[Target sudah kami amankan, Nyonya! Tolong kirim pelunasannya!] Anesya tersenyum ketika membaca sederet kalimat itu. Lalu tampak foto seorang perempuan dengan lengan terikat dan foto tahi lalat pada punggungnya. Meskipun tak terlihat jelas wajah itu, tetapi Anesya cukup puas.
[Oke, habisi! Jangan sampai suamiku bisa menemukannya!] Anesya cepat mengirim pesan itu. Senyum pada bibirnya tersungging. Tak rugi dia membayar mahal para sindikat itu. Rupanya, mereka bekerja jauh lebih hebat dari pada yang dia perkirakan. [Perjanjiannya, pelunasan dulu, Nyonya! Setelah itu baru action!] Pesan masuk, kembali diterima. Anesya menghela napas kasar. Dia pun mau tak mau bergegas mengirimkan uang. Sejumlah nominal yang cukup besar dia gelontorkan. Tak apa, yang penting langkah pertama sudah dijalankan. Andaipun langkah ini tak berhasil. Dia sudah mengantisipasinya dengan mendekati Gavin. Bukankah mudah saja, tinggal buat semua hasil test DNA untuk peserta sayembara terpilih digagalkan. Jika Gavin berpihak padanya, maka semua akan jadi mudah. “Anesya memang pintar,” batinnya sambil tersenyum puas. Lekas dia kirimkan bukti transfer pada para penculik yang dipesannya. [Sudah lunas. Lekas selesaikan pekerjaan kalian! Hilangkan jejak!] Anesya mengirim pesan dengan cepat. Tiga orang penculik yang masih berada di dalam mobil tertawa senang. [Bos, uangnya sudah masuk!] Suara Pardi, yang sedang menyetir terdengar. Dia baru saja mendapat notifikasi m-banking pada ponselnya. [Oke, lekas kita selesaikan tugasnya!] Lelaki yang dipanggil Bos situ bicara sambil tertawa riang. Dia duduk di kursi belakang mengapit Ameera bersama Boba. Mobil baru mengarah ke pintu tol. Mereka akan menghabisi Ameera di Bandung sana agar tak terendus jejaknya. Hanya saja, tiba-tiba sebuah mobil avanza melaju cepat dan beberapa detik kemudian sudah melintang menghadang jalan. “Ck, beg*, ya!” bentak Pardi seraya membuka kaca mobil dan melongokkan kepala. Namun, sial, lelaki itu malah mengarahkan kamera sekilas, lalu berlari ke arah beberapa orang polisi yang kebetulan tengah berjaga. “Mogok kayaknya! Mundur saja, masuk jalur sebelah!” titah Boba yang diam-diam masih menodongkan pistol pada Ameera. Pardi menurut. Hanya saja area belakang sudah semakin padat. Dia mendengus sebal. Dia mengulangkan tangan mengisyaratkan pengendara yang belakang untuk berhenti dan mundur sedikit. Pada saat dia tengah berusaha memutar arah, terlihat lelaki bertubuh jangkung bersama tiga orang polisi mendekat. Namun, sialnya bukan mobil Avanza yang melintang itu yang dihampirinya, tetapi justru mobilnya. “Selamat siang! Mohon turun sebentar! Kami mendapat laporan dan harus memeriksa mobil kalian!” tutur polisi itu dengan tegas. “Gak ada apa-apa di mobil kami, Pak. Kami mau liburan! Iya ‘kan Ji?” tutur Pardi memanggil asal pada dua rekannya yang duduk di kursi belakang. “Iya, Pak! Kami mau liburan ke Bandung!” jawab Boba sambil memasang wajah dengan senyuman. “Itu, Pak Polisi! Perempuan yang di tengah itu pacar saya! Turunkan dia bajingan!” Suara lelaki yang tak lain adalah Ardi itu, memekik, seraya memukul kaca mobil bagian belakang dengan benda keras. Suara pecahan kaca terdengar bersama serpihan yang berjatuhan. “Mas Ardi! Tolongin Meera!” Ameera memekik kaget dan senang. Sebuah pertolongan akhirnya datang dan tiba-tiba ketiga polisi itu mengeluarkan senjata. “Diam!” bentak Boba gugup. Sambil mencengkeram lengan Ameera. “Cari aman!” Sang Bos yang terlihat tetap tenang, membisikkan kalimat pada Pardi. Pardi paham dan mengangguk. Tanpa aba-aba, mobil pun menggunakan celah yang sempit itu untuk kabur. Bahkan beberapa mobil yang tadi memang diminta mundur, tetap saja terbentur. Pardi memutar balik dan melaju kencang membabi buta. Ketiga polisi itu sigap berlari pada mobilnya yang terparkir di tepi jalan. Ardi pun turut juga. “Sial, jalanan macet, Bos!” Pardi berdecak. Mengemudi zigzag pun, tetap butuh celah. “Pecah konsentrasi mereka!” titah lelaki yang mereka panggil bos itu. “Caranya?” Boba bingung. “Lempar saja perempuan itu! Jadi mereka akan fokus menolong dia!” tuturnya santai. “T—tapi, Bos?” Pardi tercekat. “Kita sudah dapatkan uangnya! Jadi, sudah aman!” kekeh sang Bos sambil menyeringai. “Baik, Bos!” Boba tak menunggu waktu lama. Dia mendorong daun pintu, lalu melempar tubuh Ameera. Suara jeritan kaget dan decita rem dari pengendara mobil di jalanan terdengar. Beberapa sepeda motor ikut terjatuh karena ngerem mendadak dan tertimpa tubuh Ameera. Suasana jalanan yang hingar bingar, menjadi kacau. Strategi mereka untuk memecah konsentrasi, berhasil. Sementara itu, Pardi langsung melesat mencari jalan pintas untuk menghilang. Rupanya perhitungan bos mereka benar. Mobil polisi yang mengejar, lebih memilih menolong Ameera. Ardi terburu-buru turun memburu tubuh Ameera yang meringkuk. Untung saja, Pak Polisi sigap menginjak rem. Jika tidak, mungkin mobil polisi itu yang akan melindas Ameera. “Ra, kamu gak apa-apa?” Ardi memburu Ameera. Gadis itu masih meringis. Kepalanya terbentur pada benda keras, entah sepeda motor atau mobil, tak terlalu jelas. Bahu dan pinggangnya terasa mau patah. Ketiga polisi yang tadi dimintai tolong, bergegas turun dan memburu Ardi dan Ameera. “Sebaiknya si Mbaknya di bawa ke rumah sakit terdekat dulu, Mas! Setelah ini bisa melapor ke bagian kriminal dengan laporan penculikan!” “Baik, Pak Polisi! Terima kasih banyak!” Ardi mengangguk hormat. Dia membopong tubuh Ameera menepi. Lalu ditatapnya manik cokelat terang yang sangat ia kagumi itu. “Untung aku tadi ngikutin kamu, Ra! Kalau enggak … aku gak tau apa yang akan terjadi,” lirih Ardi dengan raut ketakutan. Dia sibuk membuka ikatan pada lengan Ameera. Ameera memandang nanar wajah rupawan yang berada beberapa senti di dekatnya. Dia tahu, sangat tahu, Ardi tulus padanya. Namun, tidak dengan keluarganya. “Makasih, Mas!” Hanya itu kalimat singkat yang dia ucapkan. Ardi pun lekas mencari ojek online untuk mengambil mobilnya yang ternyata membuat kemacetan panjang. Dia pun membawa Ameera ke rumah sakit. *** Sasha menatap nomor asing yang menelponnya. “Selamat siang! Betul dengan Ameera Syahnaz Hafiza?” “Siang, Pak! Maaf ini Sasha temennya, ini siapa, ya?” “Saya Gavin, asisten pribadi Tuan Rivaldo. Mau menginformasikan kalau Ameera menjadi peserta sayembara terpilih. Undangan pertemuannya sudah dikirim by email.” “Oh, maaf Pak Gavin! Apa bisa telepon ke nomor satunya! Saya ada cantumkan dua nomor di link kemarin!” “Mohon maaf, nomor itu tidak aktif! Bisa bantu sampaikan pada yang bersangkutan? Waktu pertemuannya terbatas dan undangan ini hanya bersifat sekali! Jika tak datang, maka akan gugur!” “Baik, Pak Gavin! Dengan senang hati!” “Terima kasih, Sasha!” “Kembali kasih, Pak!” Suaranya macho sekali, pikir Sasha. Sosok lelaki yang menelpon dari seberang sana langsung tergambar di kepalanya. Sasha menutup panggilan. Senyum pada bibirnya tersungging. Rupanya Ameera terpilih. “Ra, semoga kamu beneran putri kandung Tuan Rivaldo! Lalu aku ikut, bisa ketemu sama si Pak Gavin tadi, pasti keren orangnya.” Sasha tersenyum dan lekas mencoba menghubungi Ameera. Dia tak tahu jika ponsel Ameera terlempar di tengah jalan dan kini sudah hancur terlindas bergantian oleh kendaraan.[Target sudah kami habisi, Nyonya!] Sebuah foto diterima Anesya. Foto seorang gadis belia yang tergeletak tak berdaya. Darah segar mengalir. Kerumunan orang terlihat sesak. [Bagus! Karena kalian mengerjakan perintah dengan baik, saya akan segera kirim bonus.] Hati Anesya yang sedang bahagia berbunga-bunga. Bahkan dia lekas membuka e-banking dan mengirim sejumlah uang. [Terima kasih Nyonya.] Balasan diterima. Anesya tersenyum puas. Hari ini dia baru mau menjemput Safiyya dan membawanya pulang. Misinya sudah selesai. Putri kandung dari suaminya sudah tidak ada lagi di dunia ini.“Lihat ‘kan, Mas? Aku jauh lebih pintar dari pada kamu,” batin Anesya sambil menyeringai. Dia lekas berjalan dan segera meraih kunci mobil. Hari ini, dia berencana mau menjemput Safiyya. Anesya berjalan ringan. Dia tak tahu jika para sindikat itu sudah melepaskan Ameera dan membawa kabur uang-uangnya. Foto itu hanya sebuah foto kecelakaan lalu lintas yang para sindikat itu kirim, korbannya entah siapa. “Kam
“Gimana kalau Tuan Rivaldo itu beneran ayah kamu, Ra! Apa kamu gak kepengen ketemu dengan Ayah dan Ibu kandung kamu sendiri, hmmm?” Sasha menatap lekat wajah sahabatnya itu. Dia terus berusaha meyakinkan Ameera agar mau ikut menjadi peserta sayembara itu.Ameera tersenyum getir. Dia menatap ke arah Sasha lalu bicara, “Jika dia memang ayahku? Ke mana saja dia selama ini? Kenapa baru hari ini mencari? Ke mana saja dia selama aku tertatih-tatih merindukannya? Ke mana mereka, Sha? Ke mana?” Suara Ameera bergetar. Akhirnya apa yang selama ini terpendam dalam benaknya kini dia luahkan. Bulir bening berjatuhan, tetapi dengan kasar dia hapus. Sasha terdiam. Dia tak pernah berpikir, jika sahabatnya seluka itu. “Di mana mereka, Sha? Di mana? Dari dulu hanya Bu Uti yang memeluk Ameera kecil yang nangis merindukan mama. Hanya Bu Uti yang memeluk Ameera kecil yang nangis, merindukan ayah. Sekarang, aku sudah dewasa … aku tak lagi butuh mereka.” Ameera bicara sambil terisak. Dari getaran suaranya
“Ardi! Kamu mama besarkan dengan baik! Kamu mama kuliahkan di tempat mahal! Kerjaan sudah mapan! Tiba-tiba kamu maksa mama suruh nerima gadis yatim piatu yang gak jelas asal-usulnya ini jadi menantu! Tanpa kamu tanya pun, harusnya kamu tahu apa jawaban mama?!” ketus perempuan dengan sanggul tinggi itu. Ameera yang malam ini diundang Ardi untuk makan malam, merasa tiba-tiba begitu kerdil. Apalagi adik dan Kakak Ardi menatapnya dengan pandangan remeh. “Ameera gadis baik, Ma! Tolong kasih kesempatan!” Ameera masih teringat jelas, suara Ardi bergetar. “Kasih kesempatan? Jangan mimpi!” Perempuan yang tadi dikenalkan sebagai kakanya Ardi menyeringai, lalu berdiri dan melempar sendok ke meja. “Jadi rusak selera makan, Mbak. Gara-gara kamu, Di!” tuturnya.“Iya, bener!” timpal adiknya.“Malas banget!” sambungnya lagi. Lalu, satu per satu mereka pergi meninggalkan meja makan, termasuk orang tua Ardi sendiri. Ameera yang masih mematung bersisian dengan Ardi mengelus dada. Hatinya terasa remu
"Gavin, tunggu! Saya mau bicara!" Sepasang mata Elang Gavin menatap Anesya. “Ya, Nyonya?” Gavin membungkuk hormat. Seperti apapun hubungan Anesya dengan Tuan Rivaldo. Perempuan itu tetaplah istri dari majikannya. “Ini hal yang sangat penting! Bisa ikut saya!” tutur Anesya sambil menatap wajah Gavin. “Baik, Nyonya!” Gavin pun mengikuti langkah Anesya yang menuju ke sebuah ruangan. Rupanya tujuannya adalah ruang baca. Kini keduanya sudah berdiri di antara deretan rak buku yang berjajar di sana. Anesya pun memulai kalimatnya. Gavin hanya terdiam dan mendengarkan dengan seksama.*** Ameera dan Sasha beriringan turun dari mobil bus warga baru. Gerah terasa menjalar ke seluruh badan. Meskipun tadi Ameera memandu pemain golf menggunakan golfcar tetap saja mengitari lapangan yang luasnya berhektar-hektar itu melelahkan. “Makan apa, Ra?” Sasha mengedarkan pandangan. Turun dari bus jemputan, selalu disuguhkan beragam pilihan makanan angkringan. “Hmmm … pecel ayam saja, Sha.” Sepasang ne
“Gimana kalau Tuan Rivaldo itu beneran ayah kamu, Ra! Apa kamu gak kepengen ketemu dengan Ayah dan Ibu kandung kamu sendiri, hmmm?” Sasha menatap lekat wajah sahabatnya itu. Dia terus berusaha meyakinkan Ameera agar mau ikut menjadi peserta sayembara itu.Ameera tersenyum getir. Dia menatap ke arah Sasha lalu bicara, “Jika dia memang ayahku? Ke mana saja dia selama ini? Kenapa baru hari ini mencari? Ke mana saja dia selama aku tertatih-tatih merindukannya? Ke mana mereka, Sha? Ke mana?” Suara Ameera bergetar. Akhirnya apa yang selama ini terpendam dalam benaknya kini dia luahkan. Bulir bening berjatuhan, tetapi dengan kasar dia hapus. Sasha terdiam. Dia tak pernah berpikir, jika sahabatnya seluka itu. “Di mana mereka, Sha? Di mana? Dari dulu hanya Bu Uti yang memeluk Ameera kecil yang nangis merindukan mama. Hanya Bu Uti yang memeluk Ameera kecil yang nangis, merindukan ayah. Sekarang, aku sudah dewasa … aku tak lagi butuh mereka.” Ameera bicara sambil terisak. Dari getaran suaranya
[Target sudah kami habisi, Nyonya!] Sebuah foto diterima Anesya. Foto seorang gadis belia yang tergeletak tak berdaya. Darah segar mengalir. Kerumunan orang terlihat sesak. [Bagus! Karena kalian mengerjakan perintah dengan baik, saya akan segera kirim bonus.] Hati Anesya yang sedang bahagia berbunga-bunga. Bahkan dia lekas membuka e-banking dan mengirim sejumlah uang. [Terima kasih Nyonya.] Balasan diterima. Anesya tersenyum puas. Hari ini dia baru mau menjemput Safiyya dan membawanya pulang. Misinya sudah selesai. Putri kandung dari suaminya sudah tidak ada lagi di dunia ini.“Lihat ‘kan, Mas? Aku jauh lebih pintar dari pada kamu,” batin Anesya sambil menyeringai. Dia lekas berjalan dan segera meraih kunci mobil. Hari ini, dia berencana mau menjemput Safiyya. Anesya berjalan ringan. Dia tak tahu jika para sindikat itu sudah melepaskan Ameera dan membawa kabur uang-uangnya. Foto itu hanya sebuah foto kecelakaan lalu lintas yang para sindikat itu kirim, korbannya entah siapa. “Kam
[Target sudah kami amankan, Nyonya! Tolong kirim pelunasannya!] Anesya tersenyum ketika membaca sederet kalimat itu. Lalu tampak foto seorang perempuan dengan lengan terikat dan foto tahi lalat pada punggungnya. Meskipun tak terlihat jelas wajah itu, tetapi Anesya cukup puas. [Oke, habisi! Jangan sampai suamiku bisa menemukannya!] Anesya cepat mengirim pesan itu. Senyum pada bibirnya tersungging. Tak rugi dia membayar mahal para sindikat itu. Rupanya, mereka bekerja jauh lebih hebat dari pada yang dia perkirakan. [Perjanjiannya, pelunasan dulu, Nyonya! Setelah itu baru action!] Pesan masuk, kembali diterima.Anesya menghela napas kasar. Dia pun mau tak mau bergegas mengirimkan uang. Sejumlah nominal yang cukup besar dia gelontorkan. Tak apa, yang penting langkah pertama sudah dijalankan.Andaipun langkah ini tak berhasil. Dia sudah mengantisipasinya dengan mendekati Gavin. Bukankah mudah saja, tinggal buat semua hasil test DNA untuk peserta sayembara terpilih digagalkan. Jika Gavin
"Gavin, tunggu! Saya mau bicara!" Sepasang mata Elang Gavin menatap Anesya. “Ya, Nyonya?” Gavin membungkuk hormat. Seperti apapun hubungan Anesya dengan Tuan Rivaldo. Perempuan itu tetaplah istri dari majikannya. “Ini hal yang sangat penting! Bisa ikut saya!” tutur Anesya sambil menatap wajah Gavin. “Baik, Nyonya!” Gavin pun mengikuti langkah Anesya yang menuju ke sebuah ruangan. Rupanya tujuannya adalah ruang baca. Kini keduanya sudah berdiri di antara deretan rak buku yang berjajar di sana. Anesya pun memulai kalimatnya. Gavin hanya terdiam dan mendengarkan dengan seksama.*** Ameera dan Sasha beriringan turun dari mobil bus warga baru. Gerah terasa menjalar ke seluruh badan. Meskipun tadi Ameera memandu pemain golf menggunakan golfcar tetap saja mengitari lapangan yang luasnya berhektar-hektar itu melelahkan. “Makan apa, Ra?” Sasha mengedarkan pandangan. Turun dari bus jemputan, selalu disuguhkan beragam pilihan makanan angkringan. “Hmmm … pecel ayam saja, Sha.” Sepasang ne
“Ardi! Kamu mama besarkan dengan baik! Kamu mama kuliahkan di tempat mahal! Kerjaan sudah mapan! Tiba-tiba kamu maksa mama suruh nerima gadis yatim piatu yang gak jelas asal-usulnya ini jadi menantu! Tanpa kamu tanya pun, harusnya kamu tahu apa jawaban mama?!” ketus perempuan dengan sanggul tinggi itu. Ameera yang malam ini diundang Ardi untuk makan malam, merasa tiba-tiba begitu kerdil. Apalagi adik dan Kakak Ardi menatapnya dengan pandangan remeh. “Ameera gadis baik, Ma! Tolong kasih kesempatan!” Ameera masih teringat jelas, suara Ardi bergetar. “Kasih kesempatan? Jangan mimpi!” Perempuan yang tadi dikenalkan sebagai kakanya Ardi menyeringai, lalu berdiri dan melempar sendok ke meja. “Jadi rusak selera makan, Mbak. Gara-gara kamu, Di!” tuturnya.“Iya, bener!” timpal adiknya.“Malas banget!” sambungnya lagi. Lalu, satu per satu mereka pergi meninggalkan meja makan, termasuk orang tua Ardi sendiri. Ameera yang masih mematung bersisian dengan Ardi mengelus dada. Hatinya terasa remu