Hari ini Mala pulang kuliah agak sore, berhubung tadi ada rapat pembentukan pengurus Himpunan Mahasiswa (HIMA) jurusan Akuntansi. Langkahnya gontai memasuki gang menuju kost. Rasa kesal masih memenuhi pikirannya, pasalnya tadi sesudah rapat selesai, pembina HIMA memintanya mengantarkan buku ke sekretariat, dan lagi, dia harus bertemu Bima di sana. Entah apa yang sedang dilakukan cowok itu di sana, yang jelas pertemuan itu telah merusak suasana hatinya.
Selama ini setiap kali bertemu, Bima memang tidak pernah ramah padanya. Menurut Mala, cowok itu selalu berlagak sok jual mahal sok kegantengan, padahal jelas-jelas Mala sama sekali tidak menaruh perasaan apa-apa padanya. Mungkin karena mendengar gosip yang selalu beredar, makanya Bima mengira bahwa Mala benar-benar menyukainya.
"Ngapain juga cowok songong itu ada di sekretariat. Bikin sebal saja. Udah disapa baik-baik malah dipelototin. Sok kegantengan, emang dikiranya aku naksir apa sama dia." gadis itu terus mengomel sepanjang jalan. "Mmmm...aku tahu, pasti dia menungg Fani di sana. Kebetulan Fani juga pengurus HIMA dan tadi ikut rapat bareng Mala. Kok aku nggak kepikiran tadi ya? Dasar..."
Langkahnya terhenti saat tiba di depan pagar, di sana ada seorang cowok sepertinya juga anak kuliahan hendak membuka pagar dan...
"Stop!" Mala mendekat dan menatap Lelaki di depannya garang. Tampan. Satu kata yang terlintas dalam pikirannya saat lelaki itu menoleh dan menatapnya. Kulitnya putih, tinggi, tidak kurus juga tidak terlalu gendut. Lelaki itu balas menatap Mala dengan santai.
"Maaf, ada perlu apa ya? Lelaki yang tidak punya ikatan keluarga dengan warga kost di sini dilarang masuk. Jadi kalau Anda ada keperluan dengan salah satu warga kost di sini Anda bisa ketemuan di luar pagar ini saja. Ok!"
Lelaki itu masih diam dan terus menatap Mala. Cukup lama.
"Hello...! Anda mendengar saya tidak?"
Tersenyum. Lalu menoleh ke halaman kost, selanjutnya lelaki itu kembali menatap Mala.
"Kamu kost di sini?" pertanyaan itu meluncur dari mulut lelaki di depannya. Suaranya lembut.
"Iya. Aku kost di sini. Apakah ada yang bisa saya bantu. Anda sebutkan saja namanya, akan saya panggilkan." ucap Mala sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
"Alif" balas lelaki itu. Mala menaikkan alisnya. Bingung.
"Maaf. Tidak ada yang bernama Alif di sini."
"Namaku Alif." diulurkan tangannya pada Mala. "Siapa namamu?"
"Aku?" Mala menunjuk dirinya setengah tak percaya.
Alif mengangguk.
"Untuk apa kamu menanyakan namaku? Tidak penting kan? Kita tidak saling mengenal juga."
"Karena kita tidak saling mengenal makanya ayo kita berkenalan." Lelaki yang bernama Alif itu menatap Mala lekat-lekat. "Jadi, aku boleh tahu siapa namamu kan?"
"Namaku Mala." Mala menjawab tanpa menerima uluran tangan lelaki di depannya itu
"Jadi, ada keperluan apa kamu kemari? Siapa yang kamu cari?"
Alif mengangkat bahunya. "Tidak jadi. Sepertinya aku salah alamat. Aku pamit dulu ya, Mala." sambil tersenyum Alif melangkah meninggalkan Nirmala. Terdengar lirih senandung kecil dari bibirnya mengiring langkah lebar meninggalkan pekarangan kost. Nirmala hanya geleng-geleng kepala.
"Orang aneh." Mala segera membuka pagar dan menutupnya kembali setelah Alif beranjak pergi. Selanjutnya, ia segera melangkah ke arah pintu kecil untuk memasuki tempat kostnya, disamping teras rumah pemilik kost. Iya, Untuk menghubungkan kamar kostnya dengan halaman rumah, ada sebuah pintu kecil yang terletak diantara teras rumah dan bagasi. Jadi, letak kost itu benar-benar aman untuk mereka para warga kost.
Mala langsung mandi dan berganti pakaian. setelah menunaikan shalat Ashar, dia menaiki tempat tidur dan berencana merehatkan tubuhnya sejenak. Lusi tidak ada di kamar. Mungkin dia sedang bertandang ke kamar sebelah.
Saat matanya hampir tertutup, terdengar pintu dibuka dan Lusi masuk sambil tertawa. Dibelakangnya Rena juga ikut tertawa.
"Ayolah Lusi! Kita keluar. Kita pura-pura ke minimarket aja. Aku penasaran banget sama cowok ganteng itu." sejenak Rena diam, "Eh, ada Mala. Sudah pulang kamu. Capek banget pasti ya?"
Mala tersenyum dan melanjutkan acara berbaringnya "Ada apa sih, Na? Ribut banget."
"Itu lho, tadi kata adek-adek kost yang disebelah kamarku waktu dia mau masuk ada cowok ganteng sedang ngobrol sama bapak kost di depan. Ganteng banget katanya."
Mala hanya diam, lalu merubah posisinya jadi telungkup. Dikiranya apa, ribut-ribut.
"Ya, udah sana. Kalian pergi gih. Aku capek banget." Mala menanggapi tanpa minat.
Melihat reaksi Mala yang sama sekali tidak tertarik, Rena dan Lusi melangkah keluar kamar dan kembali menutup pintu dengan pelan. Mereka maklum, kegiatan Mala yang lebih padat daripada mereka pasti membuat gadis itu keletihan.
Setelah merasa tidak ada gangguan lagi, Mala tersenyum dan kembali memejamkan matanya. Tubuhnya benar-benar letih. Baru saja mata itu akan tertutup, sebuah suara mengagetkannya.
"Nirmala..."
Itu suara nenek kost mereka. Nenek kost yang sudah berusia hampir 80 tahun itu, masih kelihatan kuat di umurnya sekarang. Dibanding warga kost yang lain, beliau lebih menyayangi Mala, mungkin karena Mala adalah penghuni kost yang lebih dulu dibanding yang lain. Setiap hari ada saja alasannya memanggil Mala. Seperti sore ini, entah apa alasannya memanggil gadis itu. Dan lagi, terpaksa Mala bangkit dari tempat tidurnya, mengusir keinginannya untuk tidur.
Mala membuka pintu kamar, diseberang kamarnya, di balik jendela tampak wanita tua itu berdiri sambil tersenyum padanya.
"Kesinilah Nak. Nenek ada sesuatu untukmu."
Mala menghampiri jendela dan berdiri di depan teralis yang memisahkan mereka. Lalu si nenek mengeluarkan sebuah bungkusan dan memberikan padanya.
"Apa itu Nek?"
"Itu buah rambutan. Cucu nenek yang bawain." Nenek itu tersenyum manis. "Sudah lama sekali dia tidak berkunjung kemari, nenek sangat merindukannya. Nenek kira dia sudah lupa sama nenek karena kesibukan kuliahnya. Tapi hari ini dia berkunjung, dan membawa buah-buah ini. Biasanya dia datang pun hanya sebentar, lalu pergi. Tapi sekarang dia mau berlama-lama disini dan mengobrol sama bibinya di luar."
Mala mengangguk dan tersenyum mendengar cerita nenek kost-nya. Tampak sekali raut bahagia dari wajah tua itu, yang membuat Mala ikut bahagia.
"Mala. Kamu masuk kesini ya. Lewat depan aja, di teras. Kebetulan cucu nenek juga ada di sana. Ini buahnya sangat banyak, nggak bisa nenek berikan semua lewat jendela. Kamu ambil yang banyak ke dalam, biar teman-temanmu kebagian juga"
"Tunggu sebentar ya Nek."
Walaupun hatinya berat untuk keluar, Mala terpaksa menurut. Dia tidak ingin mengecewakan wanita yang sangat baik itu.
Dan disinilah Mala sekarang, berdiri ragu-ragu di balik pintu penghubung kostnya dengan teras dan halaman. Setelah mengusir rasa ragunya, dibuka pintu itu pelan dan mengintip ke teras. Ibu Daty- pemilik Kost - sedang berbicara dengan seorang lelaki yang memakai baju kaos merah. Kening Mala berkerut melihat punggung lelaki itu, entah perasaannya saja atau apa. Baju lelaki itu sama persis dengan yang tadi dipakai Alif. Lelaki yang tadi bertemu dengannya di depan pagar.
"Mala. Ngapain berdiri di situ. Nenek tadi meminta kamu masuk. Lewat sini aja." suara Bu Daty mengagetkannya. "Nggak usah malu. Ini ponakan saya." seakan mengerti isi hati Mala, wanita paruh baya itu kembali berujar.
Akhirnya, dengan langkah pelan sambil membungkukkan badan, Mala melangkah menaiki teras. Mala berusaha menjaga kesopanan di depan wanita yang sudah dianggap orang tuanya itu.
"Mala, kenalkan, ini ponakan saya yang paling jarang berkunjung ke sini."
Mala menghentikan langkahnya dan menoleh pelan dengan senyuman tipis ke arah lelaki berbaju merah yang sedang mengamatinya.
"Hai, kenalkan. Aku Alif." Lelaki di depannya yang ternyata adalah Alif, tersenyum manis padanya. Sedangkan Mala, jangan ditanya bagaimana reaksinya. Rasanya dia benar-benar ingin segera berlari masuk ke kost nya dan bersembunyi di sana. Bukankah tadi dia melarang lelaki itu masuk. Dan orang yang dilarang itu ternyata adalah ponakan pemilik kost nya. Memalukan sekali.
"Maaf." cuma itu yang keluar tadi mulut Mala, dan dengan terpaksa menerima uluran tangan Alif untuk berkenalan.
"Kami sudah sering bertemu, Bi. Tapi karena nggak saling kenal, yah tentunya kami tidak pernah bertegur sapa. Tidak jarang kita berangkat kuliah bareng, tapi..., ya, itu tadi. Kita belum salilng kenal." Ucap Alif yang membuat Mala melongo.
"Alif tinggal di gang utama, rumah paling ujung. Jadi wajar saja kalau kalian sering berangkat kuliah bareng. Kampus kalian juga sama, hanya beda jurusan saja. Dia ini dari dulu pengen sekali kuliah di jurusan tekhnik. Katanya ingin bisa membuat pesawat seperti bapak Habibi." tambah Bu Daty dengan wajah berseri-seri.
"Benarkah?"
Alif mengangguk dan tersenyum. "Lain kali, kalau jalan lihat-lihat keadaan sekitar! Jangan terus menunduk dan membaca buku sambil berjalan. Rugi lho, nggak tahu selama ini ada cowok ganteng yang jalan dekat kamu, tapi kamu nggak nyadar." ucap Alif lagi yang kali ini membuat Bu Daty tersenyum.
"Kalau begitu, Mala, kamu temani Alif sebentar ya. Biar Ibu ambilkan rambutannya yang mau dikasih nenek ke kalian. Rambutanya banyak sekali lo."
Apa-apaan ini. Kenapa Bu Daty malah meninggalkannya berdua dengan lelaki narsis ini. Mala melorotkan bahu pasrah. Lalu segera duduk di salah satu kursi di depan Alif.
"Mulai besok kita bisa berangkat kuliah bareng kan? Untuk semester ini aku sudah hafal jadwal kuliah kamu. Untuk Senin, Selasa dan Rabu, kamu ada kuliah pagi. Itu artinya jadwal kita sama. Untuk hari Kamis, kamu kuliah jam ketiga hingga sore, jadwal kita juga sama. Hari Jum'at kamu libur."
"What?" bagaimana Alif bisa tau jadwal kuliahnya? Bukannya mereka baru berkenalan barusan? Belum sampai satu jam malah. Tapi bagaimana lelaki itu bisa tau jadwal kuliahnya?
Mala menatap Alif dengan tatapan menyelidik. Siapa sebenarnya lelaki di depannya itu.
"Dan lagi, bersiaplah!"
"Bersiap apa?" Mala menatap malas pada Alif
"Aku akan sering-sering mengunjungimu kemari. larangan yang kamu sampaikan tadi tidak berlaku untukku."
"Kamu memang cowok aneh dan menyebalkan. Kamu pasti sengaja membawa buah itu banyak-banyak kan. Padahal tadi aku baru aja mau tidur. Dan lagi, bagaimana kamu mengetahui jadwalku? Apa selama ini kamu memata-matai aku? Kurang kerjaan banget sih."
"Bukannya kurang kerjaan, tapi jika kita mengagumi sesuatu pasti kita akan mencari tau segala sesuatu tentang hal yang kita kagumi itu. Sayangnya aku malah sampe lupa mencari tau kamu tinggal dimana. Kalau aku tahu dari dulu kamu tinggal disini, udah dari dulu aku samperin kesini. Tiap hari malah."
Mala hanya geleng-geleng kepala melihat cowok tampan didepan yang terlalu percaya diri dan blak-blakan itu.
"Ehem." Mala menolehkan kepalanya ke belakang karena dari halaman depan Lusi dan Rena muncul sambil menyorakinya.
"Mala, bukannya tadi katanya ngantuk dan pengen tidur. Kenapa sekarang ada disini. Berduaan lagi? Aduh, ini namanya pelanggaran." Rena maju kedepan dan bersandar di kursi yang diduduki Mala. "Bukannya kost kita ada larangan bagi cowok masuk melewati pagar depan ya? Ini, Mala malah pacaran, di teras lagi."
"Hei! Siapa yang pacaran?" Mala menyikut Rena keras
Sedangkan Rena tidak menghiraukan Mala, dia malah asyik memandang pada Alif yang duduk angkuh di depan mereka. "Kamu, pacar nya Mala ya?" Pertanyaan konyol Rena sukses membuat Mala ternganga, sedangkan Alif hanya bersikap santai.
"Menurutmu?"
"Siapa pun Kamu. Kalau Kamu mau pacaran sama Mala, harus ramah sama kami. Kalau jutek dan angkuh begini tidak akan kami restui." Alif mulai tertarik dengan ucapan Rena. "Selain itu, kami tidak tahu, entah bagaimana cara Kamu menyuap Pak Ferdy sehingga kalian dibolehkan pacaran di sini. Yang jelas, kami juga akan mengenakan sanksi tiap kali kalian kencan di sini."
"Oh ya. Apa sanksi nya?" tanya Alif semakin tertarik
"Tiap kali kesini, harus bawa makanan yang banyak, jadi disaat kalian kencan di sini, kami di dalam bisa tenang dengan makanan kami. Bagaimana?" Rena menantang Alif dengan dagunya.
"Oke. Itu tidak masalah. Kalian pesan saja, apa yang harus ku bawa tiap kali kesini. Apa pun itu. Asal aku bisa bertemu dengan Mala." Kini giliran Rena yang mulai tertarik dengan ucapan Alif, teman-teman lainnya yang tadi nguping dipintu pembatas pun mulai antusias mendengan negosiasi diantara dua orang itu. Sebaliknya Mala, dia memijit keningnya bingung.
"Tapi ada pengecualian." Alif kembali bersuara. "Kalau kami ketemuan di luar sanksi itu tidak berlaku kan? Karena mulai besok, aku dan Mala akan berangkat kuliah bareng."
"What...?"
Mala dan teman-temannya spontan kaget mendengar penuturan Alif.
"Bagaimana bisa?" giliran Lusi yang angkat bicara.
"Aku kuliah di kampus yang sama dengan kalian. Fakultas Tekhik, satu tahun di atas kalian. Jadi, kurasa tidak ada salahnya jika mulai besok aku berangkat kuliah bareng Mala."
Alif menoleh dan menatap Mala dengan hangat. "Mala, kamu bersediakan mulai besok kita akan berangkat kuliah bareng?"
"BERSEDIA...!!! SANGAT BERSEDIA..." Ana mewakili Mala.
Obrolan mereka terhenti saat Bu Daty keluar membawakan buah rambutan ke luar. Rena yang sebelumnya tidak tahu kalau Alif adalah keponakan Bu Daty jelas saja kaget bukan main. Begitu pula teman Mala yang lainnya. Rena mulai menatap Mala dengan tatapan menuduh, sedangkan Mala hanya angkat tangan dan menggelengkan kepala.
"Ya udah, Bu. Sepertinya tidak ada lagi kepentingan kami di sini. Kami masuk dulu." Mala segera berdiri dari duduknya dan melangkah cepat membuka pintu penghubung. Saat hendak masuk, dia sempat menoleh ke Alif yang sedang tersenyum manis padanya.
***
Alif menepati ucapannya. Pagi itu, saat Mala berangkat kuliah dan hendak keluar dari gang kost mereka, tampak Alif sedang duduk di pinggir jalan, kelihatannya sedang menunggu seseorang. Begitu melihat Mala dan rombongannya, lelaki itu mendekat, meminta izin pada Lusi dan yang lainnya agar duluan. "Gimana kabarmu, Mala?" Alif memulai percakapan setelah teman-teman Mala duluan. "Kamu gila banget ya. Teman-temanku semua mengira kita benar-benar pacaran. Padahal kita aja baru ketemu kemaren." "Kamu percaya cinta pandang pertama kan? Dan begitulah aku. Mungkin bagimu ini terlalu cepat, tapi tidak denganku. Aku sudah lama menyimpan rasa padamu. Aku selalu berjalan di belakangmu saat pergi kuliah semenjak setahun yang lalu, kamu saja yang tidak menyadarinya. Aku sudah lama mengagumimu, Aku tahu kamu selalu berjalan menunduk, buru-buru, atau membaca buku sambil berjalan. Tapi yang aku tidak tahu adalah, kalau kamu nge-kost di sini dan tinggal di rumah bibiku."
Siang itu, karena tidak ada kegiatan lain Mala memutuskan untuk langsung pulang. Tidak ada rencana apa-apa hari ini. Teman-temannya kelihatan juga tidak ada yang berinisiatif untuk jalan-jalan kemana gitu. Lusi yang serumah dengannya pun buru-buru menyiapkan tas untuk pulang. Ngomong-ngomong tentang Lusi, Mala merasa ada yang berbeda dari sahabatnya itu semenjak mereka pulang lari pagi minggu lalu. Sekarang gadis itu lebih lama berdandan setiap kali pergi sekolah. Sering melamun dan kadang tersenyum sendiri. Sebenarnya Mala ingin bertanya, namun dia masih merasa belum saatnya. Dia pasti akan bertanya apa yang terjadi dengan sahabatnya itu, mungkin nanti malam. Sampai di luar ruangan mereka dikejutkan dengan Alif yang sudah menunggu dekat pohon ditaman. Seperti hari-hari sebelumnya, cowok itu kelihatan tampan. Beberapa mahasiswi tampak sengaja menggodanya. Namun, dasar Alif cowok dingin, dia cuek saja. Lusi yang melihat itu menggeleng-geleng kepala. Dia hanya tida
Tujuh Tahun Lalu... Sudah dua hari ini Mala mengikuti kegiatan Bina Ruhani, sebuah kegiatan yang dibuat untuk membina anak-anak sekolah untuk mengisi hari libur kenaikan kelas, yang diadakan pemerintah setempat. Peserta kegiatan ini adalah seluruh siswa SMA, SMP yang sudah duduk di tingkat di tempat Mala tinggal. Hari ini, para siswi ditugaskan untuk menyiapkan makan malam. Semua masakan itu harus kelar sebelum waktu Maghrib datang. Sehabis Maghrib rencananya akan dilanjutkan dengan rangkaian acara-acara yang lain sampai tengah malam. Ditengah kesibukan itu, suara adzan berkumandang, menandakan waktu shalat Ashar telah tiba. Adzan berkumandang dengan sangat merdu dan membuat Mala menghentikan aktivitasnya. Suara itu adalah suara anak laki-laki, bukan suara orang dewasa. Penyeru adzan itu pasti bukan salah satu dari teman-teman sekolahnya, karena mereka tidak ada yang memiliki kemampuan untuk itu. Tanpa pikir panjang, Mala segera melompat ke d
Hari itu adalah hari pertama Masa Orientasi Siswa. Mereka dibagi dalam beberapa kelompok, dan dari pembagian itu, Mala berada di kelompok tiga. Karena hari itu adalah hari pertama, maka panitia yang terdiri dari kakak-kakak kelas menyuruh bergotoroyong membersihkan kelas masing-masing. Mala ambil bagian menyapu lantai bersama empat orang lainnya. Beberapa orang murid cowok membantu menaikkan kursi ke atas meja. Mala tidak menyangka kalau ternyata dia tidak benar-benar kehilangan. Hampir sebagian besar teman-teman semasa SMP-nya melanjutkan ke sekolah yang sama dengannya. Dan, hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya adalah, Bian. Ya, ternyata Bian juga ada di sekolah yang sama dengannya. Flash back Dengan buru-buru Mala melangkah memasuki gerbang sekolah barunya. Ini MOS hari pertama dan dia tidak boleh telat. Gadis itu terus berjalan cepat, dan... BRUKK Mala menabrak seseorang yang sepertinya sengaja menghalan
Berada di kelas unggul tidaklah mudah. Persaingan sangat ketat. Mereka harus belajar dengan gigih untuk mendapatkan nilai terbaik. Kemampuan mereka yang hampir semua diatas rata-rata, membuat para guru terkadang bingung untuk memilih pemuncak kelas, karena nilai mereka banyak yang sama.Bagi Mala sendiri, belajar keras bukanlah hal baru. Dia dengan mudah beradaptasi dan menjalani hari-hari sekolah dengan santai. Hubungannya dengan Bian pun berjalan seperti apa yang mereka sepakati. Berteman. Hanya berteman. Namun, ada satu hal yang kadang membuat Mala tidak nyaman di kelasnya, yaitu Alfa.Tidak tahu kenapa, cowok berkulit hitam manis itu sering kali kepergok sedang memperhatikannya. Karena penasaran, Mala pun mencerikannya pada teman sebelahnya, namun temannya itu malah mengatakan pada teman-teman lain yang duduk berdekatan dengan mereka.“Tandanya Alfa suka sama Mala.” ucap temannya itu.“Kayaknya emang bener banget tuh, si
Istirahat hari ini Mala sengaja ke kantin bareng Alfa. Dia berencana akan memberikan jawaban terhadap pernyataan yang disampaikan Alfa dua hari lalu. Dengan mengumpulkan segenap keberaniannya, Mala menatap Alfa yang sedang duduk salah tingkah di depannya. Mala berharap, apapun keputusannya, Alfa akan menerima dengan lapang dada. Baru saja ia hendak memulai pembicaraan, tiba-tiba kalimatnya jadi hilang melihat Adi yang sudah berdiri di belakang Alfa dengan tatapan marah. “Adi,…”. Alfa menoleh kebelakang. Di belakangnya Adi berdiri mematung dengan mata yang sarat amarah. Tanpa mengucapkan apa-apa, dia pun segera berbalik dan melangkah dengan setengah berlari meninggalkan kantin. “Aduh, gimana ini. Aku jadi nggak enak sama Adi, Al. Kamu tunggu bentar disini ya, Aku akan menemui dia, sebentar saja.” Tidak peduli bagaimana reaksi Alfa, Mala pun segera berlari menyusul Adi. “Adi, ada apa? Kamu marah? Emang aku salah lagi? Apa aku&nbs
Kembali ke masa kiniHari ini, seperti biasa, Alif sudah duduk di taman depan fakultas Ekonomi menunggu kuliah Mala selesai. Kali ini, dia tidak duduk sendirian, ada dua orang perempuan cantik yang tampak sedang bersenda gurau dengannya."Siapa mereka?" Lusi yang kebetulan juga keluar kelas mendekati Mala yang berdiri mematung tak jauh dari Alif."Kalau aku tidak salah, mereka adalah senior di jurusanku.""Mereka cantik sekali. Apalagi yang duduk di sebelah Alif. Kamu tidak cemburu?"Mala terkekeh, "Untuk apa cemburu, Alif bukan siapa-siapa aku juga." Mala menoleh dan menatap Lusi, "Karena tidak ada kuliah lagi, mari kita pulang. Tubuhku letih sekali, semalaman mengerjakan tugas." Mala melangkah dan menarik tangan Lusi, berjalan santai melewati Alif yang mengikuti dengan ekor matanya."Nirmala."Suara Alif menghentikan langkahnya membuat gadis itu berdiri diam di tempat. Sungkan sekali rasanya untuk berbalik dan menatap
Pagi itu,...Rena bangun dari tidurnya dengan mata yang sangat bengkak. Semalam dia tidak bisa tidur, telepon dari mamanya dikampung membuatnya pusing dan tidak fokus. Sementera teman sekamarnya, hanyut dalam buaian mimpi dalam tidurnya, dia malah duduk termenung di sudut kamarnya.Tidak ada satupun teman-teman kostnya yang tahu, kalau Rena seorang gadis yang selalu ceria dan cuek dengan masalah apapun, menyimpan sisi gelap dalam hidupnya. Rena tidak sekuat yang terlihat...Rena tidak setegar yang terlihat...Dia selalu tersenyum hanya untuk mengusir kesedihan yang selalu mengejarnya. Semalam, mamanya menelepon sambil menangis terisak-isak. Menceritakan bahwa kakaknya difonis mandul oleh dokter dan ada gejala kista. Pernikahahan kakaknya sudah berjalan hampir enam tahun, namun belum mendapatkan keturunan. Dan selama itu, tekanan dari keluarga suami tidak henti-hentinya datang. Akhir
"Mala..."Mala menoleh dan mendapati seorang lelaki tampan sedang menatapnya sendu. Bian yang juga berdiri disampingnya mengenggam erat tangan Mala. Dia masih mengenali orang itu. Kalau tidak salah ingat lelaki itu dulu pernah dekat dengan istrinya. Bukankah mereka dulu pernah bertemu saat masih kuliah? Rahang Bian mengeras."A...Alif..." ujar Mala pelan."Ternyata kamu masih mengenaliku." Lelaki yang ternyata adalah Alif itu tersenyum pahit. "Selamat atas pernikahanmu, Mala. Semoga bahagia. Apa kita bisa bicara sebentar, hanya berdua." pinta Alif menatap Mala harap.“Jika ada yang ingin dibicarakan, maka bicara disini saja, Lif.” Jawab Mala halus.Alif menatap Mala memohon, lalu ditatapnya Bian yang masih mengenggam erat tangan Mala."Mala adalah istriku. Jadi apapun masalahnya, juga masalahku. Tidak ada rahasia diantara kami." potong Bian cepat. Genggamannya pun semakin erat. Mala tersenyum dan menatap Bian hangat."Suamiku benar, Lif. Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?” ucap Ma
Mala bersenandung riang sambil melangkah kesana kemari di dapur. Seperti biasanya, setelah sepuluh hari lebih mereka menikah, ia selalu membuatkan sarapan untuk suaminya. Namun, pagi ini ada yang tak biasa, karena dari tadi tak henti hentinya bibirnya tersenyum lalu senandung cinta tak berhenti mengalun dari mulut itu. Menggambarkan suasana hatinya yang sedang berbunga-bunga.Akhirnya, setelah 10 hari menikah, semalam ia berhasil melaksanakan tugas sepenuhnya sebagai seorang istri. Melawan segala trauma yang selalu menghantuinya.Masakannya hampir selesai, saat deru suara motor terdengar di halaman depan. Itu adalah suaminya pulang dari masjid. Bahkan disaat beratnya godaan untuk kembali memeluk istrinya, lelaki itu tetap bangkit dan beranjak ke kamar mandi. Lalu setelah menunaikan shalat sunat sebelum shubuh dua raka'at ia pamit untuk menunaikan shalat Shubuh berjamaah ke masjid. Mala yang saat itu masih uring-uringan, merasa sangat malu pada suaminya itu. Hingga walau dengan sedikit
Bian menghela nafas lega setelah mobilnya sampai di rumah, setelah menempuh perjalanan lebih kurang 3 jam dari kota B. Disamping nya Mala tertidur dengan pulas. Diputarnya tubuh dan menatap sang istri yang tengah tertidur. Tangannya perlahan mengelus pipi halus itu dan merapikan anak rambut yang dengan nakal mengintip dari balik jilbabnya."Sungguh, kehadiranmu adalah anugerah terindah dalam hidupku. Aku janji akan menjaga anugerah itu dengan sebaiknya. Aku tak bisa menjanjikan bahwa kamu akan selalu bahagia denganku, tapi aku usahakan bahwa dalam kondisi apapun aku akan selalu ada untukmu."Tak tahan hanya memandang, Bian akhirnya tergoda untuk mengecup singkat pipi itu. Dan untuk beberapa saat dibiarkan bibirnya menempel pada pipi halus yang terasa dingin, mungkin karena suhu dalam mobil sehingga membuat istrinya kedinginan.Mala mengeliat karena merasa tidur nyenyaknya terusik. Perlahan dibukanya mata, dan hal pertama yang dilihatnya adalah wajah tampan suami yang berada tepat dide
Bian menghela nafas lega setelah mobilnya sampai di rumah, setelah menempuh perjalanan lebih kurang 3 jam dari kota B. Disamping nya Mala tertidur dengan pulas. Diputarnya tubuh dan menatap sang istri yang tengah tertidur. Tangannya perlahan mengelus pipi halus itu dan merapikan anak rambut yang dengan nakal mengintip dari balik jilbabnya."Sungguh, kehadiranmu adalah anugerah terindah dalam hidupku. Aku janji akan menjaga anugerah itu dengan sebaiknya. Aku tak bisa menjanjikan bahwa kamu akan selalu bahagia denganku, tapi aku usahakan bahwa dalam kondisi apapun aku akan selalu ada untukmu."Tak tahan hanya memandang, Bian akhirnya tergoda untuk mengecup singkat pipi itu. Dan untuk beberapa saat dibiarkan bibirnya menempel pada pipi halus yang terasa dingin, mungkin karena suhu dalam mobil sehingga membuat istrinya kedinginan.Mala mengeliat karena merasa tidur nyenyaknya terusik. Perlahan dibukanya mata, dan hal pertama yang dilihatnya adalah wajah tampan suami yang berada tepat dide
Bian melangkah pelan mengikuti rombongan pejabat perusahaan menuju ruang pimpinan. Kepalanya masih celingukan ke belakang menunggu istri tercinta yang masih belum juga tampak. Tadi, mereka terpaksa berpisah karena Mala yang mendadak dihampiri oleh puluhan karyawan yang hendak minta maaf sekaligus mengucapkan salam perpisahan padanya. Sebenarnya ingin sekali menemani, takut jika terjadi hal diluar dugaan lagi, namun tarikan halus di ditangannya mengurungkan niatnya."Sudahlah! Kupastikan dia aman sekarang. Tak akan ada yang berani mengganggunya lagi. Disamping kebenaran yang telah terungkap, semua orang tahu bahwa Mala adalah isteri salah satu pemegang saham di sini, mana ada yang berani usil lagi padanya. Termasuk si Raditya itu" ujar Donny yang membuat Bian tersenyum.Tetap saja dia mencemaskan istrinya."Tetap saja hatiku tak tenang, Bang. Dia masih trauma. Abang tak merasakan bagaimana nelangsanya adikmu ini, walau sudah menjadi istri sah pun, aku sama sekali tak bisa berbuat banya
“Saya memiliki semua rekaman cctv kejadian itu, karena kebetulan saat kejadian itu saya berada di hotel yang sama dengan Pak Raditya. Saya bisa saja memutar semua cctv itu di sini, tapi karena permintaan dari istri saya, opss…” Bian pura-pura keceplosan, lalu tersenyum manis pada Mala, “Karena permintaan dari Nirmala, agar rekaman cctv itu tidak diputar karena bisa menyebarkan aib orang lain, makanya saya tidak memperlihatkan cctv itu.”Bian melangkah tanpa canggung dan berjalan didepan semua yang hadir, layaknya seorang dosen yang sedang memberikan kuliah pada semua mahasiswanya. Langkahnya berakhir tetap di depan dua orang wanita yang tadi tidak mempercayai pengakuan Raditya.“Hei, Nona berdua. Mungkin anda adalah penggemar pak Radit, jadi sah-sah saja jika anda tak akan percaya apapun kesalahan yang dilakukan oleh idola anda. Its okey. Tapi coba anda lihat sebagai sisi wanita, saat ini Nirmala, wanita yang sedang anda hujat itu sedang mengalami trauma berat. Trauma atas kejadian na
Mala duduk dengan gelisah didepan puluhan mata yang memandangnya dengan tatapan yang beragam. Di sebelahnya Radit tak kalah gelisah, semua ini sungguh diluar dugaannya. Dikiranya pertemuan di aula siang ini akan menjadi saksi keberhasilannya mendapatkan hati dan cinta dari wanita yang disukai, namun kenyataan berkata lain. Apalagi saat sesekali ekor matanya menatap lelaki yang duduk dengan tenang disampingnya pimpinan perusahaannya. Entah apa hubungan lelaki itu dengan orang nomor satu diperusahaan itu? Yang jelas kehadirannya membuat keberaniannya nyaris hilang, karena bagaimana pun, lelaki itu mengetahui semua kejahatan yang dilakukannya pada Mala.Belum lagi, mengingat bagaimana reaksi Mala saat lelaki itu muncul. Mala berlari dan menghambur kepelukan lelaki itu dan mendekapnya erat. Membuat hati Radit bagai ditusuk belati karena sakit membayangkannya. Dengannya, jangankan memeluk, dipegang tangan sedikit saja gadis itu sudah tak ubahnya macan betina.Kebingungan itu sebenarnya jug
Mala duduk termenung di kursi kerjanya, tak menghiraukan rekan kerja yang sedari tadi saling pandang satu sama lain, tak ada yang berani bicara. Sekembalinya dari HRD Mala menjadi diam seribu bahasa. Hanya termenung tanpa melakukan apa-apa.Setelah merasa hatinya agak tenang, diangkatnya kepala lalu memandang semua yang ada di ruangan itu sendu. Kurang lebih dua tahun bekerja disana, sekarang harus pergi dengan hati yang terluka. Dikiranya ia akan bisa pamit dengan hati tenang, dan melupakan masalah dengan Radit. Tapi kenyataan memang tak seindah bayangan. Apalagi, sebentar lagi akan diadakan pertemuan di aula, dan semua orang akan mengadilinya. Tatapan sinis dari puluhan pasang mata akan menghujaninya. Diusapnya wajah kasar, lalu untuk menghibur diri di coba menghubungi seseorang yang beberapa hari ini mampu memberi ketenangan dan kekuatan saat masalah datang padanya.Hanya menyapa, itu yang bisa dilakukannya, karena takut akan merusak konsentrasi lelaki itu disana. Namun diluar per
Bian menyesap secangkir teh panas yang dihidangkan padanya oleh asisten dari lelaki yang kini sedang duduk di depannya. Lelaki yang berusia 35 tahun itu tampak sangat gagah dan tampan dengan gayanya yang kasual.Setelah melepas Mala masuk ke kantor, hatinya tetap tak tenang, sehingga diputuskan untuk menghubungi salah satu mahasiswa yang kuliah hari ini denganya, minta maaf karena tak bisa masuk dan minta ganti perkuliahan di hari lain. Awalnya, ia ragu juga ingin ikut campur, tapi saat tanpa sengaja mendengar percakapan miring tentang Mala oleh dua orang karyawan yang baru datang, dan sempat numpang berkaca dimobilnya, hati lelaki itu menjadi panas. Bayangan betapa hancur hati istrinya mendengar berita itu sungguh membuatnya tak tenang.Mungkin nasib baik memang sedang memihaknya, atau mungkin begitu cara Allah memudahkan langkahnya. Kantor tempat Mala bekerja ternyata adalah milik salah seorang seniornya saat ikut organisasi dulu. Bahkan atas tawaran dari seniornya itu, dia juga m