(Ada gak mantan istri jadi valak? Adaaa… baru juga mantan suami mau bahagia, eh si mantan istri berulah. Cari laki lain kenapa buukk? Udah lima tahun belum move on juga.)
Status F******k Tania lewat di berandaku. Sepupu Mas Nabil yang satu ini memang terkenal nyinyir. Bukan kali ini statusnya yang menyindirku dia bagikan di sosial media. Aku diam sesaat, berusaha menenangkan diri. Sebetulnya lebih mudah kalau dia diblokir saja, tapi kok kesannya aku menghindar. Itu sungguh bukan aku.
Kucari nomor W* Tania dari daftar kontak. Lalu kukirim pesan W* untuknya.
(Bisa ketemu?)
Lima menit, sepuluh menit. Setengah jam kemudian pesanku baru dibalasnya padahal sudah centang biru sejak tadi.
(Mau apa? Kita sudah gak ada hubungan apa apa sejak kamu bercerai dengan Mas Nabil.)
Aku mengerucutkan bibir.
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU 14B Sampai di rumah, ternyata kejutan lain sudah menanti. Mas Nabil duduk menunggu di ruang tamu sementara Tiara sedang setor hafalan. Aku teringat belum mencari TPA yang baru untuk Tiara. Kutatap Tiara dan Mas Nabil yang duduk berdekatan. Mereka tampak akrab. Selama ini memang Tiara nyaris tak merasakan pedihnya perpisahan karena kami seringkali bertemu dan berkumpul di rumah Mama. "Ada apa? Bukankah biasanya kau tak suka bertemu denganku sehingga aku harus keluar dari rumah Mama seperti kuman." Ujarku langsung begitu tubuh Tiara lenyap di balik pintu kamarnya. Mas Nabil menghela nafas panjang. "Vi, apa kau yakin itu Meisya?" Dia balik bertanya. "Bukankah aku sudah memberikanmu bukti yang cukup. Mau percaya atau tidak itu urusanmu." Mas Nabil mendesah, lalu meraih gelas kopi di hadapannya. "Aku… a
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (15A)"Vi, ini apa maksudnya? Kok Bik Rum gak mau Mama kasih gaji?" Tanya Mama pagi itu melalui sambungan telepon. Aku baru saja selesai sarapan dan mengantar Tiara sampai menaiki mobil jemputan sekolahnya ketika telepon Mama masuk. Kuletakkan lagi tas kerjaku di atas meja ruang tamu."Emm, maaf Ma. Bik Rum sudah Vivi bayar gajinya selama satu tahun ke depan." Ujarku pelan."Loh kok gitu? Bik Rum kan kerja untuk Mama, kok kamu yang bayar?""Ma, Vivi minta maaf kalau lancang, tapi aku ingin sekali melakukan sesuatu untuk Mama. Aku sudah tak bisa lagi menemani Mama di rumah. Jadi lewat Bik Rum, aku titipkan kasih sayangku pada Mama. Mohon Mama jangan menolak."Aku menggigit bibir. Selama tiga puluh tahun usiaku, aku tidak diajarkan untuk meminta maaf dan merendahkan diri di hadapan orang lain. Tapi di hadapan Mama, entah mengapa rasanya semua mengalir begitu saja. Tak terdengar jawaban
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (15B)Aku meluruskan pinggang yang terasa penat. Nyaris setengah hari berkutat dengan angka angka rencana gathering kantor membuat kepalaku sedikit berdenyut. Kulirik jam, sudah lewat waktunya makan siang.Ponselku bergetar. Jantungku berdebar kencang mendapati nama Mbak Anik yang menghubungiku. Mbak Anik nyaris tidak pernah meneleponku. Dia tahu kalau aku sibuk dan tidak suka menerima telepon kalau bukan untuk sesuatu yang urgent."Halo? Mbak Anik?""Non, ini kenapa Tiara belum pulang ya? Biasanya jam segini kan sudah di rumah. Mbak tadi lihat mobil jemputan sekolah juga sudah lewat."Aku terkejut mendengarnya. Suara panik Mbak Anik diseberang sana membuatku semakin resah."Apa Tiara sama Non sekarang?""Gak Mbak. Gak ada." "Waduh kemana ya Non. Mbak cari kemana ini?"Aku langsung menutup ponsel dan mengubungi pihak sekolah. Seharusnya sekolah tahu bahwa selain orangtua,
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (16A)Cinta, bisa membuatmu melakukan apa saja. Cinta, bisa merubahmu dari yang biasa menjadi tak biasa.Cinta, bisa memalingkan duniamu hingga terasa berhenti berputar walau sesaat.Dan cinta, menjadi alasan terbesar setiap manusia bertahan dari ketiadaan.___Mobil Mas Nabil memasuki halaman parkir kantornya tiga puluh menit kemudian. Cukup lama sehingga membuatku nyaris saja berteriak kesal kalau tidak ingat ini di tempat umum. Tatapan mata para karyawan yang heran melihatku ada di sini saja sudah cukup membuatku meredam segala emosi, meski rasanya menyesakkan. "Mama!" Tiara sudah berteriak begitu melihatku. Dia turun dari mobil dan berlari menghampiri. Kupeluk dia erat erat sebelum menyuruhnya duduk di sofa. Pakaian seragamnya sudah diganti oleh setelan celana jeans dan kaus putih lengan panjang yang tampak baru. Di belakang mereka, Mas Nabil dan Meisya berjalan mengikuti.
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (16B)(Tiara sudah ketemu Vi?)Pesan WA Pak Adrian masuk ketika aku baru sampai rumah. Pesan dari Yuri juga masuk beruntun dan semuanya belum sempat kubalas. Kusuruh Tiara langsung mandi dan istirahat. Sepertinya hari ini aku harus memintakan izin dari TPA untuk tidak mengaji."Ya Allah Non. Mbak takut banget."Mbak Anik langsung memeluk Tiara. Dirangkumnya wajah mungil anakku dengan kedua tangannya."Sudah gak apa apa Mbak. Tolong ajak Tiara bersih bersih ya. Dia lelah sekali."Mbak Anik mengangguk dan langsung membawa Tiara ke kamar. Aku duduk dengan perasaan lelah. Kutatap lagi layar ponsel dalam genggaman.(Sudah Pak. Terimakasih.)(Kau tak perlu balik ke kantor. Kalau perlu, ambillah cuti sebanyak yang kau butuhkan.)Balasan Pak Adrian masuk seketika itu juga. Aku memejamkan mata. Di saat seperti ini, terkadang aku merasa rapuh dan butuh orang lain untuk menguatk
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (17A)"Ini Mama beneran beliin aku hape?!" Tiara menatap kotak ponsel di tangannya dengan mata berbinar. Dia sudah lama berhenti merengek meminta ponsel setelah menemukan keasyikan ketika menggambar. Jadi sebagai gantinya aku memberinya kertas dan alat untuk menunjang hobi barunya itu. Kebanyakan yang dibuat Tiara adalah tokoh tokoh kartun dengan wajah khas Jepang. "Aku pengen bikin komik!" Serunya riang waktu itu. Aku tersenyum melihat antusiasmenya. Dia boleh jadi apa saja, aku tak akan membatasi kreativitasnya."Boleh kan aku jadi penulis komik? Atau arsitek? Atau, emm... tukang bikin baju?" Tanyanya polos. Dia belum tahu istilah designer. "Tentu saja boleh. Apa saja yang membuat Tiara bahagia." ---"Mama!" Aku tersadar. Tiara menunjukkan kotak ponsel di tangannya."Tentu saja beneran. Ya udah kalo gak mau Mama ambil lagi deh.""Eh, jangan." Tiar
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (17B)"Tiara akan datang bersamaku. Suruh Mas Nabil fokus saja pada ijab kabulnya." Ujarku pada Tania ketika pagi pagi sekali dia datang untuk menjemput Tiara."Tapi Mas Nabil pesan untuk membawa Tiara pagi ini juga Vi.""Bilang padanya, pernikahannya tidak akan gagal hanya karena Tiara terlambat datang. Lagipula kalian tahu, aku tidak akan terlambat."Tania mendesah. Empat tahun menjadi ipar tentu dia tahu betapa keras kepalanya aku. "Baiklah. Tolong bantu jelaskan pada Mas Nabil ya.""Tenang saja. Saat ini yang paling dia butuhkan adalah calon pengantin dan penghulu."Tania tertawa kecil. Sejak insiden tas itu, dia sudah tak lagi membuat status yang berkaitan denganku. Uang memang seberkuasa itu. "Jam sembilan Vi." Ujarnya sebelum naik ke dalam mobil.Aku mengangguk, lalu melangkah ke dalam. Di ruang tengah, anakku sudah berdandan cantik dengan gaun berwarna
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (18)If you're not the one then why does my soul feel glad today?If you're not the one then why does my hand fit yours this way?If you are not mine then why does your heart return to my call?If you are not mine would i have the strength to stand at all?I'll never know what the future bringsBut i know you're here with me knowWe'll make it through And i hope you're the one i share my life with… *Perlahan lahan, wajahku terasa hangat mendengar lagu yang disetel Pak Adrian dalam perjalanan menuju gedung tempat acara pernikahan Mas Nabil berlangsung. Lagu itu mengalun syahdu dalam mobil Honda HRV keluaran terbaru warna putih dengan interior yang elegan. Menyadari artinya, dan lelaki yang kini memegang kemudi dengan raut wajah tenang, lelaki yang sudah dua tahun ini tak lelah memberiku perhatian, dadaku langsung berdesir."Om Rian, siapa saja nama kucing Om?" Suara Tiara yang duduk di b
DIA BUKAN IBUKU 30 (ENDING)Aku menatap tubuh beku Om Gilang untuk terakhir kalinya sebelum dibawa dengan ambulans. Nenek memutuskan memakamkan Om Gilang di tanah makam keluarga. Bagaimanapun dia telah dianggap anak oleh Nenek. Sungguh miris, sementara makan Mama Meisya berada jauh di pemakaman umum."Kita akan memindahkan makam Mamamu kesini." Ujar Nenek setelah pemakaman Om Gilang selesai. Tak ada yang hadir, hanya kami, pelayan dan satpam yang mengenal Om Gilang. Baru kali inilah aku menyaksikan pemakaman tanpa air mata dan sedu sedan.Aku menggeleng."Tidak Nek, jangan. Makam Mama dan Papa berdampingan. Mereka sudah bahagia di alam sana, biarkan saja seperti itu. Aku telah meminta penjaga untuk merawat makam Mama dan Papa secara khusus."Nenek mengangguk sambil memegang tanganku."Baiklah jika itu keinginanmu Naura. Nenek akan mengikuti semua saranmu. Kau telah dewasa. Zaman Nenek tinggal dan dibesarkan tentu jauh berbeda dengan zaman ini."Aku tersenyum dan menuntun Nenek meningg
DIA BUKAN IBUKU 29PoV GILANG"Gi, apa kau sudah gila? Naura itu anakku!"Wajah Meisya terlihat sedih. Aku tercenung menatapnya. Dia tampak tak bahagia mengetahui semua yang kulakukan untuknya."Tapi dia mengkhianatimu Mei. Dia hidup bersama musuhmu, Vivian. Dia bahkan terlihat sangat mencintai perempuan itu."Meisya menggeleng."Kau tak mengerti Gi. Aku memang menitipkan Naura pada Vivian. Hanya Vivian yang mau dan bisa merawat Naura, mencintainya dengan tulus seperti anaknya sendiri.""Aku tak percaya itu keinginanmu.""Gi, tolong terima saja kenyataan, bahwa kita sudah berpisah. Bukan hanya jarak, tapi juga ruang dan waktu. Hati kita bahkan telah terpisah lama. Lupakan aku dan hiduplah dengan baik."Aku menggeleng. "Aku ingin bersamamu Mei."Meisya tersenyum. Dua dekikan dalam di pipinya terlihat dengan jelas dan aku tak pernah tak terpesona melihatnya."Aku menyayangimu sebagai sahabat dan saudara. Tak lebih. Kuharap kau berhenti menyakiti Naura dan juga Mama."Meisya berbalik, k
DIA BUKAN IBUKU 28Ibu Ismi, Ibunya Lisa akhirnya dibawa ke rumah sakit setelah diberi pertolongan pertama. Nenek berpesan kepada dokter Inka untuk melakukan apa saja yang sekiranya bisa menyelamatkan nyawa tanpa perlu memikirkan biaya. Arsen dan Adit yang mengantar ke rumah sakit sekaligus menyelesaikan administrasi. Mama melarangku ikut ke rumah sakit. Saat ini keselamatanku adalah prioritas bagi semua orang."Jenazah Lisa baru selesai diotopsi. Dia jelas mati karena cekikan sehingga tak ada oksigen yang masuk." Jelas Om Alfian. Aku terdiam, membiarkan Mama menggenggam tanganku yang terasa dingin. Mengapa setelah bertemu Nenek hidupku berubah bak sinetron? Kulihat Nenek terpekur di kursinya. Beliau sudah pulih dan mulai bisa berjalan meski masih terlihat sulit. Menurut dokter, Nenek selama bertahun-tahun minum obat yang melemahkan syaraf dan otot kakinya. Obat itu diberikan oleh Lisa atas perintah Om Gilang agar mudah mengendalikan Nenek. Sungguh, mereka benar-benar manusia biad*b.
DIA BUKAN IBUKU 27POV GILANGLisa terjatuh kembali ke atas kasur akibat kerasnya tamparanku. Ada darah mengalir dari sudut bibirnya yang pecah. Suaranya yang merengek dan berisik itu sungguh-sungguh membuatku kesal."Tuan, anda jahat sekali." Ujarnya sambil menyeka bibirnya. "Berhenti bicara jika kusuruh berhenti. Suaramu membuatku tak bisa berpikir.""Aku hanya mengkhawatirkan Ibuku.""Naura tidak mungkin mencelakainya. Dia anak yang baik.""Jangan terlalu yakin Tuan. Bukankah dia anak Meisya? Dia punya sifat kejam yang sama dengan Meisya. Aku yakin."Aku terkejut mendengar kata-katanya. Di satu sisi, aku mengakui bahwa apa yang Lisa katakan benar. Tapi di sisi lain, ada rasa tak terima mendengar orang lain mengatakan hal buruk tentang orang yang kucintai."Meisya, si jal*ng itu, yang suka mengobral tubuhnya pada lelaki lain hingga tertular HIV. Bukankah dia terlibat banyak kejahatan sebelum mati? Dia juga tega melaporkan Sofyan ke…"PLAK!"Jangan lancang Lisa! Berhenti mengatakan
DIA BUKAN IBUKU 26Kamarku tak berubah, tetap rapi dan bersih seperti biasa saat aku masih tinggal di sini. Puluhan buku koleksiku berjajar rapi di rak kecil yang terbuat dari kayu dan menempel di dinding. Itu adalah buku-buku favorite yang kujaga sepenuh hati sementara buku lainnya bergabung di perpustakaan keluarga yang berada di sudut lantai atas ini. Aku merebahkan diri di atas kasur, memandang seisi kamar. Seandainya tidak ingat bahwa Om Gilang dan Lisa sedang mengincarku, tentu aku akan merasakan hidupku kembali normal disini. Tapi kenyataan itu pupus begitu aku ingat, Nenek dan Ibu Lisa berada di kamar lain, menanti kepastian untuk kembali.Aku mendesah, rasanya nyaman sekali tidur bergelung di kamarku sendiri. Kamar yang sudah kutempati selama lebih dari dua puluh tahun. Aku ingin terus berada disini. "Naura?"Mama melongokkan kepala dari celah pintu yang sedikit terbuka. Aku menoleh, dan bangun dari kasur. Mama, di usianya yang sudah melewati lima puluh tahun, tetap energik
DIA BUKAN IBUKU 25Aku tiba di rumah sakit dan terkejut mendapati banyak orang berkumpul di ruang rawat Nenek. Mama, Tante Ria, si kembar Adit dan Arsen, juga Alesha. Langkah kakiku terhenti melihat mereka semua menatapku. Yang pertama kali berlari menghampiriku adalah Alesha, yang langsung menubruk tubuhku sambil menangis."Kakak…"Aku tertegun, mataku langsung terasa panas menatap orang-orang terkasih yang selama ini kurindukan setengah mati. Padahal belum sebulan aku berada di rumah Nenek, rasanya sudah seabad lamanya aku tak bertemu dengan mereka.Perlahan, kuangkat tanganku, balas memeluk adik bungsuku yang mungil itu. Isaknya makin keras. Dipeluknya aku erat-erat."Maafkan aku Kak. Tolong maafkan aku."Aku mengusap kepalanya yang tertutup jilbab merah muda. Bagaimana mungkin aku tak memaafkannya? Setelah agak lama, isakannya terhenti. Kuurai pelukan Alesha, menatap mata bening yang terlihat sembab itu."Jangan minta maaf terus. Kau tidak salah apa-apa."Alesha justru terisak lag
DIA BUKAN IBUKU 24"Nauraaaa!"Jantungku langsung terasa merosot ke dasar perut. Aku nyaris berlari menuruni tangga, lalu teringat bahwa di bawah ada Lisa yang bisa melakukan apa saja untuk mencelakaiku. Rasanya aku tak bisa lagi membiarkan dua ular ini untuk tinggal di sini lebih lama. Aku akan cepat kena serangan jantung karena mereka. Jadi aku menuruni tangga dengan hati-hati meski rasanya tak sabar untuk segera tiba di kamar nenek."Hati-hati Naura." Janeeta berjalan lebih cepat mendahuluiku. Dia tiba di kamar Nenek lebih dulu, dan ketika tiba disana, aku terkejut melihat pemandangan itu. Nenek jatuh telentang di atas lantai, kepala bagian belakangnya sepertinya membentur lantai dengan keras. Sementara itu, kamar Nenek seperti habis terkena badai. Lemari dan laci laci terbuka dan isinya berhamburan di lantai."Ya Allah Nenek!"Aku memburu tubuh Nenek dan mencoba mengangkatnya. "Jangan Naura. Biarkan dulu. Aku khawatir Nenek kena stroke. Kita tak boleh merubah posisinya sampai per
DIA BUKAN IBUKU#23Aku menerima surat alih adopsi itu dengan hati perih. Terbayang Mama menangis sambil menandatanganinya. Tentu mereka akan menilaiku sebagai anak yang tak tahu diri. Aku tumbuh sehat hingga sebesar ini berkat air susu Mama. Dan betapa rajinnya Mama membawaku check up, memastikan aku minum obat dan vitamin setiap hari. Aku mendesah. Biarlah, suatu saat, mereka akan tahu bahwa aku melakukan ini semua untuk mereka. Jika aku masih tinggal bersama mereka, Om Gilang akan melakukan berbagai cara agar aku datang dengan sukarela. Tidak. Itu tak boleh terjadi. Cukup Papa saja yang hingga kini belum sepenuhnya pulih."Mamamu berpesan, meski secara hukum kau bukan lagi anaknya, kau tetap anak dan keluarga yang mereka kasihi. Kau bisa pulang kapan saja Naura."Aku mengangkat kepalaku yang sejak tadi tertunduk, menyembunyikan air mata yang nyaris meluncur dari Om Alfian."Terimakasih Om. Aku titip Papa, Mama dan adik adikku." Aku tak dapat menahan suaraku yang bergetar.Om Alfian
DIA BUKAN IBUKU 22"Pagi Nona Naura."Sapa Janeeta di meja makan. Aku tersenyum, menarik kursi makan di depanku. Pagi ini aku mengumpulkan pelayan di rumah Nenek di ruang makan merangkap dapur yang amat luas ini. Sementara Nenek ditemani Om Gilang dan seorang sopir serta pelayan sedang check up ke rumah sakit. Nenek melarangku ikut karena katanya tak boleh meninggalkan rumah tanpa seorangpun pemilik rumah. Agak aneh sebetulnya mengingat selama ini Nenek sendirian, hanya dikelilingi orang-orang asing yang tak punya hubungan dengannya."Pagi Jani, pagi semuanya."Mereka menyahut serempak. Dari sudut mata kulihat Janeeta mengedip mendengarku memanggilnya Jani."Saya hendak menyampaikan apa yang telah disepakati oleh saya dan Nenek. Karena Nenek sakit dan saya adalah satu satunya ahli waris, mulai hari ini, saya yang akan memegang kendali atas rumah ini."Gumaman terdengar dari mulut mereka. Aku menatap Lisa melalui sudut mata, mendapati wajahnya yang tampak tak enak dipandang."Pertama,