[Target sudah kami habisi, Nyonya!] Sebuah foto diterima Anesya. Foto seorang gadis belia yang tergeletak tak berdaya. Darah segar mengalir. Kerumunan orang terlihat sesak.
[Bagus! Karena kalian mengerjakan perintah dengan baik, saya akan segera kirim bonus.] Hati Anesya yang sedang bahagia berbunga-bunga. Bahkan dia lekas membuka e-banking dan mengirim sejumlah uang. [Terima kasih Nyonya.] Balasan diterima. Anesya tersenyum puas. Hari ini dia baru mau menjemput Safiyya dan membawanya pulang. Misinya sudah selesai. Putri kandung dari suaminya sudah tidak ada lagi di dunia ini. “Lihat ‘kan, Mas? Aku jauh lebih pintar dari pada kamu,” batin Anesya sambil menyeringai. Dia lekas berjalan dan segera meraih kunci mobil. Hari ini, dia berencana mau menjemput Safiyya. Anesya berjalan ringan. Dia tak tahu jika para sindikat itu sudah melepaskan Ameera dan membawa kabur uang-uangnya. Foto itu hanya sebuah foto kecelakaan lalu lintas yang para sindikat itu kirim, korbannya entah siapa. “Kamu akan tetap menjadi putri di rumah ini, Safiyya Sayang. Gadis si*lan itu sudah mama lenyapkan,” Anesya berbicara sendirian sambil memacu kendaraan menuju rumah sakit. Di sanalah Safiyya dirawat. *** Sasha berjalan tergesa menuju kontrakan Ameera. Dia harus segera menyampaikan kabar gembira ini. Ameera terpilih. Sepanjang jalan, bibir mungilnya tak henti bersenandung. Hatinya riang, benar-benar riang. Hanya saja ketika tiba di depan kontrakan milik sahabatnya itu, terlihat kontrakannya masih tertutup. “Holaaa! Aaameeraaa!” Suara nyaringnya yang memanggil Ameera berulang, beriringan dengan ketukan pada daun pintu, membuat tetangga sebelah kontrakan Ameera keluar. “Ameeranya belum pulang, Mbak!” “Eh, belum pulang, Mas? Kok bisa?” Lelaki yang menggunakan celana kolor tersebut mengedik sambil bicara, “Ya, mana saya tahu, Mbak.” “Oke, oke, woless, Mas!” “Cuma tadi ada itu, Mas Ardi ke sini! Dia pun nungguin lama juga, eh Ameeranya gak balik-balik.” Sasha menautkan alis. Tiba-tiba pikiran buruk melintas. Jangan-jangan Ardi berbuat yang tidak-tidak pada sahabatnya. Secara, akhir-akhir ini hubungan mereka sedang ada masalah. “Oke-oke, Mas! Terima kasih!” Sasha gegas mengeluarkan ponsel. Hanya saja nomor Ardi pun tak bisa dihubungi. Sasha pun lekas pulang. Esok dia akan ke kontrakan Ameera lagi. Semoga saja Ameera sudah ada di kontrakannnya. Hanya saja, pas keesokan harinya Sasha datang. Rupanya Ameera masih belum pulang. Masih untung jadwal off kerja, jadi tak terlalu bermasalah. Sasha pun lekas mengirim pesan pada Gavin. [Pak, teman saya lagi sakit keras. Minta kesempatan sekali lagi, ya, please!] Pesan terkirim, centang dua warna biru. Hanya saja tak ada balasan. Tak patah arang, Sasha menelpon Gavin. Hanya saja, lagi-lagi panggilannya diabaikan. Sasha pun akhirnya duduk menunggu di kontrakan Ameera hingga petang. Hanya saja, ternyata Ameera masih tak pulang. “Ya Allah, Ra. Kamu ke mana, sih? Harusnya hari ini jadwal kamu ketemu Tuan Rivaldo." Lirih Sasha lemas. Sasha pun mulai cemas. *** Rencana pertemuan dengan para peserta sayembara terpilih, hari ini dilaksanakan. Ada sepuluh orang yang Tuan Rivaldo pilih. Kini, para gadis itu tengah duduk mengantri di sebuah lobi hotel. Hanya saja, cuma delapan orang yang datang. Acara pertemuan itu sengaja mencari area yang berjauhan dengan rumah. “Tuan, apakah sudah ada yang akan Tuan pilih untuk test DNA?” Gavin menatap wajah Tuan Rivaldo. Baru saja peserta sayembara terakhir tadi keluar dari ruangan selepas wawancara dan verifikasi data. “Apakah sudah datang semua?” Tuan Rivaldo memastikan. “Ada dua orang yang tak datang. Ameera dan Hazana, Tuan. Saya sudah warning mereka, ini kesempatan langka. Jika tak datang, maka dianggap mengundurkan diri, jadi ….” “Hmmm … kalau gitu besok saya kasih nama-nama yang lain. Nama-nama ini, kamu aturkan untuk dicoba test DNA!” tukas Tuan Rivakdo lemah. Entah kenapa, gadis-gadis yang hari ini bertemu dengannya, tak satupun bisa membuatnya merasa jika salah satu dari mereka itu putrinya. Gavin membawa ketiga gadis terpilih itu menuju sebuah rumah sakit untuk test DNA. Sebelum itu, dia sudah memberikan uang transport untuk para peserta yang gagal seleksi. *** Ardi mengemudikan mobilnya menuju kontrakan petakan Ameera. Gadis yang ada di sampingnya memaksa untuk pulang setelah dirawat dua hari di sana. “Ra, Mas saranin, kamu pindah kontrakan!” “Kenapa?” “Mas takut, mereka akan balik lagi dan nyari kamu, Ra.” “Hmmm … mereka gak akan tahu kontrakan aku, Mas. Jadi gak usah berlebihan!” Ardi menghela napas kasar. “Apa karena lelaki itu?” telisik Ardi. Dia ingat betul, kata tetangga Ameera, beberapa saat sebelum Ardi datang dan menunggu, ada dua orang lelaki yang menanyakan tentang Ameera. Apakah karena lelaki itu juga, Ameera menolak pindah tempat tinggal. Dia sudah memiliki lelaki lain semenjak penolakan orang tuanya. “Kamu makin ngaco deh, Mas. Sudah, deh.” Ameera malas membahas hal yang tak perlu. Lagipula, lelaki apa yang dimaksud Ardi. Ameera tak pernah menjalin hubungan dengan lelaki lain. Akhirnya perjalanan menjadi hening. Ameera yang tampaknya enggan membahas apapun dengan Ardi, memilih menikmati pemandangan di luar jendela. Hingga tiba di kontrakan, tak banyak lagi percakapan yang terjadi. Ardi hanya membantu mengurusi ponsel Ameera agar bisa dihubungi lagi. Kebetulan Ameera memiliki ponsel lama yang masih bisa digunakan hanya untuk sekadar WA. Meskipun ramnya terbatas, tapi masih bisa digunakan untuk sekadar bertukar pesan. Ardi pun membelikan SIM card baru untuk Ameera. Ameera hanya memandangi Ardi dalam diam. Melihat perhatian dan kebaikan Ardi, perpisahan yang terpaksa itu, justru terasa semakin nyeri. "Ini udah bisa dipake ya, Ra. Udah Mas coba juga kirim pesan ke nomor Mas, bisa." "Hmmm, makasih, Mas." "Mas pamit." Ardi mengulurkan tangan ke arah Ameera. Dengan enggan, Ameera menyambutnya. "Mas pulang." "Hmmm." "Assalamu'alaikum!" "Waalaikumsalam!" Ameera pun langsung istirahat, sedangkan Ardi memilih pulang karena keinginannya untuk menginap dan menjaga Ameera di sana, ditolak mentah-mentah. Keesokan harinya, Sasha sudah datang pagi-pagi sekali. Senyum pada bibirnya mengembang ketika melihat pintu kontrakan Ameera terbuka. “Ya ampuuun, Ra! Dicariin dari kemarin gak ada! Aku ada kabar gembira padahal, tapi sekarang udah lewat." Sasha langsung memburu Ameera. “Kabar apa, ish?” Ameera menepis lengan Sasha yang mau memeluknya. Bukan apa-apa, bahu dan badannya masih terasa sakit. “Kamu jadi peserta terpilih sayembara Tuan Rivaldo! Ayo kita bersiap-siap ke sana, Ra! Soalnya kamu sudah telat satu hari!” ujar Sasha sambil nyelonong masuk lalu sibuk membuka lemari milik Ameera mencari-cari pakaian yang layak untuk dikenakan sahabatnya itu. “Nah ketemu! Ayo lekas ganti baju, aku antar kamu ke sana!” Sasha menunjukkan satu set pakaian yang dipilihnya. “Ke mana?” tanya Ameera menautkan alis. Sasha berdecak dan memutar bola mata kesal. “Meera, Meera! Ya kamu harus temuin ke rumahnya! Ayo sudah telat banget soalnya!” “Aku gak mau. Ini gak masuk akal!” Sasha mendelik ke arah Ameera. “Gimana kalau Tuan Rivaldo itu beneran ayah kamu, Ra! Apa kamu gak kepengen ketemu dengan Ayah dan Ibu kandung kamu sendiri, hmmm?” Sasha menatap lekat wajah sahabatnya itu. Dia akan terus berusaha meyakinkan Ameera agar mau ikut menjadi peserta sayembara itu.“Gimana kalau Tuan Rivaldo itu beneran ayah kamu, Ra! Apa kamu gak kepengen ketemu dengan Ayah dan Ibu kandung kamu sendiri, hmmm?” Sasha menatap lekat wajah sahabatnya itu. Dia terus berusaha meyakinkan Ameera agar mau ikut menjadi peserta sayembara itu.Ameera tersenyum getir. Dia menatap ke arah Sasha lalu bicara, “Jika dia memang ayahku? Ke mana saja dia selama ini? Kenapa baru hari ini mencari? Ke mana saja dia selama aku tertatih-tatih merindukannya? Ke mana mereka, Sha? Ke mana?” Suara Ameera bergetar. Akhirnya apa yang selama ini terpendam dalam benaknya kini dia luahkan. Bulir bening berjatuhan, tetapi dengan kasar dia hapus. Sasha terdiam. Dia tak pernah berpikir, jika sahabatnya seluka itu. “Di mana mereka, Sha? Di mana? Dari dulu hanya Bu Uti yang memeluk Ameera kecil yang nangis merindukan mama. Hanya Bu Uti yang memeluk Ameera kecil yang nangis, merindukan ayah. Sekarang, aku sudah dewasa … aku tak lagi butuh mereka.” Ameera bicara sambil terisak. Dari getaran suaranya
“Kamu siapa? Ada apa nyari saya?” Gavin mengulangi lagi pertanyaannya. “Maaf, apa benar dengan Pak Gavin? Saya salah satu peserta sayembara terpilih kemarin, tetapi kemarin betul-betul berhalangan. Apakah bisa diberikan kesempatan kedua?” Sasha menatap Gavin sambil memasang wajah memelas.Gavin tertawa miring. Ditiliknya wajah Sasha sambil menyipitkan mata lalu bicara, “Ameera atau Hazana?” tanyanya. “Saya Sasha, Pak!” Reflek Sasha menyebut namanya sendiri. “Sasha? Tak ada peserta dengan nama itu. Jika hanya mengaku-ngaku, silakan keluar!” tegas Gavin sambil hendak memutar tubuh. “M—Maksud saya, Ameera! Saya Ameera!” Sasha meralat ucapannya. Sudah tanggung kepalang dia tiba di sana, percuma kalau tak bisa bertemu dengan Tuan Rivaldo yang selama ini hanya dia lihat wajahnya di televisi itu.“Ameera atau Sasha?” Gavin menekankan sekali lagi. “Ameera, Pak!” Sasha menjawab cepat. “Apa bukti kalau kamu memang kami undang?” Tanya Gavin lagi. Sasha terdiam sejenak. Otaknya berputar ce
Test DNA baru saja selesai. Berbekal masker, topi dan jaket yang mendadak dibeli Sasha, akhirnya dia memiliki keberanian untuk masuk ke dalam rumah sakit itu. Meskipun Sasha tak terlalu paham jadwal praktek dua kakak lelakinya. Namun, dia cukup khawatir jikalau tiba-tiba kepergok dan semua akan menjadi kacau. “Untuk hasilnya, akan saya emailkan! Bagi yang memang hasil test DNA-nya akurat, akan kami hubungi segera. Pastikan nomor ponsel kalian aktif, juga alamat yang kalian cantumkan dalam formulir, benar!” Sasha dan ketiga orang perempuan sebayanya yang baru saja selesai test DNA, mengangguk. Lalu, setelah itu mereka semua diperbolehkan pulang. Sasha menghembuskan napas lega. Akhirnya dia bisa segera keluar. Semoga saja memang bukan jadwal praktek kakaknya sekarang. Jadi, dia akan merasa aman. Beruntungnya, kemarin pun dia mengirimkan foto berdua dengan Ameera dalam lampiran, karena hanya itu yang ada. Jadi, wajahnya tak dipertanyakan. Gavin sudah beranjak terlebih dulu. Dia berja
Anesya menatap wajah Safiyya yang tampak berseri-seri. Dress merah maroon di atas lutut dan rambut yang di curly membuatnya terlihat fresh. Meskipun baru pulang dari rumah sakit, tetapi tak terlihat jika Safiyya habis sakit. Hari ini adalah hari bahagia baginya. Keluarga calon suami Safiyya, akan berkunjung. “Apa kamu sudah siap bertemu mereka, Sayang?” Anesya menatap gadis berusia sembilan belas tahunan itu.“Iya, Ma. Cuma … aku masih berasa belum pede,” tutur Safiyya sambil mengusap perutnya. Lalu dia mendongak dan bertanya ragu, “A—Apakah kelihatan seperti orang habis keguguran, Ma? Bekas hamilnya gak keliatan ‘kan, Ma?” Anesya terkekeh melihat raut panik putrinya.“Kamu seperti masih ting-ting, kok, Sayang! Lagipula … keluarga mereka tak akan mempermasalahkan juga penampilan kamu, missal pun kamu jelek dan gen-dut, Ses Mita itu sudah terkagum-kagum dengan keluarga kita. Apalagi ketika tahu, kamu itu anak satu-satunya. Pewaris dari keluarga Rivaldo.” Anesya meyakinkan putrinya.
Hari itu, Ardi baru saja pulang kerja. Menjadi owner di salah satu konsultan sumber daya manusia, cukup menyita waktunya. Salah satu perusahaan yang menggunakan jasa rekrutment dari perusahaan yang Ardi kelola adalah tempat kerja Ameera. Dari sanalah, pertemuan mereka bermula. Hingga perlahan, hubungan itu terjalin karena Ardi kerap melibatkan diri untuk mengurusi hal-hal remeh demi bisa melihat sang gadis yang sudah memikat hatinya pada pertemuan pertama.Ayah Ardi pun masih kerja, dia merupakan salah satu senior manager di perusahaan real estate ternama dan perusahaan tersebut masih di bawah naungan Rivaldo Grup. Karena itu juga, Mita---ibunda Ardi, kerap mengikuti berbagai pertemuan yang diadakan perusahaan demi bisa mendekati istri dari pemilik Rivaldo Grup. Dia pun mulai mencari tahu, kegiatan Anesya.Meskipun levelnya berbeda, tetapi dia tahu istri dari Tuan Rivaldo, Anesya sering sekali mengikuti acara-acara sosial. Dari sanalah, dia mulai mendekati Anesya. Awalnya Mita hanya i
"Kita ini mau ke mana sih, Sha?” Ameera menatap bingung pada Sasha. Dalam sebuah mobil online kini mereka berada. “Ahm itu, Ra. Temani aku untuk bertemu seseorang. Penting banget.” Sasha menjawab santai sambil duduk bersandar pada jok mobil. “Jauh gak, Sha? Aku loh cuma pakai baju ginian!” Ameera memperhatikan pakaiannya yang alakadarnya. “Hmmm … lumayan … gak apalah gitu juga, bukan kencan,” tukas Sasha santai. Ameera hanya mengangguk saja. Dia tak banyak bertanya lagi. Hanya mengikuti saja ke mana mobil online yang Sasha pesan meluncur. Pada saat tengah duduk santai. Ponsel Ameera berdenting beberapa kali. Dia membuka layar gawai dan mendapati beberapa pesan masuk. Nomor itu, dia sudah beri nama. Nomor Maria---kakaknya Ardi, rupanya. Jempol Ameera reflek mengusap layar. Beberapa detik, Ameera terbengong seolah terhipnotis oleh gambar-gambar yang dikirimkan. Namun, detik kemudian, rasa perih berkelindan. Terlihat jelas, gambar Ardi yang tengah berbicara dengan seorang pe
Info : Aku ada edit isi bab 10, soalnya sama dengan bab 9, tapi masih dalam tinjauan.“Ahm sebentar lagi juga kamu tahu, Ra! Nah itu dia orangnya! Mereka datang!” Sasha bicara dengan sepasang netra berbinar. Sontak Ameera mengikuti arah pandangan Sasha yang menatap dua orang lelaki yang baru saja masuk dari pintu kedatangan. Satu orang lelaki terlihat masih muda dan gagah. Raut wajahnya dingin dan dan kaca mata tebal membingkai rahang tegasnya. Sementara itu, seorang lelaki paruh baya terlihat duduk di kursi roda. Wajah lelaki sepuh itu terlihat teduh dan ramah. “Rasanya yang duduk di kursi roda itu, wajahnya familiar … tapi, di mana pernah lihat, ya?” batin Ameera sambil memperhatikan mereka mendekat. “Duh, gimana reaksi Ameera, ya? Mereka pasti manggil aku dengan nama Ameera?” batin Sasha sambil melirik ke arah Ameera. “Siapa sih mereka, Sha? Sampe jauh-jauh, Sasha ngajak aku kemari? Kayak pernah lihat, tapi entah di mana.” “Itu yang kubilang masa depan, Ra! Masa depan cerah,”
[Gavin, tolong dekati temannya Ameera! Buat alasan agar kita bisa bertemu lagi! Jika bisa, curi rambutnya untuk dilakukan test DNA!] Gavin baru saja menurunkan Ameera setelah tadi mengantar Sasha. Dia mematung ketika membaca pesan yang dikirimkan Tuan Rivaldo. Memang belum beranjak, saat ini masih berada di depan kontrakan Ameera. Namun, jadinya dia harus mencari cara. Ketukan pada kaca mobil membuat Gavin mendongak. Gadis yang dia kira bernama Sasha itu tampak menatapnya heran. Gavin lekas menurunkan kaca jendela sehingga wajah manis itu kian terlihat jelas.“Mas kok belum pergi? Apa mobilnya ada masalah?” Gavin terpegun. Belum terpikir mau menjawab apa. “Kalau mogok, di depan sana ada bengkel!” tutur Ameera lagi. “Ahm, oke-oke, terima kasih. Gak masalah, kok. Cuma boleh mampir sebentar ke toilet?” Akhirnya Gavin menemukan alasan yang paling tepat. Ameera terpegun. Kontrakan petakan miliknya teralu sempit. Dia merasa risih jug ajika ada lelaki yang mampir ke dalam. “Kalau tak
“Saya harus extra kuat sekarang, Ra. Ada dua perempuan rapuh di rumah. Beruntung Mbak Maria sudah pindah rumah, Marina juga sudah menikah dan ikut suaminya. Seenggaknya, saya dan Papa berbagi tugas untuk mengawasi dua orang itu saja.” Ameera mengangguk-angguk paham. Pantas saja, Ardi tampak jauh cepat lebih tua. Rupanya beban hidup yang dialaminya cukup membuat Ameera turut prihatin.“Salam buat keluarga, ya, Mas! Maaf gak bisa ngobrol lama, ada acara lagi setelah ini.” “Iya, Ra. Sukses terus, ya! Seenggaknya saya bangga pernah menjadi orang yang berarti dalam hidup kamu, meski itu dulu.” Ardi tersenyum kecut dan bicara lirih. Sorot matanya tetap menatap Ameera dengan pandangan yang masih sama, seperti dulu.“Ya, Mas!” Ameera tersenyum, lalu berpamitan dan meninggalkan Ardi yang mengusap rambutnya yang sudah ramai ditumbuhi uban.***Setelah kegiatan perusahaan banyak diambil alih kembali oleh Ameera. Perlahan kesibukkan Gavin mulai terbagi lagi. Kini, dia memiliki sedikit waktu lon
Tuan Rivaldo langsung terdiam ketika mendengar persyaratan yang disampaikan Arsyla. Bahunya melorot, lalu dia meminta Parjo mendorong kursi rodanya kembali ke teras menemani Ameera. Selera makannya mendadak menguap begitu saja.“Mama kamu itu, Ra. Apa gak kasihan sama Papa? Masa iya ngasih syarat diluar nalar kayak gitu.” “Hah, syarat apa, Pa?” Ameera yang baru selesai membalas email bertanya tanpa menoleh pada sang Papa. “Masa iya, dia bilang … Papa jangan pernah menemui dia lagi selama setahun kalau mau dipertimbangkan balikan lagi. Mana mungkin bisa gak ketemu, Papa ‘kan pasti ke sini tiap hari.” Ameera terkekeh, lalu dia berbisik ke telingan Tuan Rivaldo. Lelaki paruh baya itu tampak menautkan alis. Lalu setelahnya menatap Ameera sambil tersenyum sumringah.“Oke, Papa temuin mama kamu dulu! Papa sanggupin saja, ya! Kamu pinter sih, Ra. Papa ‘kan bisa temuin kamu di kantor, jadi gak akan ketemu Mama kamu, walau berat, sih! Setahun, Ra,” tutur Tuan Rivaldo dan segera beranjak ke
Kabar kehamilan Ameera diterima dengan suka cita. Arsyla memeluk haru putri semata wayangnya dengan buncah bahagia. Bahkan, demi memastikan Ameera cukup istirahat dan terjaga pola makannya. Arsyla memutuskan untuk tinggal sementara waktu di kediaman putrinya itu. Aksa merasa senang, setidaknya ditengah kesibukannya, sang istri ada yang memberi ekstra perhatian. Hanya saja, mau tak mau, Gavin yang kini menjadi tumbal. Karena kehamilan Ameera, rencana bulan madunya yang awalnya akan ke Bali dalam beberapa pekan, harus dibatalkan. Aksa meminta Tuan Rivaldo agar Ameera tak terlalu menerima beratnya beban pikiran. Alhasil, Gavin pun bisa memakluminya. Beruntung, Sasha bukan perempuan dengan tipe manja. “Gak apa, kok, Mas! Bulan madu bisa di mana saja! Di kantor juga bisa,” tukas Sasha sambil mengerling jahil. Dia sedang mengeringkan rambut basahnya. Semalam baru saja keduanya berpetualang hebat. Gavin yang baru selesai mandi, menoleh pada sang istri dengan ekor matanya. “Bulan madu? D
Tuan Rivaldo hanya tersenyum kaku. Dia seperti kehabisan kata-kata. Seorang asisten yang menggantikan Gavin, duduk juga di sampingnya. Sementara itu, kedua orang tua Gavin dan Sasha duduk membersamai pengantin di depan sana.“Arsyla … sepertinya jarak yang kamu bentangkan semakin hari, semakin lebar saja … apa tak ada kesempatan untukku menebus segalanya?” batin Tuan Rivaldo. Perempuan yang sudah melahirkan buah hatinya itu tampak begitu ceria mengobrol dengan anak menantunya. Sesekali perempuan paruh baya itu tertawa. “Bodohnya aku,Syla … bodohnya aku yang menyia-nyiakanmu dulu,” batin Tuan Rivaldo dipenuhi sesal. Seorang panitia datang dan mengantarkan pesanan makanan. “Wah, bakso, ya!” Sumringah Bu Uti ketika mencium wangi yang menguar. Rupanya Aksa tadi yang memesan. Hanya saja, Ameera tiba-tiba menutup hidung dan terlihat tak nyaman. “Duh, bau banget, sih, Bang!” rengeknya sambil menjauhkan mangkuk bakso dari depannya.Aksa mengernyit. Pasalnya, biasanya Ameera adalah orang y
Suara deheman Gavin, membuat Sasha mencubit perut Johanes. Lelaki yang dicubitnya itu mengaduh. Lalu, mau tak mau melepas pelukannya.“Masih saja galak! Kuwalat lo sama abang sendiri!” ejek Johanes. Wajahnya tampak datar lagi dan kini dia beralih menyalami Gavin. Sepasang mata elang Gavin seolah tengah melayangkan protes atas kelakuannya tadi.“Biasa aja lihatinnya, Dek! Lo sekarang adek gue juga!” kekeh Johanes tersenyum masam. Dia menepuk pundak Gavin dua kali. “Gue gak perlu nitipin dia ke elo! Gue yakin, elo bakal jagain dia jauh lebih baik dari gue!” Johanes melepas jabatan tangannya dengan Gavin. Lalu menoleh pada perempuan yang berjalan dengan pelan karena perut yang sudah membesar. “Pasti, Bang!” Gavin menjawab singkat. “Berasa tua gue dipanggil Abang,” kekeh Johanes. Tak ada sedikitpun raut bahagia di wajahnya. Dia pun meraih jemari perempuan yang sejak tadi seperti tak diacuhkannya itu. Entah perempuan mana lagi yang dihamilinya. Perut yang besar dengan high heel yang ag
Hanya saja, pesan Sasha pun tetap diabaikan juga. Karena penasaran, Sasha pun mencoba melakukan panggilan. Namun, tak ada satu pun panggilan darinya diterima Johanes.“Ngambeknya kayak anak kecil,” oceh Sasha. *** Resepsi pernikahan, akan diadakan besar-besaran. Apalagi Antoni pun tak mau ketinggalan. Dia tetap tebal muka dengan penolakan Sasha. Bahkan dia sudah mendeklarasikn kepada rekan bisnisnya tentang keberadaan putri kandungnya. Karena itu, pernikahan Sasha terbilang dirancang dengan cukup megah. Di mana ada tiga pendonor utama yaitu dokter Subarkah, Anotni dan juga Tuan Rivaldo. Waktu bergerak merangkak. Persiapan pernikahan yang dilakukan sudah hampir rampung. Johanes, belum memberikan kabar keberadaan hingga sekarang. Hanya saja, ada sedikit kemajuan. Jika Ibunya mengirim pesan, setidaknya dibalas. Dia selalu bilang, kalau sekarang dia berada di tempat yang aman. Butuh waktu untuk lelaki itu mengobati luka yang menganga cukup besar. Hanya dua orang yang pesannya dibalas.
Sasha menatap langit-langit kamar yang polos. Rasa lelah seharian, tak serta merta membuatnya bisa tidur cepat. Hari ini terlalu penuh kejutan untuknya. Malam yang mulai larut, putaran jam dinding yang terus menggulir waktu, tak bisa membuat Sasha dengan mudah memejamkan mata. Bayangan wajah Gavin yang hari ini memberi kejutan luar biasa untuknya. Terus-menerus bergelayut di kelopak mata. Sudah sejak tadi dia bolak-balik membuka sosial medianya. Beberapa postingan yang memuat kebersamaannya dengan Gavin, sudah memenuhi wall-nya. Sengaja Sasha postingkan untuk mengabadikan momen yang sangat langka dan berharga ini. Sontak banyak sekali komentar dari link pertemanan yang menyatakan kaget luar biasa. [Lo sama Jo, udahan?] [Secepat itu kamu berubah haluan, Sha?] [Wah? Dilamar? Jadi, Jo kalah gercep?] [So sweet banget, sih! Kelihatan banget dia ngasih kejutan dadakan, sampe cicinnya kebesaran.] Dan banyak lagi komentar yang menyangkut pautkannya dengan hubungan Sasha dengan Johanes
Sepasang netra Sasha kembali besinar. Dia bergegas menghampiri Bu Uti dan ikut membaca sederet tulisan lama yang menuliskan alamat Sasti. Sasha pun mengambil gambar dengan ponselnya lekas menoleh ke arah Gavin, Ameera dan Aksa.“Aku mau ke sana! Aku ingin mencari Mama!” Ketiganya mengangguk. Tak menunggu waktu, hari itu juga mereka bergerak menuju lokasi yang disebutkan. Mereka menggunakan satu mobil saja, sedangkan yang satunya dititip di panti. Setelah menempuh waktu sekitar empat jam, akhirnya mereka tiba di sebuah perkampungan. Asing, itulah yang Sasha rasakan. Setelah berputar-putar mencari nama tersebut dan di arahkan ke sana sini. Banyak yang bernama Sasti, tapi rata-rata usianya masih muda, ada juga yang masih bayi. Hingga akhirnya mereka diarahkan ke sebuah rumah, katanya dulunya milik almarhumah Bu Sasti. Hanya saja ternyata rumah itu sedang kosong. Beruntung, ada seorang perempuan berjilbab lebar yang kebetulan keluar dari rumah megah yang berseberangan menanyai mereka.“
Sasha meninggalkan rooftop rumah sakit dengan mood yang sudah membaik. Ide Ameera menelpon Gavin sepertinya adalah ide paling tepat. Kini, wajah Sasha yang tadi terlihat begitu muram, perlahan terlihat cerah. Meranti, Subarkah, Merisa dan Antoni ternyata menunggu mereka di lantai satu. Aksa sudah membocorkan kondisi Sasha. Semua turut senang, kesedihan itu tak bertahan lama.Bersamaan dengan pintu lift yang terbuka. Empat pasang mata itu menatap kedatangan dua pasang muda-mudi itu. Jemari mereka saling bertaut. Hanya saja, Sasha yang tak biasa, lekas melepas gamitan jemari Gavin ketika melihat ada empat orang tua yang tengah menunggunya. “Sha … anak kesayangan mama.” Meranti langsung memburu Sasha, memeluk erat dan menangis tersedu. Dia merasa begitu bersalah karena selalu mengulur waktu untuk memberitahu pada Sasha hal yang sebenarnya. Dia selalu merasa tak siap menghadapi reaksi Sasha. Hingga akhirnya itu hanya menjadi bom waktu yang pada hari ini harus meledak diluar kendali mer