Hari itu adalah hari pertama Masa Orientasi Siswa. Mereka dibagi dalam beberapa kelompok, dan dari pembagian itu, Mala berada di kelompok tiga. Karena hari itu adalah hari pertama, maka panitia yang terdiri dari kakak-kakak kelas menyuruh bergotoroyong membersihkan kelas masing-masing. Mala ambil bagian menyapu lantai bersama empat orang lainnya. Beberapa orang murid cowok membantu menaikkan kursi ke atas meja.
Mala tidak menyangka kalau ternyata dia tidak benar-benar kehilangan. Hampir sebagian besar teman-teman semasa SMP-nya melanjutkan ke sekolah yang sama dengannya. Dan, hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya adalah, Bian. Ya, ternyata Bian juga ada di sekolah yang sama dengannya.
Flash back
Dengan buru-buru Mala melangkah memasuki gerbang sekolah barunya. Ini MOS hari pertama dan dia tidak boleh telat. Gadis itu terus berjalan cepat, dan...
BRUKK
Mala menabrak seseorang yang sepertinya sengaja menghalangi langkahnya. Dengan kesal, gadis itu menoleh pada penghalang itu dan bersiap memakinya. Namun, makiannya tinggal di tenggorokan. Seseorang yang akhir-akhir ini selalu menganggu pikirannya sedang berdiri dan menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Bian? Benarkah ini dirimu? Aku tidak mimpi kan?" Mala mendekat dan mengamati anak itu lekat-lekat.
Bian tersenyum dan menjawil hidung Mala sedikit keras hingga gadis itu mengaduh kesakitan. "Ini aku. Your Prince. Jadi jangan nangis lagi! Sekarang aku sudah sekolah di sekolah yang sama denganmu. Kamu bisa bertemu aku tiap hari."
Mala melotot. Wajahnya memerah. Dia baru tahu kalau anak laki-laki yang dikaguminya itu begitu percaya diri. Your prince, apa maksudnya.
"Kamu kepedean. Pangeran apaan. Pangeran kodok kali."
Mala memalingkan wajanya menyembunyikan senyuman manis tanda kebahagiaan. Dia benar-benar bahagia mendengar pengakuan Bian. Andai saja tidak ada orang, pasti dia sudah melompat-lompat saking bahagianya.
"Dan, aku tidak pernah menangis karena tidak bisa satu sekolah denganmu. Aku juga tidak menangis karena tidak akan bertemu denganmu lagi."
Bian terkekeh...
"Jangan berbohong!" Jeda sejenak. "Hari itu, aku melihatmu menangis. Aku langsung tau kalau kamu menangis karena tidak bisa satu sekolah denganku."
Mala berusaha menyembunyikan wajahnya dengan kedua telapak tangan. Sungguh dia sangat malu.
" Mari, kita mulai sekolah baru ini dengan cerita yang manis. Aku bahagia karena akhirnya aku bisa bersamamu, Mala. Aku tidak perlu repot-repot lagi menanyakan kabarmu pada Dito." Bian menggenggam tangan Mala erat, dan mengajaknya melangkah bersama menuju papan pengumuman, melihat pembagian kelas untuk kegiatan baru di sekolah baru mereka.
“Aduh!, Woi! bisa hati-hati nggak sih?” seorang cowok menghardiknya dengan suara lantang saat Mala menyapu sambil melamun. Mala keheranan. Pasalnya ia tidak merasa telah berbuat salah padanya.
“Emang kenapa? Apa ada yang salah?” serangnya kemudian.
“Sapu itu mengenai sepatu baruku.”
“Idih, baru kena sepatu juga udah belagu banget.” Mala cuek lalu memukulkan sapu ke sepatu kanannya. “Nah, puas?”
“Kamu itu ya, sayang aja cewek, coba kalo cowok. Sekarang bersihin nggak sepatuku. Kotor banget kena debu dari sapumu itu.”
“Apa? Bersihin? Emang kamu siapa?”
“Ada apa, Di?” seorang cowok muncul dan berdiri disamping cowok yang barusan berdebat dengan Mala.
“Ini Al, cewek genit. Coba-coba cari perhatian dengan mengotori sepatu ku. Nggak dimana-mana murid cewek itu sama, ya. Mencari perhatian cowok tampan dengan berbagai cara”
“Apa Kamu bilang? Aku genit? Emang siapa yang mulai duluan sih? Kamu kan?” Mala kesal banget.
Mala berpaling pada cowok yang berdiri disampingnya yang terus memandanginya. Cowok itu tersenyum manis. Manis sekali. Keningnya berkerut, dan mengalihkan tatapan pada kedua cowok itu bergantian. Hal itu dilakukannya berkali-kali. Kedua cowok itu sangat mirip. Bedanya yang satu lebih pendek, hitam manis, dan kelihatan lebih berwibawa. Sedangkan yang bermasalah dengannya sedikit lebih tinggi, kulitnya kuning, dan di bibirnya ada tahi lalat. Pantas saja cerewet. Tapi harus diakuinya, mereka ganteng banget. Jauh lebih tampan dari Pangerannya. Bian-nya.
“Hai, kenalkan, namaku Alfa. Dan ini temanku, namanya Adi.” Cowok hitam manis itu mengulurkan tangan dengan senyum manis yang masih tersungging di bibirnya.
“Kalian, kembar ya?” tanya Mala.
“Kembar? Kembar dari Hongkong.” Sanggah cowok bernama Adi sambil tertawa lepas.
“Habisnya kalian mirip.”
"Kamu bukan orang pertama yang mengatakan itu. Aku dan Alfa emang mirip, tapi kami bukan saudara. Apalagi kembar. Kami sepupuan"
Mala mengangguk mendengar jawaban Alfa.
“Jadi kamu berasal dari desa yang sama dengan Bian?”tanya Adi kemudian. Mala mengangguk dengan sangat bersemangat.
"Kami berasal dari desa yang sama, tapi sekolah kami berbeda. Di desaku ada beberapa sekolah dasar, karena sangat luas dan penduduknya juga lumayan ramai.
Adi manggut-manggut. Dia ingat, tadi melihat Mala berjalan bersama Bian. Mereka kelihatan akrab. Saat berkenalan dengan Bian, dia tidak lupa menanyakan tentang anak cewek yan bersamanya, yang ternyata adalah Mala.
"Kirain satu sekolahan. Akrab banget kelihatannya. Sudah kenal lama?" tanya Adi lagi.
"Kepo banget sih kamu." Alfa menarik Adi. "Ayo, sekarang kita lanjutkan bersih-bersihnya. Aku tau banget modusmu yang tidak bisa tenang sebelum menganggu cewek-cewek."
Mala terkikik melihat Adi yang ditarik paksa oleh temannya. Berhubung tugasnya sudah selesai, bersama teman-teman yang lain Mala segera bergabung ke lapangan untuk mengikuti rangkaian kegiatan yang lain.
Disana ternyata para siswa yang lain sudah pada berkumpul. Dan selama berkumpul di lapangan itu, tak henti-hentinya Adi berceloteh disampingnya, sedangkan Mala mendengarkan antara iya dan tidak karena matanya tak henti-hentinya mengamati setiap gerakan sekecil apa pun itu dari salah seorang siswa yang ada dikelompok satu. Siapa lagi kalau bukan Bian.
Walau dalam kegiatan itu mereka tidak berada di kelompok yang sama, tapi ia sudah bahagia. Bian akan selalu menunggunya untuk pulang sekolah bersama. Disaat istirahat pun, Bian akan menyempatkan diri untuk menemuinya, kadang hanya untuk memberikan sepotong kue atau sebuah permen. Mala yakin, dia akan selalu melalui hari-hari di sekolah ini dengan sangat bersemangat.
****
Mala berdiri tidak jauh dari papan pengumuman. Di sana terlihat teman-teman kelas 1 berduyun-duyun melihat pengumuman. Hari itu akan diumumkan pembagian kelas untuk siswa baru setelah melewati MOS selama tiga hari. Hari itulah Mala akan tahu, dikelas mana ia belajar selama satu tahun kedepan. Dengan langkah pelan, ia menuju keramaian itu ikut berdesak-desakan melihat pengumuman.
Tanpa waktu lama Mala berhasil menemukan namanya, nomor tiga paling atas. Ternyata Mala masuk kelas unggul.
“ Yess…..!”
Mala berlonjak kegirangan. Lalu dibacanya nama-nama yang masuk kelas unggul itu. Di bawah namanya, urutan sesudahnya ada sebuah nama yang membuat kebahagiaannya semakin membuncah, FEBRIAN PUTRA. Ya, itu adalah nama Bian. Itu artinya mereka akan menjadi teman sekelas selama satu tahun kedepan. Rasanya ia benar-benar tidak percaya.
Mala berbalik dengan hati bahagia. Tanpa peduli keadaan sekeliling, ia melangkah ringan mencari kelasnya.
“Ehemm, bahagia banget.” Adi muncul tiba-tiba dihadapannya.
“Eh Adi. Kirain siapa tadi. Ya, bahagia dong. Kamu tahu kenapa?”
“Selamat ya, masuk kelas unggul.”
“Kok kamu tahu?”
“Yaa, tahu lah, orang nama kamu di atas. Pasti kebaca lah.”
“Begitu ya? “ Mala manggut-manggut. “ Oiya, kamu di kelas mana?”
“Jangan cemas, aku nggak akan jauh-jauh kok dari kamu karena aku tahu kamu mulai naksir sama aku. Kita akan menjadi tetangga. Adi mengacak-ngacak rambut Mala dan beranjak memasuki kelasnya. Mala mencibir melepas kepergiannya. Kepedean banget tuh anak.
Dengan bersenandung kecil, Mala masuk ke kelasnya. Di sana tampak beberapa orang siswa sudah mulai memilih tempat duduk yang nyaman untuk mereka. Di barisan paling depan, tampak Bian sedang duduk dan bercanda bersama beberapa orang teman laki-laki. Melihat kedatangan Mala, Bian segera berdiri dan bermaksud menghampiri gadis itu, namun langkahnya terhenti karena Alfa lebih dulu menghadang langkah Mala.
"Hai, Mala. Selamat menjadi teman sekelas. Aku senang karena bisa satu kelas dengan kamu." ucap Alfa dengan melihatkan senyum manisnya. "Oiya, kamu mau duduk dimana?" tanyanya lagi.
"Mmmmm," sejenak Mala berpikir, lalu menoleh pada Bian yang sedari tadi tak lepas menatapnya. "Bian sudah memilihkan tempat duduk untukku. Jadi, dimana yang dipilihkan Bian aku terima saja." ucap Mala berbohong.
Bian yang mendengar ucapan Mala mengerutkan alisnya, tapi melihat senyum dari Mala cowok itu jadi mengerti. Mala melakukan itu karena percaya padanya. Mala tidak ingin menjalin kedekatan dengan orang lain selain dirinya. Mala juga ingin Alfa tau, bahwa Bian lebih bisa diandalkan.
"Aku tau dimana tempat duduk yang paling nyaman untuk Mala." Bian melangkah mendekati mereka dan menatap Mala sejenak. Lalu, mengambil tas gadis itu dan meletakkan di meja paling depan tepat di depan meja guru.
"Serius disana?" tanya Mala dan Alfa bersamaan.
Bian mengangguk yakin. Mala menatapnya dengan bingung. Sedangkan Alfa, meninggalkan mereka berdua, karena dia tidak ingin ikut campur urusan dua orang yang menurutnya cukup bersahabat itu.
"Kok di sini sih, Bi? Aku maunya duduk dekat kamu." Mala bersungut-sungut.
Bian terkekek. "Kalau kamu duduk di sini, akan lebih konsentrasi, biar kamu tidak bikin ulah di kelas. Aku tau, ada beberapa teman cowok yang sedang menggodamu di sini. Kalau kamu duduk di tengah, mereka akan leluas mengganggumu."
"Kan aku bisa duduk dekat kamu."
"Kalau kamu duduk di dekatku, aku yang tidak bisa konsentrasi belajar. Ingat, tugas kita sebagai anak adalah belajar yang rajin dan wujudkan mimpi-mimpi orang tua kita. Segala sesuatu, yang kira-kira bisa menggangu harus kita minimalisir."
"Jadi, menurutmu, aku ini pengganggu?" Mala mulai sewot.
"Bukan! kamu bukan penganggu, tapi sangat mengganggu" Bian menjewel hidung Mala.
Mala bersungut-sungut.
"Mala, kamu mau kan untuk selalu bersama denganku? Menjadi teman dekatku selamanya?"
Mala mengangguk mantap.
"Nah, kalau begitu, sebaiknya kita belajar yang rajin, jangan sia-siakan pengorbanan orang tua kita. Kita tidak pernah tau, entah bagaimana kerasnya mereka bekerja banting tulang demi mewujudkan cita-cita kita. Jadi, untuk membalas semua itu, kita harus rajin belajar, kita akan bersama-sama mewujudkan cita-cita kita."
"Tapi, bagaimana kita bisa berteman, kalau menurut Bian saja aku ini sangat menganggu."
"Bukannya kita tadi udah sepakat, untuk berteman selamanya? Jadi, dengan begitu kita tidak akan saling mengganggu satu sama lain."
"Aku tidak mengerti."
"Aku juga tidak tau bagaimana cara menjelaskannya padamu, Mala. Yang aku tau aku sangat menyayangimu sebagai sahabatku, tapi aku tidak ingin rasa sayang ku ini mengganggu konsentrasi belajarmu dan kosentrasi belajar ku juga." Bian menarik nafas. Mengapa sulit sekali menjelaskan apa yang ingin hatinya sampaikan pada gadis itu.
"Kalau kita sudah dewasa nanti, aku akan datang padamu sebagai Bian yang dewasa juga, bukan Bian yang masih anak-anak seperti sekarang. Sampai saat itu nanti, berjanjilah, kamu akan tetap menjadi Mala yang kusayang." bisik Bian di telinga Mala.
Mala mengangguk.
"Mau kan menjadi sahabat dekatku? Kesampingkan dulu perasaan yang lain-lain. Kita ini masih kecil, belum saatnya untuk merasakan itu."
Mala mengangguk dengan tatapan berbinar. Bian tersenyum, meninggalkan meja Mala dan kembali ke tempat duduknya yang hanya dipisahkan dua buah meja lain.
***
Berada di kelas unggul tidaklah mudah. Persaingan sangat ketat. Mereka harus belajar dengan gigih untuk mendapatkan nilai terbaik. Kemampuan mereka yang hampir semua diatas rata-rata, membuat para guru terkadang bingung untuk memilih pemuncak kelas, karena nilai mereka banyak yang sama.Bagi Mala sendiri, belajar keras bukanlah hal baru. Dia dengan mudah beradaptasi dan menjalani hari-hari sekolah dengan santai. Hubungannya dengan Bian pun berjalan seperti apa yang mereka sepakati. Berteman. Hanya berteman. Namun, ada satu hal yang kadang membuat Mala tidak nyaman di kelasnya, yaitu Alfa.Tidak tahu kenapa, cowok berkulit hitam manis itu sering kali kepergok sedang memperhatikannya. Karena penasaran, Mala pun mencerikannya pada teman sebelahnya, namun temannya itu malah mengatakan pada teman-teman lain yang duduk berdekatan dengan mereka.“Tandanya Alfa suka sama Mala.” ucap temannya itu.“Kayaknya emang bener banget tuh, si
Istirahat hari ini Mala sengaja ke kantin bareng Alfa. Dia berencana akan memberikan jawaban terhadap pernyataan yang disampaikan Alfa dua hari lalu. Dengan mengumpulkan segenap keberaniannya, Mala menatap Alfa yang sedang duduk salah tingkah di depannya. Mala berharap, apapun keputusannya, Alfa akan menerima dengan lapang dada. Baru saja ia hendak memulai pembicaraan, tiba-tiba kalimatnya jadi hilang melihat Adi yang sudah berdiri di belakang Alfa dengan tatapan marah. “Adi,…”. Alfa menoleh kebelakang. Di belakangnya Adi berdiri mematung dengan mata yang sarat amarah. Tanpa mengucapkan apa-apa, dia pun segera berbalik dan melangkah dengan setengah berlari meninggalkan kantin. “Aduh, gimana ini. Aku jadi nggak enak sama Adi, Al. Kamu tunggu bentar disini ya, Aku akan menemui dia, sebentar saja.” Tidak peduli bagaimana reaksi Alfa, Mala pun segera berlari menyusul Adi. “Adi, ada apa? Kamu marah? Emang aku salah lagi? Apa aku&nbs
Kembali ke masa kiniHari ini, seperti biasa, Alif sudah duduk di taman depan fakultas Ekonomi menunggu kuliah Mala selesai. Kali ini, dia tidak duduk sendirian, ada dua orang perempuan cantik yang tampak sedang bersenda gurau dengannya."Siapa mereka?" Lusi yang kebetulan juga keluar kelas mendekati Mala yang berdiri mematung tak jauh dari Alif."Kalau aku tidak salah, mereka adalah senior di jurusanku.""Mereka cantik sekali. Apalagi yang duduk di sebelah Alif. Kamu tidak cemburu?"Mala terkekeh, "Untuk apa cemburu, Alif bukan siapa-siapa aku juga." Mala menoleh dan menatap Lusi, "Karena tidak ada kuliah lagi, mari kita pulang. Tubuhku letih sekali, semalaman mengerjakan tugas." Mala melangkah dan menarik tangan Lusi, berjalan santai melewati Alif yang mengikuti dengan ekor matanya."Nirmala."Suara Alif menghentikan langkahnya membuat gadis itu berdiri diam di tempat. Sungkan sekali rasanya untuk berbalik dan menatap
Pagi itu,...Rena bangun dari tidurnya dengan mata yang sangat bengkak. Semalam dia tidak bisa tidur, telepon dari mamanya dikampung membuatnya pusing dan tidak fokus. Sementera teman sekamarnya, hanyut dalam buaian mimpi dalam tidurnya, dia malah duduk termenung di sudut kamarnya.Tidak ada satupun teman-teman kostnya yang tahu, kalau Rena seorang gadis yang selalu ceria dan cuek dengan masalah apapun, menyimpan sisi gelap dalam hidupnya. Rena tidak sekuat yang terlihat...Rena tidak setegar yang terlihat...Dia selalu tersenyum hanya untuk mengusir kesedihan yang selalu mengejarnya. Semalam, mamanya menelepon sambil menangis terisak-isak. Menceritakan bahwa kakaknya difonis mandul oleh dokter dan ada gejala kista. Pernikahahan kakaknya sudah berjalan hampir enam tahun, namun belum mendapatkan keturunan. Dan selama itu, tekanan dari keluarga suami tidak henti-hentinya datang. Akhir
"Alif...!"Seorang lelaki berwajah tampan keluar dari salah satu kamar kotrakan di dekat rumah Alif dan merentangkan kedua tangannya menyambut kedatangan Alif. Lelaki itu berperawakan tampan, dengan bobot tubuh yang sedikit lebih gemuk dari Alif. Jenggot tipis menghias di dagu lancipnya. hidung tidak semancung Alif, tapi itu tidak mengurangi kadar ketampanannya. Jika mereka berdiri berdampingan, maka penilaian yang sama akan diberikan pada mereka. Satu tampan, satu ganteng. Begitulah kira-kira."Reza" Alif menyambut tangan itu dan mereka pun berpelukan melepas kerinduan masing-masing.Lelaki itu bernama Reza. Seorang mahasiswa yang sudah beberapa tahun ini tinggal di kontrakan milik keluarga Alif. bagi Alif, Reza bukan hanya dianggap sebagai sahabat terbaik tetapi sudah dirasa seperti saudara sendiri."Bagaimana penelitianmu? Gila, selama empat bulan itu kamu tidak pulang-pulang ke sini? Betah banget di sana. Atau jangan-jangan udah kecantol pula sama gad
"Mala, ada titipan untukmu." Setibanya dikost mereka Lusi menyerahkan sebuah amplop pada Mala "Apa ini, Lusi?" Mala menerima dengan kebingungan. Lusi mengedikkan bahu. "Aku juga tidak tahu. Alif yang menyerahkan padaku. Katanya, saking bahagianya bisa bertemu denganmu lagi, dia sampai lupa menyampaikan titipan itu. "Kita buka aja kali ya." Tanpa menunggu lama, Mala segera membuka amplop itu dan menemukan sebuah kertas terlipat rapi didalamnya. Semakin penasaran, Mala langsung membuka kertas itu dan membaca rangkaian kalimat didalamnya. Teruntuk: Seorang bidadari yang telah meluluh lantakkan hatiku. Maaf, jika aku tidak berani bicara langsung padamu, Mala. Jujur, dari pertemuan pertama kita setahun yang lalu, aku sudah menaruh rasa padamu. Aku jatuh cinta padamu tapi hati ini begitu pengecut untuk sekedar menghampirimu dan menyatakan isi hatiku Dan sekarang
"Jadi, kamu menerima Reza?"Alif agak shock mendengar keputusan Mala pagi itu. Hari ini jadwal kuliah Mala siang, sehingga dia mengajak Alif untuk bertemu pagi hari sebelum kuliah."Bukannya ini yang kamu inginkan? Bukannya kemaren kamu mati-matian membujukku untuk menerima sahabatmu itu? Dan akhirnya, sebagai bukti kalau aku benar-benar sangat mencintaimu, aku penuhi permintaanmu." balas Mala dengan sangat lancar. Padahal, andaikan Alif tahu bagaimana beratnya hati gadis itu untuk mengucapkan semua itu."Aku hanya tidak percaya kamu mampu membuat keputusan dengan begitu cepat, Mala.""Bukankah kita tidak boleh menunda-nunda untuk memenuhi keinginan dari orang yang kita cintai? Semakin cepat dikabulkan semakin baik."Alif tersentak mendengar jawaban Mala yang lebih terdengar seperti raungan keputus asaannya."Maafkan aku, Mala. Gara-gara aku kamu jadi begini. Aku tahu tidak mudah untukmu melakukan semua ini.""Tidak mudah memang
Suasa taman kota sore ini sangat ramai. Disana sini tampak beberapa anak muda yang duduk bersama sehabis pulang kuliah untuk sekedar menghilangkan suntuk dan capek pulang kuliah. Di tengah taman itu tampak beberapa keluarga yang sedang asyik bercengkerama sambil melihat anak-anak mereka berlarian kesana kemari. Ada juga beberapa pasang muda-mudi yang sepertinya tengah dimabuk cinta yang duduk di sudut-sudut taman itu.Mala dan Reza melangkah berbaur dengan ramainya orang disana. Setelah terlebih dahulu membeli sedikit cemilan, diajaknya Mala duduk disalah satu tempat duduk di bawah pohon, melihat wahana hiburan yang juga sangat ramai sambil duduk berhadapan."Akhirnya, setelah kemaren gagal, sekarang Kakak bisa mengajakmu kesini. Kamu lihat sendiri kan, dibanding taman kota dekat kampusmu itu, disini jauh lebih seru."Mala mengangguk. Lagi, dengan sedikit memaksa, Reza berhasil membawanya ke taman kota untuk berkencan. Namun bukan Mala namanya jika dia tid
"Mala..."Mala menoleh dan mendapati seorang lelaki tampan sedang menatapnya sendu. Bian yang juga berdiri disampingnya mengenggam erat tangan Mala. Dia masih mengenali orang itu. Kalau tidak salah ingat lelaki itu dulu pernah dekat dengan istrinya. Bukankah mereka dulu pernah bertemu saat masih kuliah? Rahang Bian mengeras."A...Alif..." ujar Mala pelan."Ternyata kamu masih mengenaliku." Lelaki yang ternyata adalah Alif itu tersenyum pahit. "Selamat atas pernikahanmu, Mala. Semoga bahagia. Apa kita bisa bicara sebentar, hanya berdua." pinta Alif menatap Mala harap.“Jika ada yang ingin dibicarakan, maka bicara disini saja, Lif.” Jawab Mala halus.Alif menatap Mala memohon, lalu ditatapnya Bian yang masih mengenggam erat tangan Mala."Mala adalah istriku. Jadi apapun masalahnya, juga masalahku. Tidak ada rahasia diantara kami." potong Bian cepat. Genggamannya pun semakin erat. Mala tersenyum dan menatap Bian hangat."Suamiku benar, Lif. Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?” ucap Ma
Mala bersenandung riang sambil melangkah kesana kemari di dapur. Seperti biasanya, setelah sepuluh hari lebih mereka menikah, ia selalu membuatkan sarapan untuk suaminya. Namun, pagi ini ada yang tak biasa, karena dari tadi tak henti hentinya bibirnya tersenyum lalu senandung cinta tak berhenti mengalun dari mulut itu. Menggambarkan suasana hatinya yang sedang berbunga-bunga.Akhirnya, setelah 10 hari menikah, semalam ia berhasil melaksanakan tugas sepenuhnya sebagai seorang istri. Melawan segala trauma yang selalu menghantuinya.Masakannya hampir selesai, saat deru suara motor terdengar di halaman depan. Itu adalah suaminya pulang dari masjid. Bahkan disaat beratnya godaan untuk kembali memeluk istrinya, lelaki itu tetap bangkit dan beranjak ke kamar mandi. Lalu setelah menunaikan shalat sunat sebelum shubuh dua raka'at ia pamit untuk menunaikan shalat Shubuh berjamaah ke masjid. Mala yang saat itu masih uring-uringan, merasa sangat malu pada suaminya itu. Hingga walau dengan sedikit
Bian menghela nafas lega setelah mobilnya sampai di rumah, setelah menempuh perjalanan lebih kurang 3 jam dari kota B. Disamping nya Mala tertidur dengan pulas. Diputarnya tubuh dan menatap sang istri yang tengah tertidur. Tangannya perlahan mengelus pipi halus itu dan merapikan anak rambut yang dengan nakal mengintip dari balik jilbabnya."Sungguh, kehadiranmu adalah anugerah terindah dalam hidupku. Aku janji akan menjaga anugerah itu dengan sebaiknya. Aku tak bisa menjanjikan bahwa kamu akan selalu bahagia denganku, tapi aku usahakan bahwa dalam kondisi apapun aku akan selalu ada untukmu."Tak tahan hanya memandang, Bian akhirnya tergoda untuk mengecup singkat pipi itu. Dan untuk beberapa saat dibiarkan bibirnya menempel pada pipi halus yang terasa dingin, mungkin karena suhu dalam mobil sehingga membuat istrinya kedinginan.Mala mengeliat karena merasa tidur nyenyaknya terusik. Perlahan dibukanya mata, dan hal pertama yang dilihatnya adalah wajah tampan suami yang berada tepat dide
Bian menghela nafas lega setelah mobilnya sampai di rumah, setelah menempuh perjalanan lebih kurang 3 jam dari kota B. Disamping nya Mala tertidur dengan pulas. Diputarnya tubuh dan menatap sang istri yang tengah tertidur. Tangannya perlahan mengelus pipi halus itu dan merapikan anak rambut yang dengan nakal mengintip dari balik jilbabnya."Sungguh, kehadiranmu adalah anugerah terindah dalam hidupku. Aku janji akan menjaga anugerah itu dengan sebaiknya. Aku tak bisa menjanjikan bahwa kamu akan selalu bahagia denganku, tapi aku usahakan bahwa dalam kondisi apapun aku akan selalu ada untukmu."Tak tahan hanya memandang, Bian akhirnya tergoda untuk mengecup singkat pipi itu. Dan untuk beberapa saat dibiarkan bibirnya menempel pada pipi halus yang terasa dingin, mungkin karena suhu dalam mobil sehingga membuat istrinya kedinginan.Mala mengeliat karena merasa tidur nyenyaknya terusik. Perlahan dibukanya mata, dan hal pertama yang dilihatnya adalah wajah tampan suami yang berada tepat dide
Bian melangkah pelan mengikuti rombongan pejabat perusahaan menuju ruang pimpinan. Kepalanya masih celingukan ke belakang menunggu istri tercinta yang masih belum juga tampak. Tadi, mereka terpaksa berpisah karena Mala yang mendadak dihampiri oleh puluhan karyawan yang hendak minta maaf sekaligus mengucapkan salam perpisahan padanya. Sebenarnya ingin sekali menemani, takut jika terjadi hal diluar dugaan lagi, namun tarikan halus di ditangannya mengurungkan niatnya."Sudahlah! Kupastikan dia aman sekarang. Tak akan ada yang berani mengganggunya lagi. Disamping kebenaran yang telah terungkap, semua orang tahu bahwa Mala adalah isteri salah satu pemegang saham di sini, mana ada yang berani usil lagi padanya. Termasuk si Raditya itu" ujar Donny yang membuat Bian tersenyum.Tetap saja dia mencemaskan istrinya."Tetap saja hatiku tak tenang, Bang. Dia masih trauma. Abang tak merasakan bagaimana nelangsanya adikmu ini, walau sudah menjadi istri sah pun, aku sama sekali tak bisa berbuat banya
“Saya memiliki semua rekaman cctv kejadian itu, karena kebetulan saat kejadian itu saya berada di hotel yang sama dengan Pak Raditya. Saya bisa saja memutar semua cctv itu di sini, tapi karena permintaan dari istri saya, opss…” Bian pura-pura keceplosan, lalu tersenyum manis pada Mala, “Karena permintaan dari Nirmala, agar rekaman cctv itu tidak diputar karena bisa menyebarkan aib orang lain, makanya saya tidak memperlihatkan cctv itu.”Bian melangkah tanpa canggung dan berjalan didepan semua yang hadir, layaknya seorang dosen yang sedang memberikan kuliah pada semua mahasiswanya. Langkahnya berakhir tetap di depan dua orang wanita yang tadi tidak mempercayai pengakuan Raditya.“Hei, Nona berdua. Mungkin anda adalah penggemar pak Radit, jadi sah-sah saja jika anda tak akan percaya apapun kesalahan yang dilakukan oleh idola anda. Its okey. Tapi coba anda lihat sebagai sisi wanita, saat ini Nirmala, wanita yang sedang anda hujat itu sedang mengalami trauma berat. Trauma atas kejadian na
Mala duduk dengan gelisah didepan puluhan mata yang memandangnya dengan tatapan yang beragam. Di sebelahnya Radit tak kalah gelisah, semua ini sungguh diluar dugaannya. Dikiranya pertemuan di aula siang ini akan menjadi saksi keberhasilannya mendapatkan hati dan cinta dari wanita yang disukai, namun kenyataan berkata lain. Apalagi saat sesekali ekor matanya menatap lelaki yang duduk dengan tenang disampingnya pimpinan perusahaannya. Entah apa hubungan lelaki itu dengan orang nomor satu diperusahaan itu? Yang jelas kehadirannya membuat keberaniannya nyaris hilang, karena bagaimana pun, lelaki itu mengetahui semua kejahatan yang dilakukannya pada Mala.Belum lagi, mengingat bagaimana reaksi Mala saat lelaki itu muncul. Mala berlari dan menghambur kepelukan lelaki itu dan mendekapnya erat. Membuat hati Radit bagai ditusuk belati karena sakit membayangkannya. Dengannya, jangankan memeluk, dipegang tangan sedikit saja gadis itu sudah tak ubahnya macan betina.Kebingungan itu sebenarnya jug
Mala duduk termenung di kursi kerjanya, tak menghiraukan rekan kerja yang sedari tadi saling pandang satu sama lain, tak ada yang berani bicara. Sekembalinya dari HRD Mala menjadi diam seribu bahasa. Hanya termenung tanpa melakukan apa-apa.Setelah merasa hatinya agak tenang, diangkatnya kepala lalu memandang semua yang ada di ruangan itu sendu. Kurang lebih dua tahun bekerja disana, sekarang harus pergi dengan hati yang terluka. Dikiranya ia akan bisa pamit dengan hati tenang, dan melupakan masalah dengan Radit. Tapi kenyataan memang tak seindah bayangan. Apalagi, sebentar lagi akan diadakan pertemuan di aula, dan semua orang akan mengadilinya. Tatapan sinis dari puluhan pasang mata akan menghujaninya. Diusapnya wajah kasar, lalu untuk menghibur diri di coba menghubungi seseorang yang beberapa hari ini mampu memberi ketenangan dan kekuatan saat masalah datang padanya.Hanya menyapa, itu yang bisa dilakukannya, karena takut akan merusak konsentrasi lelaki itu disana. Namun diluar per
Bian menyesap secangkir teh panas yang dihidangkan padanya oleh asisten dari lelaki yang kini sedang duduk di depannya. Lelaki yang berusia 35 tahun itu tampak sangat gagah dan tampan dengan gayanya yang kasual.Setelah melepas Mala masuk ke kantor, hatinya tetap tak tenang, sehingga diputuskan untuk menghubungi salah satu mahasiswa yang kuliah hari ini denganya, minta maaf karena tak bisa masuk dan minta ganti perkuliahan di hari lain. Awalnya, ia ragu juga ingin ikut campur, tapi saat tanpa sengaja mendengar percakapan miring tentang Mala oleh dua orang karyawan yang baru datang, dan sempat numpang berkaca dimobilnya, hati lelaki itu menjadi panas. Bayangan betapa hancur hati istrinya mendengar berita itu sungguh membuatnya tak tenang.Mungkin nasib baik memang sedang memihaknya, atau mungkin begitu cara Allah memudahkan langkahnya. Kantor tempat Mala bekerja ternyata adalah milik salah seorang seniornya saat ikut organisasi dulu. Bahkan atas tawaran dari seniornya itu, dia juga m