Alif menepati ucapannya. Pagi itu, saat Mala berangkat kuliah dan hendak keluar dari gang kost mereka, tampak Alif sedang duduk di pinggir jalan, kelihatannya sedang menunggu seseorang. Begitu melihat Mala dan rombongannya, lelaki itu mendekat, meminta izin pada Lusi dan yang lainnya agar duluan.
"Gimana kabarmu, Mala?" Alif memulai percakapan setelah teman-teman Mala duluan.
"Kamu gila banget ya. Teman-temanku semua mengira kita benar-benar pacaran. Padahal kita aja baru ketemu kemaren."
"Kamu percaya cinta pandang pertama kan? Dan begitulah aku. Mungkin bagimu ini terlalu cepat, tapi tidak denganku. Aku sudah lama menyimpan rasa padamu. Aku selalu berjalan di belakangmu saat pergi kuliah semenjak setahun yang lalu, kamu saja yang tidak menyadarinya. Aku sudah lama mengagumimu, Aku tahu kamu selalu berjalan menunduk, buru-buru, atau membaca buku sambil berjalan. Tapi yang aku tidak tahu adalah, kalau kamu nge-kost di sini dan tinggal di rumah bibiku."
Mala hanya diam. Dia tidak punya kata-kata untuk diucapkan, disamping mood nya yang tiba-tiba buruk bertemu lelaki narsis itu.
"Jika aku tahu dari dulu, kamu tinggal dirumah bibi, pasti aku akan sering-sering kesana. Tapi mulai hari ini, aku akan kesana, kalau perlu tiap hari."
Mala masih diam. Dia masih bingung, bagaimana cowok yang kelihatan pendiam dan angkuh di mata teman-temannya, Malahan sangat cerewet di depannya.
"Mala, katakanlah sesuatu. Jangan diam-diam seperti ini. Kamu kelihatan tidak senang jalan denganku."
Kali ini Mala tersenyum sambil menunduk. Lalu dengan sedikit sungkan menoleh kesamping, menatap Alif yang juga tengah menatapnya. Tak bisa dipungkiri, lelaki disampingnya ini benar-benar tampan. Mana mungkin dia tidak senang jalan dengan cowok setampan itu, tapi entahlah, mungkin karena dia memang tidak terbiasa dekat dengan lelaki, sehingga otaknya menjadi buntu menemukan kata-kata. Padahal selama ini, dia bukanlah tipe gadis pendiam, cerewet malah.
"Senang berkenalan denganmu, Alif. Semoga Kita bisa dekat." akhirnya hanya kalimat itu yang bisa keluar dari mulutnya. Itupun setelah merangkai dengan sangat lama.
"Aku juga mengharapkan itu, Mala. Semoga ada tempat untukku."
"Tempat apa?"
"Tempat di hatimu. Semoga belum ada penghuninya, sehingga aku bisa tinggal disana."
Mala terkekeh. "Ternyata selain narsis, kamu gombal juga ya?"
"Bukan gombal, tapi memang begitulah kenyataannya. Aku ingin mendapatkan tempat di hatimu. Mungkin, menurutmu ini hanyalah gombalan, tapi aku mengungkapkan ini dari hati."
Mereka kembali diam, larut dalam pikiran masing-masing, sampai tak terasa mereka sudah sampai di gerbang Fakultas Ekonomi tempat Mala kuliah. Saat hendak pamit Alif menatap dengan tatapan hangat. Dibiarkannya punggung Mala menghilang dibalik bangunan itu sebelum dia melanjutkan langkahnya menuju Fakultasnya yang tidak terlalu jauh dari sana. Seulas senyum menghiasi wajah itu.
Ditempat lain, Mala bersikap santai seperti biasa dan memasuki ruangan perkuliahan dengan senyum meenghias bibirnya. Lusi yang melihat kedatangan Mala, ikut tersenyum. Kali ini, mereka kuliah umum, sehingga mereka bisa berada di ruangan yang sama.
"Lusi, ada apa dengan Mala? Dia bahagia banget kayaknya?" tanya salah satu teman kuliahnya yang duduk tidak jauh dari Lusi.
"Sedang jatuh cinta mungkin." jawab Lusi masih sedang tersenyum memperhatikan gerak gerik Mala yang sedang mengeluarkan buku dari tasnya.
"Lusi, tolong bilang sama Mala. Berhentilah jatuh cinta pada Bima . Dia sekarang jalan bareng Fani. Bahkan kemarin kabarnya, ada yang memergoki mereka sedang berbuat tak senonoh di Sekretariat HIMA. Karena berita itu mereka sekarang menjadi pasangan paling fenomenal di Jurusan kita."
Via, teman satu jurusan Mala, yang kebetulan juga mengikuti mata kuliah kali ini, memandangi Mala dengan rasa iba, disampingnya Lusi mencoba fokus pada ucapannya. "Ternyata mereka sudah berpacaran sejak dua bulan lalu. Yang aku dengar, Fanilah yang mengejar-ngejar Bima dan memohon-mohon untuk menerima cintanya. Tadi aku bertemu dengan teman seangkatan Kak Bima, mereka semua membicarakan itu, dan mengungkapkan rasa kasihan pada Mala. Selama ini orang tahu kalau Mala juga menyukai Bima."
"Udahlah, Via! Lihat sendiri kan, Mala tidak terpengaruh dengan berita itu. Dia tidak pernah menyukai Bima. Kita saja yang selama ini suka mengerjai dia. Dan sekarang dia sedang berbunga-bunga, karena baru jadian dengan cowok yang jauh lebih ganteng dari Bima. Namanya Alif. Mahasiswa Fakultas Tekhnik. Keren habis tu cowok"
"Kamu serius?"
"Kalau kamu tidak percaya, nanti pulang kuliah lihat saja, pasti Alif menunggu Mala. Aku bisa melihat, kalau Alif tidak main-main dengan perasaannya. Sepertinya dia sudah sangat lama menyimpan rasa sukanya pada Mala."
Apa yang dikatakan Lusi memang terbukti. Hari ini Mala hanya ada dua jadwal mata kuliah, sehingga sebelum tengah hari gadis itu berencana untuk balik ke kost. Kebetulan hari ini tidak ada kegiatan di HIMA makanya dia bisa melanjutkan menyelesaikan tugas-tugas kuliah lain yang belum dikerjakan.
Setelah mengumpulkan semua buku-bukunya, Mala berpamitan pada teman-temannya dan melangkah keluar ruangan sendirian. Teman-temannya yang tadi pura-pura sibuk segera menyusul dan menguntit dari belakang. Dari arah lain, tampak Lusi juga baru keluar dari ruangan kuliahnya, dia sengaja tidak menyamperin Nirmala. Dia ingin melihat bagaimana reaksi teman-temannya saat melihat Alif yang hari ini berencana menjemput Mala.
Terus terang, sebagai orang yang paling dekat dengan Mala, yang menganggap Mala seperti saudaranya sendiri, Lusi benar-benar geram dengan fonis teman-teman kuliahnya yang tak henti-henti mengira Mala menyukai cowok yang menurutnya tidak ada ganteng-gantengnya sama sekali itu. Lusi percaya seratus persen, kalau Mala benar-benar tidak pernah menyukai Bima. Setahu Lusi, sampai sekarang Mala masih belum bisa menghapus cinta pertamanya, entah siapa nama cowok itu, Lusi juga lupa. Bian, kalau tidak salah.
Di taman, tidak jauh dari ruangan dimana Mala barusaja keluar, tampak Alif sedang berdiri dengan mata terus mengawasi gerak gerik gadis cantik yang berjalan santai mendekatinya. Seulas senyum muncul di bibirnya saat Mala semakin dekat dengannya. Tidak jauh dibelakang Mala, dilihatnya beberapa orang mahasiswi yang berdiri mengamati wanita itu. Tidak terlalu mempedulikan keadaan sekitarnya, Alif segera mendekati Mala dan berdiri menghalangi jalannya.
Tatapannya begitu hangat dan bisa diartikan begitu dalam pada Mala. Dari tempatnya berdiri Lusi bisa melihat Mala yang sedikit salah tingkah di depan Alif. Gadis itu lebih banyak menunduk daripada menatap lawan bicara di depannya. Entah apa yang sepasang anak manusia itu bicarakan, tidak lama kemudian mereka berjalan bersisian meninggalkan lingkungan kampus.
Karena tempat tinggal yang tidak terlalu jauh dariu kampus, Alif sengaja memilih berjalan kaki. Dia ingin lebih berlama-lama didekat gadis yang sudah mencuri hatinya sekian lama.
Lagi-lagi sepanjang jalan Mala lebih banyak diam. Mulutnya yang biasanya cerewet, seakan kehilangan kata-kata tiap kali berhadapan dengan Alif. Disampingnya, Alif pun begitu. Lebih banyak diam. Namun, di dalam hatinya sedang belonjak gembira karena gadis yang selama ini diam-diam dikaguminya, sekarang ada di sampingnya. Begitu dekat. Andai tidak menjaga etika dan tidak ingin membuat Mala menganggapnya berniat jahat, ingin rasanya Alif menggenggam tangannya erat-erat. Tidak akan dilepas lagi.
Yach. Alif adalah seorang lelaki yang selama ini menjadi pemuja rahasia Mala. Rasa sukanya berawal dari pertemuan pertama mereka dipagi hari saat ia hendak berangkat kekampus. Kebetulan, hari itu motornya rusak, sehingga ia terpaksa berjalan kaki. Dipertengahan jalan, dilihatnya seorang perempuan berjilbab hijau sedang berjalan menuju arah yang sama dengan arah yang ditujunya. Gadis itu berjalan sambil terus membaca buku yang ada di gengamannya, tak peduli pada orang yang lalu lalang di jalan komplek itu. Alif terus mengamatinya. Sampai di persimpangan jalan raya, gadis itu menoleh ke arahnya, bermaksud menyeberang jalan, dan saat itu Alif melihat wajahnya. Cantik, membuat jantung Alif bertalu-talu.
Semenjak hari itu, Alif selalu bertemu gadis itu tiap kali berangkat kuliah. Entah kebetulan, tapi setiap kali Alif keluar dari halaman rumahnya, tidak jauh dari sana dilihatnya juga gadis itu keluar dari sebuah gang sebelum rumahnya. Kadang sendirian, dan lebih sering bersama teman-temannya.
Akhirnya Alif berusaha mencari tahu dimana gadis itu tinggal. Melihat wajahnya, Alif sangsi kalau gadis itu adalah penduduk asli, karena selama 20 tahun umurnya, Alif cukup kenal dengan warga sekitar tempat tinggalnya. Dan, pada hari itu, hari dimana ia bertemu dengan Mala di depan rumah bibinya adalah hari yang tak akan pernah dilupakannya. Hari itu ia pertama kali ia berhadapan langsung dengan gadis itu, menatap mata yang tajam dan wajah yang selalu membuat hatinya tidak menentu. Dan entah itu kebetulan lagi atau bukan, gadis itu tinggal dirumah bibinya.
Alif tersenyum dan kembali menatap Mala yang masih berjalan disampingnya. Mereka sudah sampai di depan pagar rumah. Alif melangkah mendahului Mala dan membuka kaitan kunci pagar, menyilahkan masuk dengan mata tak bisa lepas dari gadis itu. Sementara itu, Mala masuk ke dalam tanpa mau lagi menoleh. Entahlah, ia merasa malu. Dia tidak pernah begitu dekat dengan lelaki. Sikapnya kepada teman lelaki di kampus pun biasa-biasa saja, tidak terlalu dekat dan juga tidak terlalu menjaga jarak.
"Mala. Besok kita bareng lagi ya." Alif berucap sambil menatap punggung Mala yang mendadak berhenti tidak jauh di depannya.
Perlahan gadis itu menoleh dan tersenyum."Makasih banyak Alif..." usai mengucapkan kata-kata itu Mala berjalan cepat dan segera membuka pintu kostnya.
Alif masih berdiri di sana, seakan enggan meninggalkan tempat itu. Sampai wanita itu menghilang di balik pintu penghubung kost-nya, dia masih tetap berdiri di pagar itu. Dia merasa telah membuang waktu sia-sia dengan hanya berdiam-diam selama perjalanan dengan Mala. Harusnya dia lebih gencar lagi mendekati wanita itu. Wanita yang sangat pemalu.
Sementara itu, setelah melewati pintu penghubung, Mala tidak langsung menuju kamarnya. Gadis itu, mengintip dari sebuah lubang kecil yang ada ditengah-tengah pintu itu. Dilihatnya, Alif masih berdiri di pagar seperti belum ada niat meninggalkan kost itu. Mala hanya menggeleng kepala. Dia bukan mahasiswa yang tidak tau apa-apa. Dia tau, dari sikap dan cara Alif bicara padanya, lelaki itu menyukainya. Tapi menurutnya ini terlalu cepat.
Mala tidak ingin buru-buru menanggapi perasaan lelaki itu. Dia harus ingat pesan ayah dan ibunya. Sebagai seorang wanita, harus pandai-pandai menjaga diri. Jangan sampai salah memilik kawan. Begitu pula dengan Alif, Mala belum terlalu mengenalnya, jadi tidak secepat itu dia akan menanggapi perasaannya.
Selain itu, hatinya masih belum bisa menghapus nama Bian. Cinta pertamanya yang kini entah dimana.
***
Siang itu, karena tidak ada kegiatan lain Mala memutuskan untuk langsung pulang. Tidak ada rencana apa-apa hari ini. Teman-temannya kelihatan juga tidak ada yang berinisiatif untuk jalan-jalan kemana gitu. Lusi yang serumah dengannya pun buru-buru menyiapkan tas untuk pulang. Ngomong-ngomong tentang Lusi, Mala merasa ada yang berbeda dari sahabatnya itu semenjak mereka pulang lari pagi minggu lalu. Sekarang gadis itu lebih lama berdandan setiap kali pergi sekolah. Sering melamun dan kadang tersenyum sendiri. Sebenarnya Mala ingin bertanya, namun dia masih merasa belum saatnya. Dia pasti akan bertanya apa yang terjadi dengan sahabatnya itu, mungkin nanti malam. Sampai di luar ruangan mereka dikejutkan dengan Alif yang sudah menunggu dekat pohon ditaman. Seperti hari-hari sebelumnya, cowok itu kelihatan tampan. Beberapa mahasiswi tampak sengaja menggodanya. Namun, dasar Alif cowok dingin, dia cuek saja. Lusi yang melihat itu menggeleng-geleng kepala. Dia hanya tida
Tujuh Tahun Lalu... Sudah dua hari ini Mala mengikuti kegiatan Bina Ruhani, sebuah kegiatan yang dibuat untuk membina anak-anak sekolah untuk mengisi hari libur kenaikan kelas, yang diadakan pemerintah setempat. Peserta kegiatan ini adalah seluruh siswa SMA, SMP yang sudah duduk di tingkat di tempat Mala tinggal. Hari ini, para siswi ditugaskan untuk menyiapkan makan malam. Semua masakan itu harus kelar sebelum waktu Maghrib datang. Sehabis Maghrib rencananya akan dilanjutkan dengan rangkaian acara-acara yang lain sampai tengah malam. Ditengah kesibukan itu, suara adzan berkumandang, menandakan waktu shalat Ashar telah tiba. Adzan berkumandang dengan sangat merdu dan membuat Mala menghentikan aktivitasnya. Suara itu adalah suara anak laki-laki, bukan suara orang dewasa. Penyeru adzan itu pasti bukan salah satu dari teman-teman sekolahnya, karena mereka tidak ada yang memiliki kemampuan untuk itu. Tanpa pikir panjang, Mala segera melompat ke d
Hari itu adalah hari pertama Masa Orientasi Siswa. Mereka dibagi dalam beberapa kelompok, dan dari pembagian itu, Mala berada di kelompok tiga. Karena hari itu adalah hari pertama, maka panitia yang terdiri dari kakak-kakak kelas menyuruh bergotoroyong membersihkan kelas masing-masing. Mala ambil bagian menyapu lantai bersama empat orang lainnya. Beberapa orang murid cowok membantu menaikkan kursi ke atas meja. Mala tidak menyangka kalau ternyata dia tidak benar-benar kehilangan. Hampir sebagian besar teman-teman semasa SMP-nya melanjutkan ke sekolah yang sama dengannya. Dan, hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya adalah, Bian. Ya, ternyata Bian juga ada di sekolah yang sama dengannya. Flash back Dengan buru-buru Mala melangkah memasuki gerbang sekolah barunya. Ini MOS hari pertama dan dia tidak boleh telat. Gadis itu terus berjalan cepat, dan... BRUKK Mala menabrak seseorang yang sepertinya sengaja menghalan
Berada di kelas unggul tidaklah mudah. Persaingan sangat ketat. Mereka harus belajar dengan gigih untuk mendapatkan nilai terbaik. Kemampuan mereka yang hampir semua diatas rata-rata, membuat para guru terkadang bingung untuk memilih pemuncak kelas, karena nilai mereka banyak yang sama.Bagi Mala sendiri, belajar keras bukanlah hal baru. Dia dengan mudah beradaptasi dan menjalani hari-hari sekolah dengan santai. Hubungannya dengan Bian pun berjalan seperti apa yang mereka sepakati. Berteman. Hanya berteman. Namun, ada satu hal yang kadang membuat Mala tidak nyaman di kelasnya, yaitu Alfa.Tidak tahu kenapa, cowok berkulit hitam manis itu sering kali kepergok sedang memperhatikannya. Karena penasaran, Mala pun mencerikannya pada teman sebelahnya, namun temannya itu malah mengatakan pada teman-teman lain yang duduk berdekatan dengan mereka.“Tandanya Alfa suka sama Mala.” ucap temannya itu.“Kayaknya emang bener banget tuh, si
Istirahat hari ini Mala sengaja ke kantin bareng Alfa. Dia berencana akan memberikan jawaban terhadap pernyataan yang disampaikan Alfa dua hari lalu. Dengan mengumpulkan segenap keberaniannya, Mala menatap Alfa yang sedang duduk salah tingkah di depannya. Mala berharap, apapun keputusannya, Alfa akan menerima dengan lapang dada. Baru saja ia hendak memulai pembicaraan, tiba-tiba kalimatnya jadi hilang melihat Adi yang sudah berdiri di belakang Alfa dengan tatapan marah. “Adi,…”. Alfa menoleh kebelakang. Di belakangnya Adi berdiri mematung dengan mata yang sarat amarah. Tanpa mengucapkan apa-apa, dia pun segera berbalik dan melangkah dengan setengah berlari meninggalkan kantin. “Aduh, gimana ini. Aku jadi nggak enak sama Adi, Al. Kamu tunggu bentar disini ya, Aku akan menemui dia, sebentar saja.” Tidak peduli bagaimana reaksi Alfa, Mala pun segera berlari menyusul Adi. “Adi, ada apa? Kamu marah? Emang aku salah lagi? Apa aku&nbs
Kembali ke masa kiniHari ini, seperti biasa, Alif sudah duduk di taman depan fakultas Ekonomi menunggu kuliah Mala selesai. Kali ini, dia tidak duduk sendirian, ada dua orang perempuan cantik yang tampak sedang bersenda gurau dengannya."Siapa mereka?" Lusi yang kebetulan juga keluar kelas mendekati Mala yang berdiri mematung tak jauh dari Alif."Kalau aku tidak salah, mereka adalah senior di jurusanku.""Mereka cantik sekali. Apalagi yang duduk di sebelah Alif. Kamu tidak cemburu?"Mala terkekeh, "Untuk apa cemburu, Alif bukan siapa-siapa aku juga." Mala menoleh dan menatap Lusi, "Karena tidak ada kuliah lagi, mari kita pulang. Tubuhku letih sekali, semalaman mengerjakan tugas." Mala melangkah dan menarik tangan Lusi, berjalan santai melewati Alif yang mengikuti dengan ekor matanya."Nirmala."Suara Alif menghentikan langkahnya membuat gadis itu berdiri diam di tempat. Sungkan sekali rasanya untuk berbalik dan menatap
Pagi itu,...Rena bangun dari tidurnya dengan mata yang sangat bengkak. Semalam dia tidak bisa tidur, telepon dari mamanya dikampung membuatnya pusing dan tidak fokus. Sementera teman sekamarnya, hanyut dalam buaian mimpi dalam tidurnya, dia malah duduk termenung di sudut kamarnya.Tidak ada satupun teman-teman kostnya yang tahu, kalau Rena seorang gadis yang selalu ceria dan cuek dengan masalah apapun, menyimpan sisi gelap dalam hidupnya. Rena tidak sekuat yang terlihat...Rena tidak setegar yang terlihat...Dia selalu tersenyum hanya untuk mengusir kesedihan yang selalu mengejarnya. Semalam, mamanya menelepon sambil menangis terisak-isak. Menceritakan bahwa kakaknya difonis mandul oleh dokter dan ada gejala kista. Pernikahahan kakaknya sudah berjalan hampir enam tahun, namun belum mendapatkan keturunan. Dan selama itu, tekanan dari keluarga suami tidak henti-hentinya datang. Akhir
"Alif...!"Seorang lelaki berwajah tampan keluar dari salah satu kamar kotrakan di dekat rumah Alif dan merentangkan kedua tangannya menyambut kedatangan Alif. Lelaki itu berperawakan tampan, dengan bobot tubuh yang sedikit lebih gemuk dari Alif. Jenggot tipis menghias di dagu lancipnya. hidung tidak semancung Alif, tapi itu tidak mengurangi kadar ketampanannya. Jika mereka berdiri berdampingan, maka penilaian yang sama akan diberikan pada mereka. Satu tampan, satu ganteng. Begitulah kira-kira."Reza" Alif menyambut tangan itu dan mereka pun berpelukan melepas kerinduan masing-masing.Lelaki itu bernama Reza. Seorang mahasiswa yang sudah beberapa tahun ini tinggal di kontrakan milik keluarga Alif. bagi Alif, Reza bukan hanya dianggap sebagai sahabat terbaik tetapi sudah dirasa seperti saudara sendiri."Bagaimana penelitianmu? Gila, selama empat bulan itu kamu tidak pulang-pulang ke sini? Betah banget di sana. Atau jangan-jangan udah kecantol pula sama gad
"Mala..."Mala menoleh dan mendapati seorang lelaki tampan sedang menatapnya sendu. Bian yang juga berdiri disampingnya mengenggam erat tangan Mala. Dia masih mengenali orang itu. Kalau tidak salah ingat lelaki itu dulu pernah dekat dengan istrinya. Bukankah mereka dulu pernah bertemu saat masih kuliah? Rahang Bian mengeras."A...Alif..." ujar Mala pelan."Ternyata kamu masih mengenaliku." Lelaki yang ternyata adalah Alif itu tersenyum pahit. "Selamat atas pernikahanmu, Mala. Semoga bahagia. Apa kita bisa bicara sebentar, hanya berdua." pinta Alif menatap Mala harap.“Jika ada yang ingin dibicarakan, maka bicara disini saja, Lif.” Jawab Mala halus.Alif menatap Mala memohon, lalu ditatapnya Bian yang masih mengenggam erat tangan Mala."Mala adalah istriku. Jadi apapun masalahnya, juga masalahku. Tidak ada rahasia diantara kami." potong Bian cepat. Genggamannya pun semakin erat. Mala tersenyum dan menatap Bian hangat."Suamiku benar, Lif. Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?” ucap Ma
Mala bersenandung riang sambil melangkah kesana kemari di dapur. Seperti biasanya, setelah sepuluh hari lebih mereka menikah, ia selalu membuatkan sarapan untuk suaminya. Namun, pagi ini ada yang tak biasa, karena dari tadi tak henti hentinya bibirnya tersenyum lalu senandung cinta tak berhenti mengalun dari mulut itu. Menggambarkan suasana hatinya yang sedang berbunga-bunga.Akhirnya, setelah 10 hari menikah, semalam ia berhasil melaksanakan tugas sepenuhnya sebagai seorang istri. Melawan segala trauma yang selalu menghantuinya.Masakannya hampir selesai, saat deru suara motor terdengar di halaman depan. Itu adalah suaminya pulang dari masjid. Bahkan disaat beratnya godaan untuk kembali memeluk istrinya, lelaki itu tetap bangkit dan beranjak ke kamar mandi. Lalu setelah menunaikan shalat sunat sebelum shubuh dua raka'at ia pamit untuk menunaikan shalat Shubuh berjamaah ke masjid. Mala yang saat itu masih uring-uringan, merasa sangat malu pada suaminya itu. Hingga walau dengan sedikit
Bian menghela nafas lega setelah mobilnya sampai di rumah, setelah menempuh perjalanan lebih kurang 3 jam dari kota B. Disamping nya Mala tertidur dengan pulas. Diputarnya tubuh dan menatap sang istri yang tengah tertidur. Tangannya perlahan mengelus pipi halus itu dan merapikan anak rambut yang dengan nakal mengintip dari balik jilbabnya."Sungguh, kehadiranmu adalah anugerah terindah dalam hidupku. Aku janji akan menjaga anugerah itu dengan sebaiknya. Aku tak bisa menjanjikan bahwa kamu akan selalu bahagia denganku, tapi aku usahakan bahwa dalam kondisi apapun aku akan selalu ada untukmu."Tak tahan hanya memandang, Bian akhirnya tergoda untuk mengecup singkat pipi itu. Dan untuk beberapa saat dibiarkan bibirnya menempel pada pipi halus yang terasa dingin, mungkin karena suhu dalam mobil sehingga membuat istrinya kedinginan.Mala mengeliat karena merasa tidur nyenyaknya terusik. Perlahan dibukanya mata, dan hal pertama yang dilihatnya adalah wajah tampan suami yang berada tepat dide
Bian menghela nafas lega setelah mobilnya sampai di rumah, setelah menempuh perjalanan lebih kurang 3 jam dari kota B. Disamping nya Mala tertidur dengan pulas. Diputarnya tubuh dan menatap sang istri yang tengah tertidur. Tangannya perlahan mengelus pipi halus itu dan merapikan anak rambut yang dengan nakal mengintip dari balik jilbabnya."Sungguh, kehadiranmu adalah anugerah terindah dalam hidupku. Aku janji akan menjaga anugerah itu dengan sebaiknya. Aku tak bisa menjanjikan bahwa kamu akan selalu bahagia denganku, tapi aku usahakan bahwa dalam kondisi apapun aku akan selalu ada untukmu."Tak tahan hanya memandang, Bian akhirnya tergoda untuk mengecup singkat pipi itu. Dan untuk beberapa saat dibiarkan bibirnya menempel pada pipi halus yang terasa dingin, mungkin karena suhu dalam mobil sehingga membuat istrinya kedinginan.Mala mengeliat karena merasa tidur nyenyaknya terusik. Perlahan dibukanya mata, dan hal pertama yang dilihatnya adalah wajah tampan suami yang berada tepat dide
Bian melangkah pelan mengikuti rombongan pejabat perusahaan menuju ruang pimpinan. Kepalanya masih celingukan ke belakang menunggu istri tercinta yang masih belum juga tampak. Tadi, mereka terpaksa berpisah karena Mala yang mendadak dihampiri oleh puluhan karyawan yang hendak minta maaf sekaligus mengucapkan salam perpisahan padanya. Sebenarnya ingin sekali menemani, takut jika terjadi hal diluar dugaan lagi, namun tarikan halus di ditangannya mengurungkan niatnya."Sudahlah! Kupastikan dia aman sekarang. Tak akan ada yang berani mengganggunya lagi. Disamping kebenaran yang telah terungkap, semua orang tahu bahwa Mala adalah isteri salah satu pemegang saham di sini, mana ada yang berani usil lagi padanya. Termasuk si Raditya itu" ujar Donny yang membuat Bian tersenyum.Tetap saja dia mencemaskan istrinya."Tetap saja hatiku tak tenang, Bang. Dia masih trauma. Abang tak merasakan bagaimana nelangsanya adikmu ini, walau sudah menjadi istri sah pun, aku sama sekali tak bisa berbuat banya
“Saya memiliki semua rekaman cctv kejadian itu, karena kebetulan saat kejadian itu saya berada di hotel yang sama dengan Pak Raditya. Saya bisa saja memutar semua cctv itu di sini, tapi karena permintaan dari istri saya, opss…” Bian pura-pura keceplosan, lalu tersenyum manis pada Mala, “Karena permintaan dari Nirmala, agar rekaman cctv itu tidak diputar karena bisa menyebarkan aib orang lain, makanya saya tidak memperlihatkan cctv itu.”Bian melangkah tanpa canggung dan berjalan didepan semua yang hadir, layaknya seorang dosen yang sedang memberikan kuliah pada semua mahasiswanya. Langkahnya berakhir tetap di depan dua orang wanita yang tadi tidak mempercayai pengakuan Raditya.“Hei, Nona berdua. Mungkin anda adalah penggemar pak Radit, jadi sah-sah saja jika anda tak akan percaya apapun kesalahan yang dilakukan oleh idola anda. Its okey. Tapi coba anda lihat sebagai sisi wanita, saat ini Nirmala, wanita yang sedang anda hujat itu sedang mengalami trauma berat. Trauma atas kejadian na
Mala duduk dengan gelisah didepan puluhan mata yang memandangnya dengan tatapan yang beragam. Di sebelahnya Radit tak kalah gelisah, semua ini sungguh diluar dugaannya. Dikiranya pertemuan di aula siang ini akan menjadi saksi keberhasilannya mendapatkan hati dan cinta dari wanita yang disukai, namun kenyataan berkata lain. Apalagi saat sesekali ekor matanya menatap lelaki yang duduk dengan tenang disampingnya pimpinan perusahaannya. Entah apa hubungan lelaki itu dengan orang nomor satu diperusahaan itu? Yang jelas kehadirannya membuat keberaniannya nyaris hilang, karena bagaimana pun, lelaki itu mengetahui semua kejahatan yang dilakukannya pada Mala.Belum lagi, mengingat bagaimana reaksi Mala saat lelaki itu muncul. Mala berlari dan menghambur kepelukan lelaki itu dan mendekapnya erat. Membuat hati Radit bagai ditusuk belati karena sakit membayangkannya. Dengannya, jangankan memeluk, dipegang tangan sedikit saja gadis itu sudah tak ubahnya macan betina.Kebingungan itu sebenarnya jug
Mala duduk termenung di kursi kerjanya, tak menghiraukan rekan kerja yang sedari tadi saling pandang satu sama lain, tak ada yang berani bicara. Sekembalinya dari HRD Mala menjadi diam seribu bahasa. Hanya termenung tanpa melakukan apa-apa.Setelah merasa hatinya agak tenang, diangkatnya kepala lalu memandang semua yang ada di ruangan itu sendu. Kurang lebih dua tahun bekerja disana, sekarang harus pergi dengan hati yang terluka. Dikiranya ia akan bisa pamit dengan hati tenang, dan melupakan masalah dengan Radit. Tapi kenyataan memang tak seindah bayangan. Apalagi, sebentar lagi akan diadakan pertemuan di aula, dan semua orang akan mengadilinya. Tatapan sinis dari puluhan pasang mata akan menghujaninya. Diusapnya wajah kasar, lalu untuk menghibur diri di coba menghubungi seseorang yang beberapa hari ini mampu memberi ketenangan dan kekuatan saat masalah datang padanya.Hanya menyapa, itu yang bisa dilakukannya, karena takut akan merusak konsentrasi lelaki itu disana. Namun diluar per
Bian menyesap secangkir teh panas yang dihidangkan padanya oleh asisten dari lelaki yang kini sedang duduk di depannya. Lelaki yang berusia 35 tahun itu tampak sangat gagah dan tampan dengan gayanya yang kasual.Setelah melepas Mala masuk ke kantor, hatinya tetap tak tenang, sehingga diputuskan untuk menghubungi salah satu mahasiswa yang kuliah hari ini denganya, minta maaf karena tak bisa masuk dan minta ganti perkuliahan di hari lain. Awalnya, ia ragu juga ingin ikut campur, tapi saat tanpa sengaja mendengar percakapan miring tentang Mala oleh dua orang karyawan yang baru datang, dan sempat numpang berkaca dimobilnya, hati lelaki itu menjadi panas. Bayangan betapa hancur hati istrinya mendengar berita itu sungguh membuatnya tak tenang.Mungkin nasib baik memang sedang memihaknya, atau mungkin begitu cara Allah memudahkan langkahnya. Kantor tempat Mala bekerja ternyata adalah milik salah seorang seniornya saat ikut organisasi dulu. Bahkan atas tawaran dari seniornya itu, dia juga m