“Gimana kalau Tuan Rivaldo itu beneran ayah kamu, Ra! Apa kamu gak kepengen ketemu dengan Ayah dan Ibu kandung kamu sendiri, hmmm?” Sasha menatap lekat wajah sahabatnya itu. Dia terus berusaha meyakinkan Ameera agar mau ikut menjadi peserta sayembara itu.
Ameera tersenyum getir. Dia menatap ke arah Sasha lalu bicara, “Jika dia memang ayahku? Ke mana saja dia selama ini? Kenapa baru hari ini mencari? Ke mana saja dia selama aku tertatih-tatih merindukannya? Ke mana mereka, Sha? Ke mana?” Suara Ameera bergetar. Akhirnya apa yang selama ini terpendam dalam benaknya kini dia luahkan. Bulir bening berjatuhan, tetapi dengan kasar dia hapus. Sasha terdiam. Dia tak pernah berpikir, jika sahabatnya seluka itu. “Di mana mereka, Sha? Di mana? Dari dulu hanya Bu Uti yang memeluk Ameera kecil yang nangis merindukan mama. Hanya Bu Uti yang memeluk Ameera kecil yang nangis, merindukan ayah. Sekarang, aku sudah dewasa … aku tak lagi butuh mereka.” Ameera bicara sambil terisak. Dari getaran suaranya terdengar sekali memendam luka, kosong dan hampa. “Ra ….” Sasha kehilangan kata-kata. Dia tak mengira, ada luka yang begitu dalam yang dipendam seorang Ameera. “Jangan paksa aku, Sha. Aku sudah bahagia dengan hidupku, tanpa mereka.” Ameera menatap Sasha dan mengucapkan kalimat itu dengan penuh penekanan. Perdebatan kecil itu tak berlanjut karena ponsel Ameera berbunyi. Sebuah nomor baru. Ameera mengangkatnya lalu dari seberang sana terdengar suara omelan, “Muka kamu itu terbuat dari apa, sih? Ngebet banget apa pengen jadi mantu orang kaya?” Ameera menjauhkan ponselnya ketika nada bicara tujuh oktaf itu memekakkan telinga. “Siapa kamu?” Ameera meloudspeaker ponselnya. Rasanya dia tak pernah punya masalah dengan siapapun. “Saya Maria, Kakaknya Ardi. Apa gak cukup paham dengan sikap kami ke kamu? Sampe kamu mempengaruhi Ardi buat ninggalin pertemuan keluarga penting kemarin? Denger, ya, Ameera! Kamu itu gak akan pernah setara dengan kami. Jauhi Ardi. Dia sudah kami jodohkan dengan anak pengusaha kaya! Jadi, sekali lagi saya lihat kamu berani pengaruhin Ardi, jangan salahkan saya kalau saya tak akan segan-segan membuat kamu menyesal! Kalau mau hidup kamu aman! Jauhi Ardi!" "Saya gak pernah berbuat gitu, Mbak!" Ameera menyangkal. "Gak usah banyak bac*t! Kamu kira saya gak tahu, semalam Ardi gak pulang karena nemuin kamu! Sekali lagi, ingat kasta kamu! Kamu itu cuma Jong*s orang Jepang! Jadi, jauhi keluraga kami! Sekali lagi, kalau kamu gak mau menyesal dan mau hidup tenang! Pergi sejauh-jauhnya dari sisi Ardi!" Tut! Belum Ameera menjawab, sambungan pada ponsel itu terputus begitu saja. Ameera hanya menghembuskan napas kasar. Heran juga, secepat itu kakaknya Ardi tahu nomor barunya. “Sabar, Ra ….” Sasha menepuk bahu Ameera pelan. “Awww!” keluh Ameera sambil meringis. “Kamu kenapa, Ra? Sakit? Perasaan aku nepuknya pelan.” Sasha menatap heran. “Iya, Sha. Kemarin jatoh di depan.” Ameera tak mau menceritakan kejadian mengerikan itu. Namun, mendengar ancaman dari kakaknya Ardi, Ameera mulai menduga-duga. Jangan-jangan para penjahat itu disuruh keluarga Ardi, karena itu, Ardi memintanya pindah kontrakan. “Sha, carikan aku kontrakan baru. Sepertinya aku harus pindah dari sini secepatnya!” tutur Ameera panik. “Kamu kenapa sih jadi aneh kayak gitu, Ra?” Sasha jadi bingung dengan sikap sahabatnya itu. “Gak apa-apa, lain kali aku cerita. Sekarang bantu aku, ya! Please!” Ameera mulai beranjak ke dalam, lalu mulai mempacking baju-bajunya. “Loh, malah mau pindahan! Kamu yakin mau melewatkan sayembara ini?” Sasha mende-sah frustasi. “Yang daftar ‘kan kamu. Jadi, kamu saja yang pergi,” tutur Ameera ringan. Sasha terdiam. Sepertinya ucapan Ameera benar. Dia memang harus pergi. Mendengar suara Gavin yang berkharisma, membuatnya benar-benar ingin bertemu dan melihat langsung wajahnya. “Ooo … gitu, baiklah Ameera yang cantik jelita! Biar Sasha si micin ini yang pergi. Biar kamu nyesel kalau Sasha ini tiba-tiba jadi anak Tuan Rivaldo.” Sasha hendak menepuk lagi pundak Ameera, tapi beruntung Ameera lebih cepat menghindar. “Hehehe, sorry! Lupa kalo sakit. Ya udah, ya! Aku datengin dulu tuh rumah konglomerat! Siapa tahu nasib baik, bisa jadi anak konglomerat dadakan!” tutur Sasha sambil berjalan keluar. “Eh, Sha! Bantuin dulu ini!” Ameera menahan Sasha. Sasha berdecak kesal dan ngedumel, tapi tak urung tangannya bergerak membantu packing barang-barang Ameera dan ketika melihat sisir Ameera yang terlilit rambut-rambut rontoknya, ide Sasha tiba-tiba muncul. Dia mengambil beberapa helai rambut dan membungkusnya dengan tissue lalu memasukkannya ke dalam saku. “Baiklah, sekalian belajar acting, kalau lolos siapa tahu bisa jadi bintang film,” kekeh Sasha. Lalu dia pun berpamitan dan lekas meninggalkan kontrakan Ameera setelah menyimpan kontak baru Ameera ke dalam ponselnya. Ameera pun meminta kontak beberapa teman lain pada Sasha dan langsung sibuk menelpon teman-teman yang lain untuk menanyakan kontrakan kosong. Sementara itu, Sasha lekas pulang dan memeriksa alamat yang Gavin kirimkan. Meskipun terlambat, dia tak patah arang. Jiwanya yang suka tantangan dan penuh kekepoan, justru bersemangat untuk segera menuju sebuah hotel di mana alamat pertemuan dengan Tuan Rivaldo diadakan. Sasha berangkat dengan mobil online. Beruntung, pas tiba di sana, rupanya sedang ada pertemuan kloter berikutnya. Petugas hotel memeriksa daftar hadir, tapi tak ditemukan nama yang Sasha sebutkan. “Maaf, Mbak! Di sini gak ada nama Ameera!” petugas itu kembali memeriksa daftar nama. “Ahm, Mas … anu, sebetulnya gini … hmm … duh susah jelasinnya! Bisa bantu panggilin dulu Pak Gavin gak? Penting!” Sasha memasang wajah seserius mungkin. Petugas hotel itu tampak sejenak berpikir. Lalu dia mengangguk dan bangkit. Setelah itu masuk ke dalam sebuah ruangan. Sasha masih berdiri di dekat tempat registrasi ketika dari arah samping, terdengar suara yang sudah membuatnya penasaran. “Ada apa kamu nyari saya?” Suara berkharisma dan tegas itu langsung membuat Sasha menoleh. Seketika sepasang mata bulatnya tak bisa berkedip selama beberapa detik. Tampilan seorang lelaki dengan kemeja rapi dan celana jeans yang kekinian membuatnya terpukau. Kaca mata tebal itu membingkai wajah tegasnya dan membuatnya terlihat seperti seorang ilmuwan. “Ya Tuhaaan? Inikah makhluk yang bernama Gavin itu?” batin Sasha sambil terus memandang dua orang lelaki yang berjalan mendekat ke arahnya. Si tampan, Gavin dan petugas hotel yang tadi dimintainya tolong. “Kamu siapa? Ada apa nyari saya?” Gavin mengulangi lagi pertanyaannya.“Ardi! Kamu mama besarkan dengan baik! Kamu mama kuliahkan di tempat mahal! Kerjaan sudah mapan! Tiba-tiba kamu maksa mama suruh nerima gadis yatim piatu yang gak jelas asal-usulnya ini jadi menantu! Tanpa kamu tanya pun, harusnya kamu tahu apa jawaban mama?!” ketus perempuan dengan sanggul tinggi itu. Ameera yang malam ini diundang Ardi untuk makan malam, merasa tiba-tiba begitu kerdil. Apalagi adik dan Kakak Ardi menatapnya dengan pandangan remeh. “Ameera gadis baik, Ma! Tolong kasih kesempatan!” Ameera masih teringat jelas, suara Ardi bergetar. “Kasih kesempatan? Jangan mimpi!” Perempuan yang tadi dikenalkan sebagai kakanya Ardi menyeringai, lalu berdiri dan melempar sendok ke meja. “Jadi rusak selera makan, Mbak. Gara-gara kamu, Di!” tuturnya.“Iya, bener!” timpal adiknya.“Malas banget!” sambungnya lagi. Lalu, satu per satu mereka pergi meninggalkan meja makan, termasuk orang tua Ardi sendiri. Ameera yang masih mematung bersisian dengan Ardi mengelus dada. Hatinya terasa remu
"Gavin, tunggu! Saya mau bicara!" Sepasang mata Elang Gavin menatap Anesya. “Ya, Nyonya?” Gavin membungkuk hormat. Seperti apapun hubungan Anesya dengan Tuan Rivaldo. Perempuan itu tetaplah istri dari majikannya. “Ini hal yang sangat penting! Bisa ikut saya!” tutur Anesya sambil menatap wajah Gavin. “Baik, Nyonya!” Gavin pun mengikuti langkah Anesya yang menuju ke sebuah ruangan. Rupanya tujuannya adalah ruang baca. Kini keduanya sudah berdiri di antara deretan rak buku yang berjajar di sana. Anesya pun memulai kalimatnya. Gavin hanya terdiam dan mendengarkan dengan seksama.*** Ameera dan Sasha beriringan turun dari mobil bus warga baru. Gerah terasa menjalar ke seluruh badan. Meskipun tadi Ameera memandu pemain golf menggunakan golfcar tetap saja mengitari lapangan yang luasnya berhektar-hektar itu melelahkan. “Makan apa, Ra?” Sasha mengedarkan pandangan. Turun dari bus jemputan, selalu disuguhkan beragam pilihan makanan angkringan. “Hmmm … pecel ayam saja, Sha.” Sepasang ne
[Target sudah kami amankan, Nyonya! Tolong kirim pelunasannya!] Anesya tersenyum ketika membaca sederet kalimat itu. Lalu tampak foto seorang perempuan dengan lengan terikat dan foto tahi lalat pada punggungnya. Meskipun tak terlihat jelas wajah itu, tetapi Anesya cukup puas. [Oke, habisi! Jangan sampai suamiku bisa menemukannya!] Anesya cepat mengirim pesan itu. Senyum pada bibirnya tersungging. Tak rugi dia membayar mahal para sindikat itu. Rupanya, mereka bekerja jauh lebih hebat dari pada yang dia perkirakan. [Perjanjiannya, pelunasan dulu, Nyonya! Setelah itu baru action!] Pesan masuk, kembali diterima.Anesya menghela napas kasar. Dia pun mau tak mau bergegas mengirimkan uang. Sejumlah nominal yang cukup besar dia gelontorkan. Tak apa, yang penting langkah pertama sudah dijalankan.Andaipun langkah ini tak berhasil. Dia sudah mengantisipasinya dengan mendekati Gavin. Bukankah mudah saja, tinggal buat semua hasil test DNA untuk peserta sayembara terpilih digagalkan. Jika Gavin
[Target sudah kami habisi, Nyonya!] Sebuah foto diterima Anesya. Foto seorang gadis belia yang tergeletak tak berdaya. Darah segar mengalir. Kerumunan orang terlihat sesak. [Bagus! Karena kalian mengerjakan perintah dengan baik, saya akan segera kirim bonus.] Hati Anesya yang sedang bahagia berbunga-bunga. Bahkan dia lekas membuka e-banking dan mengirim sejumlah uang. [Terima kasih Nyonya.] Balasan diterima. Anesya tersenyum puas. Hari ini dia baru mau menjemput Safiyya dan membawanya pulang. Misinya sudah selesai. Putri kandung dari suaminya sudah tidak ada lagi di dunia ini.“Lihat ‘kan, Mas? Aku jauh lebih pintar dari pada kamu,” batin Anesya sambil menyeringai. Dia lekas berjalan dan segera meraih kunci mobil. Hari ini, dia berencana mau menjemput Safiyya. Anesya berjalan ringan. Dia tak tahu jika para sindikat itu sudah melepaskan Ameera dan membawa kabur uang-uangnya. Foto itu hanya sebuah foto kecelakaan lalu lintas yang para sindikat itu kirim, korbannya entah siapa. “Kam
“Gimana kalau Tuan Rivaldo itu beneran ayah kamu, Ra! Apa kamu gak kepengen ketemu dengan Ayah dan Ibu kandung kamu sendiri, hmmm?” Sasha menatap lekat wajah sahabatnya itu. Dia terus berusaha meyakinkan Ameera agar mau ikut menjadi peserta sayembara itu.Ameera tersenyum getir. Dia menatap ke arah Sasha lalu bicara, “Jika dia memang ayahku? Ke mana saja dia selama ini? Kenapa baru hari ini mencari? Ke mana saja dia selama aku tertatih-tatih merindukannya? Ke mana mereka, Sha? Ke mana?” Suara Ameera bergetar. Akhirnya apa yang selama ini terpendam dalam benaknya kini dia luahkan. Bulir bening berjatuhan, tetapi dengan kasar dia hapus. Sasha terdiam. Dia tak pernah berpikir, jika sahabatnya seluka itu. “Di mana mereka, Sha? Di mana? Dari dulu hanya Bu Uti yang memeluk Ameera kecil yang nangis merindukan mama. Hanya Bu Uti yang memeluk Ameera kecil yang nangis, merindukan ayah. Sekarang, aku sudah dewasa … aku tak lagi butuh mereka.” Ameera bicara sambil terisak. Dari getaran suaranya
[Target sudah kami habisi, Nyonya!] Sebuah foto diterima Anesya. Foto seorang gadis belia yang tergeletak tak berdaya. Darah segar mengalir. Kerumunan orang terlihat sesak. [Bagus! Karena kalian mengerjakan perintah dengan baik, saya akan segera kirim bonus.] Hati Anesya yang sedang bahagia berbunga-bunga. Bahkan dia lekas membuka e-banking dan mengirim sejumlah uang. [Terima kasih Nyonya.] Balasan diterima. Anesya tersenyum puas. Hari ini dia baru mau menjemput Safiyya dan membawanya pulang. Misinya sudah selesai. Putri kandung dari suaminya sudah tidak ada lagi di dunia ini.“Lihat ‘kan, Mas? Aku jauh lebih pintar dari pada kamu,” batin Anesya sambil menyeringai. Dia lekas berjalan dan segera meraih kunci mobil. Hari ini, dia berencana mau menjemput Safiyya. Anesya berjalan ringan. Dia tak tahu jika para sindikat itu sudah melepaskan Ameera dan membawa kabur uang-uangnya. Foto itu hanya sebuah foto kecelakaan lalu lintas yang para sindikat itu kirim, korbannya entah siapa. “Kam
[Target sudah kami amankan, Nyonya! Tolong kirim pelunasannya!] Anesya tersenyum ketika membaca sederet kalimat itu. Lalu tampak foto seorang perempuan dengan lengan terikat dan foto tahi lalat pada punggungnya. Meskipun tak terlihat jelas wajah itu, tetapi Anesya cukup puas. [Oke, habisi! Jangan sampai suamiku bisa menemukannya!] Anesya cepat mengirim pesan itu. Senyum pada bibirnya tersungging. Tak rugi dia membayar mahal para sindikat itu. Rupanya, mereka bekerja jauh lebih hebat dari pada yang dia perkirakan. [Perjanjiannya, pelunasan dulu, Nyonya! Setelah itu baru action!] Pesan masuk, kembali diterima.Anesya menghela napas kasar. Dia pun mau tak mau bergegas mengirimkan uang. Sejumlah nominal yang cukup besar dia gelontorkan. Tak apa, yang penting langkah pertama sudah dijalankan.Andaipun langkah ini tak berhasil. Dia sudah mengantisipasinya dengan mendekati Gavin. Bukankah mudah saja, tinggal buat semua hasil test DNA untuk peserta sayembara terpilih digagalkan. Jika Gavin
"Gavin, tunggu! Saya mau bicara!" Sepasang mata Elang Gavin menatap Anesya. “Ya, Nyonya?” Gavin membungkuk hormat. Seperti apapun hubungan Anesya dengan Tuan Rivaldo. Perempuan itu tetaplah istri dari majikannya. “Ini hal yang sangat penting! Bisa ikut saya!” tutur Anesya sambil menatap wajah Gavin. “Baik, Nyonya!” Gavin pun mengikuti langkah Anesya yang menuju ke sebuah ruangan. Rupanya tujuannya adalah ruang baca. Kini keduanya sudah berdiri di antara deretan rak buku yang berjajar di sana. Anesya pun memulai kalimatnya. Gavin hanya terdiam dan mendengarkan dengan seksama.*** Ameera dan Sasha beriringan turun dari mobil bus warga baru. Gerah terasa menjalar ke seluruh badan. Meskipun tadi Ameera memandu pemain golf menggunakan golfcar tetap saja mengitari lapangan yang luasnya berhektar-hektar itu melelahkan. “Makan apa, Ra?” Sasha mengedarkan pandangan. Turun dari bus jemputan, selalu disuguhkan beragam pilihan makanan angkringan. “Hmmm … pecel ayam saja, Sha.” Sepasang ne
“Ardi! Kamu mama besarkan dengan baik! Kamu mama kuliahkan di tempat mahal! Kerjaan sudah mapan! Tiba-tiba kamu maksa mama suruh nerima gadis yatim piatu yang gak jelas asal-usulnya ini jadi menantu! Tanpa kamu tanya pun, harusnya kamu tahu apa jawaban mama?!” ketus perempuan dengan sanggul tinggi itu. Ameera yang malam ini diundang Ardi untuk makan malam, merasa tiba-tiba begitu kerdil. Apalagi adik dan Kakak Ardi menatapnya dengan pandangan remeh. “Ameera gadis baik, Ma! Tolong kasih kesempatan!” Ameera masih teringat jelas, suara Ardi bergetar. “Kasih kesempatan? Jangan mimpi!” Perempuan yang tadi dikenalkan sebagai kakanya Ardi menyeringai, lalu berdiri dan melempar sendok ke meja. “Jadi rusak selera makan, Mbak. Gara-gara kamu, Di!” tuturnya.“Iya, bener!” timpal adiknya.“Malas banget!” sambungnya lagi. Lalu, satu per satu mereka pergi meninggalkan meja makan, termasuk orang tua Ardi sendiri. Ameera yang masih mematung bersisian dengan Ardi mengelus dada. Hatinya terasa remu