Home / Romansa / IMAM UNTUK NIRMALA / 1. HANYA SEBAGAI TAMENG

Share

IMAM UNTUK NIRMALA
IMAM UNTUK NIRMALA
Author: Faziharin

1. HANYA SEBAGAI TAMENG

Author: Faziharin
last update Last Updated: 2021-06-07 15:18:24

“Nirmala,…..”

Teriakan seorang gadis berambut panjang memenuhi ruangan kost yang dari tadi sunyi. Gadis itu berteriak memanggil teman sekamarnya yang masih saja sibuk mendengarkan program kesukaan dari frekwensi radio kesayangannya. Cewek imut berambut panjang itu menatap Nirmala dengan tatapan jengkel di depan pintu kamar kost. Wajahnya yang biasa ramah dan lembut sekarang menatap dengan garang. Tidak seperti biasanya.

Lusi, begitu akrabnya dia dipanggil. Seorang gadis yang sangat penyabar, baik hati, dan selalu bertindak dengan penuh pertimbangan yang matang. Beda banget dengan Nirmala yang kadang selalu bertindak gegabah  tanpa memikirkan dampak dari perbuatan itu. Selama enam bulan mengenalnya, tinggal di bawah atap yang sama, begitu banyak hal yang bisa dipelajari darinya.

Nirmala kembali mengingat-ingat awal pertemuannya dengan Lusi.

Beberapa bulan lalu...

Siang itu, di aula kampus, Nirmala bersama  lima orang teman dari jurusannya sudah mengambil posisi duduk di barisan shaf paling depan untuk melaksanakan shalat Dzuhur berjamaah. Nirmala duduk di tengah-tengah. Mereka berlima berteman cukup akrab. Kemana-mana selalu bersama. Tidak hanya di dalam  perkuliahan mereka duduk berdekatan, di luar pun mereka selalu bersama.

“Mala, liat tuh, Bima masuk. ” temannya yang bernama Via berbisik di telinga Nirmala.

“Ehem" semua teman-teman jurusannya yang kebetulan duduk tidak jauh dari Mala serentak menjadi ribut saat melihat sosok yang bernama Bima itu memasuki aula dan mengambil posisi duduk di shaf paling belakang. Persis di depan Nirmala.

“Mulai lagi deh, ” gerutu Nirmala dengan kesal dan rasa malu.

“Cek dulu lah denyut jantungnya. Mana tau sekarang dah copot tuh. Pujaan hati kan berada di depan mata.” Lagi-lagi Via menggoda Nirmala.

“Kak Bima.” Nila yang posisi duduknya lurus di belakang Bima menyeru nama itu. Dan ternyata hasilnya lumayan. Dari tempat duduknya Bima menoleh kebelakang dan menatap Nila. Nila pun tersenyum jail dan mengarahkan tatapannya pada Nirmala.

Bima menoleh dan menatap tajam.

Tidak ada perasaan apa-apa saat tatapan tajam itu  menembus tatapannya. Biasa saja. Hanya saja Nirmala gemetaran karena takut dengan tatapan itu  dan menahan rasa malu yang mendera. Teman-temannya benar-benar sukses memojokkannya di depan senior yang angkuh itu. Tanpa bereaksi apa-apa, Bima kembali pada posisi awalnya. Gemetar itu  pun berangsur hilang. Hal itu benar-benar sangat memalukan. Tapi Nirmala tak bisa berbuat apa-apa.

Selama shalat berjamaah, konsentrasinya buyar, sehingga tidak bisa menunaikan shalat dengan khusyuk. Pikirannya selalu tertuju pada kejadian barusan. Teman-teman itu sudah sangat keterlaluan. Tidakkah cukup mereka membuatnya malu di depan cowok itu dengan apa yang selama ini sudah mereka lakukan? Tiap pagi, saat Bima muncul di kampus, dan berjalan menuju ruangan perkuliahan dan harus melewati kelas Nirmala mereka semua akan berteriak histeris.

Benar-benar memalukan.

Tanpa terasa air mata Nirmala mengalir saat membaca doa seusai shalat. Rasanya berat banget. Rasa malu itu benar-benar menyesak dada. Dan sayangnya tidak ada yang memahami hatinya. Para sahabatnya mengira bahwa yang mereka lakukan itu adalah hal yang benar dengan menjadi mak comblang bagi Nirmala. Tapi bagi Nirmala hal itu sungguh memalukan.

"Mala, kok nangis? Sakit?” Via menghampiri dengan raut muka cemas.

“Enggak, aku nggak sakit. Aku baik-baik aja. Kangen sama kampung, makanya nangis.” Jawabnya asal.

“Syukurlah kalo Kamu nggak kenapa-napa. Kita tunggu di kantin ya, mo beli minuman dulu.” Via tersenyum manis dan mengusap kepala Nirmala.

Nirmala mengangguk lemah, lalu berdiri dan merapikan perlengkapan shalatnya. Melepas kepergian mereka dengan senyuman simpul. Mereka sahabat-sahabat yang diberikan Allah pada Nirmala. Mengisi kesepian di kota yang masih asing baginya. Selalu menemani hari-harinya dengan canda tawa. Membuatnya merasa tak sendirian di kota tempat ia menuntut ilmu.

Usai kuliah, mereka akan menghabiskan hari-hari di kamar kost Nirmala. Sore hari setelah shalat Ashar barulah mereka meninggalkannya. Tujuannya biar Nirmala tidak kesepian di kost yang tidak ada siapa-siapa selain empunya kost.

Di lain waktu, dengan suka rela Via mengajaknya jalan-jalan ke luar. Jalan ke pasar, ke toko-toko buku, ke perpustakaan daerah, ke pusat-pusat hiburan, supermarket, dan tempat-tempat lainnya. Dengan senang hati diperkenalkannya kota itu pada Nirmala. Kota yang sewaktu usia Nirmala masih enam tahun, masih ada dalam mimpi. Kota yang rasanya tak kan pernah dipijaki. Tapi sekarang, dengan sahabat-sahabat yang dimilikinya telah mengenali setiap sudut kota ini.

Nirmala tersenyum, mengenang kisah manis bersama sahabat-sahabatnya itu. Dengan segera diselesaikan lipatan mukenanya.

“Mereka sangat baik dan perhatian, tapi sayang, kurang peka dengan perasaanku.” Nirmala berbisik  dalam hati.

Usai melipat mukena dan menaruh dalam kotaknya, Nirmala melangkah meninggalkan aula.

“Nirmala,” sebuah suara menghentikan langkahnya

Di sebelah kanannya, tepatnya di atas pentas aula, di kursi yang berjajar rapi, duduk beberapa orang seniornya. Beberapa dari mereka langsung dikenalinya sebagai teman seangkatan Bima.

Mau apa lagi mereka.

“Bima nungguin tuh di belakang aula. Temui gih sana. Jarang-jarang ada kesempatan gini lho Dek.” salah seorang dari mereka menghampiri Mala.

"Kamu pake ilmu apa sih hingga bisa menggoda Bima. Aku heran deh, aku saja yang sudah dari awal bertemu mendekatinya tidak bisa, tidak ada tanggapan sama sekali dari dia." wanita itu berbicara sambil menarik ujung jilbab Nimala.

"Kakak salah. Aku tidak pernah menggodanya. Itu hanya candaan teman-teman saja."

"Candaan katamu? Bisa-bisanya kamu berkata itu candaan. Satu fakultas kita ini hampir tau kalau Bima yang dipuja banyak wanita itu ada hubungan denganmu. Tidak mungkin Bima akan menerimamu begitu saja, kalau kamu tidak menggodanya."

"Iya nih. Mana sok alim lagi dengan jilbab ini, eh tau-taunya lebih mahir menggodanya." seorang mahasiswi lagi muncul dan berdiri berkacak pinggang di depan Mala.

"Terserah Kakak."

Tanpa mempedulikan dua wanita itu, Mala segera berlalu dan melangkah keluar aula dengan perasaan kesal luar biasa.Lagi-lagi Bima.

Karena terlalu buru-buru dan sibuk dengan kekesalannya, Mala sama sekali tidak menyadari seseorang yang memanggil-manggilnya. Dia cuek.  Dipikirnya, itu pasti soal Bima lagi.

Tapi kemudian suara itu makin dekat.

“Nirmala, tunggu! ”

Mala pun berhenti.

“Nirmala?”

Pemilik suara itu berdiri di depannya. Seorang gadis seumurannya. Kecil, kurus, dan pendek. Wajahnya bulat. Tatapan matanya begitu hangat pada Mala. Dengan pasti dan mata berbinar-binar bahagia diulurkan tangannya. 

“Kenalkan, namaku Lusi, dari jurusan Ekonomi Pembangunan”

Dengan enggan Nirmala menerima uluran tangan itu. Dan, sepertinya Mala tak perlu memperkenalkan diri. Toh dia sudah mengenalinya.

“Ada apa ya? Maaf banget tadi aku tidak mengubris panggilanmu.”

“Tidak masalah Mala.” Lusi mengamati Mala sesaat. “ Mala di sini kost kan? Kalo Mala nggak keberatan, bolehkah aku bergabung satu kost denganmu? Tempat tinggalku lumayan jauh juga, sama sepertimu. Di sini aku juga merantau. Apa kamu keberatan?”

Rasanya Mala tidak percaya mendengar permintaan gadis kecil di depannya itu. Baru tadi Nirmala meminta pada Allah, untuk memberikan seorang sahabat yang bisa mendengar keluh kesahnya. Sekarang, gadis ini berdiri penuh harap di depannya. Apa ini jawaban dari Allah? Mala tersenyum dan menggenggam tangan Lusi erat.

“Dengan senang hati Lusi. Aku akan menunggu kedatanganmu.”

***

“Nirmala!” Lagi-lagi teriakan Lusi membuyarkan lamunannya.

Mala bangkit dari tempat tidurnya, mematikan radio, dan menghampiri Lusi. Mala tersenyum manis dan menatapnya lembut.

“Ada apa Lusi sayang? Kamu tuh bikin aku takut dan bergidik ngeri. Kalo melotot kayak gini, kamu tuh keliatan jelek banget tau” Mala menghampiri Lusi dan memeluk gadis itu.

"Lusi, makasi ya, karena kamu sudah menjadi sahabat sekaligus kakak bagiku. Aku banyak belajar dari kamu."

Lusi hanya bengong dengan ulah sahabatnya sore itu, entah ada apa. Kenapa dia jadi ikut-ikutkan melow.

"Kalau kamu ingin berterimakasih sama aku, harusnya kamu bantu aku menyelesaikan tugas-tugas kuliahku. Aku benar-benar pusing dengan mata kuliah itu. Kalau dulu aku kuliahnya di tata boga mungkin tidak akan sulit begini." Lusi menghempaskan tubuhnya di kasur.

Nirmala tersenyum manis. 

“Jadi, apa yang membuatmu berteriak dan berdiri di pintu seperti orang yang siap melumatku? Aku  kira tadi ada apa gitu? Aku  berpikir mungkin ku melakukan kesalahan lagi." Nirmala kembali duduk. 

"Apa aku berbuat salah? Apa Aku telah menyakiti hatimu tanpa kusadari? Apa Aku membuatmu jengkel lagi? Aku kan sudah nyapu kamar, dah bersihin kamar mandi, dah nyuci piring kotor, dan melakukan segala sesuatu sesuai dengan tugasku hari ini. Apa masih ada yang kurang?”

“Aku sengaja aja berteriak dan belagak marah untuk menarik perhatianmu. Sejak di kampus  tadi kamu kelihatan murung dan banyak diam. Nyampe kos langsung tidur dan nggak mau makan. Aku  takut kamu sampe  nekad Mala,”

“Nekad? Nekad apaan? Emang ada apa?” Mala menatap Lusi kebingungan, dan sekarang wajah di depannya itu yang kebingungan.

“Lusi? Gimana kondisi Mala?”

Rena, salah seorang  warga kost yang bersebelahan kamar dengan mereka muncul dengan nafas terengah-engah. Rena menatap Nirmala dengan penuh simpati. Lalu mendekat dan duduk di sebelah Mala.

"Mala, aku turut bersedih untuk kesedihan yang sekarang kamu alami. Walaupun aku tidak pernah berpacaran dan jatuh cinta, tapi aku bisa merasakan bagaimana hancurnya hatimu dengan pengkhianatan ini."

Mala menatap Rena bingung.

Lusi mendekat dan memeluk Mala dengan penuh kasih sayang. Rena pun ikut merangkulnya  sambil mengusap-usap rambut panjangnya. Nirmala semakin kebingungan.

“Kami  tahu, kamu berusaha tegar di depan kita semua. Kamu tegar walau seluruh dunia sekarang turut bersedih untukmu. Kamu tegar, walau Bima mengkhinatimu. Kamu tegar walau hatimu sekarang hancur banget. Kamu,….” Ucapan Lusi terhenti karena tiba-tiba Nirmala tertawa lirih. Lusi dan Rena menatapnya heran.

“Jadi ini soal Bima lagi?” Nirmala menatap Lusi dan Rena bergantian.

“Kalian kenapa sih? Emang kenapa dengan Bima?"Nirmala menarik nafas berat.

“Emang kamu nggak kenapa-kenapa sekarang Mala? Kamu tahu kan Bima sedang menjalin hubungan dengan anak jurusan lain dibelakangmu?. Mereka udah jadian. Kamu,…. Kamu nggak sedih?”

“Bersedih untuk apa?”

“Karena kamu mencintainya. Sudah sekian lama kamu mencintainya. Aku kira selama ini Bima juga menyukaimu, karena setiap kali kulihat teman-teman dari jurusanmu menyorakinya, dia seakan menikmati juga. Ternyata, ini yang dilakukannya. Harusnya Bima membuka matanya untuk melihat keberadaanmu.” Lusi menatap Mala dengan iba.

 "Apa sih kelebihan gadis itu? Dia nggak cantik-cantik amat." Rena diam menunggu reaksi Mala.

"Lusi, Rena, sudah! Berhenti menebak-nebak segala sesuatu dari sudut pandang kalian saja. Kadang tidak semua yang kalian lihat dari sudut pandang itu benar adanya. Dan aku, sama sekali tidak mencintainya. Tidak pernah terbersit sedikitpun rasa suka pada si Bima itu. Semua cerita itu dan rasa suka itu hanya tercipta melalui cerita-cerita yang entah darimana sumbernya."

Tanpa terasa mata Mala berkaca-kaca. Emosinya tiba-tiba tersulut.

“Apa kalian pernah peduli dengan perasaanku? Kalian hanya bisa memojokkanku.” Kali ini air matanya benar-benar jatuh. Diraihnya guling dan membenamkan wajah disana. Rasa sakit itu muncul lagi. Rasa malu yang selama ini menjadi beban itu muncul lagi.

Rena memegang bahu  yang naik turun itu . Sedangkan Mala masih terisak dan membenamkan wajahnya diguling. Secara samar muncul kenangan pertama kali Mala bertemu Bima.

Bima, salah seorang senior di jurusan Akuntansi. Sosok lelaki yang membuat para mahasiwi diam-diam mengagumi semua yang ada pada sosok yang sangat sempurna itu. Wajah tampan dan tubuh atletis menjadi daya pikat utamanya. Sikap yang cuek dan angkuh membuat para wanita semakin tergila-gila untuk menarik perhatiannya.  Tapi tidak bagi Nirmala. Baginya Bima itu biasa-biasa saja. Tak ada istimewanya. Tidak ada menariknya. Karena baginya yang menarik itu hanyalah Bian. Teman sedari kecil hingga mereka menyelesaikan SMA selalu bersama dengannya.

Dan siang itu, Nirmala sedang berlari di koridor kampus menuju ruangan tata usaha. Ada surat untuknya. Surat dari Ibundanya tercinta di kampung halaman.  Dengan semangat empat lima dia berlari sekencang-kencangnya, dan,……

BRUKKKK...

“Punya mata nggak sih?”

Seorang cowok menatapnya tajam. Matanya menusuk kedua bola mata Nirmala dengan garang. Wajahnya memerah menahan emosi.

Menerima tatapan itu spontan Mala jadi gemetaran. Tatapan itu membuat keringat dingin membasahi tengkuknya. Di kota asing ini dia tak ingin punya musuh, tapi sekarang cowok ini telah menjadi musuh pertamanya. Dengan kepala terntunduk diperhatikannya satu persatu buku yang berserakan di lantai. Inilah kesalahannya. Dia telah menabrak lelaki itu dan  menyebabkan buku-buku itu berjatuhan dari pangkuannya.

“Maaf Kak, Aku akan kumpulin buku-buku ini.”

”Emang seharusnya kamu kumpulin tuh buku, lalu bawa sana keruang dosen.”

Tanpa banyak bicara, ia segera memungut buku-buku dan mengikuti langkah cowok itu menuju ruangan dosen. Saat berjalan dibelakangnya dalam jarak yang begitu dekat, tampak puluhan pasang mata yang memandangnya dengan tatapan iri. Ah, kalau tidak ingat pesan ayah dan Ibu, mungkin sudah dilemparkan buku-buku itu kewajah angkuh itu. Enak saja dia menghukumnya. Inikan bukan suasana  orientasi lagi. Tapi karena pesan kedua orang tuanya,  ia rela merendahkan harga diri dihadapan cowok itu. Dia santai dan cuek menerima tatapan-tatapan yang membuatnya risih.

”Hati-hati hidup di negeri orang Nak! Jaga sikap. Tidak apa-apa kita banyak mengalah. Mengalah itu bukan berarti kita takut, tapi karena kita berusaha untuk sabar. Jangan mencari musuh dimana pun kamu berada. Apalagi sebagai wanita, harus bisa menjaga sikap dan tingkah laku. Jangan sampai terlontar kata-kata kasar dari mulutmu. Jangan sampai kelepasan dalam bicara. Pikir dulu baik dan buruknya dari segala tindakanmu, Nak.” Potongan nasehat ayahnya terlintas di pikirannya. Menjelang keberangkatannya untuk kuliah, setiap kali ada kesempatan ayah dan ibu selalu memberi pesan-pesan yang menjadi mutiara dalam kehidupannya.

“Sini bukunya!” Cowok itu meraih buku di pangkuan Mala dengan kasar saat  mereka sudah berada di depan ruangan. Dengan tenang diserahkannya buku-buku itu dan tanpa pamit segera kembali menuju ruangan kuliahnya.

Hatinya bahagia tak terkira mendapat surat dari kedua orang tuanya. Walaupun zaman ini orang-orang sudah memiliki telpon dan handphone, namun karena keluarganya merupakan orang yang kurang berada, hingga mereka tidak mampu memiliki itu. Dengan senyum bahagia yang mengambang di wajah, dilipatnya kembali surat itu rapi-rapi dan disimpan ke dalam tas. Nirmala benar-benar bahagia.

"Duh, bahagia banget kayaknya bisa jalen bareng cowok paling keren di jurusan kita. Gimana bisa sih, kamu jalan bareng Kak Bima?" Via muncul dengan senyuman usil.

Bima?????

Ingatannya kembali pada peristiwa barusan. Dan dengan lancar, tanpa ada titik koma, Mala pun bercerita dengan menggebu-gebu kepada Via.

“Tatapannya itu, tajam banget. Aku  jadi gemetaran dan rasanya jantungku mau copot.”

“Ehem, itu namanya jatuh cinta pada pandangan pertama.” Via berdiri dan memandang Mala dengan tatapan berbinar-binar. “Oh, dunia,  Nirmala jatuh cinta pada Bima.”

Beberapa orang teman sekelasnya yang mendengar keusilan via tersenyum nakal pada Mala, membuatnya melongo kaget.  Dan, sebelum ia sempat mengklarifikasi dugaan Via, cewek itu sudah melangkah ke luar kelas.

Semuanya berawal dari sana.

Setelah itu, gosip pun menyebar dengan sangat cepat. Hanya dalam waktu kurang dari satu minggu, hampir semua mahasiswa jurusan Akuntansi mengetahui gosip itu. NIRMALA MENCINTAI BIMA. Dan semenjak saat itu pula, Nirmala menjadi objek tatapan iri dari mahasiswi lain yang lagi mengincar Bima. Semenjak hari itu, tanpa ampun teman-temannya pun berusaha mencomblangkannya  dengan cowok itu.

Hal itu pun terus berlangsung sampai Nirmala duduk ditahun kedua. Tidak hanya dikalangan mahasiswa, tapi ada beberapa orang  dosen  yang juga mengetahui gosip ini. Tiada hari yang dilewati dikampus, tanpa nama Bima. Bahkan sampai detik ini, nama itu masih menjadi objek utama dalam kesehariannya dikampus. Sampai saat ini, saat Nirmala menangis tersedu-sedu di gulingnya.

“Mala, udahlah, jangan nangis lagi!” Lusi berusaha membujuknya. Sepertinya dia merasa bersalah banget karena udah bikin gadis cantik itu menangis.

Nirmala bangkit dan menghapus air matanya.

“Aku tidak mencintai Bima. Tidak ada ada perasaan apa-apa di hatiku untuknya. Bahkan aku tidak pernah terpikir sedikit pun, untuk sekedar menyukainya. Apalagi sampai mencintainya. Semua ini terjadi, karena tidak satu pun diantara kalian yang mau mendengarku.”

“Tidak menyukainya? Apa kamu serius? Kenapa Kamu nggak ngomong? Kenapa kamu biarkan orang-orang mengira kamu betul-betul jatuh cinta pada pesona Bima. Kenapa Kamu diam saja saat kamu dipermalukan tiap kali berhadapan dengannya?”

“Sudah Kukatakan. Tidak satu pun yang mendengarku. Tidak satu pun yang tahu bagaimana perasaanku. Kalian tidak tau, bagaimana malunya aku saat bertemu dengan Bima itu dia menatapku dengan tatapan mengejek? Kadang tak jarang aku bertemu para penggemarnya, lalu aku dibulli. Tapi karena aku tidak merasa menyukai orang yang sedang mereka perebutkan, makanya aku bisa santai."

"Mulai hari ini, berhentilah membahas Bima. Ok!” Mala tersenyum. Sisa tangis tadi udah hilang dari hati dan wajahnhya.

“Biarkan dia tenang dan bahagia bersama Fani. Kan nggak mungkin juga mereka harus backstreet selamanya. Dunia juga berhak tahu soal mereka.”

“Backstreet? Maksudnya?"Rena menatap Mala kebingungan.

“Jujur ya, Aku sudah tahu lama soal mereka. Tanpa sengaja aku pernah memergoki mereka sedang bermesraan di perpustakaan. Dan sejak itu Aku tahu mengenai hubungan mereka. Tapi sayangnya, mereka nggak cukup berani untuk terang-terangan.

Mungkin Bima tidak tega melihat Fani yang tentunya akan banyak dibulli oleh penggemarnya sehingga dia merasa aman dengan gosip yang mengorbankan namaku. Setidaknya, aku bisa menjadi tameng bagi kekasihnya. Buktinya, mereka yang menjalin hubungan dengan aman dan tenang, aku yang tidak nyaman karena gosip disana-sini tentang aku."

Lusi dan Rena terdiam.

“Makasih ya Lusi, Rena, kalian begitu mencemaskanku. Sekali lagi makasi banget. Aku bahagia punya sahabat seperti kalian. Tapi Ku mohon, mulai hari ini, nggak ada lagi cerita soal Bima. Masih banyak hal lain yang lebih penting dari sekedar membahas soal Bima."

Mereka berpelukan.

***

Related chapters

  • IMAM UNTUK NIRMALA   2. LELAKI NARSIS

    Hari ini Mala pulang kuliah agak sore, berhubung tadi ada rapat pembentukan pengurus Himpunan Mahasiswa (HIMA) jurusan Akuntansi. Langkahnya gontai memasuki gang menuju kost. Rasa kesal masih memenuhi pikirannya, pasalnya tadi sesudah rapat selesai, pembina HIMA memintanya mengantarkan buku ke sekretariat, dan lagi, dia harus bertemu Bima di sana. Entah apa yang sedang dilakukan cowok itu di sana, yang jelas pertemuan itu telah merusak suasana hatinya. Selama ini setiap kali bertemu, Bima memang tidak pernah ramah padanya. Menurut Mala, cowok itu selalu berlagak sok jual mahal sok kegantengan, padahal jelas-jelas Mala sama sekali tidak menaruh perasaan apa-apa padanya. Mungkin karena mendengar gosip yang selalu beredar, makanya Bima mengira bahwa Mala benar-benar menyukainya. "Ngapain juga cowok songong itu ada di sekretariat. Bikin sebal saja. Udah disapa baik-baik malah dipelototin. Sok kegantengan, emang dikiranya aku naksir apa sama dia." gadis itu terus mengomel

    Last Updated : 2021-06-09
  • IMAM UNTUK NIRMALA   3. PEMUJA RAHASIA

    Alif menepati ucapannya. Pagi itu, saat Mala berangkat kuliah dan hendak keluar dari gang kost mereka, tampak Alif sedang duduk di pinggir jalan, kelihatannya sedang menunggu seseorang. Begitu melihat Mala dan rombongannya, lelaki itu mendekat, meminta izin pada Lusi dan yang lainnya agar duluan. "Gimana kabarmu, Mala?" Alif memulai percakapan setelah teman-teman Mala duluan. "Kamu gila banget ya. Teman-temanku semua mengira kita benar-benar pacaran. Padahal kita aja baru ketemu kemaren." "Kamu percaya cinta pandang pertama kan? Dan begitulah aku. Mungkin bagimu ini terlalu cepat, tapi tidak denganku. Aku sudah lama menyimpan rasa padamu. Aku selalu berjalan di belakangmu saat pergi kuliah semenjak setahun yang lalu, kamu saja yang tidak menyadarinya. Aku sudah lama mengagumimu, Aku tahu kamu selalu berjalan menunduk, buru-buru, atau membaca buku sambil berjalan. Tapi yang aku tidak tahu adalah, kalau kamu nge-kost di sini dan tinggal di rumah bibiku."

    Last Updated : 2021-06-10
  • IMAM UNTUK NIRMALA   4. BERTEMU BIAN

    Siang itu, karena tidak ada kegiatan lain Mala memutuskan untuk langsung pulang. Tidak ada rencana apa-apa hari ini. Teman-temannya kelihatan juga tidak ada yang berinisiatif untuk jalan-jalan kemana gitu. Lusi yang serumah dengannya pun buru-buru menyiapkan tas untuk pulang. Ngomong-ngomong tentang Lusi, Mala merasa ada yang berbeda dari sahabatnya itu semenjak mereka pulang lari pagi minggu lalu. Sekarang gadis itu lebih lama berdandan setiap kali pergi sekolah. Sering melamun dan kadang tersenyum sendiri. Sebenarnya Mala ingin bertanya, namun dia masih merasa belum saatnya. Dia pasti akan bertanya apa yang terjadi dengan sahabatnya itu, mungkin nanti malam. Sampai di luar ruangan mereka dikejutkan dengan Alif yang sudah menunggu dekat pohon ditaman. Seperti hari-hari sebelumnya, cowok itu kelihatan tampan. Beberapa mahasiswi tampak sengaja menggodanya. Namun, dasar Alif cowok dingin, dia cuek saja. Lusi yang melihat itu menggeleng-geleng kepala. Dia hanya tida

    Last Updated : 2021-06-15
  • IMAM UNTUK NIRMALA   5. PEMILIK SUARA EMAS

    Tujuh Tahun Lalu... Sudah dua hari ini Mala mengikuti kegiatan Bina Ruhani, sebuah kegiatan yang dibuat untuk membina anak-anak sekolah untuk mengisi hari libur kenaikan kelas, yang diadakan pemerintah setempat. Peserta kegiatan ini adalah seluruh siswa SMA, SMP yang sudah duduk di tingkat di tempat Mala tinggal. Hari ini, para siswi ditugaskan untuk menyiapkan makan malam. Semua masakan itu harus kelar sebelum waktu Maghrib datang. Sehabis Maghrib rencananya akan dilanjutkan dengan rangkaian acara-acara yang lain sampai tengah malam. Ditengah kesibukan itu, suara adzan berkumandang, menandakan waktu shalat Ashar telah tiba. Adzan berkumandang dengan sangat merdu dan membuat Mala menghentikan aktivitasnya. Suara itu adalah suara anak laki-laki, bukan suara orang dewasa. Penyeru adzan itu pasti bukan salah satu dari teman-teman sekolahnya, karena mereka tidak ada yang memiliki kemampuan untuk itu. Tanpa pikir panjang, Mala segera melompat ke d

    Last Updated : 2021-06-16
  • IMAM UNTUK NIRMALA   6. BERTEMAN LEBIH BAIK

    Hari itu adalah hari pertama Masa Orientasi Siswa. Mereka dibagi dalam beberapa kelompok, dan dari pembagian itu, Mala berada di kelompok tiga. Karena hari itu adalah hari pertama, maka panitia yang terdiri dari kakak-kakak kelas menyuruh bergotoroyong membersihkan kelas masing-masing. Mala ambil bagian menyapu lantai bersama empat orang lainnya. Beberapa orang murid cowok membantu menaikkan kursi ke atas meja. Mala tidak menyangka kalau ternyata dia tidak benar-benar kehilangan. Hampir sebagian besar teman-teman semasa SMP-nya melanjutkan ke sekolah yang sama dengannya. Dan, hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya adalah, Bian. Ya, ternyata Bian juga ada di sekolah yang sama dengannya. Flash back Dengan buru-buru Mala melangkah memasuki gerbang sekolah barunya. Ini MOS hari pertama dan dia tidak boleh telat. Gadis itu terus berjalan cepat, dan... BRUKK Mala menabrak seseorang yang sepertinya sengaja menghalan

    Last Updated : 2021-08-19
  • IMAM UNTUK NIRMALA   7. PERNYATAAN CINTA DIKELAS

    Berada di kelas unggul tidaklah mudah. Persaingan sangat ketat. Mereka harus belajar dengan gigih untuk mendapatkan nilai terbaik. Kemampuan mereka yang hampir semua diatas rata-rata, membuat para guru terkadang bingung untuk memilih pemuncak kelas, karena nilai mereka banyak yang sama.Bagi Mala sendiri, belajar keras bukanlah hal baru. Dia dengan mudah beradaptasi dan menjalani hari-hari sekolah dengan santai. Hubungannya dengan Bian pun berjalan seperti apa yang mereka sepakati. Berteman. Hanya berteman. Namun, ada satu hal yang kadang membuat Mala tidak nyaman di kelasnya, yaitu Alfa.Tidak tahu kenapa, cowok berkulit hitam manis itu sering kali kepergok sedang memperhatikannya. Karena penasaran, Mala pun mencerikannya pada teman sebelahnya, namun temannya itu malah mengatakan pada teman-teman lain yang duduk berdekatan dengan mereka.“Tandanya Alfa suka sama Mala.” ucap temannya itu.“Kayaknya emang bener banget tuh, si

    Last Updated : 2021-08-20
  • IMAM UNTUK NIRMALA   8. CINTA PERTAMA YANG TAK PERNAH DIMILIKI

    Istirahat hari ini Mala sengaja ke kantin bareng Alfa. Dia berencana akan memberikan jawaban terhadap pernyataan yang disampaikan Alfa dua hari lalu. Dengan mengumpulkan segenap keberaniannya, Mala menatap Alfa yang sedang duduk salah tingkah di depannya. Mala berharap, apapun keputusannya, Alfa akan menerima dengan lapang dada. Baru saja ia hendak memulai pembicaraan, tiba-tiba kalimatnya jadi hilang melihat Adi yang sudah berdiri di belakang Alfa dengan tatapan marah. “Adi,…”. Alfa menoleh kebelakang. Di belakangnya Adi berdiri mematung dengan mata yang sarat amarah. Tanpa mengucapkan apa-apa, dia pun segera berbalik dan melangkah dengan setengah berlari meninggalkan kantin. “Aduh, gimana ini. Aku jadi nggak enak sama Adi, Al. Kamu tunggu bentar disini ya, Aku akan menemui dia, sebentar saja.” Tidak peduli bagaimana reaksi Alfa, Mala pun segera berlari menyusul Adi. “Adi, ada apa? Kamu marah? Emang aku salah lagi? Apa aku&nbs

    Last Updated : 2021-08-23
  • IMAM UNTUK NIRMALA   9. MENCOBA MEMBUKA HATI

    Kembali ke masa kiniHari ini, seperti biasa, Alif sudah duduk di taman depan fakultas Ekonomi menunggu kuliah Mala selesai. Kali ini, dia tidak duduk sendirian, ada dua orang perempuan cantik yang tampak sedang bersenda gurau dengannya."Siapa mereka?" Lusi yang kebetulan juga keluar kelas mendekati Mala yang berdiri mematung tak jauh dari Alif."Kalau aku tidak salah, mereka adalah senior di jurusanku.""Mereka cantik sekali. Apalagi yang duduk di sebelah Alif. Kamu tidak cemburu?"Mala terkekeh, "Untuk apa cemburu, Alif bukan siapa-siapa aku juga." Mala menoleh dan menatap Lusi, "Karena tidak ada kuliah lagi, mari kita pulang. Tubuhku letih sekali, semalaman mengerjakan tugas." Mala melangkah dan menarik tangan Lusi, berjalan santai melewati Alif yang mengikuti dengan ekor matanya."Nirmala."Suara Alif menghentikan langkahnya membuat gadis itu berdiri diam di tempat. Sungkan sekali rasanya untuk berbalik dan menatap

    Last Updated : 2021-08-23

Latest chapter

  • IMAM UNTUK NIRMALA   61. HARI MILIK KITA

    "Mala..."Mala menoleh dan mendapati seorang lelaki tampan sedang menatapnya sendu. Bian yang juga berdiri disampingnya mengenggam erat tangan Mala. Dia masih mengenali orang itu. Kalau tidak salah ingat lelaki itu dulu pernah dekat dengan istrinya. Bukankah mereka dulu pernah bertemu saat masih kuliah? Rahang Bian mengeras."A...Alif..." ujar Mala pelan."Ternyata kamu masih mengenaliku." Lelaki yang ternyata adalah Alif itu tersenyum pahit. "Selamat atas pernikahanmu, Mala. Semoga bahagia. Apa kita bisa bicara sebentar, hanya berdua." pinta Alif menatap Mala harap.“Jika ada yang ingin dibicarakan, maka bicara disini saja, Lif.” Jawab Mala halus.Alif menatap Mala memohon, lalu ditatapnya Bian yang masih mengenggam erat tangan Mala."Mala adalah istriku. Jadi apapun masalahnya, juga masalahku. Tidak ada rahasia diantara kami." potong Bian cepat. Genggamannya pun semakin erat. Mala tersenyum dan menatap Bian hangat."Suamiku benar, Lif. Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?” ucap Ma

  • IMAM UNTUK NIRMALA   60. IMAM UNTUK NIRMALA

    Mala bersenandung riang sambil melangkah kesana kemari di dapur. Seperti biasanya, setelah sepuluh hari lebih mereka menikah, ia selalu membuatkan sarapan untuk suaminya. Namun, pagi ini ada yang tak biasa, karena dari tadi tak henti hentinya bibirnya tersenyum lalu senandung cinta tak berhenti mengalun dari mulut itu. Menggambarkan suasana hatinya yang sedang berbunga-bunga.Akhirnya, setelah 10 hari menikah, semalam ia berhasil melaksanakan tugas sepenuhnya sebagai seorang istri. Melawan segala trauma yang selalu menghantuinya.Masakannya hampir selesai, saat deru suara motor terdengar di halaman depan. Itu adalah suaminya pulang dari masjid. Bahkan disaat beratnya godaan untuk kembali memeluk istrinya, lelaki itu tetap bangkit dan beranjak ke kamar mandi. Lalu setelah menunaikan shalat sunat sebelum shubuh dua raka'at ia pamit untuk menunaikan shalat Shubuh berjamaah ke masjid. Mala yang saat itu masih uring-uringan, merasa sangat malu pada suaminya itu. Hingga walau dengan sedikit

  • IMAM UNTUK NIRMALA   59. MENGGENAPKAN RASA

    Bian menghela nafas lega setelah mobilnya sampai di rumah, setelah menempuh perjalanan lebih kurang 3 jam dari kota B. Disamping nya Mala tertidur dengan pulas. Diputarnya tubuh dan menatap sang istri yang tengah tertidur. Tangannya perlahan mengelus pipi halus itu dan merapikan anak rambut yang dengan nakal mengintip dari balik jilbabnya."Sungguh, kehadiranmu adalah anugerah terindah dalam hidupku. Aku janji akan menjaga anugerah itu dengan sebaiknya. Aku tak bisa menjanjikan bahwa kamu akan selalu bahagia denganku, tapi aku usahakan bahwa dalam kondisi apapun aku akan selalu ada untukmu."Tak tahan hanya memandang, Bian akhirnya tergoda untuk mengecup singkat pipi itu. Dan untuk beberapa saat dibiarkan bibirnya menempel pada pipi halus yang terasa dingin, mungkin karena suhu dalam mobil sehingga membuat istrinya kedinginan.Mala mengeliat karena merasa tidur nyenyaknya terusik. Perlahan dibukanya mata, dan hal pertama yang dilihatnya adalah wajah tampan suami yang berada tepat dide

  • IMAM UNTUK NIRMALA   59. MENGGENAPKAN RASA

    Bian menghela nafas lega setelah mobilnya sampai di rumah, setelah menempuh perjalanan lebih kurang 3 jam dari kota B. Disamping nya Mala tertidur dengan pulas. Diputarnya tubuh dan menatap sang istri yang tengah tertidur. Tangannya perlahan mengelus pipi halus itu dan merapikan anak rambut yang dengan nakal mengintip dari balik jilbabnya."Sungguh, kehadiranmu adalah anugerah terindah dalam hidupku. Aku janji akan menjaga anugerah itu dengan sebaiknya. Aku tak bisa menjanjikan bahwa kamu akan selalu bahagia denganku, tapi aku usahakan bahwa dalam kondisi apapun aku akan selalu ada untukmu."Tak tahan hanya memandang, Bian akhirnya tergoda untuk mengecup singkat pipi itu. Dan untuk beberapa saat dibiarkan bibirnya menempel pada pipi halus yang terasa dingin, mungkin karena suhu dalam mobil sehingga membuat istrinya kedinginan.Mala mengeliat karena merasa tidur nyenyaknya terusik. Perlahan dibukanya mata, dan hal pertama yang dilihatnya adalah wajah tampan suami yang berada tepat dide

  • IMAM UNTUK NIRMALA   58. SESUNGGUHNYA MANUSIA DICIPTAKAN BERPASANG-PASANGAN

    Bian melangkah pelan mengikuti rombongan pejabat perusahaan menuju ruang pimpinan. Kepalanya masih celingukan ke belakang menunggu istri tercinta yang masih belum juga tampak. Tadi, mereka terpaksa berpisah karena Mala yang mendadak dihampiri oleh puluhan karyawan yang hendak minta maaf sekaligus mengucapkan salam perpisahan padanya. Sebenarnya ingin sekali menemani, takut jika terjadi hal diluar dugaan lagi, namun tarikan halus di ditangannya mengurungkan niatnya."Sudahlah! Kupastikan dia aman sekarang. Tak akan ada yang berani mengganggunya lagi. Disamping kebenaran yang telah terungkap, semua orang tahu bahwa Mala adalah isteri salah satu pemegang saham di sini, mana ada yang berani usil lagi padanya. Termasuk si Raditya itu" ujar Donny yang membuat Bian tersenyum.Tetap saja dia mencemaskan istrinya."Tetap saja hatiku tak tenang, Bang. Dia masih trauma. Abang tak merasakan bagaimana nelangsanya adikmu ini, walau sudah menjadi istri sah pun, aku sama sekali tak bisa berbuat banya

  • IMAM UNTUK NIRMALA   57. PERGI TANPA DENDAM

    “Saya memiliki semua rekaman cctv kejadian itu, karena kebetulan saat kejadian itu saya berada di hotel yang sama dengan Pak Raditya. Saya bisa saja memutar semua cctv itu di sini, tapi karena permintaan dari istri saya, opss…” Bian pura-pura keceplosan, lalu tersenyum manis pada Mala, “Karena permintaan dari Nirmala, agar rekaman cctv itu tidak diputar karena bisa menyebarkan aib orang lain, makanya saya tidak memperlihatkan cctv itu.”Bian melangkah tanpa canggung dan berjalan didepan semua yang hadir, layaknya seorang dosen yang sedang memberikan kuliah pada semua mahasiswanya. Langkahnya berakhir tetap di depan dua orang wanita yang tadi tidak mempercayai pengakuan Raditya.“Hei, Nona berdua. Mungkin anda adalah penggemar pak Radit, jadi sah-sah saja jika anda tak akan percaya apapun kesalahan yang dilakukan oleh idola anda. Its okey. Tapi coba anda lihat sebagai sisi wanita, saat ini Nirmala, wanita yang sedang anda hujat itu sedang mengalami trauma berat. Trauma atas kejadian na

  • IMAM UNTUK NIRMALA   56. PERSIDANGAN

    Mala duduk dengan gelisah didepan puluhan mata yang memandangnya dengan tatapan yang beragam. Di sebelahnya Radit tak kalah gelisah, semua ini sungguh diluar dugaannya. Dikiranya pertemuan di aula siang ini akan menjadi saksi keberhasilannya mendapatkan hati dan cinta dari wanita yang disukai, namun kenyataan berkata lain. Apalagi saat sesekali ekor matanya menatap lelaki yang duduk dengan tenang disampingnya pimpinan perusahaannya. Entah apa hubungan lelaki itu dengan orang nomor satu diperusahaan itu? Yang jelas kehadirannya membuat keberaniannya nyaris hilang, karena bagaimana pun, lelaki itu mengetahui semua kejahatan yang dilakukannya pada Mala.Belum lagi, mengingat bagaimana reaksi Mala saat lelaki itu muncul. Mala berlari dan menghambur kepelukan lelaki itu dan mendekapnya erat. Membuat hati Radit bagai ditusuk belati karena sakit membayangkannya. Dengannya, jangankan memeluk, dipegang tangan sedikit saja gadis itu sudah tak ubahnya macan betina.Kebingungan itu sebenarnya jug

  • IMAM UNTUK NIRMALA   55. JANGAN SENTUH WANITAKU

    Mala duduk termenung di kursi kerjanya, tak menghiraukan rekan kerja yang sedari tadi saling pandang satu sama lain, tak ada yang berani bicara. Sekembalinya dari HRD Mala menjadi diam seribu bahasa. Hanya termenung tanpa melakukan apa-apa.Setelah merasa hatinya agak tenang, diangkatnya kepala lalu memandang semua yang ada di ruangan itu sendu. Kurang lebih dua tahun bekerja disana, sekarang harus pergi dengan hati yang terluka. Dikiranya ia akan bisa pamit dengan hati tenang, dan melupakan masalah dengan Radit. Tapi kenyataan memang tak seindah bayangan. Apalagi, sebentar lagi akan diadakan pertemuan di aula, dan semua orang akan mengadilinya. Tatapan sinis dari puluhan pasang mata akan menghujaninya. Diusapnya wajah kasar, lalu untuk menghibur diri di coba menghubungi seseorang yang beberapa hari ini mampu memberi ketenangan dan kekuatan saat masalah datang padanya.Hanya menyapa, itu yang bisa dilakukannya, karena takut akan merusak konsentrasi lelaki itu disana. Namun diluar per

  • IMAM UNTUK NIRMALA   54. MEMINTA TOLONG

    Bian menyesap secangkir teh panas yang dihidangkan padanya oleh asisten dari lelaki yang kini sedang duduk di depannya. Lelaki yang berusia 35 tahun itu tampak sangat gagah dan tampan dengan gayanya yang kasual.Setelah melepas Mala masuk ke kantor, hatinya tetap tak tenang, sehingga diputuskan untuk menghubungi salah satu mahasiswa yang kuliah hari ini denganya, minta maaf karena tak bisa masuk dan minta ganti perkuliahan di hari lain. Awalnya, ia ragu juga ingin ikut campur, tapi saat tanpa sengaja mendengar percakapan miring tentang Mala oleh dua orang karyawan yang baru datang, dan sempat numpang berkaca dimobilnya, hati lelaki itu menjadi panas. Bayangan betapa hancur hati istrinya mendengar berita itu sungguh membuatnya tak tenang.Mungkin nasib baik memang sedang memihaknya, atau mungkin begitu cara Allah memudahkan langkahnya. Kantor tempat Mala bekerja ternyata adalah milik salah seorang seniornya saat ikut organisasi dulu. Bahkan atas tawaran dari seniornya itu, dia juga m

DMCA.com Protection Status