuk.Namun, tidak ada satu pun pesan dari Fidelya. Aku menghela nafas. Apa Fidelya benar-benar tidak mau bersamaku jika aku masih berusaha meneruskan perjanjianku ini?Kenapa Fidelya tidak mau mengerti. Kalau semua ini, aku lakukan untuknya.Lalu kucoba menghubungi nomor Fidelya. Tersambung tapi tidak
Aku mengerjap. Setelah mataku terbuka sempurna. Aku mendapati langit-langit bercat putih serta lampu yang menerangi.Entah dimana aku saat ini. Aku melirik ke kanan dan kiri dengan ekor mata, hanya terdapat tirai berwarna hijau. Sepertinya aku tengah berbaring di brankar pasien.Kepalaku terasa ngilu. Begitu juga dengan kaki sebelah kananku. Perlahan aku coba mengingat apa yang sudah terjadi padaku.Belum sempat aku mengingatnya. Seorang wanita berpakaian layaknya dokter datang menghampiri."Sudah sadar Pak?" tanyanya seraya tersenyum ramah.Sadar? Apa aku pingsan? Aku tak menjawab pertanyaannya."Dicek dulu ya, Pak," ujarnya lagi. Lalu memeriksa keadaanku layaknya aku orang sakit yang tengah berobat."Ini dimana?" Aku bertanya ketika wanita itu sudah selesai memeriksa."Ini di puskesmas desa, Pak," jawabnya.Keningku melipat. Puskesmas desa? Aku semakin tidak paham."Bapak dibawa kemari dengan luka parah di kepala, menyebabkan 20 jahitan. Bapak ditemukan tidak sadarkan diri di dalam