"Ini kan baju mas Bagas, Mbok? Bagaimana mungkin ada bekas lipstik di sini?" tanya Yana heran. Dia merasa bahwa itu bukan lipstik nya. Karena dia tidak pernah membeli lipstik warna merah marun. "Iya itu milik Pak Bagas. Saya sebenarnya sudah menemukan tanda lipstik itu beberapa hari yang lalu," tukas Mbok Nem lirih. "Tapi saya tidak merasa membeli lipstik warna merah tuh, Mbok. Ini lipstik milik siapa ya?" tanya Yana lirih. "Nah, itu dia masalahnya Bu. Beberapa hari yang lalu saat saya lihat bekas-bekas lipstik ini di tempat cuci baju, awalnya saya kira itu bekas lipstik Ibu. Karena kan saya tahu Ibu dan Pak Bagas sangat mesra. Tapi lama-kelamaan saya menemukan hal yang aneh.""Hal yang aneh seperti apa Mbok? Apa mbok pernah tahu mas Bagas selingkuh?" tanya Yana dengan hati berdebar. Dia sungguh tidak siap kalau menerima kenyataan bahwa Bagas telah bermain api di belakangnya. "Saya seperti nya menemukan siapa yang melakukan hal ini."Yana mengerutkan keningnya. "Siapa, Mbok?" ta
Yana lalu mengganti bajunya dan sengaja memakai make up tipis dan fresh. Setelah berulangkali mematut diri di depan cermin, akhirnya Yana keluar dari dalam kamarnya. Mata Bagas membelalak saat tahu Yana begitu cantik dan membuat pangling. "Sayang, kamu tahu bedanya kamu dengan ayam goreng nggak?" tanya Bagas seraya menatap istrinya tanpa berkedip. Yana menyinggung kan senyum pada sang suami. "Nggak tahu. Emang apa bedanya aku dan ayam goreng, Mas?" tanya Yana dengan manja. Dia merengkuh dan menggelendot manja di lengan sang suami, membuat Mama Bagas berdehem. "Cie, yang lagi jatuh cinta. Dunia milik berdua ya? Yang lain pasti ngontrak!" seru Mama Bagas. Tapi tak urung juga Mama Bagas merasa bahagia karena anaknya bisa tersenyum kembali setelah kehilangan mantan istrinya pasca melahirkan anak kembarnya. "Wah, ada Mama juga. Ada Ani dan mbok Nem. Bikin aku malu saja."Bagas menggaruk-garuk lehernya yang tidak gatal. "Jadi apa tadi bedanya ayam goreng dengan Yana, Bagas?" tanya Ma
Yana memasuki toko cctv dengan perasaan takjub. Berbagai jenis dan ukuran cctv telah tersedia di dalam toko tersebut. "Selamat pagi, Bu. Ada yang bisa dibantu?" tanya salah seorang pramuniaga toko ramah. Yana tersenyum dan melihat ke seluruh penjuru toko. "Saya mencari cctv simpel yang bisa terhubung dengan ponsel secara langsung ada nggak? Sekalian cctv berbentuk mungil atau barang yang tidak akan mencurigakan jika diberikan pada orang lain.""Wah, ada banyak Bu. Mari ikut saya. Ada cctv bentuk pena, lampu, bentuk kancing, bentuk mata boneka untuk gantungan kunci, cctv biasa. Terserah Ibu ingin memilih yang mana?" Yana mengikuti langkah pramuniaga itu dan memasuki toko lebih jauh lagi. Setelah puas bertanya, akhirnya Yana memilih tiga cctv berbentuk lampu dan dua cctv berbentuk mata yang terpasang pada boneka ikan kecil yang lucu. Setelah membayar, Yana pun segera pulang dan memasang semua cctvnya. Satu lampu dipasang di ruang cuci. Satu lampu di teras, dan satu lampu di kamar
Yana menghela nafas panjang dan menahan diri untuk segera melabrak Ani. Bagaimana pun Ani sudah berjasa untuk merawat anak-anaknya. Yana melirik jam yang menempel di tembok kamar. "Masih jam tiga. Jadi hal itu yang sering dilakukan Ani saat semua orang sedang terlelap tidur?" bisik hati Yana tidak percaya. Dia terus memandang ke arah ponselnya. Tampak Ani kembali menciumi dan memeluk baju kotor Bagas dengan segenap perasaan. Hati Yana seperti teremas lagi. "Ya Allah, apa Ani kujadikan madu saja ya? Bukankah mas Bagas tidak bisa memiliki anak dengan ku?" bisik hati Yana bingung. "Tapi Ani juga masih punya suami di kampung. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa aku tidak bisa marah dengan kelakuan Ani? Apa karena aku merasa aku tidak sempurna dan tidak bisa memberikan mas Bagas anak sehingga aku cuma bisa pasrah saja?"Berbagai pikiran berkecamuk di dalam pikiran Yana. Tapi Ani juga tidak pernah terang-terangan menggoda Bagas. Dia hanya mencium dan memeluk baju Bagas. Yana termangu
"Pagi semua, ayo sarapan bersama. Wah, sudah wangi semua cucu Nenek. Ayo sini. Semua absen sun Nenek ya."Mama Bagas menciumi satu persatu cucunya yang sedang bermain di lantai di ruang makan. Yana dan Ani yang sedang menunggui ketiga anak kecil tersebut tersenyum saat melihat ketiga anak kecil yang kegelian karena perut mereka menjadi sasaran cium oleh nenek mereka. "Ma, sudah mandi?" tanya Bagas yang baru datang lalu meraih punggung tangan mamanya. "Udah dong. Kamu ada-ada aja sih nanyanya. Masa cantik dan wangi gini belum mandi?"Bagas tertawa. "Kalau begitu, ayo kita sarapan bersama.""Yuk."Yana melihat ke arah Mama dan Bagas bergantian. "Tunggu. Ada hal serius yang ingin Yana bicarakan," tukas Yana sambil berdiri. Mama Bagas mengerut kan keningnya. "Ada apa? Sepertinya serius sekali?" tanya Mama Bagas."Iya Ma. Ini hal serius. Karena ada perempuan lain yang mencintai Mas Bagas," sahut Yana. Wajah Ani memucat. Tapi dia berusaha untuk bersikap sewajarnya.Mbok Nem dan Yu Na
Semua pandangan mengarah pada Yana. Tegang. "Ma, ijinkan saya bicara terlebih dahulu sebelum Yana bicara.""Ya, bicara saja, Nak.""Saya langsung saja katakan secara langsung di depan semua orang yang ada di sini. Saya menikah dengan Yana bukan hanya menikah dengan fisiknya. Tapi hatinya. Yana merupakan cinta pertama saya saat sekolah dulu. Jadi biarpun dia nggak punya rahim, dan aku nggak bisa punya anak darinya, aku tidak peduli. Yana lah yang menyelamatkan saya dan anak-anak saya dari kehilangan harapan. Yana adalah ibu susu sekaligus ibu sambung yang baik untuk anak-anak saya. Sampai saya tahu dia kurang tidur saat menyusui anak-anak. Rela memakan sayuran meskipun saya tahu dia tidak begitu suka. Rela meminum pelancar ASI. Rela kurang tidur untuk menyedot ASI dan menyimpan nya dalam botol di freezer. Karena anak saya tidak bisa minum susu sapi dan tidak bisa minum soya. Sekalipun saya tidak ingin berpaling dari malaikat yang tidak bersayap seperti dia."Semua terdiam mendengar
Ani mengarahkan pisaunya tinggi-tinggi dan mengarahkan nya ke arah Dena. Bersamaan dengan itu, semua orang yang ada di sana berteriak dengan ngeri!"Tidak!" Yana menjerit dan melompat ke arah Ani lalu menggigit tangan Ani yang memegang pisau. Aaarghhh!Bersamaan dengan itu Bagas segera melompat pula ke arah Ani dan Yana. Ani melepaskan Dena mendadak. Bagas dengan cepat menangkap Dena yang menangis kencang. Mama Bagas segera memeluk erat cucunya. Sementara itu Ani berhasil menjambak rambut Yana dan menggulingkan nya di lantai. Ani menindih Yana yang bertubuh kurus dan mencekik nya. Sementara itu Yana berusaha mencakar wajah Ani. Setelah Bagas memastikan Dena dipeluk oleh Mamanya, dia segera menghambur ke arah Yana dan Ani yang sedang berkelahi.Bagas mendorong bahu Ani sehingga Ani terpelanting ke belakang. Tidak cuma itu, Bagas sekarang menduduki Ani sambil menekan kedua pergelangan tangan perempuan itu ke lantai."Lepaskan saya Pak Bagas! Dunia ini tidak pernah adil bagi saya! L
Yana masih membuka salah satu daun pintunya dan tidak mengijinkan tamunya untuk masuk, saat Bagas menyusul sang istri. "Akhirnya kalian kesini?" tanya Bagas melalui bahu Yana yang ada di hadapannya. Tampak dua orang dan satu orang anak berusia empat tahun berdiri di depan pintu masuk rumah Bagas. "Saya mohon cabut laporan untuk Ani, Pak!" seru seorang perempuan yang berusia tua. "Oh, ya? Kenapa saya harus mencabut nya?" tanya Bagas. "Apa kalian gila? Kalian sudah memenjarakan perempuan yang mempunyai anak balita!" seru seorang laki-laki yang datang bersama dengan perempuan berusia tua itu. "Siapa sih yang datang? Kok nggak disuruh masuk?" tanya Mama Bagas menyusul menantu dan anaknya."Loh, kamu?""Anita! Bebaskan menantu saya. Saya mohon!" seru perempuan tua itu dengan intonasi memelas. Mama Bagas mengerutkan dahinya. "Dita? Ayo masuk dulu. Kebetulan kalian datang. Ada yang sangat penting ingin kukatakan padamu."Mertua dan suami Ani berpandangan. "Baiklah. Asal kamu mau memb
Tita berdiri sambil menyeringai di depan restoran milik Bagas. Kondisi restoran Bagas yang menurun dari bulan ke bulan menyebabkan dia harus memberhentikan beberapa karyawan termasuk satpam yang biasanya berjaga di pintu keluar.Tita segera menyalakan korek api dan melemparkannya ke arah restoran milik Bagas. Api menjalar dengan cepat membakar bagian depan restoran Bagas. Tita dengan rasa puas pun masuk lagi ke dalam mobilnya. "Mampus kamu, Yana. Aku baru bisa mati dengan tenang kalau kalian bangkrut. Aku tidak peduli lagi jika aku harus ditangkap polisi setelah ini. Yang penting aku bisa melihatmu apes," tukas Tita sambil melaju ke arah rumah sakit. ***Bagas terjaga dari tidur saat mendengar dering ponselnya berbunyi nyaring. Tanpa melihat nama penelepon, Bagas mendekatkan benda itu ke telinga."Halo.""Halo, Pak. Restoran Bapak kebakaran!"Mata Bagas langsung terbelalak. "Hah, tidak mungkin! Kamu siapa, jangan mengajak bercanda saya!""Demi Tuhan, Pak. Saya Doni, pemilik fotoko
Tiiin!"Aaarghhh!"Slamet menjerit saat motor itu menabraknya. Lelaki itu terjatuh dan mengerang kesakitan. Sementara itu, pengendara motor yang menabraknya juga terjatuh. "Aaargh, tolong!"Slamet berteriak kesakitan sementara pengendara motor yang ikut terjatuh, sudah tidak sadarkan diri. Darah bercucuran dari kepala pengendara motor tersebut. Beberapa orang yang mendengar suara tabrakan motor dan suara erangan Slamet mengerumuninya. "Astaga, Slamet! Tulang kamu sampai terlihat!" jerit Tita kaget seraya menuding siku Slamet. "Aduh Mbak, sakit banget! Rasanya kayak mau mati! Bawa aku ke rumah sakit atau panggil ambulance mbak!!!" seru Slamet di tengah erangan kesakitan nya. "O-oke. Baiklah. Kamu tenang dulu. Aku akan segera menelepon ambulance."Slamet dan kedua kakak nya terkejut saat mendengar dokter mengatakan vonis yang begitu meruntuhkan hatinya. "Bapak mengalami patah tulang luar. Jadi harus operasi hari ini. Masalah utamanya adalah Bapak mengalami positif HIV."Slamet me
"Wah, mbak Eva berubah banyak ya sejak aku pergi!" seru Slamet sambil menenteng mobilnya. "Iya dong. Aku udah perawatan salon dan ke klub fitness. Bodiku sudah mulai oke. Aku tinggal cari mangsa," tukas Eva yakin. Tita dengan santainya memakan apel di depannya. "Aku juga semakin intens dengan pak Suryo. Tidak ada lagi keinginan ku untuk merayu Bagas lagi. Aku sudah menemukan sumber uang dan aku tidak ingin kehilangan nya.""Wah, bagus deh kalau begitu. Gimana kalau Mbak Eva juga dikenalkan pada teman-teman pak Suryo? Kali aja ada yang berminat?" usul Slamet."Nantilah. Baru dua minggu juga perawatan nya. Belum maksimal nih.""Ngomong-ngomong kamu apa kabar? Gila bener kamu udah nggak pulang dua minggu."Slamet hanya nyengir saja. Lalu menunjukkan layar ponsel nya. Kedua kakaknya mendelik. "Seratus juta? Gila, Met. Kita bisa bikin kafe mungil lalu dengan perlahan-lahan kita perluas kafenya," tukas Tita dengan mata berbinar. "Yah, itu dia. Awalnya arisan brondong nya hanya seminggu
Slamet baru saja menuntaskan hasratnya pada Sasa, saat mendadak ponsel Sasa berbunyi nyaring. Dengan setengah hati, Sasa meraih ponselnya. Sesaat setelah bercakap-cakap, Sasa mengakhiri panggilan dan memeluk erat tubuh Slamet. "Ada apa nih? Kamu kok kelihatan nya seneng banget, Yang?" tanya Slamet penasaran. Dibelainya rambut Sasa dan diciumnya kening Sasa dengan lembut. "Aku berhasil, Yang. Bisnisku deal!" tukas Salsa bangga dan bahagia."Hm, syukurlah kalau begitu. Kamu itu sebenarnya kerja apa sih?" tanya Slamet akhirnya. Sasa menatap wajah Slamet dengan serius. "Bisnis ku banyak. Apa benar kamu ingin tahu? Tapi ada syaratnya."Slamet mengerutkan keningnya. "Pakai syarat segala. Emang bisnis apa sih?" tanya Slamet. Rasa penasaran kini berbalut rasa curiga.'Jangan-jangan Sasa bisnis organ manusia atau narkoba? Dia kan kayak enggak kekurangan uang?' tanya Slamet dalam hati. Sasa menyeringai. "Jadi kuberitahu pekerjaan ku, tapi jika kamu menjauh, aku akan membunuhmu. Kalau ka
"Oke. Deal!"Tanpa berpikir panjang, Slamet mengiyakan ajakan Sasa. Sasa tersenyum penuh kemenangan. "Baiklah. Tapi aku juga ingin meminta tolong padamu."Slamet mengernyitkan dahinya. "Menolong apa? Aku nggak punya uang untuk menolong mu, Sa."Sasa tertawa. "Bukan uang yang kupinta. Tapi kesediaan kamu untuk keperkenalkan pada teman-teman ku.""Hm, oke. Tidak masalah kalau kamu butuh pencitraan, Sa. Aku bersedia diperkenalkan pada teman-teman kamu."Sasa pun mengangguk dan menggenggam telapak tangan Slamet. Ada senyum aneh terukir di bibir Sasa. "Apa kita harus melakukannya sekarang?" tanya Slamet saat mereka sudah berada di kamar hotel. Sasa mendekat ke arah Slamet tanpa ragu. Bahkan perempuan itu mulai membuka kaos hitam yang dikenakan Slamet. "Apa kamu tidak ingin melakukan nya? Saya sudah mengamati kamu di tempat fitnes beberapa minggu. Dan sekarang baru berani mengajakmu check in," tukas Sasa sambil berbisik di telinga Slamet.Slamet menelan ludah. Hatinya penuh keraguan, ta
"Ada apa, Dek?" tanya Ani panik. Takut terjadi sesuatu pada adik-adik di panti asuhan nya. Adik-adik dari panti asuhannya terengah-engah di hadapan Ani. "Ada apa, Dek? Apa ada yang terluka?" tanya Ani sekali lagi. Adik-adik pantinya menggeleng. "Justru tidak Mbak, kami membawa berita bagus. Tapi kami takut Mbak ini tidak dapat melakukan nya."Ani mengerutkan keningnya. "Ada apa sih?""Tujuh puluh lima bungkus keripik debog pisang abis, Mbak!"Mata Ani berbinar mendengarnya. "Wah benarkah? Alhamdulillah dong!""Bahkan ada yang pesan lagi. Ini sudah ada yang pesan sekitar 200 bungkus. Dan minta selesai dalam waktu dua hari."Ani mendelik tapi senyumnya terkembang. Bahagia walau kaget."Wah, kalau begitu kalian harus membantu Mbak dong!""Tentu saja, Mbak. Apapun akan kami lakukan demi kemajuan panti asuhan kita. Apalagi kalau nanti kita punya toko sendiri. Kita bisa memperkerjakan anak-anak yang sudah lulus SMA. Seperti aku, misalnya," sahut salah seorang adik panti asuhan Ani. Ani
Yana terdiam sambil meraih keripik pare lalu mencicipi nya. "Baik, ada dua hal yang harus saya sampaikan. Kabar bagus dan kabar buruk."Ani mendelik dan menatap wajah Yana dengan tegang. "Itu keripik homemade. Jadi tanpa bahan pengawet, Bu. Aman insyallah."Yana mengangguk. "Iya saya tahu. Makanya saya ingin menyampaikan kabar baik dan kabar buruk. Mana yang ingin kamu dengar dulu?""Kabar buruk dulu saja, Bu."Yana menghela nafas. "Secara pengemasan masih kurang rapi dan karena bahan alami, maka kamu perlu alat peniris minyak atau spinner agar keripik kamu tidak tengik alias bisa awet dalam waktu lama."Ani mengangguk-anggukkan kepalanya. "Lalu kabar baiknya apa, Bu?""Rasanya enak, renyah, bumbunya pas. Saya suka dan saya setuju kalau mengadakan konsinyasi dengan kamu."Mata Ani berbinar. "Benarkah? Benar. Tapi dengan syarat kamu benahi kemasannya dan belilah spinner dulu untuk meniriskan minyak. Kalau kamu perlu modal, bilang saja. Bayar setiap bulan tanpa bunga."Ani menggeleng
Slamet tercengang dan memandangi Ani yang merentangkan kedua tangannya menghadang lelaki itu. "Menyingkirlah kamu! Kamu itu tidak penting bagi saya! Kamu tidak usah kepo dengan urusan pribadi rumah tangga saya!""Tidak! Saya tidak akan pernah mengijinkan Bapak untuk membuat Bu Yana sedih lagi!"Ani merengsek maju dan merebut Fajar dari tangan Slamet. Tubuh Ani yang tinggi besar dan gempal membuat posisinya dan Slamet seri.Sementara itu Yana bergegas berteriak di depan gerbang rumah nya menarik perhatian seluruh tetangga."Tolong! Tolong saya! Fajar hendak dibawa bapaknya!" seru Yana. Beberapa tetangga menghambur masuk ke dalam rumah. Beberapa orang pria langsung memegangi tangan Slamet. Slamet mendelik saat melihat anaknya yang tengah menangis berhasil berpindah tangan pada Ani. "Sial*n kalian semua! Ini urusan pribadi rumah tangga kami. Apa salah kalau saya ingin membawa anak saya pulang ke rumah saya?" tanya Slamet sambil memandang semua orang yang berkumpul di halaman depan r
Ani menatap ke arah pengacaranya dengan ragu. Pengacaranya berdiri dan menganggukkan kepalanya lalu berjalan terlebih dahulu ke dalam ruang sidang.Pengacaranya dengan langkah pasti menuju ke salah satu tempat duduk lalu Ani mengikuti. Tangan Ani berkeringat dingin dan memandang empat orang hakim dengan satu panitera di dalam ruangan sidang. Pengadilan itu menatap Ani. "Sudahlah, Bu. Jangan cerai saja. Kembali saja pada suami dan kasihan anak," tukas salah seorang dari hakim yang duduk di tengah. Ani menatap ke arah hakim dengan wajah serius lalu menjawab seperti yang diajarkan oleh pengacara Yana. "Maaf, Pak Hakim. Saya tidak kuat dengan temperamennya yang kasar dan tidak memberikan nafkah selama beberapa tahun pernikahan kami. Bahkan dia sering menyiksa saya dan anak saya. Saya sungguh tidak kuat hidup dengan suami seperti itu," tukas Ani dengan mantap. Hakim melihat berkas lembar yang telah ada di mejanya dengan teliti. Lalu memandang ke arah pengacara yang duduk di sebelah An