Berada di kelas unggul tidaklah mudah. Persaingan sangat ketat. Mereka harus belajar dengan gigih untuk mendapatkan nilai terbaik. Kemampuan mereka yang hampir semua diatas rata-rata, membuat para guru terkadang bingung untuk memilih pemuncak kelas, karena nilai mereka banyak yang sama.
Bagi Mala sendiri, belajar keras bukanlah hal baru. Dia dengan mudah beradaptasi dan menjalani hari-hari sekolah dengan santai. Hubungannya dengan Bian pun berjalan seperti apa yang mereka sepakati. Berteman. Hanya berteman. Namun, ada satu hal yang kadang membuat Mala tidak nyaman di kelasnya, yaitu Alfa.
Tidak tahu kenapa, cowok berkulit hitam manis itu sering kali kepergok sedang memperhatikannya. Karena penasaran, Mala pun mencerikannya pada teman sebelahnya, namun temannya itu malah mengatakan pada teman-teman lain yang duduk berdekatan dengan mereka.
“Tandanya Alfa suka sama Mala.” ucap temannya itu.
“Kayaknya emang bener banget tuh, si Alfa menyimpan perasaan yang istimewa buat Kamu. Liat aja dari sikapnya yang aneh kalo ketemu Kamu.” ucap teman yang lainnya.
Mala mencoba untuk tidak mengindahkan tanggapan teman-teman yang semuanya mengatakan bahwa Alfa menyukainya. Baginya itu tidak penting. Yang penting adalah sekolahnya.
Seperti hari ini, Mala menoleh ke sudut belakang kelas, dan lagi dia memergoki Alfa sedang menatapnya. Lama kelamaan, gadis itu dibuat risih dan merasa tak nyaman di tempatnya. Untuk memenangkan pikirannya, Mala berniat jam pelajaran ini akan ke perpustakaan. Dia tidak bisa konsentrasi mengikuti kelas.
Saat sedang mencari-cari buku, langkah seseorang mengagetkan Mala. Langkah itu mendekatinya, dan kini berdiri disampingnya. Ternyata Bian.
"Kenapa tidak masuk kelas?" tanya Bian sambil memilih-milih buku di rak.
"Aku merasa tidak nyaman saja." Mala kembali sibuk memilih buku. Jantungnya mulai tidak normal lagi. Detak jantung itu akan selalu kencang saat dekat dengan Bian.
"Mungkin dia menyukaimu." Bian mengedikkan bahunya. Mala menoleh cepat ke arahnya.
"Maksudmu?"
"Alfa menyukaimu."
"Biarkan saja, itu haknya dia. Aku tak peduli itu. Aku hanya merasa tidak nyaman dengan dia yang selalu memandangku seperti itu."
"Kamu sendiri, apa juga menyukainya?"
Mala menggeleng. "Aku tidak menyukainya. Aku hanya menyukai Bi ..." cepat-cepat Mala menutup mulutnya. Mengapa dia harus keceplosan sih, bikin malu saja di depan Bian.
Bian tersenyum. Tak ada lagi yang ingin ditanyakannya. Dia tau apa jawaban Mala. Karena dia juga menyukai Mala. Tapi, lagi-lagi, mereka belum saatnya untuk berlarut-larut dalam perasaan itu. Seperti pesan papanya, bahwa menyukai seseorang itu boleh. Tapi jangan sekali-sekali menjerumuskannya ke dalam dosa.
Apalagi untuk anak seusia mereka, belumlah saatnya untuk memupuk rasa suka pada lawan jenis. Walaupun banyak teman-teman disekolahnya yang kelihatan berpacaran, namun, Bian tidak akan ikut-ikutan. Dia akan menyimpan rasa sukanya sampai waktu yang tepat dan dia juga sudah pantas untuk mengutarakan rasa itu.
Bel tanda istirahat berbunyi, Mala segera meletakkan kembali buku-bukunya ke rak. Bian sudah lebih dulu keluar.
“Makan bakso yuk!”
Gangguan lainnya muncul. Ya, itu adalah Adi, dia akan selalu muncul dan mengagetkan. Setiap istirahat, dia akan selalu menunggunya keluar kelas di tiang dekat pintu masuk. Lalu dengan kocaknya mengajak gadis itu kesana-sini mengisi waktu istirahat. Di luar istirahat pun dia tidak segan-segan mengganggu. Tanpa sungkan dia akan selalu masuk ke kelas Mala dan menghampirinya dengan sejuta alasan.
“Mala yang jelek, pinjam pena 1 ya! Kelupaan.” Mengambil pena ditangan Mala, lalu beranjak pergi.
“Mala, hari ini belajar Sejarah kan? Bukunya aku pinjem dulu ya?” mengedipkan mata dan berlalu.
“Mala, pinjam aku rolmu bentar ya, bentar lagi pelajaran Matematika nih” mengacak-acak rambut Mala lalu pergi.
“Mala, kamusku ketinggalan nih, pinjam kamus kamu dulu yach?”
Selalu saja ada alasannya untuk menghampiri Mala di kelas, tanpa peduli tatapan-tatapan sinis dari teman-teman kelasnya.
“Hallo, kamu mikirin apa sih?” Adi membuyarkan lamunannya. Mala menggeleng dan melangkah disampingnya menuju kantin untuk makan bakso.
“Adi, Alfa itu orangnya gimana sih?” saat makan bakso Mala coba berbagi pikiran dengan Adi. Sikap Alfa yang aneh itu benar-benar membuatnya gundah dan tak nyaman.
“Anaknya baik banget.”
“Trus, gimana lagi. Setahu kamu gimana sikapnya?”
Adi diam sesaat, lalu melanjutkan makannya. Sepertinya nggak ada niat menjawab pertanyaan gadis itu.
“Adi..."
“Mala, pliis ...! Jangan ngomongin Alfa kenapa sih? Merusak selera makan aja ngomongin hal yang nggak penting kayak gitu.”
“Loh, kok jadi sewot gitu? Emang kenapa?”
“Aku nggak suka. Mengerti?”
Itulah awal ketidak harmonisannya dengan Adi. Awalnya hubungan yang dianggap Mala sebagai persahabatan itu terasa indah. Namun tiap kali Mala menyebut nama Alfa, dia kan marah dan cerewetnya kambuh lagi. Dan jika cerewetnya sudah kumat, Mala akan memilih diam.
“Mala, dari mana aja, dari tadi dicariin.” salah seorang teman sekelasnya menyusul saat hendak menuju perpustakaan. “Alfa mencarimu tuh, katanya ada hal penting yang mau diomongin sama kamu.”
“Alfa?” Dimana?”
“Sekarang dia di kelas. Buruan gih sana, ntar jam istirahat keburu habis.”
Ragu-ragu, namun Mala segera menuju kelas. Di sana Alfa sedang larut dalam keasyikannya melukis. Sementara itu Bian sedang duduk di kursinya sambil membaca buku, sepertinya bahasa Inggris. Saat Mala masuk, cowok itu menatapnya dalam. Langkahnya yang tadi santai menjadi kaku. Matanya tak lepas dari cowok itu. Dia terus melangkah dan setelah melewati meja Bian, barulah ia bisa kembali bernafas normal. Tatapan Bian kali ini berbeda. Perasaan tadi di perpustakaan masih ramah.
“Alfa, kamu mencariku? Ada apa?”
Alfa mendongakkan kepala dan menatap Mala lembut, senyum manis yang menggoda itu tersungging di bibirnya.
“Tadi aku pengen ngajak Kamu makan bareng, Mala, tapi kamu keburu menghilang.”
“Ooo... tadi aku diajak Adi, kamu tahu kan sepupumu itu suka seenaknya sendiri.” jawab Mala sewot
“Bareng Adi ya?” Alfa manggut-manggut. “ Kalian pacaran?”
“What? Pacaran? Nggak mungkinlah Al, kita itu cuma sahabat kok.”
“Bener tuh? Jujur? Nggak bohong sama aku?”
“Pacaran apaan? Orang berantem aja hampir tiap hari. Adi itu cerewetnya minta ampun. Kalo pacaran sama dia, bisa mati berdiri tuh cewek.”
Alfa tersenyum mendengar ucapan Mala yang blak-blakan. Senyum yang sulit diartikan. Mala pun balas tersenyum.
“Jika benar kamu dan Adi tidak pacaran. Maukah Kamu jadi pacarku? Aku suka banget sama kamu Mala. Nggak tahu sejak kapan rasa ini muncul. Mungkin sejak pertama melihatmu berantem dengan Adi. Maukan kamu jadi pacarku?”
Senyum di bibirnya hilang. Mala kaget bukan main mendengar ucapan Alfa. Rasanya tidak percaya. Dia meminta Mala jadi pacarnya? Mala tidak memberi jawaban apa-apa, masih kaget dengan ucapannya. Mala bingung harus menjawab apa.
“Maaf Al, aku tidak bisa jawab sekarang. Minta waktunya beberapa hari ya. Kupikir-pikir dulu.” Mala tidak tega langsung menolak Alfa, takut nanti terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Jadi untuk sementara, dia bisa menolak secara halus dengan kata-kata itu.
“Oke. Kamu nggak mesti jawab sekarang kok.”
Tiba-tiba Alfa meraih tangannya, dan menggenggam erat yang mengundang tatapan aneh teman-teman yang mulai masuk ke kelas. Tak terkecuali, seseorang yang duduk di barisan paling depan yang memandang sambil mengepalkan tangannya kuat-kuat.
“ Tapi ingat ya, aku nggak mau ditolak.” Alfa tersenyum manis dan mengedipkan mata pada Mala. Mala ternganga mendengar ucapan itu.
“ Hehehe…jangan kaget sampe segitunya lah, Mala. Aku cuma bercanda, apapun jawabanmu nanti, akan kuterima dengan ikhlas. Ok!”
Sebelum teman-teman kelas nya semakin banyak, Mala berlalu dari tempat Alfa menuju tempat dudukku. Saat melewati tempat duduk Bian, Mala kembali menoleh padanya dan cowok itu asyik dengan bukunya dan sepertinya tidak peduli dengan keadaan sekitarnya. Mala lega, semoga saja Bian tidak melihat saat Alfa yang tiba-tiba memegang tangannya.
"Mala...“ Suara Bian sangat halus, hampir tidak terdengar, namun samar-sama Mala masih bisa mendengarnya. Secepatnya ia menoleh dan mendapati Bian yang menatapnya tajam dan wajah menahan amarah. Mala jadi risih dengan tatapanya yang tidak seperti biasanya.
“Bian, ada apa? Kenapa memandangku dengan cara seperti ini? Apa ada yang salah denganku?”
“Mala, kamu berubah banget sekarang. Hampir-hampir aku tidak kenal lagi denganmu.”
“Maksudmu?”
Dia berdiri dan mendekatkan tubuhnya pada Mala. Bicara dengan pelan, agar tidak didengar yang lain.
“Aku kangen dengan seorang gadis kecil yang terpaku menatapku ditengah masjid menjelang shalat Ashar. Aku kangen dengan gadis kecil yang menyapaku malu-malu setiap kali ketemu menjelang belajar tilawah. Aku juga kangen dengan gadis kecil yang sering curi-curi pandang padaku saat kita belajar bersama. Sekarang, dia sudah nggak ada lagi. Yang ada sekarang, sosok yang sama sekali nggak kukenali.”
“Bian, aku sama sekali nggak paham maksudmu.”
Bian menggeleng, “ Baguslah kalo kamu nggak paham. Karena emang seharusnya kamu nggak perlu paham. Kamu nggak akan pernah paham dengan keadaan sekitarmu, karena kamu sibuk dengan diri sendiri.” Tanpa menghiraukan Mala Bian melanjutkan bacaannya.
****
Besok ada ulangan Biologi, tapi Mala sama sekali tidak bisa belajar dengan konsentrasi. Kejadian-kejadian waktu di sekolah, siang tadi selalu teringat. Ucapan Alfa dan Bian membuatnya pusing.
Mengenai Alfa, sebenarnya dia tidak terlalu ambil pusing. Dia hanya perlu mengumpulkan segenap keberaniannya untuk mengatakan tidak bisa pada anak itu. Yang membingungkannya justru perasaanya sendiri kepada Bian. Semakin hari cowok itu makin menjauh darinya. Entahlah. Dia sendiri juga bingung. Entah siapa yang menghindar diantara mereka, Mala sendiri juga tidak pernah punya waktu untuk sekedar berjumpa cowok itu di jam istirahat sekolah, karena Adi selalu memonopoli.
Mala teringat kata-kata Alfa bahwa cowok itu menyukainya dari pertama kali mereka bertemu. Alfa menyukainya? Jatuh cinta padanya ? Apakah di usianya yang masih sangat belia ini Mala sudah pantas merasakannya. Alfa jatuh cinta padanya semenjak perjumpaan yang pertama. Dia menyukainya…?? Ah bukankah itu sama persis dengan apa yang dirasakan pada Bian? Mala menyukainya dari awal mereka bertemu, saat dia mengembalikan pena-nya di masjid, dalam acara pesantren kilat itu. Lalu apakah semua rasa itu pantas disebut cinta? Apakah itu artinya Mala jatuh cinta pada Bian..?? Jatuh cinta pada orang yang kini satu kelas dengannya? Orang yang sekarang sangat dekat keberadaannya dengannya. Yach, Mala dan Bian sekarang sangat berdekatan, namun kenyataannya sekarang mereka menjadi semakin jauh. Kamunikasi antara mereka pun semakin jarang, tidak seperti pertama sekolah dulu.
Mala pun teringat Adi. Entah kenapa Mala merasa ada yang dirahasiakann darinya. Mala tidak pernah bisa membaca apa yang ada dipikirannya. Cara dia memperhatikannya, senyuman lepasnya saat bersama Mala, dan sikap aneh yang kadang muncul tanpa disadarinya. Namun, mengapa dia selalu marah setiap kali disinggung soalan Alfa? Setahunya, sebelumnya mereka berteman sangat dekat. Kenapa sekarang, dia tidak suka saat ada orang yang menanyakan tentang sahabatnya? Bahkan tidak jarang, sekarang mereka terkesan sedang bersaing untuk mendapatkan sesuatu. Tapi apa ya?
Capek memikirkan ketiga cowok itu, Mala pun tertidur pulas di meja belajarnya. Buku Biologinya masih tersenyum manis di atas meja, seolah menertawakan dia yang kebingungan memikirkan hal yang seharusnya tidak dipikirkan.
****
“Semua siap di tempat..!! Hari ini kalian akan latihan Voly. Kalian semua harus tetap berada dilapangan ini. Jika ada yang meninggalkan lapangan dengan alasan yang tidak jelas, akan dianggap absen dari pelajaran olahraga hari ini.” Pak Hendro guru Olahraga berdiri dan memberi aba-aba di depan para siswa. Dan seperti yang bisa ditebak, setelah guru itu pergi para murid pun sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang memang bermain Voly, sebagian cowok memilih bermain sepak bola, dan sebagian besar murid perempuan memilih duduk dipinggir lapangan sambil menggosip. Tak terkecuali Mala. Gadis itu duduk di pinggir lapangan bersama teman sekelasnya dengan tatapan tak lepas dari Bian yang sedang asyik bermain voly di tengah lapangan. Lelaki jenius itu kelihatan sangat tampan. Bagaimana Mala bisa tidak tergoda dengan pesonanya. Tak lama kemudiann, dirasanya perutnya mulai tak nyaman, mungkin tamu bulanannya datang. Tak ingin menebak-nebak, ia segera minta izin untuk ke toilet. Namun, tanpa disadarinya bola sedang mengarah tepat ke arahnya. Mala sama sekali tidak mengetahui kalau sebentar lagi bola itu akan menabrak kepalanya.
“Mala, awas…!!” Bian berteriak dari tengah lapangan dengan wajah cemas dan belari ke arahnya. Namun, cowok itu kalah cepat karena tiba-tiba seseorang menarik Mala dan membawanya menghindari terjangan bola itu.
“Lo itu kenapa sih??” Adi menatapnya cemas.
Mala diam, masih belum percaya dengan apa yang terjadi. Sedangkan Adi masih menggenggam tangannya dengan erat kelihatan banget kecemasan yang luar biasa dari tatapan matanya. Tidak jauh dari mereka berdiri, Bian menatap dengan pandangan yang sulit diartikan. Tapi rasa lega melihat perempuan itu baik-baik saja membuat Bian segera melangkah menjauh tanpa disadari Mala. Jika menurutkan isi hatinya, ingin sekali Bian mendekat dan menyamperin gadis itu, tapi dia tidak ingin sekolah semakin heboh. Cukup Adi yang digosipkan sebagai pacar Mala dan Alfa yang juga dikabarkan sudah menyatakan cinta pada Mala.
Cinta...
Bian terkekeh dan menggeleng-geleng mengingat kata-kata itu. Ya, mungkin memang terlalu dini, tapi dia tahu perasaan apa yang ada dihatinya. Bian jatuh cinta. Jatuh cinta pada gadis manis yang berdiri kaku menatapnya saat selesai mengumandangkan adzan di masjid itu. Lalu keadaan seperti mendukung semua perasaannya. Tiap kali bertemu dengan Dito, dia selalu menanyakan kabar gadis itu. Menanyakan semuanya. Dan setiap cerita yang mengalir dari mulut Dito, membuat rasa itu semakin besar.
Bian berencara melanjutkan sekolah ke Pesantren, karena dia yakin, murid dengan prestati gemilang dan latar belakang keluarga yang taat beragama seperti Mala, pasti melanjutkan kesana. Namun, saat hendak mengurus izin pindah rayon, dia bertemu gadis pujaannya itu, dan saat melihat bahu gadis itu naik turun menahan tangis, ketika melangkah meninggalkannya, Bian yakin, cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Mala juga mencintainya. Namun, gadis itu pasti tidak paham dengan perasaannya. Biarlah. Bian akan menunggu sampai saat itu tiba. Itulah tekadnya. Menunggu gadisnya. Ya, Mala adalah gadisnya. Cinta pertama seorang Bian.
Namun, semakin kesini, semuanya menjadi suram...
Bian berbalik menatap kebelakang dan melihat Adi yang masih setia mengomelin gadisnya.
“Kamu nyadar nggak dengan tindakan bodoh yang barusan kamu lakukan? Gimana kalo bola itu sampe mengenai kepalamu, trus kamu pingsan. Kamu pernah mikir nggak sih?” Adi masih belum bisa menghilangkan raut cemasnya.
“Ngapain kamu menolongku kalo nggak ikhlas? Aku nggak minta ditolong sama Kamu kan? Dasar cowok belagu.” Karena kesal dibentak-bentak didepan orang rame, Mala pun balas membentaknya.
“Mala, Aku bukannya nggak ikhlas, tapi kamu itu bikin Aku cemas banget.”
“Kalo cemas ngapain marah-marah?”
“Bukannya marah, Aku…”
“Apa? Cuma pengen beranten? Iya?
Dengan lemah Adi menggeleng dan menatap gadis di depannya dalam-dalam. “dijelasin pun, Kamu nggak akan pernah mengerti.”
“Aku nggak butuh penjelasan darimu. Capek dengan sikapmu yang kekanak-kanakan gini.” Tanpa menghiraukan Adi yang mencoba memberi penjelasan, Mala berlari menyeberangi lapangan menuju ke toilet.
“Kamu kenapa Mala? Berjalan kok nggak liat-liat sih? Untung tadi pacarmu yang baik hati itu segera menolongmu. Luar biasa banget, seperti dalam film-film. Sang pangeran menyelamatkan kekasihnya yang hampir kecelakaan.” Kedatangannya disambut dengan godaan salah seorang temannya yang kebetulan juga ingin ke toilet sambil mengedipkan mata.
“Pangeran apaan? Yang ada itu pangeran kodok.” Jawab Mala asal
“Kalian benar-benar serasi banget. Adi ganteng yang diincar cewek-cewek sekolah kita berpacaran dengan Mala, murid paling pintar dikelas satu. Sang juara dilokal unggul.” temannya itu menarik nafas. “Kayaknya, si Adi yang cerewet itu cinta mati banget sama Kamu.”
Mala hanya diam tidak ingin meladeni kepalanya sedikit pusing.
“Bukan rahasia lagi itu Mala, semua orang juga tahu itu kok. Beruntung banget Mala dicintai oleh cowok kayak Adi. Pokoknya kalian serasi banget.”ucap temannya itu semakin berapi-api.
Mala semakin pusing mendengar ocehan mereka. Kemana-mana pergi di lokasi sekolah ini selalu orang-orang bilang Mala dan Adi pasangan serasi. Tapi pasangan apaan?
Dengan lesu, gadis itu kembali ke lapangan dan memilih menyendiri di pojok. Dihempaskan tubuhnya dengan malas, dan ambil menatap ke tengah lapangan, memperhatikan teman-temannya yang sedang bermain voly. Mala terpaku pada salah satu sosok diantara mereka. Bian ada disana. Tiba-tiba Mala merasakan rindu yang sangat besar pada cowok itu.
***
Istirahat hari ini Mala sengaja ke kantin bareng Alfa. Dia berencana akan memberikan jawaban terhadap pernyataan yang disampaikan Alfa dua hari lalu. Dengan mengumpulkan segenap keberaniannya, Mala menatap Alfa yang sedang duduk salah tingkah di depannya. Mala berharap, apapun keputusannya, Alfa akan menerima dengan lapang dada. Baru saja ia hendak memulai pembicaraan, tiba-tiba kalimatnya jadi hilang melihat Adi yang sudah berdiri di belakang Alfa dengan tatapan marah. “Adi,…”. Alfa menoleh kebelakang. Di belakangnya Adi berdiri mematung dengan mata yang sarat amarah. Tanpa mengucapkan apa-apa, dia pun segera berbalik dan melangkah dengan setengah berlari meninggalkan kantin. “Aduh, gimana ini. Aku jadi nggak enak sama Adi, Al. Kamu tunggu bentar disini ya, Aku akan menemui dia, sebentar saja.” Tidak peduli bagaimana reaksi Alfa, Mala pun segera berlari menyusul Adi. “Adi, ada apa? Kamu marah? Emang aku salah lagi? Apa aku&nbs
Kembali ke masa kiniHari ini, seperti biasa, Alif sudah duduk di taman depan fakultas Ekonomi menunggu kuliah Mala selesai. Kali ini, dia tidak duduk sendirian, ada dua orang perempuan cantik yang tampak sedang bersenda gurau dengannya."Siapa mereka?" Lusi yang kebetulan juga keluar kelas mendekati Mala yang berdiri mematung tak jauh dari Alif."Kalau aku tidak salah, mereka adalah senior di jurusanku.""Mereka cantik sekali. Apalagi yang duduk di sebelah Alif. Kamu tidak cemburu?"Mala terkekeh, "Untuk apa cemburu, Alif bukan siapa-siapa aku juga." Mala menoleh dan menatap Lusi, "Karena tidak ada kuliah lagi, mari kita pulang. Tubuhku letih sekali, semalaman mengerjakan tugas." Mala melangkah dan menarik tangan Lusi, berjalan santai melewati Alif yang mengikuti dengan ekor matanya."Nirmala."Suara Alif menghentikan langkahnya membuat gadis itu berdiri diam di tempat. Sungkan sekali rasanya untuk berbalik dan menatap
Pagi itu,...Rena bangun dari tidurnya dengan mata yang sangat bengkak. Semalam dia tidak bisa tidur, telepon dari mamanya dikampung membuatnya pusing dan tidak fokus. Sementera teman sekamarnya, hanyut dalam buaian mimpi dalam tidurnya, dia malah duduk termenung di sudut kamarnya.Tidak ada satupun teman-teman kostnya yang tahu, kalau Rena seorang gadis yang selalu ceria dan cuek dengan masalah apapun, menyimpan sisi gelap dalam hidupnya. Rena tidak sekuat yang terlihat...Rena tidak setegar yang terlihat...Dia selalu tersenyum hanya untuk mengusir kesedihan yang selalu mengejarnya. Semalam, mamanya menelepon sambil menangis terisak-isak. Menceritakan bahwa kakaknya difonis mandul oleh dokter dan ada gejala kista. Pernikahahan kakaknya sudah berjalan hampir enam tahun, namun belum mendapatkan keturunan. Dan selama itu, tekanan dari keluarga suami tidak henti-hentinya datang. Akhir
"Alif...!"Seorang lelaki berwajah tampan keluar dari salah satu kamar kotrakan di dekat rumah Alif dan merentangkan kedua tangannya menyambut kedatangan Alif. Lelaki itu berperawakan tampan, dengan bobot tubuh yang sedikit lebih gemuk dari Alif. Jenggot tipis menghias di dagu lancipnya. hidung tidak semancung Alif, tapi itu tidak mengurangi kadar ketampanannya. Jika mereka berdiri berdampingan, maka penilaian yang sama akan diberikan pada mereka. Satu tampan, satu ganteng. Begitulah kira-kira."Reza" Alif menyambut tangan itu dan mereka pun berpelukan melepas kerinduan masing-masing.Lelaki itu bernama Reza. Seorang mahasiswa yang sudah beberapa tahun ini tinggal di kontrakan milik keluarga Alif. bagi Alif, Reza bukan hanya dianggap sebagai sahabat terbaik tetapi sudah dirasa seperti saudara sendiri."Bagaimana penelitianmu? Gila, selama empat bulan itu kamu tidak pulang-pulang ke sini? Betah banget di sana. Atau jangan-jangan udah kecantol pula sama gad
"Mala, ada titipan untukmu." Setibanya dikost mereka Lusi menyerahkan sebuah amplop pada Mala "Apa ini, Lusi?" Mala menerima dengan kebingungan. Lusi mengedikkan bahu. "Aku juga tidak tahu. Alif yang menyerahkan padaku. Katanya, saking bahagianya bisa bertemu denganmu lagi, dia sampai lupa menyampaikan titipan itu. "Kita buka aja kali ya." Tanpa menunggu lama, Mala segera membuka amplop itu dan menemukan sebuah kertas terlipat rapi didalamnya. Semakin penasaran, Mala langsung membuka kertas itu dan membaca rangkaian kalimat didalamnya. Teruntuk: Seorang bidadari yang telah meluluh lantakkan hatiku. Maaf, jika aku tidak berani bicara langsung padamu, Mala. Jujur, dari pertemuan pertama kita setahun yang lalu, aku sudah menaruh rasa padamu. Aku jatuh cinta padamu tapi hati ini begitu pengecut untuk sekedar menghampirimu dan menyatakan isi hatiku Dan sekarang
"Jadi, kamu menerima Reza?"Alif agak shock mendengar keputusan Mala pagi itu. Hari ini jadwal kuliah Mala siang, sehingga dia mengajak Alif untuk bertemu pagi hari sebelum kuliah."Bukannya ini yang kamu inginkan? Bukannya kemaren kamu mati-matian membujukku untuk menerima sahabatmu itu? Dan akhirnya, sebagai bukti kalau aku benar-benar sangat mencintaimu, aku penuhi permintaanmu." balas Mala dengan sangat lancar. Padahal, andaikan Alif tahu bagaimana beratnya hati gadis itu untuk mengucapkan semua itu."Aku hanya tidak percaya kamu mampu membuat keputusan dengan begitu cepat, Mala.""Bukankah kita tidak boleh menunda-nunda untuk memenuhi keinginan dari orang yang kita cintai? Semakin cepat dikabulkan semakin baik."Alif tersentak mendengar jawaban Mala yang lebih terdengar seperti raungan keputus asaannya."Maafkan aku, Mala. Gara-gara aku kamu jadi begini. Aku tahu tidak mudah untukmu melakukan semua ini.""Tidak mudah memang
Suasa taman kota sore ini sangat ramai. Disana sini tampak beberapa anak muda yang duduk bersama sehabis pulang kuliah untuk sekedar menghilangkan suntuk dan capek pulang kuliah. Di tengah taman itu tampak beberapa keluarga yang sedang asyik bercengkerama sambil melihat anak-anak mereka berlarian kesana kemari. Ada juga beberapa pasang muda-mudi yang sepertinya tengah dimabuk cinta yang duduk di sudut-sudut taman itu.Mala dan Reza melangkah berbaur dengan ramainya orang disana. Setelah terlebih dahulu membeli sedikit cemilan, diajaknya Mala duduk disalah satu tempat duduk di bawah pohon, melihat wahana hiburan yang juga sangat ramai sambil duduk berhadapan."Akhirnya, setelah kemaren gagal, sekarang Kakak bisa mengajakmu kesini. Kamu lihat sendiri kan, dibanding taman kota dekat kampusmu itu, disini jauh lebih seru."Mala mengangguk. Lagi, dengan sedikit memaksa, Reza berhasil membawanya ke taman kota untuk berkencan. Namun bukan Mala namanya jika dia tid
Malam ini, Alif sengaja mendatangi kost Mala. Rasa rindu pada wanita itu sudah tidak bisa dibendungnya lagi. Berbekal dengan hati yang masih belum pulih sepenuhnya, lelaki tampan itu memasuki pekarangan rumah dan membujuk bibinya untuk memberi izin bertemu dengan Mala."Kamu udah makan? Ini aku bawakan sate kacang kesukaanmu. Kamu makan gih!" Alif menyambut kedatangan Mala dengan senyum manis. Bahagia sekali rasanya melihat wanita itu."Aku baru aja selesai makan bareng teman-teman. Kalau aku makan sate lagi nanti aku jadi gendut lo, Lif.""Biar aja kamu gendut, aku akan tetap suka?" balas Alif menatap lekat-lekat wajah kekasihnya."Nanti kalau aku gendut, kamu tidak suka lagi sama aku. Kamu berpaling pada wanita lain. Kumbang bersayap indah sepertimu akan mudah berpindah ke bunga lain" Mala mengerucutkan bibirnya."Itu bukan karakter aku. Tapi, dipikir-pikir, bagus juga kalau kamu gendut, biar lelaki lain tidak ada lagi y
"Mala..."Mala menoleh dan mendapati seorang lelaki tampan sedang menatapnya sendu. Bian yang juga berdiri disampingnya mengenggam erat tangan Mala. Dia masih mengenali orang itu. Kalau tidak salah ingat lelaki itu dulu pernah dekat dengan istrinya. Bukankah mereka dulu pernah bertemu saat masih kuliah? Rahang Bian mengeras."A...Alif..." ujar Mala pelan."Ternyata kamu masih mengenaliku." Lelaki yang ternyata adalah Alif itu tersenyum pahit. "Selamat atas pernikahanmu, Mala. Semoga bahagia. Apa kita bisa bicara sebentar, hanya berdua." pinta Alif menatap Mala harap.“Jika ada yang ingin dibicarakan, maka bicara disini saja, Lif.” Jawab Mala halus.Alif menatap Mala memohon, lalu ditatapnya Bian yang masih mengenggam erat tangan Mala."Mala adalah istriku. Jadi apapun masalahnya, juga masalahku. Tidak ada rahasia diantara kami." potong Bian cepat. Genggamannya pun semakin erat. Mala tersenyum dan menatap Bian hangat."Suamiku benar, Lif. Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?” ucap Ma
Mala bersenandung riang sambil melangkah kesana kemari di dapur. Seperti biasanya, setelah sepuluh hari lebih mereka menikah, ia selalu membuatkan sarapan untuk suaminya. Namun, pagi ini ada yang tak biasa, karena dari tadi tak henti hentinya bibirnya tersenyum lalu senandung cinta tak berhenti mengalun dari mulut itu. Menggambarkan suasana hatinya yang sedang berbunga-bunga.Akhirnya, setelah 10 hari menikah, semalam ia berhasil melaksanakan tugas sepenuhnya sebagai seorang istri. Melawan segala trauma yang selalu menghantuinya.Masakannya hampir selesai, saat deru suara motor terdengar di halaman depan. Itu adalah suaminya pulang dari masjid. Bahkan disaat beratnya godaan untuk kembali memeluk istrinya, lelaki itu tetap bangkit dan beranjak ke kamar mandi. Lalu setelah menunaikan shalat sunat sebelum shubuh dua raka'at ia pamit untuk menunaikan shalat Shubuh berjamaah ke masjid. Mala yang saat itu masih uring-uringan, merasa sangat malu pada suaminya itu. Hingga walau dengan sedikit
Bian menghela nafas lega setelah mobilnya sampai di rumah, setelah menempuh perjalanan lebih kurang 3 jam dari kota B. Disamping nya Mala tertidur dengan pulas. Diputarnya tubuh dan menatap sang istri yang tengah tertidur. Tangannya perlahan mengelus pipi halus itu dan merapikan anak rambut yang dengan nakal mengintip dari balik jilbabnya."Sungguh, kehadiranmu adalah anugerah terindah dalam hidupku. Aku janji akan menjaga anugerah itu dengan sebaiknya. Aku tak bisa menjanjikan bahwa kamu akan selalu bahagia denganku, tapi aku usahakan bahwa dalam kondisi apapun aku akan selalu ada untukmu."Tak tahan hanya memandang, Bian akhirnya tergoda untuk mengecup singkat pipi itu. Dan untuk beberapa saat dibiarkan bibirnya menempel pada pipi halus yang terasa dingin, mungkin karena suhu dalam mobil sehingga membuat istrinya kedinginan.Mala mengeliat karena merasa tidur nyenyaknya terusik. Perlahan dibukanya mata, dan hal pertama yang dilihatnya adalah wajah tampan suami yang berada tepat dide
Bian menghela nafas lega setelah mobilnya sampai di rumah, setelah menempuh perjalanan lebih kurang 3 jam dari kota B. Disamping nya Mala tertidur dengan pulas. Diputarnya tubuh dan menatap sang istri yang tengah tertidur. Tangannya perlahan mengelus pipi halus itu dan merapikan anak rambut yang dengan nakal mengintip dari balik jilbabnya."Sungguh, kehadiranmu adalah anugerah terindah dalam hidupku. Aku janji akan menjaga anugerah itu dengan sebaiknya. Aku tak bisa menjanjikan bahwa kamu akan selalu bahagia denganku, tapi aku usahakan bahwa dalam kondisi apapun aku akan selalu ada untukmu."Tak tahan hanya memandang, Bian akhirnya tergoda untuk mengecup singkat pipi itu. Dan untuk beberapa saat dibiarkan bibirnya menempel pada pipi halus yang terasa dingin, mungkin karena suhu dalam mobil sehingga membuat istrinya kedinginan.Mala mengeliat karena merasa tidur nyenyaknya terusik. Perlahan dibukanya mata, dan hal pertama yang dilihatnya adalah wajah tampan suami yang berada tepat dide
Bian melangkah pelan mengikuti rombongan pejabat perusahaan menuju ruang pimpinan. Kepalanya masih celingukan ke belakang menunggu istri tercinta yang masih belum juga tampak. Tadi, mereka terpaksa berpisah karena Mala yang mendadak dihampiri oleh puluhan karyawan yang hendak minta maaf sekaligus mengucapkan salam perpisahan padanya. Sebenarnya ingin sekali menemani, takut jika terjadi hal diluar dugaan lagi, namun tarikan halus di ditangannya mengurungkan niatnya."Sudahlah! Kupastikan dia aman sekarang. Tak akan ada yang berani mengganggunya lagi. Disamping kebenaran yang telah terungkap, semua orang tahu bahwa Mala adalah isteri salah satu pemegang saham di sini, mana ada yang berani usil lagi padanya. Termasuk si Raditya itu" ujar Donny yang membuat Bian tersenyum.Tetap saja dia mencemaskan istrinya."Tetap saja hatiku tak tenang, Bang. Dia masih trauma. Abang tak merasakan bagaimana nelangsanya adikmu ini, walau sudah menjadi istri sah pun, aku sama sekali tak bisa berbuat banya
“Saya memiliki semua rekaman cctv kejadian itu, karena kebetulan saat kejadian itu saya berada di hotel yang sama dengan Pak Raditya. Saya bisa saja memutar semua cctv itu di sini, tapi karena permintaan dari istri saya, opss…” Bian pura-pura keceplosan, lalu tersenyum manis pada Mala, “Karena permintaan dari Nirmala, agar rekaman cctv itu tidak diputar karena bisa menyebarkan aib orang lain, makanya saya tidak memperlihatkan cctv itu.”Bian melangkah tanpa canggung dan berjalan didepan semua yang hadir, layaknya seorang dosen yang sedang memberikan kuliah pada semua mahasiswanya. Langkahnya berakhir tetap di depan dua orang wanita yang tadi tidak mempercayai pengakuan Raditya.“Hei, Nona berdua. Mungkin anda adalah penggemar pak Radit, jadi sah-sah saja jika anda tak akan percaya apapun kesalahan yang dilakukan oleh idola anda. Its okey. Tapi coba anda lihat sebagai sisi wanita, saat ini Nirmala, wanita yang sedang anda hujat itu sedang mengalami trauma berat. Trauma atas kejadian na
Mala duduk dengan gelisah didepan puluhan mata yang memandangnya dengan tatapan yang beragam. Di sebelahnya Radit tak kalah gelisah, semua ini sungguh diluar dugaannya. Dikiranya pertemuan di aula siang ini akan menjadi saksi keberhasilannya mendapatkan hati dan cinta dari wanita yang disukai, namun kenyataan berkata lain. Apalagi saat sesekali ekor matanya menatap lelaki yang duduk dengan tenang disampingnya pimpinan perusahaannya. Entah apa hubungan lelaki itu dengan orang nomor satu diperusahaan itu? Yang jelas kehadirannya membuat keberaniannya nyaris hilang, karena bagaimana pun, lelaki itu mengetahui semua kejahatan yang dilakukannya pada Mala.Belum lagi, mengingat bagaimana reaksi Mala saat lelaki itu muncul. Mala berlari dan menghambur kepelukan lelaki itu dan mendekapnya erat. Membuat hati Radit bagai ditusuk belati karena sakit membayangkannya. Dengannya, jangankan memeluk, dipegang tangan sedikit saja gadis itu sudah tak ubahnya macan betina.Kebingungan itu sebenarnya jug
Mala duduk termenung di kursi kerjanya, tak menghiraukan rekan kerja yang sedari tadi saling pandang satu sama lain, tak ada yang berani bicara. Sekembalinya dari HRD Mala menjadi diam seribu bahasa. Hanya termenung tanpa melakukan apa-apa.Setelah merasa hatinya agak tenang, diangkatnya kepala lalu memandang semua yang ada di ruangan itu sendu. Kurang lebih dua tahun bekerja disana, sekarang harus pergi dengan hati yang terluka. Dikiranya ia akan bisa pamit dengan hati tenang, dan melupakan masalah dengan Radit. Tapi kenyataan memang tak seindah bayangan. Apalagi, sebentar lagi akan diadakan pertemuan di aula, dan semua orang akan mengadilinya. Tatapan sinis dari puluhan pasang mata akan menghujaninya. Diusapnya wajah kasar, lalu untuk menghibur diri di coba menghubungi seseorang yang beberapa hari ini mampu memberi ketenangan dan kekuatan saat masalah datang padanya.Hanya menyapa, itu yang bisa dilakukannya, karena takut akan merusak konsentrasi lelaki itu disana. Namun diluar per
Bian menyesap secangkir teh panas yang dihidangkan padanya oleh asisten dari lelaki yang kini sedang duduk di depannya. Lelaki yang berusia 35 tahun itu tampak sangat gagah dan tampan dengan gayanya yang kasual.Setelah melepas Mala masuk ke kantor, hatinya tetap tak tenang, sehingga diputuskan untuk menghubungi salah satu mahasiswa yang kuliah hari ini denganya, minta maaf karena tak bisa masuk dan minta ganti perkuliahan di hari lain. Awalnya, ia ragu juga ingin ikut campur, tapi saat tanpa sengaja mendengar percakapan miring tentang Mala oleh dua orang karyawan yang baru datang, dan sempat numpang berkaca dimobilnya, hati lelaki itu menjadi panas. Bayangan betapa hancur hati istrinya mendengar berita itu sungguh membuatnya tak tenang.Mungkin nasib baik memang sedang memihaknya, atau mungkin begitu cara Allah memudahkan langkahnya. Kantor tempat Mala bekerja ternyata adalah milik salah seorang seniornya saat ikut organisasi dulu. Bahkan atas tawaran dari seniornya itu, dia juga m