[Target sudah kami habisi, Nyonya!] Sebuah foto diterima Anesya. Foto seorang gadis belia yang tergeletak tak berdaya. Darah segar mengalir. Kerumunan orang terlihat sesak.
[Bagus! Karena kalian mengerjakan perintah dengan baik, saya akan segera kirim bonus.] Hati Anesya yang sedang bahagia berbunga-bunga. Bahkan dia lekas membuka e-banking dan mengirim sejumlah uang. [Terima kasih Nyonya.] Balasan diterima. Anesya tersenyum puas. Hari ini dia baru mau menjemput Safiyya dan membawanya pulang. Misinya sudah selesai. Putri kandung dari suaminya sudah tidak ada lagi di dunia ini. “Lihat ‘kan, Mas? Aku jauh lebih pintar dari pada kamu,” batin Anesya sambil menyeringai. Dia lekas berjalan dan segera meraih kunci mobil. Hari ini, dia berencana mau menjemput Safiyya. Anesya berjalan ringan. Dia tak tahu jika para sindikat itu sudah melepaskan Ameera dan membawa kabur uang-uangnya. Foto itu hanya sebuah foto kecelakaan lalu lintas yang para sindikat itu kirim, korbannya entah siapa. “Kamu akan tetap menjadi putri di rumah ini, Safiyya Sayang. Gadis si*lan itu sudah mama lenyapkan,” Anesya berbicara sendirian sambil memacu kendaraan menuju rumah sakit. Di sanalah Safiyya dirawat. *** Sasha berjalan tergesa menuju kontrakan Ameera. Dia harus segera menyampaikan kabar gembira ini. Ameera terpilih. Sepanjang jalan, bibir mungilnya tak henti bersenandung. Hatinya riang, benar-benar riang. Hanya saja ketika tiba di depan kontrakan milik sahabatnya itu, terlihat kontrakannya masih tertutup. “Holaaa! Aaameeraaa!” Suara nyaringnya yang memanggil Ameera berulang, beriringan dengan ketukan pada daun pintu, membuat tetangga sebelah kontrakan Ameera keluar. “Ameeranya belum pulang, Mbak!” “Eh, belum pulang, Mas? Kok bisa?” Lelaki yang menggunakan celana kolor tersebut mengedik sambil bicara, “Ya, mana saya tahu, Mbak.” “Oke, oke, woless, Mas!” “Cuma tadi ada itu, Mas Ardi ke sini! Dia pun nungguin lama juga, eh Ameeranya gak balik-balik.” Sasha menautkan alis. Tiba-tiba pikiran buruk melintas. Jangan-jangan Ardi berbuat yang tidak-tidak pada sahabatnya. Secara, akhir-akhir ini hubungan mereka sedang ada masalah. “Oke-oke, Mas! Terima kasih!” Sasha gegas mengeluarkan ponsel. Hanya saja nomor Ardi pun tak bisa dihubungi. Sasha pun lekas pulang. Esok dia akan ke kontrakan Ameera lagi. Semoga saja Ameera sudah ada di kontrakannnya. Hanya saja, pas keesokan harinya Sasha datang. Rupanya Ameera masih belum pulang. Masih untung jadwal off kerja, jadi tak terlalu bermasalah. Sasha pun lekas mengirim pesan pada Gavin. [Pak, teman saya lagi sakit keras. Minta kesempatan sekali lagi, ya, please!] Pesan terkirim, centang dua warna biru. Hanya saja tak ada balasan. Tak patah arang, Sasha menelpon Gavin. Hanya saja, lagi-lagi panggilannya diabaikan. Sasha pun akhirnya duduk menunggu di kontrakan Ameera hingga petang. Hanya saja, ternyata Ameera masih tak pulang. “Ya Allah, Ra. Kamu ke mana, sih? Harusnya hari ini jadwal kamu ketemu Tuan Rivaldo." Lirih Sasha lemas. Sasha pun mulai cemas. *** Rencana pertemuan dengan para peserta sayembara terpilih, hari ini dilaksanakan. Ada sepuluh orang yang Tuan Rivaldo pilih. Kini, para gadis itu tengah duduk mengantri di sebuah lobi hotel. Hanya saja, cuma delapan orang yang datang. Acara pertemuan itu sengaja mencari area yang berjauhan dengan rumah. “Tuan, apakah sudah ada yang akan Tuan pilih untuk test DNA?” Gavin menatap wajah Tuan Rivaldo. Baru saja peserta sayembara terakhir tadi keluar dari ruangan selepas wawancara dan verifikasi data. “Apakah sudah datang semua?” Tuan Rivaldo memastikan. “Ada dua orang yang tak datang. Ameera dan Hazana, Tuan. Saya sudah warning mereka, ini kesempatan langka. Jika tak datang, maka dianggap mengundurkan diri, jadi ….” “Hmmm … kalau gitu besok saya kasih nama-nama yang lain. Nama-nama ini, kamu aturkan untuk dicoba test DNA!” tukas Tuan Rivakdo lemah. Entah kenapa, gadis-gadis yang hari ini bertemu dengannya, tak satupun bisa membuatnya merasa jika salah satu dari mereka itu putrinya. Gavin membawa ketiga gadis terpilih itu menuju sebuah rumah sakit untuk test DNA. Sebelum itu, dia sudah memberikan uang transport untuk para peserta yang gagal seleksi. *** Ardi mengemudikan mobilnya menuju kontrakan petakan Ameera. Gadis yang ada di sampingnya memaksa untuk pulang setelah dirawat dua hari di sana. “Ra, Mas saranin, kamu pindah kontrakan!” “Kenapa?” “Mas takut, mereka akan balik lagi dan nyari kamu, Ra.” “Hmmm … mereka gak akan tahu kontrakan aku, Mas. Jadi gak usah berlebihan!” Ardi menghela napas kasar. “Apa karena lelaki itu?” telisik Ardi. Dia ingat betul, kata tetangga Ameera, beberapa saat sebelum Ardi datang dan menunggu, ada dua orang lelaki yang menanyakan tentang Ameera. Apakah karena lelaki itu juga, Ameera menolak pindah tempat tinggal. Dia sudah memiliki lelaki lain semenjak penolakan orang tuanya. “Kamu makin ngaco deh, Mas. Sudah, deh.” Ameera malas membahas hal yang tak perlu. Lagipula, lelaki apa yang dimaksud Ardi. Ameera tak pernah menjalin hubungan dengan lelaki lain. Akhirnya perjalanan menjadi hening. Ameera yang tampaknya enggan membahas apapun dengan Ardi, memilih menikmati pemandangan di luar jendela. Hingga tiba di kontrakan, tak banyak lagi percakapan yang terjadi. Ardi hanya membantu mengurusi ponsel Ameera agar bisa dihubungi lagi. Kebetulan Ameera memiliki ponsel lama yang masih bisa digunakan hanya untuk sekadar WA. Meskipun ramnya terbatas, tapi masih bisa digunakan untuk sekadar bertukar pesan. Ardi pun membelikan SIM card baru untuk Ameera. Ameera hanya memandangi Ardi dalam diam. Melihat perhatian dan kebaikan Ardi, perpisahan yang terpaksa itu, justru terasa semakin nyeri. "Ini udah bisa dipake ya, Ra. Udah Mas coba juga kirim pesan ke nomor Mas, bisa." "Hmmm, makasih, Mas." "Mas pamit." Ardi mengulurkan tangan ke arah Ameera. Dengan enggan, Ameera menyambutnya. "Mas pulang." "Hmmm." "Assalamu'alaikum!" "Waalaikumsalam!" Ameera pun langsung istirahat, sedangkan Ardi memilih pulang karena keinginannya untuk menginap dan menjaga Ameera di sana, ditolak mentah-mentah. Keesokan harinya, Sasha sudah datang pagi-pagi sekali. Senyum pada bibirnya mengembang ketika melihat pintu kontrakan Ameera terbuka. “Ya ampuuun, Ra! Dicariin dari kemarin gak ada! Aku ada kabar gembira padahal, tapi sekarang udah lewat." Sasha langsung memburu Ameera. “Kabar apa, ish?” Ameera menepis lengan Sasha yang mau memeluknya. Bukan apa-apa, bahu dan badannya masih terasa sakit. “Kamu jadi peserta terpilih sayembara Tuan Rivaldo! Ayo kita bersiap-siap ke sana, Ra! Soalnya kamu sudah telat satu hari!” ujar Sasha sambil nyelonong masuk lalu sibuk membuka lemari milik Ameera mencari-cari pakaian yang layak untuk dikenakan sahabatnya itu. “Nah ketemu! Ayo lekas ganti baju, aku antar kamu ke sana!” Sasha menunjukkan satu set pakaian yang dipilihnya. “Ke mana?” tanya Ameera menautkan alis. Sasha berdecak dan memutar bola mata kesal. “Meera, Meera! Ya kamu harus temuin ke rumahnya! Ayo sudah telat banget soalnya!” “Aku gak mau. Ini gak masuk akal!” Sasha mendelik ke arah Ameera. “Gimana kalau Tuan Rivaldo itu beneran ayah kamu, Ra! Apa kamu gak kepengen ketemu dengan Ayah dan Ibu kandung kamu sendiri, hmmm?” Sasha menatap lekat wajah sahabatnya itu. Dia akan terus berusaha meyakinkan Ameera agar mau ikut menjadi peserta sayembara itu.“Gimana kalau Tuan Rivaldo itu beneran ayah kamu, Ra! Apa kamu gak kepengen ketemu dengan Ayah dan Ibu kandung kamu sendiri, hmmm?” Sasha menatap lekat wajah sahabatnya itu. Dia terus berusaha meyakinkan Ameera agar mau ikut menjadi peserta sayembara itu.Ameera tersenyum getir. Dia menatap ke arah Sasha lalu bicara, “Jika dia memang ayahku? Ke mana saja dia selama ini? Kenapa baru hari ini mencari? Ke mana saja dia selama aku tertatih-tatih merindukannya? Ke mana mereka, Sha? Ke mana?” Suara Ameera bergetar. Akhirnya apa yang selama ini terpendam dalam benaknya kini dia luahkan. Bulir bening berjatuhan, tetapi dengan kasar dia hapus. Sasha terdiam. Dia tak pernah berpikir, jika sahabatnya seluka itu. “Di mana mereka, Sha? Di mana? Dari dulu hanya Bu Uti yang memeluk Ameera kecil yang nangis merindukan mama. Hanya Bu Uti yang memeluk Ameera kecil yang nangis, merindukan ayah. Sekarang, aku sudah dewasa … aku tak lagi butuh mereka.” Ameera bicara sambil terisak. Dari getaran suaranya
“Ardi! Kamu mama besarkan dengan baik! Kamu mama kuliahkan di tempat mahal! Kerjaan sudah mapan! Tiba-tiba kamu maksa mama suruh nerima gadis yatim piatu yang gak jelas asal-usulnya ini jadi menantu! Tanpa kamu tanya pun, harusnya kamu tahu apa jawaban mama?!” ketus perempuan dengan sanggul tinggi itu. Ameera yang malam ini diundang Ardi untuk makan malam, merasa tiba-tiba begitu kerdil. Apalagi adik dan Kakak Ardi menatapnya dengan pandangan remeh. “Ameera gadis baik, Ma! Tolong kasih kesempatan!” Ameera masih teringat jelas, suara Ardi bergetar. “Kasih kesempatan? Jangan mimpi!” Perempuan yang tadi dikenalkan sebagai kakanya Ardi menyeringai, lalu berdiri dan melempar sendok ke meja. “Jadi rusak selera makan, Mbak. Gara-gara kamu, Di!” tuturnya.“Iya, bener!” timpal adiknya.“Malas banget!” sambungnya lagi. Lalu, satu per satu mereka pergi meninggalkan meja makan, termasuk orang tua Ardi sendiri. Ameera yang masih mematung bersisian dengan Ardi mengelus dada. Hatinya terasa remu
"Gavin, tunggu! Saya mau bicara!" Sepasang mata Elang Gavin menatap Anesya. “Ya, Nyonya?” Gavin membungkuk hormat. Seperti apapun hubungan Anesya dengan Tuan Rivaldo. Perempuan itu tetaplah istri dari majikannya. “Ini hal yang sangat penting! Bisa ikut saya!” tutur Anesya sambil menatap wajah Gavin. “Baik, Nyonya!” Gavin pun mengikuti langkah Anesya yang menuju ke sebuah ruangan. Rupanya tujuannya adalah ruang baca. Kini keduanya sudah berdiri di antara deretan rak buku yang berjajar di sana. Anesya pun memulai kalimatnya. Gavin hanya terdiam dan mendengarkan dengan seksama.*** Ameera dan Sasha beriringan turun dari mobil bus warga baru. Gerah terasa menjalar ke seluruh badan. Meskipun tadi Ameera memandu pemain golf menggunakan golfcar tetap saja mengitari lapangan yang luasnya berhektar-hektar itu melelahkan. “Makan apa, Ra?” Sasha mengedarkan pandangan. Turun dari bus jemputan, selalu disuguhkan beragam pilihan makanan angkringan. “Hmmm … pecel ayam saja, Sha.” Sepasang ne
[Target sudah kami amankan, Nyonya! Tolong kirim pelunasannya!] Anesya tersenyum ketika membaca sederet kalimat itu. Lalu tampak foto seorang perempuan dengan lengan terikat dan foto tahi lalat pada punggungnya. Meskipun tak terlihat jelas wajah itu, tetapi Anesya cukup puas. [Oke, habisi! Jangan sampai suamiku bisa menemukannya!] Anesya cepat mengirim pesan itu. Senyum pada bibirnya tersungging. Tak rugi dia membayar mahal para sindikat itu. Rupanya, mereka bekerja jauh lebih hebat dari pada yang dia perkirakan. [Perjanjiannya, pelunasan dulu, Nyonya! Setelah itu baru action!] Pesan masuk, kembali diterima.Anesya menghela napas kasar. Dia pun mau tak mau bergegas mengirimkan uang. Sejumlah nominal yang cukup besar dia gelontorkan. Tak apa, yang penting langkah pertama sudah dijalankan.Andaipun langkah ini tak berhasil. Dia sudah mengantisipasinya dengan mendekati Gavin. Bukankah mudah saja, tinggal buat semua hasil test DNA untuk peserta sayembara terpilih digagalkan. Jika Gavin
“Gimana kalau Tuan Rivaldo itu beneran ayah kamu, Ra! Apa kamu gak kepengen ketemu dengan Ayah dan Ibu kandung kamu sendiri, hmmm?” Sasha menatap lekat wajah sahabatnya itu. Dia terus berusaha meyakinkan Ameera agar mau ikut menjadi peserta sayembara itu.Ameera tersenyum getir. Dia menatap ke arah Sasha lalu bicara, “Jika dia memang ayahku? Ke mana saja dia selama ini? Kenapa baru hari ini mencari? Ke mana saja dia selama aku tertatih-tatih merindukannya? Ke mana mereka, Sha? Ke mana?” Suara Ameera bergetar. Akhirnya apa yang selama ini terpendam dalam benaknya kini dia luahkan. Bulir bening berjatuhan, tetapi dengan kasar dia hapus. Sasha terdiam. Dia tak pernah berpikir, jika sahabatnya seluka itu. “Di mana mereka, Sha? Di mana? Dari dulu hanya Bu Uti yang memeluk Ameera kecil yang nangis merindukan mama. Hanya Bu Uti yang memeluk Ameera kecil yang nangis, merindukan ayah. Sekarang, aku sudah dewasa … aku tak lagi butuh mereka.” Ameera bicara sambil terisak. Dari getaran suaranya
[Target sudah kami habisi, Nyonya!] Sebuah foto diterima Anesya. Foto seorang gadis belia yang tergeletak tak berdaya. Darah segar mengalir. Kerumunan orang terlihat sesak. [Bagus! Karena kalian mengerjakan perintah dengan baik, saya akan segera kirim bonus.] Hati Anesya yang sedang bahagia berbunga-bunga. Bahkan dia lekas membuka e-banking dan mengirim sejumlah uang. [Terima kasih Nyonya.] Balasan diterima. Anesya tersenyum puas. Hari ini dia baru mau menjemput Safiyya dan membawanya pulang. Misinya sudah selesai. Putri kandung dari suaminya sudah tidak ada lagi di dunia ini.“Lihat ‘kan, Mas? Aku jauh lebih pintar dari pada kamu,” batin Anesya sambil menyeringai. Dia lekas berjalan dan segera meraih kunci mobil. Hari ini, dia berencana mau menjemput Safiyya. Anesya berjalan ringan. Dia tak tahu jika para sindikat itu sudah melepaskan Ameera dan membawa kabur uang-uangnya. Foto itu hanya sebuah foto kecelakaan lalu lintas yang para sindikat itu kirim, korbannya entah siapa. “Kam
[Target sudah kami amankan, Nyonya! Tolong kirim pelunasannya!] Anesya tersenyum ketika membaca sederet kalimat itu. Lalu tampak foto seorang perempuan dengan lengan terikat dan foto tahi lalat pada punggungnya. Meskipun tak terlihat jelas wajah itu, tetapi Anesya cukup puas. [Oke, habisi! Jangan sampai suamiku bisa menemukannya!] Anesya cepat mengirim pesan itu. Senyum pada bibirnya tersungging. Tak rugi dia membayar mahal para sindikat itu. Rupanya, mereka bekerja jauh lebih hebat dari pada yang dia perkirakan. [Perjanjiannya, pelunasan dulu, Nyonya! Setelah itu baru action!] Pesan masuk, kembali diterima.Anesya menghela napas kasar. Dia pun mau tak mau bergegas mengirimkan uang. Sejumlah nominal yang cukup besar dia gelontorkan. Tak apa, yang penting langkah pertama sudah dijalankan.Andaipun langkah ini tak berhasil. Dia sudah mengantisipasinya dengan mendekati Gavin. Bukankah mudah saja, tinggal buat semua hasil test DNA untuk peserta sayembara terpilih digagalkan. Jika Gavin
"Gavin, tunggu! Saya mau bicara!" Sepasang mata Elang Gavin menatap Anesya. “Ya, Nyonya?” Gavin membungkuk hormat. Seperti apapun hubungan Anesya dengan Tuan Rivaldo. Perempuan itu tetaplah istri dari majikannya. “Ini hal yang sangat penting! Bisa ikut saya!” tutur Anesya sambil menatap wajah Gavin. “Baik, Nyonya!” Gavin pun mengikuti langkah Anesya yang menuju ke sebuah ruangan. Rupanya tujuannya adalah ruang baca. Kini keduanya sudah berdiri di antara deretan rak buku yang berjajar di sana. Anesya pun memulai kalimatnya. Gavin hanya terdiam dan mendengarkan dengan seksama.*** Ameera dan Sasha beriringan turun dari mobil bus warga baru. Gerah terasa menjalar ke seluruh badan. Meskipun tadi Ameera memandu pemain golf menggunakan golfcar tetap saja mengitari lapangan yang luasnya berhektar-hektar itu melelahkan. “Makan apa, Ra?” Sasha mengedarkan pandangan. Turun dari bus jemputan, selalu disuguhkan beragam pilihan makanan angkringan. “Hmmm … pecel ayam saja, Sha.” Sepasang ne
“Ardi! Kamu mama besarkan dengan baik! Kamu mama kuliahkan di tempat mahal! Kerjaan sudah mapan! Tiba-tiba kamu maksa mama suruh nerima gadis yatim piatu yang gak jelas asal-usulnya ini jadi menantu! Tanpa kamu tanya pun, harusnya kamu tahu apa jawaban mama?!” ketus perempuan dengan sanggul tinggi itu. Ameera yang malam ini diundang Ardi untuk makan malam, merasa tiba-tiba begitu kerdil. Apalagi adik dan Kakak Ardi menatapnya dengan pandangan remeh. “Ameera gadis baik, Ma! Tolong kasih kesempatan!” Ameera masih teringat jelas, suara Ardi bergetar. “Kasih kesempatan? Jangan mimpi!” Perempuan yang tadi dikenalkan sebagai kakanya Ardi menyeringai, lalu berdiri dan melempar sendok ke meja. “Jadi rusak selera makan, Mbak. Gara-gara kamu, Di!” tuturnya.“Iya, bener!” timpal adiknya.“Malas banget!” sambungnya lagi. Lalu, satu per satu mereka pergi meninggalkan meja makan, termasuk orang tua Ardi sendiri. Ameera yang masih mematung bersisian dengan Ardi mengelus dada. Hatinya terasa remu